SELAMAT PAGI BIDADARI (57)

Karya Tien Kumalasari

Restu mepet di pintu ruang operasi, serasa ingin menerobos masuk dan melihat, tangis siapa yang terdengar, karena ada dua orang ibu yang juga akan melahirkan caesar bersama Murni.

Lalu pintu itu terbuka, dan Restu terpaksa melompat menjauh, karena kalau tidak, maka jidatnya pasti akan terantuk daun pintu. Seorang dokter keluar.

“Keluarga ibu Murni ya, tanyanya ketika melihat Restu begitu bersemangat ketika menatapnya.

“Ya, saya suaminya.”

“Selamat, bayi anda selamat, seorang laki-laki yang tampan.”

“Alhamdulillah,” pekik bahagia dari semua yang ada di sekitar pintu.

“Bagaimana istri saya?”

“Istri Bapak sedang di tangani, tapi belum bisa dijenguk.”

“Apa dia sehat?”

“Sangat sehat. Bapak bisa bertemu nanti setelah dibersihkan. Hanya, bayinya harus masuk ke dalam inkubator, karena terlahir prematur.”

Restu mengangguk mengerti. Ia mengusap wajahnya dengan kedua belah tangannya sambil terus mengucapkan syukur. Demikian juga yu Sarni, dan semua keluarga pak Broto.

“Bapak sama Ibu dan Yu Sarni duduk dulu di sana, sambil menunggu,” kata Wulan sambil menggandeng yu Sarni, diajaknya duduk bersama mereka.

“Ni, kamu sudah menjadi nenek, selamat ya,” kata bu Broto, disusul suaminya, Wulan dan juga Rio.

“Iya … iya … terima kasih … terima kasih semuanya, saya bahagia, ya Tuhan, menjadi nenek. Terkadang saya masih kemayu,” kata yu Sarni sambil tersenyum, disambut tawa yang lainnya.

“Mulai sekarang nggak boleh genit,” tukas bu Broto sambil tertawa.

Begitu diberi tahu bahwa Murni sudah bisa dijenguk, Restu segera menghambur ke dalam. Dilihatnya Murni terbaring sambil tersenyum. Restu mencium keningnya.

“Terima kasih telah memberikan jagoan untuk aku,” bisiknya, disambut senyuman bahagia di bibir Murni.

“Mana anakku?”

Seorang perawat menunjukkan bayi mungil di dalam inkubator. Restu beranjak mendekati.

“Belum boleh digendong ya?”

“Belum Pak, menunggu kalau sudah kuat. Sebentar lagi istri Bapak akan dipindahkan ke ruang rawat,” kata salah seorang perawat.

“Pilihkan kamar terbaik untuk istriku,” pesan Restu.

“Baik Pak, tapi sebaiknya keluarga ibu Murni tidak menemui ibu Murni dulu, menunggu kalau sudah dipindahkan ke ruang rawat.

“Baiklah, saya akan memberi tahu mereka,” kata Restu yang segera keluar dengan wajah berbinar.

“Bagaimana keadaannya?” tanya yu Sarni.

“Baik. Sehat, tapi belum boleh masuk dulu, menunggu kalau sudah ada di ruang rawat.”

“Apa dia sudah bisa bicara?” tanya yu Sarni.

“Ya sudah Yu, kenapa tidak bisa?”

“Kalau dioperasi itu kan dibius, jadi tidak bisa segera sadar? Kok begitu ceoat?”

“Yu, kalau operasi caesar itu, tidak dibius total, hanya di bagian perut ke bawah, jadi dia sadar dan bisa bicara,” terang Wulan.

“O, begitu yah? Berarti nanti langsung bisa cerita dong.”

“Bisa Yu.”

“Kapan kita bisa ketemu Bu?” yu Sarni tampak begitu bernafsu, maklum baru sekali punya cucu.

“Nanti kalau sudah dipindahkan ke ruang rawat, biasanya menunggu sampai dua jam.”

“Waduh, lama sekali.”

“Sabar Yu,” kata Restu sambil tertawa.”

Keluarga Broto sangat bahagia dengan kelahiran bayi Murni. Kelahiran yang tak terduga karena belum waktunya, tapi membuat mereka bahagia karena bayi dan ibunya selamat dan sehat.


