SELAMAT PAGI BIDADARI (67)

Karya Tien Kumalasari

Begitu Restu masuk, Lisa kemudian melompat ke arah pintu, lalu menguncinya dari dalam, lalu melemparkan kuncinya entah kemana. Restu sangat terkejut.

“Restu …” Lisa menyebut namanya lembut, sambil mendekat dan berusaha merangkul.

“Lisa? Jadi kamu yang selama ini menyamar menjadi pembantu di rumah ini?”

“Restu, kamu harus tahu. Ini adalah pengorbanan aku, demi rasa cintaku sama kamu yang tak pernah putus.”

“Perempuan murahan !! Enyah sekarang juga kamu dari rumah ini!”

“Restu, kamu jangan begitu. Apa kamu melupakan saat-saat indah ketika kita bersama? Aku tak bisa melupakannya Restu, aku cinta mati sama kamu.”

“Enyah kamu! Perempuan murahan. Aku tidak sudi lagi melihat tampangmu. Segera enyah sebelum istriku bangun.”

“Memangnya kenapa kalau istri kamu bangun? Dia harus tahu diri. Bukankah dia hanya pembantu?”

Kemarahan Restu tak tertahankan lagi mendengar istrinya dihina. Sebuah ayunan tangan mengenai pipinya dengan keras.

Plaaaakkk!

“Augh! Restu, apa yang kamu lakukan? Lihatlah tubuhku, kamu melupakannya?”

Restu berusaha membuka pintu dan kabur, tapi Lisa mendekapnya dari belakang, lalu terdengar suara baju terkoyak. Lisa mengoyak baju bagian depannya.

“Apa yang kamu lakukan? Buka pintunya. Aku tidak sudi menatap wajahmu. Kamu menjijikkan!”

“Restu, kamu bilang apa? Menjijikkan? Kamu melupakan saat-saat itu.”

“Kamu benar-benar menjijikkan. Aku bukan Restu yang dulu. Aku hanya mencintai istriku.”

“Restu, aku rela menjadi kekasih gelapmu, percayalah bahwa istri kamu tak akan pernah tahu tentang hubungan kita.”

Sekali lagi Restu menampar wajah Lisa, dan kali ini Lisa menjerit.

“Toloooong !! Toloooong saya …!”

Restu terkejut mendengar teriakan itu. Begitu keras, dan pasti Murni mendengarnya.

Dan Murni benar-benar terbangun mendengar teriakan itu. Ia meraba ke samping, tak melihat suaminya di sisinya. Ia sangat terkejut, jangan-jangan sang suami mendapat celaka.

“Siapa berteriak itu?” Murni berjingkat keluar kamar, takut Gilang terbangun.

“Toloooomng, dia memaksa akuuu. Tolooonglah buu..”

Restu sangat terkejut. Rupanya karena ditolak, Lisa justru ingin menuduhnya melakukan hal tak senonoh dengannya.

“Jangan lakukaaan, tolooong.” Tangis Lisa terdengar memilukan.

Restu dengan segera mendobrak pintu, lalu melompat keluar.

Murni tentu saja sangat terkejut.

“Mas Restu, apa yang kamu lakukan?”

“Perempuan murahan ini …,”

“Tolong Bu, pak Restu mau memperkosa saya … lihat saya …”

Murni melihat baju Lisa terkoyak.

“Jangan percaya dia. Dia perempuan murahan! Lihat, dia bukan Marsih!” Restu berusaya menarik topeng Lisa yang sudah dikenakan, tapi Murni justru menghalanginya.

“Tolong saya Bu, saya sedang tidur … tiba-tiba dia_”

“Pembohong! Perempuan rendahan!! Dia bukan Marsih! Dia Lisa yang ingin merusak rumah tangga kita Murni.”

Murni bungkam. Apa yang dilihatnya, dirasa tak membutuhkan keterangan apapun lagi. Suaminya telah merobek baju Marsih, membuat Marsih berteriak. Hati Murni hancur berkeping-keping. Kepercayaan yang sudah ditanamkan dalam-dalam ke dasar hatinya, berderai tinggal puing-puing tajam yang menusuk-nusuk sanubarinya. Restu belum berubah. Restu membohongi dia. Bahkan sama perempuan cacat, dia tega melakukannya.

Murni membalikkan tubuhnya, masuk ke dalam kamar.

Restu memburunya, setelah menoleh sejenak ke arah Lisa.

“Minggat kamu dari rumah ini sekarang juga, atau aku bunuh kamu!” ancamnya bengis.
Lisa tertawa penuh kemenangan.

“Itu akibatnya karena kamu menolak aku. Kalau aku tidak bisa mendapatkan kamu lagi, maka tak akan ada perempuan lain bisa memiliki kamu.”

Restu tak peduli pada Lisa yang kemudian berkemas. Ada senyum puas karena yakin bahwa rumah tangga Restu pasti akan berantakan.

Restu masuk ke dalam kamar, dan melihat Murni mengemasi baju-bajunya, dimasukkannya ke dalam kopor, sambil menangis sesenggukan.

“Murni, jangan percaya. Dia itu perempuan jahat. Dia memfitnah aku.”

Murni tak menjawab. Baginya, apa yang dilihatnya sudah cukup memberikan jawaban Ia terus memasukkan baju-bajunya, kemudian beralih ke baju-baju Gilang.

“Ya Tuhan, Murni … jangan pergi. Percayalah bahwa aku tak melakukan apa-apa. Percayalah Murni. Aku masuk ke kamarnya karena mendengar dia berteriak, ternyata dia menjebakku. Dia sebenarnya Lisa, dia bukan perempuan cacat Murni, dia ingin merusak rumah tangga kita. Percayalah Murni, jangan pergi.”

Murni diam membisu. Perilaku buruk Restu sudah diketahuinya. Bahwa kemudian dia percaya, adalah karena sikap dan perhatian yang ditunjukkan kepadanya, terlebih kepada anaknya, sangat meluluhkan hatinya. Tapi ternyata Restu adalah Restu, yang tak bisa melihat perempuan, bahkan perempuan cacat sekalipun. Hati Murni sangatlah sakit. Tekatnya sudah bulat. Ia harus pergi, dan tak akan pernah kembali lagi.

Murni sudah selesai memasukkan baju-bajunya sendiri dan baju anaknya, Kemudian diambilnya baju hangat Gilang, dikenakannya. Gilang merengek karena tidurnya terganggu, tapi Murni segera mengayunnya dalam gendongan, lalu Gilang kembali terlelap.

“Murni, jangan pegi, aku tak bisa berpisah dengan anakku, dan juga dengan dirimu,” Restu memohon, bahkan dengan suara bergetar menahan tangis.

Murni meraih ponselnya, memanggil taksi, kemudian sambil menggendong Gilang dengan selendang, sebelah tangannya menyeret kopor berisi pakaian mereka.

Restu memegangi kakinya.

“Tolong percayalah. Aku tidak melakukan apa-apa.”

Murni bergeming. Hatinya sudah menjadi sekeras batu. Rasa iba yang sekilas mengusiknya, segera dikibaskannya. Ia juga menahan air matanya kembali turun. Restu terus memegangi kakinya.

“Tolong lepaskan,” suara Murni bergetar.

“Jangan pergi Murni, aku tak bersalah. Aku tak melakukan apa-apa Murni. Percayalah.”

“Tolong lepaskan. Tak usah berpura-pura lagi.”

“Murni, aku mencintai kamu. Jangan pergi Murni, tolong dengarkan aku.“

Klakson taksi dari arah depan terdengar. Murni menghentakkan kakinya.

“Lepaskan!” kali ini suara Murni sangat keras, terdengar seperti bentakan. Restu terkejut, dan melepaskan pegangannya. Murni melangkah keluar dengan setengah berlari. Terdengar tangis Gilang karena terkejut mendengar suara keras ibunya. Tapi Murni terus membawanya keluar. Gilang masih menangis saat Murni masuk ke dalam taksi.

Restu berlari ke arah garasi, bermaksud mengejarnya. Tapi begitu keluar, dia bingung. Ia tahu taksi itu bergerak ke arah kiri, tapi sekian puluh meter dari pagar rumahnya adalah perempatan.

“Kemana dia? Mungkinkah pulang ke rumah ibu?” bisik Restu putus asa. Ia melarikan mobilnya ke arah rumah orang tuanya, tapi sesampai disana ia melihat pagar rumah masih ddigembok dari dalam. Berarti tak ada yang masuk. Restu ingin masuk dan sesambat kepada orang tuanya, tapi tak sampai hati. Ini sudah lewat tengah malam.

Akhirnya Restu kembali ke rumah dengan perasaan hancur.

Betapa terkejutnya hati Restu, begitu memasuki rumah, dia melihat Lisa masih disana.

“Perempuan murahan! Mengapa belum juga minggat dari sini?”

“Restu, kamu harus tahu bahwa aku masih sangat mencintai kamu. Aku rela menjadi kekasih gelapmu.”

“Minggaaaat! Atau aku bunuh kamu!!”

“Kamu tega Restu? Kamu melupakan masa-masa indah kita?”

Tak tahan, Restu menyeret tubuh Lisa, kemudian melemparkannya keluar, berikut tas yang sudah sejak tadi ada di dekatnya, karena Restu memang melihat tadi Lisa sudah berkemas.

“Restu, kamu benar-benar tega?”

“Kalau kamu tidak segera minggat, aku akan berteriak maling, agar kamu digebugin orang sekampung.”

Restu menutup pintu rumahnya, masuk ke dalam kamar, lalu duduk bersimpuh bersandar pada pintu, dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Dari sela-sela jari tangannya, butiran-butiran air mata menerobos dan mengaliri punggung tangannya.


Besok lagi ya…

Bersambung ke Jilid 68

SELAMAT PAGI BIDADARI (66)

Karya Tien Kumalasari

Marsih memasuki kamarnya dengan perasaan kecewa. Laki-laki majikannya, sangat digilainya. Dia akan berusaha mendapatkannya, apapun caranya.

Bukan menjadi pembantu tujuannya datang ke rumah itu. Dia adalah Lisa. Dulu menjadi kekasih Restu dan membuat Restu kehilangan segalanya. Keluarga, orang tua, istri yang baik, kedudukan, bahkan harta.

Restu sadar ketika Lisa ternyata menjauhinya saat dia tak memiliki apa-apa. Lelaki yang lebih kaya selalu menarik baginya. Thomas, lelaki itu, ternyata juga tak memiliki apa-apa setelah istrinya menceraikannya. Lisa pun kabur dari Thomas, dan kembali mengejar Restu. Kali ini bukan karena kekayaannya, tapi karena dia memang tergila-gila pada ketampanan Restu.

Begitu keluar dari penjara setelah menabrak Murni dengan sengaja, ia segea mencari akal agar bisa masuk ke dalam rumah tangga Restu.

Ia mengira Restu masih menggilainya, dan dia akan mulai lagi menggodanya.

Tapi dia kesal ketika tadi Restu mengusirnya agar menjauh, saat dia mulai melancarkan aksinya. Oh ya, Lisa alias Marsih baru sadar, bahwa dia sedang menyamar dengan menambal wajahnya seperti memiliki bekas luka yang tentu saja tidak menarik.

“Aku bodoh benar. Wajahku kan sama sekali tidak menarik. Walau tanpa busana sekalipun, dia tetap saja akan jijik melihatku,” gumamnya sambil tersenyum aneh.

Marsih melepaskan penyamaran wajahnya, lalu berdiri di depan kaca, berputar=putar sambil mengurai senyuman manis.

“Aku masih menawan. Tak mungkin Restu menolak aku,” gumamnya.

Setelah puas memandangi wajahnya, dikenakannya lagi topeng menyamarannya. Ia takut kalau tiba-tiba Murni datang bersama suaminya, dan dia lupa mengenakan topengnya.

Lalu ia membaringkan tubuhnya di ranjang, membayangkan Restu ada disampingnya.


Ketika itu keluarga pak Broto sedang bercanda dengan Gilang. Anak kecil berumur 9 bulanan itu memang sedang lucu-lucunya. Apalagi yu Sarni dan bu Broto yang bergantian menggendongnya.

“Kamu sebaiknya menginap di sini dulu Mur, lihat, ke dua nenek itu seakan tak mau lepas dengan cucunya,” kata pak Broto sambil tersenyum.

“Tapi saya tidak bilang sama ms Restu kalau mau menginap, Pak.”

“Kan bisa telpon. Dia tak akan marah kalau kamu ada di sini.”

“Biar aku saja yang menelpon Restu, awas saja kalau dia tidak mengijinkan,” kata bu Broto sambil mengangkat ponselnya untuk menghubungi Restu.

“ Ya bu,” jawab Restu dari seberang.

“Hari ini, kamu tidak usah menjemput istri dan anakmu.”

“Lhoh, memangnya kenapa Bu?”

“Kami ingin, agar Gilang dan ibunya menginap di rumah. Sehari atau dua hari, begitu.”

“Tapi ini saya sedang dalam perjalanan menjemput tuh Bu.”

“Kamu sudah pulang dari bengkel?”

“Sudah. Saya pikir Murni dan Gilang sudah pulang, ternyata belum. Jadi begitu sampai, Restu segera berangkat menjemput.”

“Tidak bisa Restu, kami semua sedang seneng-senengnya bercanda sama Gilang. Jadi kamu tidak boleh menjemputnya,” kata bu Broto tandas.

“Waduh, kalau begitu biar saya sampai ke situ dulu Bu, masa sih tawar menawar di jalan,” kata Restu sambil tertawa.

“Baiklah, terserah kamu saja.”

“Bagaimana?” tanya pak Broto setelah sang istri meletakkan ponselnya.

“Restu sudah dalam perjalanan kemari.”

“Maksudnya mau menjemput?”

“Iya, tapi ibu sudah bilang bahwa Gilang akan menginap di sini, tidak bisa tidak,” kata bu Broto sambil kembali mengambil Gilang dari pangkuan yu Sarni.

Pak Broto hanya tertawa.

“Kalau dia mau menjemput, biar Murni saja yang dijemput, Gilang tidak usah,” sambung bu Broto sambil menciumi Gilang.

Semuanya tertawa mendengar perkataan bu Broto.

“Masa sih, Gilang ada di sini, sementara ibunya pulang? Kamu yang mau memberi dia ASI?” kata pak Broto meledek istrinya.

“Iya juga ya, berarti ibu dan anak harus menginap di sini. Aku kan hanya minta sehari saja, ya kan Mur?”

Murni tertawa.

“Iya Bu, tidak apa-apa saya dan Gilang menginap di sini,” katanya.

“Lhah aku sama siapa?” tiba-tiba Restu sudah muncul dan berdiri di tengah pintu depan.

“Tuh, yang punya sudah datang,” kata pak Broto sambil tertawa.

“Mas, kami akan menginap di sini malam ini,” kata Murni kepada suaminya.

“Tidak bisa,” kata Restu sambil menggelendot ke bahu istrinya.

“Kok gitu sih Mas, nenek-neneknya pada kangen tuh.”
“Kalau kalian mau menginap di sini, aku juga mau menginap dong,” kata Restu sambil tertawa.

“Nah, itu solusi terbaik. Nanti Gilang tidur sama aku.”

“Ibu gimana sih, nanti kalau malam-malam bangun minta ASI bagaimana?” tegur suaminya.

Bu Broto tertawa.

“Iya, nggak apa-apa tidur sama ibunya. Tapi besok pulangnya sore ya, nggak boleh pagi-pagi. Biar ibumu masak enak untuk kalian,” kata bu Broto mengalah.

“Nah, gitu dong.”


Restu dan anak istrinya tidur di rumah keluarga Broto. Marsih menunggu dengan kecewa. Sampai larut malam dia masih terjaga, dan sudah mempersiapkan segala sesuatunya untuk bisa merayu Restu.

“Kenapa mereka tidak pulang sih? Katanya Murni dijemput sore tadi, sekarang sudah tengah malam, belum pada pulang juga. Apa sebaiknya aku menelpon ya? Siapa tahu mereka akan pulang malam. Aku sudah tak tahan lagi nih,” gumam Marsih sambil meraih ponselnya.

Ia menghubungi Murni.

“Ya Mbak Marsih, ada apa?”

“Ibu tidak pulang?”

“Oh iya, maaf Mbak, aku lupa memberi tahu, kami malam ini menginap di rumah ibu, jadi Mbak Marsih nggak usah menunggu.”

“Waduh.”

“Kenapa waduh?”

“Itu Bu, tahu begitu, dari tadi saya sudah mengunci pintunya.”

“Iya Mbak, maaf ya. Kunci saja sekarang. Kami baru akan pulang besok sore, setelah mas Restu pulang dari bekerja.”

Marsih menutup ponselnya tanpa permisi. Ia benar-benar kecewa berat. Keinginan untuk bisa merayu Restu sudah memenuhi dadanya. Ia yakin Restu masih akan menyukainya.

“Tidak apa-apa kalau hanya untuk bersenang-senang saja. Sekarang keinginanku hanya bisa selalu bersamanya. Biarlah ada istrinya, biarlah aku tidak diguyur harta, yang penting aku cinta,” gumamnya sambil mengunci semua pintu.


“Sudah lama aku tidak tidur di kamar ini,” gumam Restu sebelum tidur.

“Oh ya? Jadi ini dulu kamar mas Restu?”

“Kamar aku.”

“Bersama bu Wulan?”

“Tidak. Kami tidak pernah tidur sekamar. Ini kamar aku sendiri.”

“Jahat ya, suami istri tidak mau tidur se kamar.”

“Sudah, itu kan masa lalu. Kamu harus tahu, dulu kami menikah tidak didasari saling cinta.”

“Kasihan bu Wulan.”

“Sekarang Wulan sudah bersama kekasih hatinya. Bahkan sudah hampir punya anak juga, ya kan? Jadi lupakanlah masa lalu. Sekarang, milikku hanya kamu, dan juga Gilang.”

Murni tersenyum. Ada kehangatan meresap dalam hatinya, ketika melewati malam-malam indah berdua. Bukankah Gilang tidur di ranjang kecil dan tidak menjadi satu dengan ranjangnya? Restu menyukainya, karena dia sudah menginginkan agar Gilang memiliki seorang adik. Toh tidak berbeda, bersenang-senang di sini, ataupun di rumah mereka sendiri.7


Hari itu Marsih bekerja sangat rajin. Rumah bersih, dan siap melayani majikan mereka kalau pulang nanti. Dia tidak perlu memasak, karena setiap hari Murni sendiri yang melakukannya. Pekerjaannya hanya mengasuh Gilang. Kalau Gilang tidur, dia juga ikutan tidur. Itu sebabnya hari itu dia sangat puas tidur. Lagi pula nanti malam akan ada rencana indah, yang akan dihabiskannya sepanjang malam, seperti dulu mereka sering melakukannya.

Mereka pulang membawa makanan dari rumah keluarga Broto. Mereka makan malam berdua, dan Marsih menidurkan Gilang.

Hanya sebentar mereka bersantai setelah makan, kemudian segera masuk ke kamar tidur. Marsih juga langsung menuju kamarnya. Biasanya lewat tengah malam, Restu terbangun untuk sekedar mengambil air minum. Hal itu sudah selalu dilakukannya, dan Marsih sudah sangat hapal dengan kebiasaan itu.

Malam itu Marsih membuka pintu setengahnya. Tempelan topeng menjijikkan sudah dilepas. Dia berdandan secantik mungkin, dan mengenakan pakaian yang sangat seronok.

Waktu yang ditunggu akhirnya tiba. Terdengar langkah dari arah kamar Restu, menuju ruang makan, dan itu sangat dekat dengan kamarnya.

Restu membuka kulkas dan meneguk segelas air dingin. Tapi sebelum dia kembali ke kamar, terdengarlah sebuah jeritan kecil dari arah kamar Marsih. Karena khawatir, Restu bergegas menuju ke arah kamar itu, dan betapa terkejutnya, melihat Lisa berdiri disamping ranjang sambil memegang perutnya yang sedikit terbuka.

“Lisa?”


Besok lagi ya…

Bersambung ke Jilid 67

SELAMAT PAGI BIDADARI (65)

Karya Tien Kumalasari

“Bu, tolonglah saya. Saya datang jauh-jauh dari kampung, kerana kehidupan saya yang serba kekurangan. Saya ingin mencari nafkah bu, sebagai pembantu rumah tangga juga tidak apa-apa.”

Murni menatap wanita di depannya, ada luka di wajahnya, sehingga menutupi kecantikannya. Seandainya cacat itu tidak ada, dia adalah wanita yang cukup cantik. Walau dia bilang serba kekurangan, tapi baju yang dipakainya, bersih dan rapi.

“Baju ini, dikasih dari tetangga, dimana saya menjadi tukang cuci bajunya,” kata wanita itu, yang merasa bahwa Murni tampak mencurigai bajunya yang bersih, sementara dia bilang hidup kekurangan.”

“Kasihanilah saya, Bu,” katanya meng iba,

“Begini mbak, sebenarnya kalau pekerjaan rumah tangga, saya masih bisa mengatasinya. Cuma saja saya butuh pengasuk untuk anak saya.”

“Mengasuh anak ganteng ini? Saya biasa momong anak tetangga, saya pasti bisa, Bu.”

“Benarkah?”

Tapi Gilang yang menatap wajah wanita itu, seperti ketakutan. Barangkali bekas luka itu tampak menakutkan.

“Bu, bolehkah seandainya saya diterima, saya selalu memakai cadar setiap hari? Saya merasa, putra ibu ketakutan melihat saya. Lagi pula saya juga kurang percaya diri kalau bekerja tanpa menutup wajah saya. Di kampung saya juga selalu bekerja sambil memakai cadar.”

“Baiklah. Tapi saya akan mencoba mbak selama sebulan dulu. Saya juga belum bilang suami saya kalau mau menerima pembantu sih. Nanti kalau saya cocok, dan mbak juga cocok, pastinya, maka boleh diteruskan. Kami bukan orang kaya yang bisa menggaji mbak dengan pantas, barangkali Mbak akan kecewa.”

“Tidak Bu, gaji bukan masalah, yang penting saya mendapat tempat tinggal, dan sekedar mendapatkan sesuap nasi.”

“Nama Mbak siapa?”

“Saya Marsih Bu.”

“Baiklah, Mbak Marsih, di sini keluarga pak Restu, saya istrinya, dan ini Gilang, anak saya.”

Murni memperkenalkan keluarganya. Gilang masih ragu-ragu ketika Marsih ingin menggendongnya. Lalu Marsih segera mengambil cadar dari dalam tasnya, lalu dipakainya.

“Biarkan seterusnya saya memakai ini, ya Bu.”

“Baiklah, terserah Mbak Marsih saja.”

Murni yang kemudian menelpon Restu, dengan tanpa berpikir panjang, langsung menyetujuinya, karena Restu memang ingin agar istrinya mencari pembantu, untuk meringankan bebannya.

Ia juga tak peduli, ketika melihat pembantu barunya adalah seorang wanita cacat. Restu cukup senang, karena Gilang mulai terbiasa dengan Marsih, dan tidak rewel saat bersamanya.

Restu juga tak henti-hentinya menggoda Murni, bahwa karena sudah ada pembantu, maka mereka siap mencetak adik baru bagi Gilang.


Murni sedang bersantai di ruang tengah, sedangkan Gilang asyik bermain mobil-mobilan bersama Marsih.