“Dari mana kamu? Sejak pagi pamit belanja tapi sampai siang begini baru pulang?” tegur pak Thomas ketika istrinya masuk ke dalam rumah. Sejak peristiwa Lisa dilabrak bu Thomas, pak Thomas dilarang datang ke butik tanpa dirinya.
“Aku menolong seseorang. Seorang wanita yang kecelakaan karena ditabrak seorang pengendara motor.”

“Menolong bagaimana?”

“Mengantarkannya ke rumah sakit. Mas tahu tidak, wanita sedang hamil, dan terpaksa dilahirkan paksa karena kecelakaan itu.”

“Penabraknya sudah ditangkap?”

“Tadinya melarikan diri, tapi kan aku tahu rumahnya. Aku laporkan ke polisi, dan sudah ditangkap.”

“Syukurin. Tidak bertanggung jawab,” omel pak Thomas.

“Dia memang sengaja menabraknya, biar korban itu celaka.”

“Memangnya kenapa? Biar dia dihukum seberat-beratnya. Tapi bagaimana kamu tahu di mana rumahnya?”

“Soalnya aku tahu siapa dia. Dia itu bukan saja pelakor, tapi juga penjahat.”

Pak Thomas berdebar. Istrinya selalu bilamg pelakor setiap kali menyebut nama Lisa. Apakah pelaku penabrakan itu Lisa? Kenapa?”

“Siapa?” pak Thomas berusaha bertanya karena tidak begitu yakin.

“Selingkuhan Mas itu. Lisa, siapa lagi.”

“Lisa? Mengapa dia menabrak dengan sengaja?”

“Mana aku tahu? Tampaknya dia benci wanita hamil itu.dia juga ganti mau mengganggu suaminya. Padahal suaminya juga tidak begitu kaya.”

“Dari mana kamu tahu kalau dia tidak begitu kaya?”

“Kalaua dia kaya ya pastilah punya mobil. Kendaraannya cuma motor dan itupun bukan keluaran terbaru. Cuma dia ganteng. Mungkin itu yang menarik bagi pelakor itu. Tapi ketika aku menyebut nama Lisa kok dia biasa saja ya, tidak terkejut, dan tidak tampak heran.”

“Kamu bicara sama suami si korban?”

“Iya lah, aku kan mengantarkan istrinya sampai di rumah sakit.”

“Siapa namanya?”

“Namanya Murni, itu diketahui setelah dia sadar.”

“Suaminya.”

“Kalau tidak salah … Restu, nggak tahu siapa nama lengkapnya.”

Pak Thomas tentu saja tahu, siapa Restu, karena Lisa seringkali menyebut namanya sehingga membuatnya cemburu. Tapi ia hanya diam, tak ingin mengungkap apa yang diketahuinya tentang Restu dan Lisa. Dan dia berpikir, mungkin setelah dia tidak lagi berhubungan dengannya, kemudian berharap bisa kembali bersama Restu, tapi rupanya Restu sudah punya istri dan sudah hamil pula.

“Mengapa diam? Sedih ya, tahu Lisa dipenjara? Orang jahat memang di sana tempatnya. Memang enak, morotin harta orang dengan modal seksi, cantik, menarik dan memuaskannya di tempat tidur?” kata bu Thomas mengungkit kembali soal perselingkuhan suaminya.

“Apa sih kamu itu, ngomongin masalah itu lagi. Kan semuanya sudah selesai, dan aku tidak pernah lagi ke mana-mana?”

“Iya lah, karena aku terus mengawasi Mas. Coba saja aku lepaskan, nggak mungkin nggak melakukannya lagi. Apalagi kalau perempuannya nyosor seperti dia itu.”

Pak Thomas diam. Isterinya memang suka bicara. Kalau sudah mengatakan sesuatu, dan ditanggapi, maka akan menjadi panjang seperti ular, itu sebabnya maka lebih baik dia mendiamkannya. Tapi ketika diam, bu Thomas juga masih mengomel lagi.

“Kok diam? Sedih ya?”

Dan kalau sudah begitu, pak Thomas memilih pergi menjauh.

Hari itu mereka berdua hanya tinggal di rumah. Tidak ke butik, dan tidak ke mana-mana. Tapi diam-diam ada yang dipikirkan pak Thomas. Berita tentang ditangkapnya Lisa membuatnya gelisah. Bagaimanapun dia masih menyayangi Lisa. Karena Lisa memang pintar memuaskan lelaki yang diporotinya. Seperti juga dulu, Restu juga susah melupakan dia, demikian juga pak Thomas.