“Mbak Marsih, sebenarnya luka di wajah Mbak itu karena apa? Sampai parah begitu?” tanya Murni.

“Saya jatuh Bu.”

“Jatuh di mana?”

“Waktu sedang naik sepeda, lalu tidak melihat ada batu besar. Sepeda saya terguling, saya terluka karena wajah saya terkena batu runcing sehingga luka parah.”

“Waduh, pasti sakit sekali itu.”

“Iya Bu, berbulan-bulan lukanya baru sembuh, setelah sembuh saya jadi cacat begini.”

“Padahal sebenarnya Mbak itu cantik lhoh.”

Marsih tersenyum, tapi tentu saja Murni tidak melihat senyum itu karena wajahnya yang selalu tertutup cadar.

“Dulu saya memang cantik. Banyak laki-laki tergila-gila sama saya. Tapi setelah saya cacat, tidak ada yang mau mendekati saya.”

“Kasihan sekali Mbak.”

“Nggak apa-apa Bu, memang sudah menjadi nasib saya seperti ini. Sekarang saya bahagia, karena menemukan keluarga baik seperti bu Murni.”

“Semoga Mbak kerasan terus dengan gaji yang tidak begitu besar ini, ya.”

“Tentu saja saya kerasan, Bu. Apalagi Gilang sangat lucu dan menggemaskan. Dia bisa menjadi penghibur bagi saya.”

“Syukurlah. Saya juga senang, dengan adanya Mbak Marsih, saya punya teman berbincang saat suami saya tidak ada di rumah.”

“Suami bu Murni tampak sangat menyayangi keluarganya.”

“Tentu saja Mbak. Itulah yang membuat hidup kami terasa lengkap. Saling mengasihi, dan sudah mendapat karunia seorang anak laki-laki ganteng ini,” kata Murni sambil tersenyum cerah.

Marsih tampak mengangguk. Tak kelihatan apakah dia tersenyum, ataukah tidak. Karena kecuali dia sedang menunduk, wajahnya juga hampir seluruhnya tertutup cadar.

“Saat ini kami sedang berharap, agar Gilang segera punya adik. Mas Restu sangat mengharapkan itu,” lanjut Murni dengan tersenyum malu-malu.

Marsih terdiam, ia terus mengajak Gilang bermain, seperti tak mendengar apa yang dikatakan majikannya.

Tiba-tiba terdengar dering ponsel dari arah kamar Marsih.

“Bu, saya menerima telpon dulu di kamar.”

“Baiklah,” kata Murni.

Marsih bergegas ke kamar, lalu menguncinya dari dalam. Wajahnya muram ketika melihat siapa yang menelpon.

“Hallo, ada apa? Aku kan sudah bilang, jangan menelpon lagi, jangan menghubungi aku lagi. Kenapa nekat?”

“Mengapa kamu pergi, padahal aku sudah mengeluarkan banyak uang untuk meringankan hukuman kamu?”

“Aku tidak mau lagi sama kamu. Ternyata kamu tidak lagi punya harta yang bisa membuat kita bersenang-senang.”

“Tapi aku mencintai kamu. Sungguh.”

“Makan tuh cinta. Aku tidak peduli.”

“Bagaimana dengan bayi yang kamu kandung? Menurut perhitungan, kamu pasti sudah melahirkan.”

“Bayi apa? Aku bohong tentang kehamilan itu.”

“Apa? Bohong bagaimana?”

“Siapa yang hamil? Kamu kira aku perempuan bodoh yang mau menanggung beban kehamilan sehingga menghambat keinginan aku untuk bersenang-senang?”

“Ternyata kamu perempuan murahan. Menyesal aku tergila-gila sama kamu, sehingga mengesampingkan istriku yang baik dan kaya raya.”

“Salah kamu sendiri,” jawab Marsih lalu tertawa mengejek.

“Kamu di mana?”

“Tak akan aku katakan, dan sekali lagi, jangan menghubungi aku lagi.”

Marsih menutup ponselnya, sekaligus mematikannya. Ia membetulkan cadarnya, kemudian beranjak keluar.

“Dari keluarga kamu ya Mbak?”

“Iya. Butuh uang. Tapi kan saya belum mendapat gaji?”

“Butuhnya berapa? Nanti aku beri saja dulu, nggak apa-apa Mbak, kan sudah ada setengah bulan Mbak Marsih bekerja di sini.”

“Tidak usah Bu, nanti saja gampang,” kata Marsih yang kemudian bermain-main lagi bersama Gilang.


Hari itu Marsih sedang bersih-bersi rumah. Murni ada di rumah keluarga Broto, karena mereka, dan tentu saja yu Sarni sudah sangat kangen sama Gilang.

Tiba-tiba terdengar mobil Restu memasuki halaman.

Marsih bergegas ke belakang untuk membuat minuman, seperti yang selalu diajarkan Murni setiap hari.

Ia meletakkan secangkir kopi di meja di ruang tengah.

Restu agak heran, karena Marsih mengenakan baju berkerah rendah, sehingga saat menyajikan kopi itu, ia seperti memamerkan sesuatu yang seharusnya tak terlihat. Restu adalah seorang lelaki. Lepas dari wajah Marsih yang kata Murni sangat menakutkan, tapi pemandangan itu tak luput dari perhatiannya.

Seperti mendapat angin, Marsih berlama-lama membungkukkan badannya. Tiba-tiba Restu sadar bahwa Marsih melakukan hal yang tidak semestinya.

“Sudah, tinggalkan saja cangkirnya, dan pergilah,” katanya sedikit kasar, karena kesal. Kesal kepada pembantu tak tahu malu itu, dan juga kesal pada dirinya yang hampir saja tergoda. Entah bagaimana, Restu tiba-tiba teringat Lisa. Begitulah dulu cara Lisa menggodanya.

“Setan alas. Mengapa Murni menerima pembantu seperti itu? Setelah sebulan, aku akan minta agar dia memecatnya,” geramnya dalam hati. Dan karena itu pula dia enggan menyentuh kopi di depannya. Ia memilih keluar untuk menjemput istrinya.


Besok lagi ya…

Bersambung ke Jilid 66

SELAMAT PAGI BIDADARI (64)

Karya Tien Kumalasari

Penjual buah itu membuka matanya lebar-lebar, menatap pria ganteng yang berdiri di depan dagangannya.

“Apa?” tanyanya tak percaya dengan apa yang didengarnya.

“Jual rujak?”

“Ini jam berapa mas? Malam hampir pagi, mas cari rujak? Benar, rujak? Apa saya salah dengar?”

“Benar Bu, istri saya ngidam, tengah malam minta dibeliin rujak. Sudah berjam-jam saya mencari, tidak ketemu.”

“Tentu saja tidak ketemu. Ya ampun, istri ngidam ya? Memang sih, orang ngidam suka yang aneh-aneh.”

“Kemana ya Bu, saya bisa menemukan rujak malam ini?”

“Ya capek, dan nggak bakalan dapat kalau mau cari orang jualan rujak di jam begini.”

“Aduh, istri saya bagaimana nanti?” bingung Rio.

“Begini saja, Mas beli beberapa buah, yang rasanya asem, lalu diparut.”

“Di sini ada parutnya?”

“Ya tidak ada, ini kan kios buah, bukan dapur. Jadi Mas harus membawa pulang, diparut sendiri. Syukur di rumah ada cabe, gula jawa, udah. Diuleg bareng begitu, jadi dah, rujaknya.”

“Oh, gitu ya Bu.”

“Hanya itu satu-satunya jalan, kalau mau cari orang jual rujak ya langka mas di jam segini.”

“Baiklah, pilihkan buah yang cocok untuk rujak.”

“Mas ini rupanya sangat mencintai istri ya. Baru hamil pertama?”

“Iya Bu,” kata Rio sambil mengulurkan sejumlah uang.

“Wah, untung Mas, ini saya ternyata masih punya sisa sambal lotis tadi siang. Ini untuk Mas saja. Nanti setekah buahnya diparut kasar, campur saja sama sambelnya ini, gak usah buat.”

“Oh, gitu ya. Semoga ada alatnya di rumah.”

“Kalau nggak ada parut, ya dirajak halus saja cukup Mas.”

Rio pulang dengan perasaan lega. Ia harus segera sampai ke rumah, langsung menuju dapur. Benar, tidak ada parutan, atau kalau ada, Rio tidak tahu tempatnya. Lalu dia merajang beberapa macam buah, kemudian di campur dengan sambal lotis pemberian penjual buah.

“Hm, selesai. Semoga enak,” gumam Rio sambil membawa rujak yang sudah ditempatkannya di dalam mangkuk.

Perlahan dia memasuki kamar, dan hatinya mencelos melihat istrinya tertidur pulas.

Rio meletakkan rujak di nakas, lalu menggoyang pelan tubuh istrinya.

“Bidadari ku, rujaknya sudah ada. Bangun yuk.”

Tapi jangankan bangun, Wulan malah mengomel kesal pada suaminya.

“Malam-malam begini suruh makan rujak sih mas? Ngantuk banget aku,” katanya sambil bergelung di bawah selimut.

Rio menghela napas berat.

“Ternyata orang ngidam terkadang mengesalkan juga,” gumamnya sambil menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, sementara sang istri terlelap tanpa mau diganggu.


Pagi-pagi sekali Wulan terbangun, terkejut melihat ada semangkuk rujak di atas nakas, sementara sang suami masih terlelap. Pikirannya melayang ke arah semalam, dan menduga-duga, bagaimana ada rujak di nakas dan masih tampak segar.

Wulan mencomotnya sedikit.

“Hm, sedaap,” katanya sambil membawa keluar rujak itu, lalu meletakkannya di meja makan.

Ia bergegas ke kamar mandi setelah membangunkan suaminya. Lalu keluar dari kamar, menuju dapur. Ia membuat minuman kesukaan suaminya dan juga untuk dirinya sendiri, kemudian duduk di ruang makan.

Ketika Rio keluar dari kamar, lalu menyusulnya ke ruang makan, ia melirik ke arah mangkuk rujak yang semalam dibuatnya. Matanya terbelalak, melihat mangkuk itu sudah kosong.

“Habis?”

“Apanya sih Mas?”

“Rujaknya.”

“Habis. Enak banget, pedas-pedas sedap dan seger. Beli di mana semalam?” tanyanya tanpa merasa bersalah.

“Di ujung dunia,” jawab Rio sambil menghirup kopi pahitnya.

“Kok diujung dunia sih? Nanti aku mau dibelikan seperti yang ini tadi.”

“Apa? Itu aku sendiri yang buat, tahu.”

“Kamu buat sendiri, Rio?”

“Memangnya ada, di malam buta orang jualan rujak?” kesalnya.

Wulan meraih tangan suaminya dan menciumnya lembut. Tapi masih ada lagi yang membuat Rio kesal.

“Nanti kamu harus buat lagi seperti ini.”

“Apa?”

“Harus seperti ini,” katanya tanpa dosa.

Rio mengangguk lesu, lalu meraih perut istrinya.

“Terus-terusin buat pusing ayahmu ya,” katanya lembut, lalu menundukkan kepalanya, menciumnya berlama-lama.


Siang hari itu sepulang dari kantor, dengan gembira Rio membawa dua bungkus rujak yang dibelinya di warung yang kebetulan dilewatinya. Berharap mendapat ucapan terima kasih, Wulan malah merengek mengatakan bahwa rasa rujaknya tidak sama.

“Mengapa beda Rio? Aku mau yang seperti tadi.”

“Kamu tidak dengar, itu aku membuatnya sendiri.”

“Kalau begitu buat sendiri oleh kamu. Anakmu tidak suka buatan orang lain,” katanya sambil tersenyum manja. Nggemesin kan? Padahal dia hanya beli buah, dan sambalnya dari sambal lotis yang dikasih penjual buah itu.

“Rio …” pintanya.