Ia sedang santai di ruang tengah, tampak memikirkan sesuatu, tentang apa yang akan dikerjakannya. Ketika istrinya beranjak, dia segera meraba ponselnya.

“Mau kemana?”

“Mandi dong Mas, gerah. Lagi pula sudah sore.”

“Ya sudah, kamu mandi saja dulu, habis itu baru aku.”

Bu Thomas masuk ke kamar, dan pak Thomas menunggu beberapa saat. Ia harus meyakinkan bahwa istrinya sudah benar-benar masuk ke kamar mandi. Ia masuk ke kamar dan mendekati pintu kamar mandi. Ia merasa lega ketika mendengar gemercik air dari shower yang memancar.

Ia berjingkat keluar kamar, lalu mengambil ponselnya, dan menghubungi seseorang.


Besok lagi ya…

Bersambung ke Jilid 58

SELAMAT PAGI BIDADARI (56)

Karya Tien Kumalasari

Pak Broto dan bu Broto diiringi yu Sarni, datang hampir bersamaan dengan datangnya Rio dan Wulan. Mereka mencari Restu, dan menemukannya di luar ruang operasi.

“Pak Restu, bagaimana Murni?” yu Sarni yang pertama kali berteriak begitu melihat Restu.

Restu berdiri, membiarkan yu Sarni merangkulnya.

“Dokter sedang mengoperasinya Yu, bayinya harus segera dilahirkan.”

“Apakah sudah saatnya lahir?”

“Baru tujuh bulan, tapi karena jatuh tadi pagi, maka harus segera dikeluargan. Kalau tidak, akan berbahaya bagi keduanya. Yu Sarni tenang ya.”

“Bagaimana bisa jatuh?” tanya pak Broto.

Tiba-tiba Restu melihat ke sekeliling tempat itu, karena tadi bu Thomas masih mengikutinya. Ternyata sudah tidak ada lagi.

“Kamu mencari siapa?”

“Seorang ibu, yang menolong Murni dan membawanya kemari. Tampaknya dia sudah pergi.”

“Bagaimana dia bisa terjatuh di jalan?” ulang pak Broto karena belum juga mendapat jawaban.

Lalu Restu menceritakan, bahwa ada orang yang sengaja menabraknya, dan itu adalah Lisa.

“Lisa?” tanya bu Broto.

“Ya bu.”

“Perempuan jahat itu, mengapa melakukannya pada Murni?” geramnya.

“Dia selalu menteror Murni, bahkan mengatakan bahwa Murni merebut Restu dari dia.

“Lalu kamu membiarkannya pelaku kejahatan itu?” kata pak Broto dengan nada tinggi.

“Wanita itu, bernama bu Thomas. Dia sudah melaporkannya dan barangkali sekarang dia sudah ditangkap.”

“Apa maksud dia melakukannya? Bukankan dia sudah mendapatkan laki-laki lain yang lebih kaya?” tanya Wulan.

“Laki-laki kaya itu adalah pak Thomas. Suami wanita yang menolong Murni tadi. Bu Thomas adalah pemilik butik dimana Lisa bekerja. Kebetulan ketika Lisa menabrak dengan sengaja, bu Thomas melihatnya, dan mengenal si penabrak itu, sehingga dia menolongnya, lalu menyuruh sopirnya melaporkannya pada polisi.

“Kalau dia mengganggu Murni, berarti dia tidak lagi berhubungan dengan pak Thomas,” sambung Rio.

“Tidak. Bu Thomas mengetahuinya, lalu melabraknya.”

“Rasain !!”

“Beberapa hari sebelum Restu menikah, dia menemui Restu di bengkel.”

“Hm, seneng dong kamu!” kata bu Broto kesal.

“Kamu temui di lantai atas, di kamar kamu?” sergah pak Broto.

“Tidak Pak, saya tinggalkan dia, kemudian dia pergi. Dia memang ingin merayu Restu, tapi Restu menolaknya.”

“Benar?” tanya pak Broto tidak percaya.

“Benar Pak. Kalau Bapak tidak percaya, boleh bertanya pada anak-anak bengkel. Mereka semua tahu ketika saya meninggalkan dia di ruangan saya, sementara saya naik ke atas. Saya bilang bahwa saya sudah mau menikah.”

“O, itu sebabnya dia sangat membenci Murni,” sambung Wulan.

“Kok dia bisa mengerti siapa Murni, dan di mana dia tinggal ya,” tanya bu Broto.

“Orang seperti dia itu bisa melakukan apa saja Bu, barangkali dia terus mengawasi Restu dan istrinya,” sambung Rio.

“Kasihan Murni, jadi korban kejahatan perempuan itu,” omel bu Broto.

Tiba-tiba seorang wanita datang, disambut Restu dengan berdiri.

“Saya kira ibu sudah pulang.” Kata Restu menyambut wanita itu, yang adalah bu Thomas.

“Saya baru keluar untuk membeli makanan, pasti pak Restu belum makan karena sejak pagi ada di sini,” kata bu Thomas sambil mengulurkan sebuah bungkusan, tapi kemudian dia melihat orang-orang di sekitar Restu.

“Ternyata banyak orang. Ini keluarga pak Restu? Saya hanya membeli tiga atau empat bungkus makanan.”

“Tidak apa-apa Bu. Ini ayah saya, dan ibu saya.”

Bu Thomas mengulurkan tangannya.

“Saya Bu Thomas,” kata bu Thomas.

“Saya pak Broto, dan ini istri saya,” kata pak Broto yang bergantian dengan bu Broto menyalami bu Thomas, disusul Rio dan Wulan.

“Ini Wulan adiknya Restu, ini Rio suaminya,” kata pak Broto lagi.

“Wah … wah, sudah lengkap rupanya.

“Ini ibunya Murni,” kata pak Broto lagi.

“Oh iya, selamat bertemu Bu,” kata bu Thomas ketika menyalami yu Sarni yang wajahnya tampak tegang karena memikirkan anaknya.

“Silakan duduk Bu, dan terima kasih telah membawa menantu saya ke rumah sakit secepatnya,” kata pak Broto.

“Iya Pak, karena kebetulan saya melihatnya tadi. Tapi sekarang perempuan itu sudah ditangkap, karena saya juga melaporkan di mana rumahnya.”

Tapi diam-diam bu Broto melirik gelang yang dipakai bu Thomas. Tentu saja dia sangat mengenalnya.

“Gelangnya bagus,” tiba-tiba tanpa ditahan bu Broto nyeletuk.

Bu Thomas tampak tersipu. Restu berdebar, karena tampaknya ibunya akan berterus terang tentang gelang itu. Restu ingin memberi isyarat dengan matanya, tapi bu Broto dama sekali tidak menoleh ke arahnya.

“Oh, iya Bu, ini sebenarnya kan gelang rampasan,” katanya sambil tertawa kecil.

“Gelang rampasan bagaimana sih jeng?”

“Ketika saya memergoki suami saya berselingkuh dengan penjahat itu, oh ya, pak Restu pasti sudah menceritakan perihal perempuan bernama Lisa dan hubungan gelapnya dengan suami saya kan?” kata bu Thomas kemudian sambil menatap Restu. Tampaknya bu Thomas adalah wanita yang suka bergosip. Bahkan tidak segan-segan menggosipkan suaminya kepada siapa saja.

Restu hanya mengangguk, dan tetap berharap ibunya memandang ke arahnya, agar tidak usah bercerita tentang gelang itu. Tapi dasar wanita, pastilah bu Broto ingin mengorek tentang gelang yang dikatakannya gelang rampasan itu. Ia sudah tahu, Lisa selingkuhan pak Thomas, dari Restu barusan.

“Begini Bu, begitu saya memergoki suami saya berselingkuh, saya datangi rumah perempuan itu. Dia sebenarnya pegawai di butik milik saya. Saya memaki-makinya dengan amarah yang meluap, lalu saya juga mengambil semua perhiasan yang dipakainya, termasuk gelang ini. Pastilah suami saya membelikannya dengan memakai uang saya. Karena usaha itu sebenarnya kan milik saya.”

“Oh, tapi ….”

“Gelang ini sangat bagus, bayangkan bu, berapa juta uang perusahaan dipergunakan oleh suami saya untuk membelikan gelang ini untuk pelakor itu.”

“Kalau tidak salah ini ….”

“Ini mirip gelang milik Ibu kan?” sambung Wulan yang khawatir ibunya akan bercerita bahwa sebenarnya itu adalah gelangnya. Wulan berpikiran seperti apa yang dipikirkan Restu. Kalau bu Broto mengatakannya, maka ceritanya akan panjang, dan wanita cantik yang suka bergosip itu akan menyebarkannya ke mana-mana.