Masih ada sisa buahnya di kulkas, tapi sambelnya? Padahal dia lupa di mana warung buah yang semalam memberi sambal lotis itu.

Rio menggaruk-garuk kepalanya, dan Wulan tanpa merasa bersalah, menggoyang-goyangkan tangan suaminya agar segera membuat lagi rujak untuknya.

Jadi yang harus dilakukan Rio adalah mencari penjual buah itu, dan menanyakan di mana dia membeli sambal lotisnya, agar dia bisa memborong berikut penjualnya.

Yang agak membuatnya terhibur adalah saat itu Wulan menemaninya mencari penjual buah itu, yang setelah ketemu hanya tertawa terkekeh mendengar permintaan Rio.

“Sambal lotis itu, saya beli di tukang lotis kelilingan Pak, biasanya dia lewat menjelang sore.”

“Jam berapa?”

“Ya kira-kira satu atau dua jam lagi lah Mas.”

“Haruskah yang seperti tadi?” tanya Rio masih menawar kepada sang istri.

“Harus yang seperti tadi,” pintanya tanpa belas.

“Baiklah, ayo duduk dulu di bawah pohon itu sambil menunggu tukang lotisnya lewat.


Hari terus berlalu, Gilang sudah mulai belajar berjalan.

Kasih sayang Restu kepada Murni dan anaknya semakin besar. Kebahagiaannya adalah saat berada di rumah, bercanda dengan istri dan buah hatinya.

“Aku berharap, Gilang segera mendapat adik,” kata Restu sambil melirik istrinya.

“Gilang masih kecil, nanti aku tidak bisa merawat dengan baik,” sanggah Murni.

“Carilah pembantu, agat kamu tidak kecapekan.”

“Aku tidak kecapekan.”

“Kamu pasti kecapekan. Gilang sudah mulai aktif bermain, dan kalau sudah berjalan, dia memerlukan penjagaan ekstra. Jadi saranku, carilah pembantu.”

“Iya, nanti aku pikirkan.”

“Dan terutama, aku ingin agar Gilang segera punya adik,” Restu mengulang pernyataannya.

Murni hanya tersenyum malu. Kalau benar ada pembantu, pasti tak begitu repot menjaga Gilang dan calon adiknya.


Hari itu Murni sedang belanja di tukang sayur keliling, sementara Gilang duduk di atas sepeda dorong. Kalau tidak, pasti dia akan lari kemana-mana.

“Putranya semakin besar semakin kelihatan gantengnya ya Bu,” puji si tukang sayur.

“Iya. Dan semakin nakal tuh.”

“Tidak apa-apa anak kecil nakal Bu. Apa ibu tidak ingin mencari pembantu?”

“Iya, nanti gampang, kalau ada yang cocok,” jawab Murni sambil memilih sayuran.

Murni baru menenteng barang belanjaannya, sambil mendorong sepeda yang ditumpangi Gilang, ketika tiba-tiba terdengar suara seorang wanita.

“Permisi, Bu.”

“Ya, mau ketemu siapa ya?”

“Saya dari kampung, mau mencari pekerjaan. Barangkali ibu mau menerima saya bekerja sebagai pembantu di sini.”

Murni menatap wanita di depannya. Masih muda, tapi punya cacat dipipinya.


Besok lagi ya…

Bersambung ke Jilid 65

SELAMAT PAGI BIDADARI (63)

Karya Tien Kumalasari

“Kamu hamil?”

“Ya, ini adalah anak suami kamu. Jadi kamu tidak bisa menghalangi kami untuk bersatu,” kata Lisa penuh kemenangan.

Tapi bu Thomas bergeming. Ia kemudian tak menunjukkan reaksi apapun. Bahkan reaksi bakal kehilangan suami. Ia sudah tahu bahwa suaminya tak akan bisa dihalangi, dan sudah sejak kemarin-kemarin dia bermaksud menggugat cerai suaminya.

“Oh, itu bukan masalah untuk aku. Dengan kamu hamil ataupun tidak, laki-laki bernama Thomas itu sudah tidak berguna lagi untuk aku. Jadi silakan saja kalau kalian mau bersatu atau apapun yang ingin kalian lakukan. Aku datang kemari hanya untuk memberi tahu bahwa gelang yang dulu diberikannya kepada kamu, sudah aku berikan kepada pemilik aslinya,” kata bu Thomas sambil tersenyum sinis, lalu membalikkan tubuhnya meninggalkan Lisa yang berteriak-teriak marah.

“Itu milikku! Sudah menjadi milikku. Mengapa kamu kembalikan sama dia? Gelang itu sudah diberikannya sama akuuuu!” teriaknya.

Tapi dengan santai, bu Thomas membalikkan tubuhnya.

“Kamu harus tahu, bahwa gelang itu dicuri oleh pak Restu dari istrinya. Jadi kamu ingin merasa memiliki barang curian itu? Silakan saja kamu urus gelang itu, kalau kamu ingin urusan kamu dengan yang berwajib bertambah rumit.”

Lisa masih berteriak histeris, sementara bu Thomas sudah meghilang di balik pintu,

Petugas kemudian membawanya lagi masuk ke dalam ruang tahanan.


“Aku menggugat cerai kamu, dan terserah apa yang ingin kamu lakukan. Kamu bebas.”

“Mengapa begitu Bu, aku sudah minta maaf, dan berjanji untuk_……..”

“Tidak ada janji yang akan aku dengar. Segera kemasi barang-barang kamu.”

“Kamu benar-benar ingin bercerai dari aku?”

“Lalu apa lagi? Kamu kan tidak bisa melupakan dia? Lagi pula dia sudah mengandung anak kamu.”

“Apa?”

“Dia hamil. Raih kebahagiaan kamu,” kata bu Thomas sinis, lalu berjalan meninggalkan suaminya yang masih bengong di ruang tengah.

Pak Thomas segera berdiri, mengambil kunci mobil. Dia harus bertanya kepada Lisa perihal kehamilan itu.


“Apa benar kamu hamil?”

“Apa kamu membawakan makanan untuk aku? Hanya sekali kamu mengirimi aku makanan, setelah itu tidak lagi.”

“Ya, maafkan aku. Munah bertemu istriku dan dia melarang Munah melakukannya.”

“Tapi sekarang aku lapar, dan ingin makan sesuatu yang enak disantap manusia. Bukan sampah.”

“Tenanglah Lisa, nanti aku pesankan makanan untuk kamu. Sekarang ini aku hanya ingin tahu, benarkah kamu hamil?”

“Iya, aku memang hamil, dan aku ngidam makanan enak.”

“Baiklah, aku akan segera bercerai dengan istri aku, lalu aku akan menikahi kamu.”

“Bagus. Tapi terlebih dulu kamu harus membebaskan aku.”

“Kalau yang itu aku tidak bisa menjanjikannya. Kasus kamu sudah dilimpahkan ke kejaksaan dan yang melaporkan adalah istriku atas nama wanita yang kamu tabrak itu. Kamu tetap harus menjalani proses hukum.”

“Bukankah kamu punya uang?”

“Itu tidak akan berarti apa-apa. Jadi jalani hukuman kamu terlebih dulu, tidak akan lama, aku akan menyewa pengacara untuk meringankan hukuman kamum sementara aku akan menikahi kamu. Setelah ini.”

“Cepat lakukan, belikan aku rumah, dan juga mobil.”

“Jangan dulu memikirkan itu, yang penting bayi yang kamu kandung harus ada bapaknya.”

“Tapi bayi ini tak mau bapaknya miskin. Ia harus punya segalanya.”

“Lisa, kamu harus tahu, aku tak bisa melakukan seperti dulu aku melakukannya. Perusahaan yang aku kuasai, sebenarnya milik istriku.”

“Apa? Jadi kamu sebenarnya miskin? Tidak punya apa-apa.”

“Lisa, bukankah kita saling mencintai? Apapun yang terjadi, kaya atau miskin, kalau kita bisa selalu berdua, maka kita akan bahagia.”

“Mana mungkin? Aku tidak mau lelaki miskin,” sergahnya tanpa perasaan.

“Bukankah kita saling mencintai?”

“Cinta tidak akan pernah ada selama kita hidup kekurangan. Sebaiknya tinggalkan aku dan beri aku makanan enak terlebih dulu.”

Pak Thomas meninggalkan Lisa dengan perasaan kesal Gadis yang digilainya ternyata hanya suka pada hartanya. Sementara ia sebenarnya sudah tak punya apa-apa.

Lisa kembali ke ruang tahanan dengan rasa tak kalah kesalnya. Tadinya ia bermaksud mengikat pak Thomas, agar tetap bisa bersenang-senang bersamanya, Tapi ternyata pak Thomas bakalan menjadi miskin karena harta terbesar yang dimiliki keluarga Thomas adalah milik sang istri. Lisa mulai berpikir langkah apa yang harus dilakukan. Kurungan di tempat tahanan, yang pastinya juga akan menggiringnya ke penjara, tak membuatnya jera. Ambisi akan harta sangat menarik baginya. Hidup susah bukanlah impiannya. Maka iapun siap melakukan segala cara. Barangkali nanti, setelah keluar dari penjara.


Wulan yang sudah mendapatkan karunia kehamilan, merasa bahwa bayinya tidak terlalu rewel. Ia hanya sering kali merasa ingin makan sesuatu yang tak bisa ditahannya, tidak pernah merasa mual apa lagi muntah.

Seperti malam itu, tiba-tiba Wulan merengek minta dibelikan rujak. Padahal saat itu tengah malam, dan Rio sudah terlelap sejak beberapa waktu yang lalu.

“Rio … bangun dong Rio …”

Rio menggeliat, lalu beralih posisi menjadi menghadap ke arah istrinya, dari yang semula tidur tertelentang.

“Hm…?”

“Mau rujak dong,” rengeknya.

Rio terbelalak. Ia langsung duduk sambil mengucek-ucek matanya.

“Kamu bilang apa?”

“Pengin rujak, yang pedas, yang asam.”

“Wulan, besok pagi aku akan beli sebanyak-banyaknya untuk kamu, sekarang tidurlah.”

“Mau sekarang,” rengeknya lagi.

“Apa? Ini tengah malam. Mana ada penjual rujak?”

“Aku pengin sekali, kalau tidak makan rujak sekarang, bayiku akan merengek-rengek terus.

“Bayi … selalu saja alasan bayi setiap kali minta sesuatu. Bukannya Rio keberatan menenuhinya. Berapa sih harga sepiring rujak? Tapi ini tengah malam. Mana ada warung rujak ditengah malam begini?

“Wulan, bidadari cantikku ….”

Rio berusaha membujuk dengan segala cara, tapi yang diucapkan Wulan hanya rujak.

“Mau rujak.”

Bukankah rujak sangat segar dimakan di tengah hari, yang panas, dimana tubuh terasa gerah, lalu dimakan sambil duduk dibawah pohon, dan_”

“Sekarang.”

“Wulan?”

“Mau rujak.”

Rio bangkit dari tidurnya, turun dari tempat tidur. Lalu mengambil ponselnya, mencari di mana ada penjual rujak di tengah malam begini. Nihil. Rio menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Rio ….” Wulan merengek, tak peduli wajah suaminya sudah kucel karena bingung.

“Ya, ya … baiklah.”

Rio keluar dari kamar, setelah mengenakan celana panjang dan kaos singlet sekenanya. Diambilnya kunci mobil, lalu membawa keluar mobil itu dari halaman.

“Mengapa tidak minta segenggam emas saja agar aku dengan mudah memberikannya?” gerutunya sambil terus mengendarai mobilnya, entah kemana.

Pertokoan sudah lama tutup. Dimana-mana sepi, ada beberapa warung makan yang masih buka, tapi tak satupun menyediakan rujak. Ia sering mendengar penjual tertawa setiap kali dia bertanya ‘adakah rujak? Yang pedas, yang asam?’