“Oh ya, ibu tadi membawa makanan bukan? Mas Restu, silakan dimakan dulu, kami semua sudah makan kok,” kata Wulan sambil membuka bungkusan, yang salah satunya kemudian diberikannya kepada Restu.

“Terima kasih Wulan,” kata Restu, bukan tentang makanan yang diberikannya, tapi tentang cerita tentang gelang yang berhasil dihentikannya.

“Ibu mau makan?”

“Tidak, biar Restu saja. Ibu sama Bapak sudah makan juga, tadi. Sarni, kamu makanlah.”

“Saya juga sudah makan Bu.”

“Baiklah, karena sudah ada keluarganya yang lengkap, saya permisi dulu ya Bu, Pak,” kata bu Thomas tiba-tiba, membuat Restu dan Wulan merasa lega.

“Baiklah Bu, terima kasih banyak telah menolong menantu saya,” kata pak Thomas.

Bu Thomas berlalu, dan Restu kemudian dengan lahap memakan nasi bungkus yang dibawakannya.

“Gelang itu kan …” rupanya bu Broto masih akan bicara tentang gelang itu, tapi kemudian Wulan menariknya menjauh, dan berbisik mengatakan bahwa soal gelang itu tidak usah diperpanjang.

Tiba-tiba terdengar lengking bayi menangis.

Restu menghentukan suapannya, dan berdiri. Mereka berhambur ke arah pintu ruang operasi.


Besok lagi ya…

Bersambung ke Jilid 57

SELAMAT PAGI BIDADARI (55)

Karya Tien Kumalasari

Restu keluar dari kamar, mencari-cari, dimana istrinya berada. Belum ada kopi panas di atas meja, dan dia juga tak mendengar ada kesibukan di dapur. Restu beranjak kebelakang.

“Murni, Murni ….”

Lalu melangkah ke depan, tapi dilihatnya seorang laki-laki tetangganya bergegas mendekatinya.

“Pak Restu, istri Anda kecelakaan,” seru orang itu sebelum berada dekat dengannya.

“Apa?” Restu turun dari teras.

“Ketika hendak menyeberang, seorang pengendara sepeda motor menabraknya.”

“Di mana? Di mana?” tanya Restu panik.

“Seorang wanita pengendara mobil membawanya ke rumah sakit, dia minta saya mengabari pak Restu.

“Ba … bagaimana keadaannya?”

“Saya belum tahu Pak, tadi istri Bapak pingsan.”

Restu berlari ke dalam rumah, mengambil kunci sepeda motor dan bergegas keluar halaman, menstarter kendaraannya, menuju rumah sakit.

Laki-laki tetangga Restu itu naik ke teras, kemudian menutupkan pintu rumah, karena Restu meninggalkannya begitu saja. Ada kunci tergantung dari dalam, dia mengambilnya, lalu menguncinya dan menyerahkan kunci tersebut kepada RT setempat.


Restu terus melangkah ke dalam rumah sakit, menuju ruang IGD. Seorang wanita berpakaian perlente menyambutnya.

“Apa Bapak suami wanita hamil tadi?”

“Ya, namanya Murni. Bagaimana keadaannya?”

“Dokter sedang menangani dia, Bapak tenang saja di sini.”

“Apakah lukanya parah? Apakah_”

“Dia hanya terkejut, dan sedikit luka di tangan kirinya. Tadi dia pingsan.”

Restu menghela napas lega. Ia melongok ke arah pintu ruang IGD yang terbuka.

“Duduklah dulu di sini Pak, istri Bapak sedang ditangani. Kata dokter tidak begitu parah.”

“Terima kasih Ibu telah menolong istri saya.”

“Saya kebetulan lewat, melihat bagaimana perempuan itu menabraknya. Tampaknya dia sengaja melakukannya, lalu dia kabur begitu saja.”

“Perempuan?”

“Ya, perempuan. Saya tidak tahu mengapa dia melakukannya. Tapi saya tahu siapa dia.”

“Ibu tahu?”

“Sopir saya sedang melaporkan kejadian itu kepada yang berwajib. “

“Ibu tahu siapa dia?”

“Dia perusak rumah tangga saya. Nama saya Thomas, bu Thomas.”

Restu terkejut. Tentu saja dia mengenal nama itu. Thomas adalah laki-laki yang kemudian berselingkuh dengan Lisa, sehingga mencampakkan dirinya.