Rio masuk ke dalam mobilnya yang masih diparkir di pinggir jalan, diantara beberapa warung makan yang masih terbuka.

Tiba-tiba ia melihat seorang perempuan, penjual buah, terkantuk-kantuk diantara bermacam buah dagangannya. Rio turun, mendekati perempuan yang setengah memejamkan matanya sambil bersandar pada salah satu keranjang dagangannya.

“Bu, punya rujak?” tanyanya hati-hati.


Besok lagi ya…

Bersambung ke Jilid 64

SELAMAT PAGI BIDADARI (62)

Karya Tien Kumalasari

“Murni, kenapa bengong? Aku mau melihat anakku, sudah pulang kan? Pasti dia ganteng. Mana dia?”

Tiba-tiba Murni teringat ketika Wulan ingin mengadopsi anaknya. Apakah bu Wulan masih menginginkan anak itu? Pikir Murni. Sementara itu Wulan sangat tak sabar melihat reaksi Murni yang tampak bingung.

“Mas Restu, Gilang sehat kan?” akhirnya Rio yang bertanya pada Restu.

“Sehat kok, dia ada di kamarnya. Masuklah. Murni, kenapa kamu bengong?”

Wulan dan Rio bergegas masuk ke kamar yang ditunjukkan Restu mengagumi bayi montok dan ganteng yang sedang terlelap di dalam box nya.

Restu mendekati Murni.

“Murni, kamu kenapa?”

“Mas Restu, jangan ijinkan kalau bu Wulan mau mengambil anak kita,” bisiknya lirih.

Restu menatapnya heran.

“Mengapa kamu berpikir demikian?”

“Dulu bu Wulan menginginkan anak itu, dia selalu bilang ‘anakku’ … ‘anakku’ …”

“Ya ampun Murni, itu ucapan Wulan jaman kapan? Barangkali saat sebelum kamu menjadi istriku. Ya nggak?”

“Iya sih, tapi ucapan itu selalu teringat oleh saya, Bagaimana kalau ….”

“Tidak Murni, Gilang ada bapaknya, mana mungkin Wulan masih menginginkannya? Kamu jangan seperti anak kecil dong Murni, tak mungkin Wulan masih menginginkannya.”

“Benarkah?”

“Tentu saja benar. Ayo kita lihat, mereka sangat mengagumi anak kita.”

Dan tiba-tiba Murni melihat Wulan keluar dari kamar sambil menggendong Gilang yang masih terlelap.

“Murni, tak tahan aku untuk tidak segera meggendongnya. Tidurnya nyenyak sekali, lihat, aku gendong juga dia masih saja terlelap,” kata Wulan sambil mendekap Gilang.

Murni menatapnya lekat-lekat.

“Wulan sudah sangat ingin menggendong Gilang,” kata Rio yang berdiri di samping istrinya.

“Apakah … bu Wulan … masih menginginkan Gilang?”

“Ya ampun Murni, anakmu begitu montok dan menggemaskan, pasti ASI nya sangat bagus. Tentu saja aku menginginkannya.”

“Apa? Tapi Gilang milik saya, maaf_”

“Murni, apa maksudmu? Aku tidak akan mengambil Gilang dari kamu. Aku akan mendapatkan Gilang yang lain,” kata Wulan sambil mengelus perutnya.

“Bu Wulan hamil?”

“Aku mengharapkannya. Tapi sekarang belum diijinkan.”

Murni menghempaskan napas berat. Ya Tuhan, dia merasa malu karena salah sangka.

“Bu Wulan, maafkan saya, saya masih ingat ketika bu Wulan bermaksud mengambil anak saya, waktu itu,” kata Murni lirih.

Wulan tertawa keras, sehingga bayi yang digendongnya terjaga. Wulan segera mengayunkannya dan menepuk punggungnya lembut.

“Wulan, kamu tertawanya terlalu keras, lihat Gilang sampai kaget tuh,” tegur Rio. Restu hanya tertawa.

Murni ikut tertawa, untuk menutupi rasa malunya karena berprasangka buruk pada Wulan.

“Wulan, aku mengatakannya dulu ketika melihat kamu kebingungan. Aku berusaha meringankan beban kamu dengan niat mengambil bayimu, agar kamu tidak selalu mengatakan bahwa kamu membencinya, Tapi setelah ada mas Restu, mana mungkin aku mau mengambilnya?”

“Iya. Kami sedang giat nih,” canda Rio diikuti tawa Restu.

“Ih, Rio, nggak tahu malu deh,” ejak Wulan.

“Mengapa harus malu? Mas Restu dan Murni bukan anak kecil. Ya kan? Kalian nanti juga pasti akan segera membuatkan Gilang adik baru kan?” kata Rio.

“Pasti lah, kalau Murni sudah siap,” kata Restu, sama tak tahu malunya, membuat Murni tersipu, kemudian menarik tangan Wulan, diajaknya menjauh dari kedua laki-laki mesum itu.


“Bapak nggak ke kantor hari ini?” tanya bu Broto pada suatu pagi.

“Ibu gimana sih, ini kan hari Minggu?”

“Oh ya ampun, ini Minggu ya, kok ibu sampai lupa sih.”

“Memangnya kenapa? Mau ngajak jalan-jalan?”

“Nggak, aku mau ke rumah Restu. Kangen melihat Gilang lagi.”

“Ibu tuh, kan baru dua hari yang lalu kita kesana?”

“Iya sih, tapi sekarang pengin lagi. Tadi ibu sudah menyuruh Sarni untuk masak-masak, nanti sekalian kita bawakan untuk Wulan.”

“Terserah Ibu saja, aku juga suka melihat si gembul Gilang. Heran juga ya, lahirnya prematur, tapi kemudian sekarang tumbuh sangat sehat.”

“Karena Murni memiliki ASI yang sehat dan berlimpah. Itu penting untuk pertumbuhan bayi. Sarni pasti juga suka menatap cucunya lama-lama.”

“Kalau kita bertiga kesana, pasti berebut menggendongnya.”

“Habis, Gilang sangat menggemaskan.”

Tiba-tiba ponsel bu Broto berdering.

“Ini dari Restu,” kata bu Broto sambil mengangkat ponselnya.

“Ya Restu, ibu sama bapak mau ke rumah kamu, sama Sarni juga pastinya.”

“Oh ya, baiklah. Tadi mas Rio sama Wulan juga dari sini.”

“Sekarang masih ada kan? Jangan boleh pulang dulu, biar kita ketemuan di situ, rame-rame. Sarni masak enak untuk kalian.”

“Tapi mas Rio buru-buru ke rumah sakit.”

“Lhoh, kenapa? Siapa yang sakit?”

“Tiba-tiba Wulan merasa pusing, dan hampir pingsan. Mas Restu melarikannya ke rumah sakit. Restu mau menyusul ke sana.

“Aduh, kenapa anak itu? Ya sudah, ibu segera kesana, setelah itu akan menyusul ke rumah sakit. Jangan pergi dulu, tungguin kami ya.”

Bu Broto meletakkan ponselnya dengan panik.

“Ada apa? Siapa yang sakit?” tanya pak Broto.

“Tadi Rio sama Wulan ada di sana. Tiba-tiba Wulan pusing atau lemas, entahlah, Rio melarikannya ke rumah sakit.”

“Sakit apa?”

“Belum jelas, Restu baru mau menyusul ke sana.

“Ya sudah, ayo kita berangkat sekarang.”


Bu Broto panik, keinginan untuk menimang Gilang dikesampingkannya. Mereka meninggalkan yu Sarni di rumah, bersama Murni, yang lain segera menyusul ke rumah sakit.

Ketika mereka sampai di rumah sakit, mereka melihat Rio duduk termenung di ruang UGD, tampak gelisah.

Pak Broto dan Restu mendahului menghampirinya.

“Kenapa istri kamu?”

“Entahlah Pak, tadi hampir pingsan tiba-tiba.”

“Belum makan dari pagi, barangkali?”

“Sebenarnya sudah, tapi tadi Wulan makan hanya sedikit, katanya ingin segera melihat Gilang.”

“Nah, itu sebabnya,” kata bu Broto.

Tapi Rio merasa, bahwa pasti sakitnya Wulan bukan karena sebab sesederhana itu. Ia tetap saja gelisah.

Begitu dokter keluar dari sana, Rio memburunya.

“Bagaimana istri saya dok? Gawatkah sakitnya?”

“Sangat gawat,” dokter itu menampakkan wajah serius.

“Kenapa dia? Sakit apa? Tolong sembuhkan istri saya, dengan cara apapun, dengan biaya berapapun,” pinta Rio memelas.

Tapi tiba-tiba dokter itu tersenyum lebar.

“Pak Rio, istri bapak sedang mengandung,” kata dokter sambil mengulurkan tangannya.

“Selamat ya.”

Rio terpana, tapi bagai anak kecil kemudian dia melonjak kegirangan.

“Bapak, ibu .. Rio akan menjadi bapak,” pekiknya tak terkendali.

Dan kecemasan yang semula melanda, berubah menjadi senyuman sumringah.


Siang hari itu bu Thomas kembali menemui Lisa di rumah tahanan. Lisa yang berkali-kali mengira Munah datang mengirim makanan, merasa kecewa. Sudah berhari-hari Munah tidak datang. Tentu saja, karena bu Thomas melarangnya.

“Kenapa kamu datang lagi kemari? Sudah cukup semuanya, jangan lagi mengejek aku.”

“Aku hanya ingin mengatakan, bahwa gelang itu sudah aku kembalikan kepada pemiliknya, karena dulu pak Restu mencuri dari istrinya.

“Apa? Gelang itu sudah diberikannya sama aku, jadi dia milik aku.”

“Tidak, kamu memilikinya dengan cara yang tidak semestinya. Sekarang aku tidak akan datang lagi kemari. Nikmati hari-hari kamu dipenjara, karena tak lama lagi kasus kamu akan segera disidangkan.

“Suruh pak Thomas datang kemari,” tiba-tiba kata Lisa.

“Memangnya aku pesuruh kamu?”

“Kamu harus tahu, aku sedang mengandung anaknya.”

Bu Thomas terperangah.


Besok lagi ya…

Bersambung ke Jilid 63

SELAMAT PAGI BIDADARI (61)

Karya Tien Kumalasari

“Oh, ada bu Thomas, rupanya?” sapa Murni ramah.

Bu Thomas menurunkan tangannya, ketika melihat Murni, apa lagi ada wanita lain bersamanya.

“Pak Restu, saya sama Trimo mau pamit dulu.”

“Apa mau menunggu sebentar, nanti saya antarkan, Bu.”

“Tidak usah Pak, saya mau mampir belanja sekalian. Trimo, ayo pamit dulu sama pak Restu,” teriak bu Trisni kemudian kepada Trimo, yang masih asyik berdiri di depan jendela.

Trimo setengah berlari mendekati ibunya.

“Kita pulang dulu, lain kali kemari lagi. Semoga saat kita kemari, adik Gilang sudah ada di rumah,” kata bu Trisni lagi.

Trimo mengangguk, kemudian mengulurkan tangannya kepada Restu dan Murni, tak lupa menciumnya, kemudian mereka berlalu.

Murni masih berdiri diantara bu Thomas dan suaminya.

“Tampaknya sedang membicarakan sesuatu? Bagaimana kalau duduk di sana, supaya enak kalau bicara. Saya tidak akan mengganggu, karena akan memberikan ASI untuk Gilang,” kata Murni yang kemudian membalikkan tubuhnya, tapi kemudian Restu memegang lengannya.

“Kamu di sini saja, supaya tahu apa yang akan bu Thomas katakan. Tak akan ada yang akan aku sembunyikan dari kamu,” kata Restu sambil menarik Murni agar duduk bersama mereka.

Murni tak bisa menolak, ketika melihat bu Thomas mengangguk kepadanya.

“Barangkali ada sebuah masa lalu dari pak Restu yang bu Murni harus tahu. Tapi sebelumnya bu Murni harus maklum, karena yang namanya masa lalu itu, memang seharusnya sudah berlalu, dan tidak usah dipikirkan lagi. Yang penting menjalani hidup yang dimulai dari sebuah niat baik.”

Murni mengangguk, dan Restu harus berterima kasih kepada bu Thomas karena telah mengungkapkan apa yang sebenarnya ada di dalam hatinya. Ia hanya berharap, agar Murni bisa mengerti, karena Restu sudah tahu, ketika bu Thomas mengatakan tentang ‘sebuah gelang’, maka bu Thomas pasti sudah tahu tentang asal usul gelang itu.

”Apakah bu Murni bisa mengerti apa yang saya katakan?”

“Saya akan mencoba untuk mengerti,” jawabnya bersungguh-sungguh.

“Sepertinya saya pernah menceritakan sekilas tentang kelakuan suami saya, yang mengadakan hubungan dengan seorang pelakor yang mata duitan. Tentulah, kebanyakan dari mereka itu kan mengganggu rumah tangga orang, karena menginginkan hartanya, itu yang nomor satu, ya kan?”

“Wanita itu adalah yang menabrak bu Murni sehingga bu Murni harus melahirkan paksa.”

Murni mengangguk mengerti.

“Apa yang bu Murni pikirkan sehingga wanita itu ingin mencelakai bu Murni?”

Murni menggelengkan kepalanya, karena memang dia tidak tahu.

“Apakah pak Restu ingin melengkapi cerita saya? Saya takut salah.”

“Murni, mungkin sedikit banyak kamu sudah tahu, betapa buruknya kelakuan aku beberapa waktu lalu, ketika aku masih berstatus suami.”

Lalu dengan gamblang Restu menceritakan semua kelakuannya dan hubungannya dengan Lisa, yang barangkali Murni sedikit banyak sudah mengetahuinya.

“Tapi kan semuanya sudah berakhir, dengan diusirnya aku dari rumah, lalu aku mencoba hidup mandiri, dan pak Rio membantu aku sehingga aku bisa mengayuh hidup bersih, dan berusaha menebus semua kesalahan aku. Pada suatu hari Lisa datang ke bengkel, ingin menjalin kembali hubungan dengan aku, tapi aku menolaknya. Barangkali karena itulah dia berusaha mencelakai kamu.”

Lalu Murni teringat pada wanita yang selalu mengganggunya, yang pastilah itu adalah Lisa.

“Kamu bisa mengerti kan Murni? Sekarang aku bukan lagi Restu yang dulu. Sekarang aku adalah suami kamu, yang akan dengaan setia mendampingi kamu, bersama-sama merawat dan mencintai anak kita Gilang, sampai ajal menjemput aku.”

Murni terharu mendengar penuturan Restu. Rasa cemburu yang pernah mengganggunya sekarang tak ada lagi, bersamaan dengan lahirnya Gilang, ketulusan hati Restu, ditambah ucapannya di siang hari itu.

“Sekarang aku sudah tahu, bagaimana sebenarnya masa lalu pak Restu. Dan karena Bu Murni bisa mengerti, maka saya akan mengatakan sesuatu, tentang gelang ini.”

Restu pun belum tahu apa yang akan dikatakan bu Thomas. Apa dia tahu bahwa dirinyalah yang telah memberikan gelang itu?

“Ketika saya mengetahui perselingkuhan suami saya, saya melabraknya dan meminta semua perhiasan yang dipakainya. Dia mengatakan bahwa gelang ini milik dia sendiri. Tapi mana aku percaya? Gelang ini mahal harganya, dan dia hanya bisa memiliki ketika seseorang memberinya, dan seseorang itu pastilah suami saya. Tapi kemarin dia mengatakan bahwa gelang itu pemberian pak Restu. Sekarang, mohon maaf bu Murni, saya hanya ingin membuktikan kata-katanya, apa itu benar?”

Murni menatap Restu.

“Sebetulnya itu hanyalah sebuah bukti kejahatan saya waktu itu. Saya mencuri gelang istri saya, dan saya berikan pada dia,” kata Restu sendu.

“Oh, kalau begitu saya akan mengembalikannya pada pak Restu,” kata bu Thomas sambil memberikan gelangnya kepada Restu.

Restu menerimanya, tapi kemudian memberikannya kepada Murni.

“Apa ini? Aku tidak mau barang curian,” kata Murni sambil mengulurkan kembali gelangnya.

“Bukan untuk kamu, aku minta tolong kepada kamu, agar kamu mau mengembalikannya pada Wulan.”

“Siapa Wulan?”

“Bekas istri saya. Kami menikah tanpa dasar cinta, karena waktu itu saya tergila-gila sama Lisa. Tapi saya sudah melupakan semuanya.”

“Oh, ya ampun, rumit sekali kisah ini. Semula Lisa memintanya, tapi aku tidak mau memberikannya, karena aku tidak percaya. Dan memang seharusnya gelang itu kembali kepada yang berhak. Sekali lagi saya moho maaf, terutama kepada bu Murni.”

“Tidak apa-apa, saya tahu bahwa bu Thomas adalah orang yang dikhianati. Semoga suami bu Thomas segera sadar akan kesalahannya.”

“Tampaknya akan sulit. Suami saya masih berusaha terus menghubunginya. Saya kira lebih baik kami akan bercerai,” kata bu Thomas dengan wajah sedih.

“Apa tidak bisa semuanya diperbaiki?”

“Suami saya sangat tergila-gila pada pelakor itu. Dia menyuruh orang untuk memberi dia makanan enak setiap hari, selama dia ada di dalam tahanan. Itu menunjukkan bahwa dia tidak benar-benar bertobat. Jadi saya pikir lebih baik kami bercerai.”


“Ini gelang aku?” Wulan terbelalak ketika melihat gelangnya kembali, ketika dia dan suaminya sedang berada di rumah Restu, setelah Gilang sudah boleh pulang ke rumah.

“Hanya karena kebesaran Allah, gelang bu Wulan bisa kembali. Perempuan itu memang tak berhak memilikinya,” kata Murni.

“Terima kasih Murni, aku akan mengembalikannya pada ibu, karena ibu lah yang telah memberikan gelang ini ketika kami baru menikah dulu.”

“Bukankah sudah diberikannya gelang itu pada Bu Wulan? Mengapa harus dikembalikan?”

“Itu ketika aku baru saja menikah dengan mas Restu. Pernikahan yang tanpa dasar saling cinta dan sangat menyiksa. Tapi kan sekarang aku sudah punya suami yang lain. Ibu berhak menerimanya kembali.”

“Belum tentu bu Broto mau menerimanya kembali.”

“Entahlah, apa kata ibu nanti, yang penting aku akan mengembalikannya dulu pada ibu.”

“Ya sudah, terserah bu Wulan saja.”

“Sekarang aku ingin melihat anakku dulu.”

Terlihat rona muka terkejut di wajah Murni, ketika mendengar Wulan memanggil Gilang dengan sebutan ‘anakku’.


Besok lagi ya…

Bersambung ke Jilid 62

SELAMAT PAGI BIDADARI (60)

Karya Tien Kumalasari

Seorang wanita berdiri di depan teras rumahnya, bersama dengan seorang laki-laki berumur enam tahunan. Restu belum pernah melihat mereka.

“Selamat siang,” wanita itu menyapa.

“Selamat siang. Mm, ibu mencari siapa ya?” tanya Restu heran.

“Bu Murni ada?”

“Oh, istri saya?”

“Saya mau ketemu bu Murni. Apa beliau ada?”

“Oh, ada. Ibu ini siapa ya? Saya suaminya.”

“Saya bu Trisni, dan ini anak saya, Trimo.”

“Oh, saya pernah mendengar tentang bu Trisni dan Trimo. Silakan masuk. Murni pasti senang. Dia baru beberapa hari pulang dari rumah sakit.”

“Bu Murni sakit apa?”

“Bukan sakit, tapi melahirkan.”

“Lhoh, memangnya sudah waktunya?”

“Belum sih, tapi karena jatuh, lalu bayinya harus dikeluarkan dengan operasi. Silakan duduk dulu Bu, saya akan panggilkan Murni,” kata Restu sambil beranjak ke dalam rumah.

“Rupanya itu suaminya?” bisik bu Trisni.

“Ganteng ya Bu.”

“Iya. Syukurlah, ibu senang.”

“Ya ampun, bu Trisni? Kok bisa sampai ke sini?” sapa Murni ramah, sambil merangkul bu Trisni.

“Trimo, kamu masih ingat rumah aku ya,” kata Murni

“Tentu saja masih. Ibu yang ingin kemari, lalu Trimo antarkan,” kata Trimo.

“Naik apa tadi?”

“Naik angkot.”

“Oh, syukurlah, tidak jalan kaki seperti Trimo ya. Trimo itu sukanya jalan kaki sih.”

“Iya Bu, sudah biasa begitu. Mana adik bayi? Pengin lihat, katanya sudah lahir?” tanya bu Trisni.

“Rupanya pak Restu sudah cerita ya? Itu suami saya.”

“Iya, tadi sudah cerita, kalau bu Murni melahirkan paksa karena jatuh.”

“Iya bu, benar. Sedang mendapat halangan.”

“Mana dia? Pengin melihatnya, pasti lucu deh.”

“Dia belum boleh dibawa pulang Bu, masih di dalam inkubator.”

“Waduh, sayang sekali.”

“Kalau ibu mau melihatnya, saya mau ke rumah sakit, mengirim ASI.”

“Oh, bagus sekali, biarpun di rumah sakit, tetap bisa minum Asi ya.

“Iya, sebentar, saya buatkan minum,” kata Murni sambil beranjak ke dalam.

“Mau ke rumah sakit?” tanya Restu yang rupanya mendengar pembicaraan mereka.

“Iya. Bu Trisni ingin melihat Gilang.”

“Biar aku antar saja.”

“Baiklah, saya buatkan dulu minum untuk mereka, kasihan, udara panas sekali.”


Trimo senang sekali melihat adik Gilang, walau hanya boleh melihat dari balik kaca. Bayi mungil itu tampak lucu dan menggemaskan.

“Ya Allah, putra ibu sangat ganteng. Dia tampak kuat. Saya yakin sebentar lagi dia pasti sudah boleh dibawa pulang,” kata bu Trisni dengan wajah berseri.

“Aamiin. Semoga ya Bu, semua orang sudah ingin menggendongnya.”

“Tentu saja. Adik Gilang sangat menggemaskan, aku juga ingin menggendongnya,” kata Trimo.

“Nanti, kalau kamu ke sini lagi, adik Gilang sudah pasti siap berada di rumah. Dan kamu boleh menggendongnya,” kata Murni.

“Ee, belum boleh ‘kali. Trimo badannya kecil begitu, mana kuat menggendong adik bayi?” kata ibunya.

“Ya kuat lah Bu, adik kan jauh lebih kecil dari Trimo. Pokoknya Trimo mau, kalau lain kali datang kemari, harus bisa menggendongnya.”

“Iya, baiklah Mo, jangan khawatir,” kata Murni menenangkan Trimo.

“Apakah Trimo boleh minta adik bayi sama ibu?” tiba-tiba kata Trimo yang mengejutkan semua orang.

“Trimo, ibu tidak bisa lagi mengandung adik bayi,” kata bu Trisni sambil mengelus kepala Trimo.

“Trimo, adik Gilang ini juga adiknya Trimo. Jadi untuk apa mau adik lagi?” sambung Murni sambil tersenyum.

“Baiklah kalau begitu.”

Ketika Murni dan bu Trisni duduk di sebuah bangku tunggu, Trimo masih tak bosan-bosannya menatap bayi kecil bernama Gilang itu.