“Bu Thomas, pemilik butik yang _”

“Benar. Perempuan itu bernama Lisa. Suami saya tergoda sama dia. Dia menghabiskan banyak uang saya untuk memanjakan perempuan itu.”

Restu menghela napas panjang. Sekarang dia tahu, mengapa Murni mengatakan ada wanita yang selalu mengganggunya selama dua hari ini. Pasti dia Lisa. Bagaimana dia bisa tahu dimana Murni tinggal? Dan kebetulan juga dia melihat Murni ketika keluar dari rumah? Pasti dia selalu mencari kesempatan untuk mengganggu Murni, karena ketika datang ke bengkel, dirinya menolaknya mentah-mentah.

“Saya mencium ketidak beresan rumah tangga saya. Suami saya kerap pulang terlambat, bahkan sering kali menginap dengan alasan urusan bisnis. Ternyata dia berhubungan dengan perempuan itu. Saya melabraknya, memaki-makinya, dan saya mengambil semua perhiasan yang dia pakai. Pasti dari suami saya. Dia tak berkutik. Sekarang suami saya tak berani pergi ke mana-mana tanpa saya.”

Tanpa sengaja Restu melirik ke arah gelang yang dipakai bu Thomas, dan Restu sangat mengenalinya, karena gelang itulah yang dicurinya dari Wulan, dan diberikannya kepada Lisa. Tapi Restu tak ingin mengatakan apapun. Pasti bu Thomas mengira, semua perhiasan itu pemberian suaminya, dan kalau dia mengatakan bahwa gelang itu pemberiannya, maka ceritanya akan menjadi panjang. Biarlah, salah dia kalau gelang itu kemudian menjadi milik orang lain.

“Bapak tahu, gelang yang saya pakai ini harganya sangat mahal. Bertatahkan berlian di sekelilingnya. Bayangkan saja, berapa uang yang dipakai suami saya untuk membelikan gelang ini.”

Restu hanya mengangguk.

“Berkali-kali suami saya mengelak, bahwa bukan dia yang membelikan gelang itu, tapi mana mungkin saya percaya? Saya tahu suami saya adalah laki-laki pembohong dan penghianat.”

Bu Thumas terus mengoceh, sementara Restu lebih memikirkan keadaan istrinya yang ada di dalam ruangan itu.

“Oh ya Pak, saya tidak tahu nama istri Bapak, jadi saya belum bisa mendaftarkan namanya, tapi saya sudah membayar beberapa untuk biayanya, supaya istri Bapak segera ditangani.”

“Baiklah, berapa saya harus menggantinya?”

“Tidak usah, lupakan saja. Lebih baik menunggu hasil pemeriksaan itu.”

Restu berdiri dan bergegas mendekat, ketika seorang perawat keluar dari ruangan itu.

“Bagaimana keadaan istri saya?”

“Istri Bapak bernama Murniati?”

“Benar.”

“Dia baru saja sadar dan mengatakan siapa namanya. Tapi ibu Thomas sudah mengurus semuanya.”

Restu menoleh ke arah bu Thomas yang menyusul mendekati perawat itu.

“Doktar ingin bertemu,” lanjut perawat itu.

Restu bergegas menemui dokternya, padahal ingin segera ketemu istrinya.


Rupanya dokter itu adalah dokter kandungan.

“Istri bapak harus diperiksa lebih lanjut. Kejatuhan itu menyebabkan kontraksi dini.”

Restu ketakutan.

“Apa itu maksudnya?”

“Kita akan menunggu, kalau kontraksi berlanjut, bayi itu harus segera di keluarkan.”

“Apa? Tapi dia baru 7 bulan?”

“Kami sudah melakukan pemeriksaan. Bayi ibu Murni sehat. Semoga dia akan baik-baik saja.”

“Apakah berbahaya bagi istri saya dan bayinya?”

“Bapak jangan khawatir, kami akan melakukan hal terbaik.”

Restu bergegas menemui Murni. Ia langsung mencium kening Murni, lalu menggenggam tangannya erat.

“Bagaimana keadaan kamu? Mana yang luka?”

“Luka tidak seberapa.”

“Perempuan yang menabrak kamu akan segera ditangkap polisi.”

“Siapa dia? Tampaknya dia sengaja menabrak saya. Saya sudah mundur, jauh dari jalanan, tapi sepeda motor itu terus mengarah ke arah saya, sehingga saya terjatuh.”

“Dia orang jahat. Kamu jangan memikirkannya lagi. Semuanya akan baik-baik saja.”