“Saya bersyukur, suami bu Murni tampaknya sangat baik,” kata bu Trisni ketika mereka duduk berdua.

“Iya Bu. Akhirnya saya tahu, bahwa dia sebenarnya baik. Dia juga sangat melindungi dan menyayangi saya.”

“Kelihatan kalau dia sangat menyayangi bu Murni.”

“Saya berterima kasih pada bu Trisni, yang selalu memberi semangat saya, sehingga saya bisa menemukan jalan terbaik untuk hidup saya.”

“Sebagai sesama perempuan, saya wajib memberi dorongan, agar bu Murni bisa melakukan yang terbaik, tidak terombang ambing oleh keraguan.

“Iya benar. Saya bahagia menemukan saudara tak terduga, yang sangat perhatian pada saya. Saya harap kita akan terus begini, seperti saudara, saling menyayangi dan memperhatikan.”

“Tentu saja Bu. Saya bahagia punya saudara seperti ibu,”


Lisa terkejut, ketika siang itu, petugas mengatakan bahwa dia dijenguk oleh seorang perempuan yang semula dikiranya Munah, yang membawa makanan enak untuknya, seperti saat pertama kali dia datang. Tapi ternyata bukan. Lisa terlanjur keluar, ketika menyadari bahwa yang datang adalah bu Thomas.

“Untuk apa dia datang kemari,” gumam Lisa sambil melangkah mendekat, kemudian duduk di hadapan bu Thomas.

“Bagus sekali. Beberapa hari di sini, wajah kamu tampak kusam. Hilang kecantikan kamu yang selalu kamu pergunakan untuk merayu suami-suami orang,” kata bu Thomas dengan senyuman sinis.

“Apa ibu datang kemari hanya untuk menghina saya?”

“Tentu saja, karena kamu memang wanita yang sehina-hinanya wanita.”

“Hentikan semua itu. Ibu sendiri juga bukan wanita terhormat,” kata Lisa balik menyerang bu Thomas.

Bu Thomas membulatkan matanya. Sangat marah ketika Lisa mengatakan bahwa dirinya bukan wanita terhormat.

“Apa maksudmu?”

“Ibu lupa ya, ibu telah merampas semua perhiasan yang saya pakai. Apakah menurut ibu, itu adalah perbuatan terhormat?”

“Kamu itu ngomong apa? Bukankah aku minta barang-barang yang dibeli suami aku untuk diberikannya kepada kamu? Jangan ingkar, bukankah semua ini kamu terima dari suamiku? Dan kamu tahu, yang dipergunakan untuk membeli semua ini adalah uangku.”

“Bohong.”

“Itu benar, sayang. Dia mengambil uang perusahaan, sementara perusahaan itu milik aku. Jadi aku minta kembali perhiasan-perhiasan itu, apa aku salah?”

“Bagaimana dengan gelang yang sekarang Ibu pakai itu?”

“Ini juga dibeli dengan uangku bukan?”

“Tidak mungkin. Sejak kemarin-kemarin aku sudah bilang bahwa itu bukan dari pak Thomas, tapi dari pacarku yang lain.”

“Oh ya?” bu Thomas terkekeh geli.

“Itu benar. Gelang itu pembelian dari Restu, kekasih lamaku. Bukan dari suami Ibu.”

Bu Thomas terbelalak.

“Haruskah aku percaya pada ucapan seorang pelakor sepertimu?”

“Tanyakan saja sama dia, kalau Ibu tidak percaya.”


Bu Trisni dan Murni masih asyik bercerita, dan Trimo masih tetap berdiri di luar kaca jendela kamar bayi, dimana Gilang terlelap di dalamnya.

Restu yang menunggu di kejauhan, tiba-tiba terkejut ketika seseorang mendekatinya.

“Bu Thomas?”

“Apa kabar pak Restu, apa istri Anda baik-baik saja?”

“Alhamdulillah Bu, itu … sedang duduk di sana, menemani seorang kerabat. Ibu mau menengok bayi saya? Dia masih harus ada di dalam inkubator.”

“Oh ya, tentu saja, karena dia lahir prematur. Semoga segera pulih sehat dan bisa dibawa pulang ke rumah.”

“Aamiin. Terima kasih perhatiannya. Apa Ibu mau melihat bayi saya?”

“Saya sudah pernah membezoeknya beberapa hari setelah dilahirkan. Kali ini saya mau bicara sesuatu.”

“Ada apa ya Bu?”

“Tentang gelang ini.”

Pada saat itu Murni dan bu Trisni sedang mendekat ke arah Restu, karena bu Trisni mau pamit pulang. Murni heran ketika melihat bu Thomas mengacungkan sebelah tangannya ke arah Restu.


Besok lagi ya…

Bersambung ke Jilid 61

SELAMAT PAGI BIDADARI (59)

Karya Tien Kumalasari

Munah terkejut, kemudian pengendara mobil itu berhenti.

“Dari mana kamu Munah?” yang menyapa adalah seorang wanita, yang duduk di samping kemudi. Dia bu Thomas, sedangkan pengemudinya adalah pak Thomas. Munah menatap mereka, tapi ia melihat pak Thomas mengedipkan sebelah matanya. Munah mengerti, bahwa dia harus berbohong.

“Munah. Ditanya kok diam saja?” tanya bu Thomas sedikit keras.

“Ini Bu, aduh … saya hanya kaget, saya kira ada mobil mau menabrak saya,” jawab Munah yang memang benar-benar kaget.

“Aku tuh bertanya, kamu kok berada di sini itu dari mana?”

“Dari … situ Bu, mencari makanan buat simbok saya,” jawab Munah sekenanya.

“Kok cari makanan sampai di sini, bukankah dekat rumah kamu juga ada pasar?”

“Sudahlah Bu, kamu kenapa juga, nanyanya begitu amat. Namanya orang kan ya pasti butuh ini … itu … Kamu nanyanya seperti maksa begitu,” kata pak Thomas yang mulai kesal. Lagi pula lama-lama dia tahut, kalau Munah sampai keceplosan. Kemudian dia menjalankan mobilnya lagi, karena memang dari tadi dia tidak mematikan mesinnya.

“Bagaimana sih Mas ini? Orang lagi ngomong kok mobilnya dijalankan,” omel bu Thomas.

“Habis kamu ngomongnya yang enggak-enggak. Kenapa juga, melihat Munah langsung minta berhenti. Kirain ada yang perlu, ternyata hanya nanya hal yang nggak jelas,” omel pak Thomas sambil terus menjalankan mobilnya.

“Mas tampak aneh. Seperti nggak suka aku bertanya sama Munah. Apa ada sesuatu?”

“Makin lama kamu tuh makin menjengkelkan ya Bu, masa aku ada sesuatu sama Munah? Cantik enggak, muda juga enggak.”

“Bukan sama Munah nya, tapi sama yang lainnya.”

“Yang lain apa lagi sih?”

“Pokoknya aku curiga saja sama Mas, tampaknya ada sesuatu yang disembunyikan. Ada rahasia antara Mas sama Munah.”

“Memangnya seleraku serendah itu?” marah pak Thomas.

“Aku kan sudah bilang, bukan sama Munah. Entah sama siapa ya …” kata bu Thomas dengan nada mengejek.

Pak Thomas merasa, istrinya mencurigai sesuatu. Dari mana dia tahu dia dan Munah menyimpan suatu rahasia? Jangan-jangan istrinya juga tahu bahwa Munah mempunyai tugas untuk menemui Lisa setiap hari, pikir Thomas. Tapi dia diam saja, sementara bu Thomas senyum-senyum kesal.

Mereka menuju butik, tapi entah mengapa, bu Thomas minta agar pak Thomas melalui jalan itu, jalan yang melewati kantor polisi, dimana Lisa ditahan. Pak Thomas mulai menduga-duga, bahwa istrinya mengetahui sesuatu. Antara Munah dan dirinya, menyimpan rahasia. Dari mana istrinya tahu?

“Percayalah, aku akan segera tahu sesuatu yang tersembunyi, atau yang memang kamu sembunyikan,” celotehnya lagi, tanpa di jawab oleh suaminya.

“Lama-lama aku bosan menjalani hidup bersama dia, cerewetnya itu, dan perlakuannya terhadapku, setelah mengetahui hubungan aku sama Lisa. Aku dianggapnya pembantu, yang harus menuruti semua kemauannya,” omelnya dalam hati.


Baru saja polisi menemui Murni, untuk mendapat keterangan tentang kecelakaan yang dialaminya kemarin.

Murni tidak sempat melihat orangnya, karena tiba-tiba dia ditabrak, dan penabrak itu langsung kabur, kemudian dia pingsan.

Banyak yang ditanyakan, tapi Murni sebenarnya kesal. Dia merasa tak memiliki musuh. Kalau orang lain memusuhi dia, mana dia tahu?

Restu menghibur Murni agar tidak terlalu memikirkan masalah itu. Ia merasa kasihan karena Murni tampak masih lelah setelah operasi kemarin.

Bayi laki-laki itu diberinya nama Gilang Restu Putra. Cakep seperti wajahnya yang sangat mirip dengan ayahnya. Restu setiap hari datang dan tahan berlama-lama memandangi wajahnya yang mulus dan cemerlang bagai bintang. Demikian juga pak Broto dan Bu Broto, apalagi Yu Sarnai, yang sangat bahagia mendapatkan cucu pertamanya. Laki-laki pula.

Di hari ke lima, Murni sudah boleh pulang, tapi Gilang masih harus di rawat di dalam inkubator. Ia boleh datang setiap hari untuk memberikan ASI, dan menyimpannya di dalam wadah-wadah yang disediakan, untuk diminumkan kepada sang bayi, karena lebih baik diberikan ASI dari pada susu formula.
Kebetulan Murni juga sangat sehat, sehingga Gilang tak pernah kekurangan stok ASI dari ibunya.


Wulan sedang bersantai bersama suaminya, saat sore menlelang malam. Mereka pulang dari kantor agak siang karena tak banyak yang harus mereka selesaikan. Mereka berbincang tentang anaknya Murni yang tampak semakin sehat dan menggemaskan.

“Kalau dirasa-rasakan, sebenarnya aku ini sedikit merasa kecewa lho,” kata Wulan tanpa memandang ke arah suaminya. Temaram senja menampakkan langit kemerahan yang semburat bagai lukisan yang tak tertandingi oleh pelukis manapun. Begitu hidup dan menawan, lalu angin menghembuskan mega putih yang menari-nari diantara langit yang kemudian semakin meredup.

“Kenapa bidadariku kecewa? Aku salah apa?” tanya Rio sambil mengelus pundak istrinya.

“Bukan karena salah kamu Rio. Kamu ingat? Dulu Murni begitu membenci bayi yang dikandungnya, lalu aku berjanji akan mengambilnya sebagai anakku kalau dia lahir nanti.”

“Oh, iya … aku ingat. Kamu kecewa karena itu?”

“Kamu melihat bayi itu kan? Begitu montok dan ganteng.”

“Ya, benar. Wajahnya persis mas Restu.”
“Sekarang Murni dan mas Restu begitu bahagia setelah kelahiran Gilang. Tak mungkin bayi itu diberikan padaku.”

Rio tertawa keras.

“Wulan adalah bidadari tercantik di duniaku, jadi aku tidak percaya kalau dia punya perasaan kecewa yang kemudian sampai menyakiti hatinya.”

“Ya tidak Rio. Tentu saja aku tidak akan sakit hati. Aku tadi kan bilang, sedikit kecewa. Hanya sedikit, dan itu tidak berpengaruh apa-apa terhadap rasa sayang aku sama Murni.”

“Baguslah. Dan kamu harus percaya, bahwa Rio mu ini akan sanggup mencetak bayi-bayi lain yang ganteng dan cantik.”

“Tepi belum kan?”

“Kamu harus bersabar dong Wulan. Allah memberi sesuatu pada saatnya. Jangan berhenti memohon, dan tentu saja berusaha,” kata Rio sambil tersenyum nakal pada istrinya.

Wulan tersipu., kemudian berdiri sambil menggamit lengan suaminya.

“Sudah adzan tuh.”

“Iya, aku tahu, Jangan lupa memohon,” kata Rio sambil berdiri.

“Dan setelah itu berusaha,” lanjutnya sambil merangkul pinggang istrinya.

“Masih sore.”

“Memang ada aturannya?”

“Hei, mau berwudhu, jangan membayangkan hal-hal mesum,” kata Wulan sambil berjalan mendahului. Rio mengejarnya.


Hari itu Restu tidak pergi ke bengkel, karena Murni baru saja diantarkan pulang dari rumah sakit. Restu sudah memiliki mobil baru. Baru dipakai, tapi bekas orang, kata Rio bercanda kepada istrinya.

“Mengapa bapak terburu-buru membeli mobil? Bukankah mobil itu mahal?”

“Aku sudah lama menabung, dan kebetulan sekali, menyambut kelahiran anak aku ini uangnya tiba-tiba cukup, karena rejeki lebih deras mengalir.”

“Alhamdulillah.”

“Ini untuk kamu dan Gilang, supaya kalau kamu bolak balik ke rumah sakit tidak kepanasan.”

“Terima kasih Bapak memperhatikan saya.”

“Tentu saja, karena kamu adalah istriku. Nanti kalau kamu sudah sehat benar, aku ajarin kamu menyetir mobil, supaya kalau kamu kemana-mana bisa tanpa aku.”

“Nggak usah ah. Saya tidak suka menyetir mobil sendiri.”

“Kok tidak suka sih?”

“Tidak biasa, wanita kampung menyetir mobil sendiri.”

“Ya ampun Murni, memang apa salahnya orang kampung menyetir mobil? Kalau kamu bisa, kamu bisa jalan-jalan sama Gilang, mengajak yu Sarni.”

“Kan ada Bapak. Ya sama Bapak saja dong.”

“Kalau aku sibuk?”

“Kalau Bapak sibuk, tidak usah jalan kemana-mana.”

Restu tersenyum. Murni memang wanita sederhana. Bukan karena dia gadis kampung yang lugu, tapi memang dia punya pembawaan yang lugu dan sederhana. Padahal dia sudah punya segalanya. Walaupun tidak kaya raya, tapi hidup berkecukupan, itu sangat disyukurinya. Apa lagi suaminya sangat menyayanginya. Dan itu cukup baginya.

Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara dari depan rumah.

“Assalamu’alaikum.”

“Suara wanita,” kata Restu yang kemudian bergegas ke aeah depan, sambil membalas salamnya.


Besok lagi ya…

Bersambung ke Jilid 60

SELAMAT PAGI BIDADARI (58)

Karya Tien Kumalasari

“Ingat, jangan menelpon aku kalau aku tidak menelpon kamu,” kata pak Thomas tandas.

Beberapa saat lamanya dia menelpon, kemudian dia meletakkannya setelah mendengar suara istrinya berteriak dari dalam kamar.

“Mas, kamar mandinya sudah.”

“Ya, baiklah,” jawab pak Thomas yang kemudian berdiri memasuki kamarnya.

Bu Thomas masih mengenakan kimono ketika keluar dari dalam kamar, kemudian menghampiri ponsel suaminya, melihat-lihat, kemudian mencatat sesuatu, lalu meletakkan ponsel itu kembali.

“Laki-laki itu memang tidak bisa dipercaya. Sudah di kerem dirumah, diawasi segala tingkah lakunya, masih saja main belakang. Siapa yang tadi ditelponnya? Aku harus tahu. Jangan-jangan orang yang disuruhnya menemui perempuan itu. Aku harus mengawasinya, dan tahu apa yang akan dilakukannya.

Bu Thomas masuk ke dalam kamar, lalu berdandan.

Ketika suaminya keluar dari kamar mandi, aroma minyak wangi menguar ke seluruh ruangan. Dilihatnya sang istri sedang duduk di depan cermin, mulai mengoleskan alas bedak sebelum memolesnya dengan perlengkapan dandan yang lain.

“Kamu mau kemana?” katanya sambil memeluk sang istri dari belakang.

“Ke butik, ayo ikut.”

“Bagaimana kalau aku di rumah saja?””Sudah dua hari kita tidak ke butik.

“Bukankah sekarang kamu sendiri yang mengurusi butik itu? Aku nggak ikutan.”

“Tapi aku ingin kita kelihatan selalu kompak. Bukankah aku sudah dipermalukan oleh perselingkuhan kamu bersama pelakor itu?”

“Aduh, kok masih diungkit-ungkit juga sih masalah itu. Kan sudah lewat? Dan aku sudah tidak ada lagi hubungan dengan dia.”

“Ya, kalau ada aku memang kelihatannya begitu. Tapi siapa tahu, diam-diam kamu masih menghubungi dia.”

“Tuh, mengada-ada kan? Bukankah kamu bilang sendiri bahwa dia sudah ditahan?”

“Aku hanya harus berhati-hati,” jawab bu Thomas sambil membetulkan bentuk alisnya.”

“Kamu tuh sudah cantik, tidak usah dandan terlalu tebal begitu kenapa sih?”

“Selamanya aku sudah berdandan begini, mengapa baru sekarang mencela? Aku dandan saja kamu masih berselingkuh, apalagi kalau aku kelihatan lugu seperti nenek-nenek,” katanya sambil berdiri, setelah merasa dandanannya sempurna.

Ia lepaskan kimononya dan menggantinya dengan baju yang sudah disiapkannya. Pak Thomas menatapnya kagum. Sebenarnya istrinya sudah cantik, hanya tubuhnya sedikit gendut karena tidak bisa mengatur pola makan. Tapi selebihnya tampak tidak kekurangan. Hanya saja dia kurang suka karena menurutnya dia terlalu dingin dalam melayaninya di atas ranjang. Jauh sekali bedanya dengan Lisa, yang begitu agresip dan membuatnya melayang. Itu yang membuatnya sulit untuk melupakan.

“Mengapa menatap aku seperti itu? Jangan bilang kalau kamu sedang membandingkan tubuh aku dengan pelakor itu.”

“Apaan sih. Aku sedang mengagumi kamu. Kamu itu cantik. Itu sebabnya aku dulu sangat mengejar kamu,” rayunya.

“Hm, sore-sore ngegombal.”

“Itu benar kan?”

“Kalau benar, kenapa kamu selingkuh?”

“Yaah, diulangi lagi?”

Salah satu hal yang tidak disukai Thomas adalah istrinya yang banyak bicara, selalu mengungkit hal yang telah lewat, dan yang terakhir dianggapnya terlalu mengatur dirinya.

Kadang-kadang terbit niatnya untuk menceraikan istrinya, tapi Thomas mengaku, bahwa dirinya tak punya apa-apa. Perusahaan yang ada dibeberapa temoat adalah milik istrinya, warisan dari orang tuanya, jadi sebenarnya Thomas hanyalah pembantu dalam usaha itu.

“Kalau aku belum melupakan masalah itu, aku masih akan terus mengungkitnya.”

“Kamu tidak akan pernah bisa melupakan, karena kamu selalu mengingatnya.”

“Wanita mana yang bisa melupakan penghianatan suaminya?”
Thomas menghela napas, lalu meraih baju ganti yang juga sudah disiapkan istrinya. Kembali ia memutuskan lebih baik diam, karena kalau di jawab, sepatah kata jawaban, maka balasannya akan lebih panjang dari semua jalanan di kota itu kalau disambung menjadi satu.

Bayangan Lisa kembali melintas. Rasa kasian membayangkan Lisa meringkuk di ruangan sempit dan pasti sambil menangis terisak, seperti kalau dia meminta sesuatu padanya. Makan di restoran, baju mahal, sepatu yang cantik seperti yang dipakai para bintang. Tapi itu bukan masalah. Lisa selalu bisa menyenangkannya. Ia adalah api yang menyala, saat mengamuk di atas ranjang. Tiba-tiba rasa rindunya pada Lisa tak tertahankan. Tapi yang ada hanyalah sang nyonya, yang sedang asyik mematut diri. Thomas meraihnya dan mengangkatnya ke atas ranjang.

“Heiii, apa maksudmuuu?” teriak sang istri yang akhirnya terpaksa mengalah. Apa boleh buat. Air bah sudah menerjang, tak ada ranting tempat berpegang.


“Kamu siapa?” tanya Lisa ketika seorang perempuan datang menjenguknya di tempat dia ditahan.

“Saya Munah, membawakan makanan untuk non Lisa.”

“Mengapa kamu mengirimi aku makanan?” tanya Lisa sambil membuka rantang berisi makanan yang menyeruakkan bau sedap ketika dibuka.

“Hm, ini rawon kesukaan aku. Tapi aku tidak percaya sama kamu. Ini berisi racunkah? Coba kamu cicipin.”

“Sebelum saya bertemu Non, petugas sudah memeriksanya. Makanan ini tidak beracun.”

“Mengapa dan siapa kamu, sehingga mengirimi makanan yang semua ini adalah kesukaan aku?”

“Saya suruhan tuan Thomas.”

Mata Lisa terbelalak. Laki-laki setengah tua yang sangat royal terhadapnya itu rupanya masih mengingatnya.

“Dari mana dia tahu bahwa aku ada di sini?”

“Entahlah, saya hanya mendapat perintah untuk mengirimi Non Lisa makanan, setiap hari.”

“Setiap hari?”

“Ya. Pak Thomas juga berpesan, bahwa dia tidak akan melupakan Non Lisa.”

Lisa tersenyum. Dia tahu, Thomas sangat tergila-gila padanya. Tapi sayang pada suatu ketika istrinya mengetahui hubungan meraka, dan dia melabraknya. Sejak saat itu Thomas tak berani lagi menemuinya.

“Aku akan menelponnya.”

“Jangan. Pak Thomas berpesan agar dia jangan dihubungi, kecuali dia yang menghubunginya. Rupanya istrinya selalu mengawasinya.”

“Nenek Kunti itu memang sangat jahat. Kalau sudah marah sangat mengerikan. Semua perhiasan aku dilucuti. Salah satunya adalah bukan pemberian suaminya, tapi dia nekat merebutnya. Dia tak percaya ketika aku mengatakan bahwa itu bukan dari suaminya. Begitu mulutku terbuka, tangannya yang berkuku tajam seperti nenek sihir itu diangkatnya, siap dicakarkan ke wajah aku,” kata Lisa sambil mencomot sepotong daging yang ada di dalam rantang.

Perempuan bernama Munah itu diam, tersenyum mendengar Lisa mencaci maki bu Thomas. Muna adalah bekas pembantu keluarga Thomas, yang kemudian berhenti ketika dia harus merawat ibunya yang sedang sakit di kampung. Tapi dia sering datang, karena memang pak Thomas yang memintanya, sekedar untuk diberinya uang karena Munah sudah lama sekali mengabdi, sejak pak Thomas masih pengantin baru.

Kemarin pak Thomas menelpon, dan pagi tadi dia datang, pura-pura diberi uang jatah yang memang selalu diberikannya. Tanpa sepengetahuan istrinya dia memberinya uang lebih, untuk dibelikannya makanan agar Lisa yang selalu menyukai makanan enak tidak begitu sengsara di tempat tahanan,

“Tiba-tiba aku lapar, aku akan makan di sini.”

“Silakan Non, tapi itu bisa untuk makan Non nanti juga, nasi dan lauknya sangat banyak.”

“Iya, aku tahu,” katanya sambil membuka lagi rantangnya, dibantu Munah.


Munah sedang keluar dari kantor polisi, ketika tiba-tiba sebuah mobil berhenti persis di sampingnya.


Besok lagi ya…

Bersambung ke Jilid 59