“Anak kita terus bergerak, perut saya mengeras terus.”

“Kamu akan baik-baik saja.”

“Tolong selamatkan bayi ini. Kalaupun saya harus meninggal, biarkan bayi ini selamat,” kata Murni pilu.

“Murni, kamu tidak boleh bicara seperti itu. Dokter akan melakukan hal terbaik untuk kamu dan bayi kita,” kata Restu sambil mengelus kepalanya.

Murni terharu. Sekarang dia mengerti, memang benar Restu menyayanginya. Murni sangat bahagia.

“Apakah simbok sudah diberi tahu?”

“Aku akan memberi tahu semuanya, agar semua datang kemari. Bapak, ibu, mas Rio, Wulan juga simbokmu.”

“Baiklah, saya akan merasa tenang kalau ada mereka, lebih-lebih simbok.”

Restu segera memberi tahu semuanya, yang di sambut dengan rasa terkejut oleh semua orang.

Ketika Restu menelpon, tiba-tiba seorang wanita cantik masuk dan mendekati Murni.

“Bagaimana keadaan ibu?”

“Saya baik-baik saja. Maaf, ibu siapa?”

“Saya bu Thomas.”

“Murni, ini bu Thomas, yang menolong kamu. Begitu kamu kecelakaan dan pingsan, bu Thomas langsung membawa kamu ke rumah sakit,” terang Restu setelah menelpon.

“Oh. Terima kasih, Ibu Thomas. Terima kasih banyak.”

“Sama-sama bu Murni. Saya senang bu Murni baik-baik saja.”

Tapi tiba-tiba Murni memekik kesakitan.

“Adduh … perutku ….”

Restu mendekat, kemudian berteriak kepada perawat.

“Bapak dan Ibu dimohon keluar dulu ya, Ibu Murni akan diperiksa dokter,” kata perawat yang kemudian datang.

Restu keluar dengan wajah cemas.

Ia tak mau duduk, tetap berdiri di depan pintu sampai beberapa saat lamanya.

Ia terlonjak ketika perawat memanggilnya.

“Bapak, ibu Murni harus dioperasi, Bapak diharap menemui dokter dan menandatangani surat persetujuan.”


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 56

SELAMAT PAGI BIDADARI (54)

Karya Tien Kumalasari

Restu menatap istrinya tak mengerti.

“Mengapa kamu bilang begitu? Aku hanya bertanya tentang sandal kecil, karena biasanya tak ada sandal seperti itu.”

“Saya kira pak Restu mencurigai saya,” katanya dengan mulut cemberut, lalu mengambil tas suaminya, dibawa masuk ke dalam.

“Mengapa begitu Murni? Aku tidak pernah berprasangka buruk sama kamu, karena kamu adalah istriku yang baik. Akulah laki-laki yang tidak baik. Tapi aku akan berusaha selalu menjadi baik,” kata Restu sambil terus mengikuti langkah Murni.

Murni hanya diam, terus ke belakang menyiapkan minum untuk Restu, kemudian membantu melepas sepatunya dan meletakkannya di tempat biasa.

“Saya siapkan makan siangnya,” katanya sambil beranjak ke ruang makan.

“Aku sudah menyuruh anak-anak bengkel untuk beli makanan sendiri,” katanya sambil mengikuti ke ruang makan, dan duduk menunggu.

“Saya sudah menyiapkan, mengapa harus beli?”

“Aku kan khawatir kalau kamu kecapekan. Soalnya sejak kemarin kamu tampak lelah.”

“Tidak apa-apa kalau lelah badannya. Kalau lelah pikirannya, itu yang berat.”

“Kamu sedang memikirkan apa?”

“Terkadang kesetiaan seorang lelaki itu meragukan.”

“Apa maksudmu?”

“Tapi itu bukan apa-apa bagi saya. Bukankah kita menikah karena terpaksa? Bayi yang saya kandung ini penyebabnya, bukan?”

“Murni, bicara kamu tidak karuan. Apa kamu mencurigai aku melakukan sesuatu hal buruk? Bukankah aku tidak pernah pergi kemana-mana? Setelah selesai urusan bengkel aku langsung pulang. Pernahkah aku pergi selain ke bengkel?”

“Ya sudah, makan saja dulu, kalau suasana nggak enak, makan juga jadi nggak enak,” kata Murni sambil menyendokkan nasi ke piring suaminua.

Tapi Restu merasa, Murni sedang menyembunyikan sesuatu. Ia seperti menuduhnya berbuat tidak baik. Selingkuh, misalnya? Ya Tuhan, apa karena dulu aku menjadi laki-laki bejat sehingga dia tidak mempercayai aku? Kata batin Restu.

Selesai makan, Restu duduk di ruang tengah. Ia belum ingin kembali ke bengkel, sebelum Murni menceritakan perihal sesuatu yang tampak disembunyikannya, sehingga membuat sikapnya jadi aneh, sejak kemarin.

Murni menyajikan jus jeruk ke hadapan suaminya, dan irisan mangga yang baru saja dikeluarkannya dari kulkas.

Restu mencomotnya beberapa kali.

“Manis sekali.”

Murni meneguk jus jeruk untuk dirinya sendiri.

“Apa maksud kamu tadi? Kamu harus menjelaskannya.”

“Ada orang yang menuduh saya merebut pak Restu dari dia,” kata Murni yang tak tahan lagi menyembunyikan semuanya.

“Apa?” Restu membelalakkan matanya, berhenti mengunyah mangga yang sudah ada di dalam mulutnya.

“Bagi saya itu bukan masalah besar, saya harus tahu diri, bahwa pak Restu menikahi saya karena sebuah alasan. Tapi tolong bilang sama dia, agar tak lagi mengganggu saya.”

“Apa?” kata Restu yang masih kebingungan.

“Bilang juga sama dia, bahwa setelah anak ini lahir, saya akan membawanya pergi, dan silakan menikahi dia.”

“Apa?”

Murni menatap tajam suaminya.

“Murni, sungguh aku tidak mengerti apa yang kamu maksudkan, dan siapa yang kamu maksud itu?”

“Pak Restu tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu?”
“Dulu aku memang laki-laki yang tidak baik. Boleh saja dikatakan aku buruk, tak bermoral, atau bejat sekalipun. Tapi aku sudah menemukan jalan hidup yang benar, aku sudah mengerti mana jalan yang harus aku tempuh, meninggalkan kehidupan yang kelam dan kotor. Aku sudah bertobat Murni. Kamu masih belum mempercayai aku? Barangkali benar, kita menikah bukan karena cinta, tapi karena sesuatu yang harus kita lakukan. Tapi aku sedang belajar mencintai kamu, dan perlahan cinta itu mulai tumbuh, melihat ketulusan kamu, kebaikan kamu, dan semua yang kamu miliki. Aku bahkan tidak berpikir tentang siapa kamu, anak siapa kamu, dari keluarga mana dirimu. Sungguh. Apa aku harus bersumpah untuk itu?”

Mata Murni berkejap-kejap, menatap suaminya yang berkata penuh kesungguhan. Sulit untuk tidak mempercayainya, karena mata serigala itu sudah tak lagi tampak.

“Kamu meragukannya? Katakan siapa yang berkata seperti itu.”

“Saya tidak tahu namanya. Dia cantik, berpakaian sexy, tapi mulutnya tajam bagai sembilu. Dia bilang selingkuhan pak Restu. Dua hari dia selalu menghadang saya di pasar. Saya bukannya takut, saya berani menghadapi dia, tapi saya merasa terganggu.

“Besok pagi pergilah ke pasar, aku akan mengawasi kamu. Kalau perempuan itu datang, biar dia berhadapan dengan aku.”

Murni mengangguk, merasa lega karena berhasil mengeluarkan apa yang membuatnya tertekan. Perkataan Restu bahwa dia mulai menyayangi dirinya, membuatnya berdebar senang. Baru sekarang dia mendengar ada laki-laki yang menyayanginya, dan itu diucapkan oleh laki-laki yang semula sangat dibencinya.

“Sekarang ceritakan tentang anak bernama Trimo. Bukan karena aku curiga, tapi karena kamu belum menceritakan tentang orang yang pernah kamu tumpangi saat pergi dari mes waktu itu.

Lalu Murni menceritakan semuanya, tentang bu Trisni dan anaknya yang bernama Trimo, yang waktu itu datang mengamen di rumah Wulan, lalu diberinya uang dan makanan, lalu di kemudian hari dia bertemu lagi dengan bocah itu, lalu menginap di rumahnya selama dua malam.

Restu terharu.

“Suruh dia tinggal di sini, biar aku menyekolahkannya.”

“Sudah saya minta begitu, tapi dia tidak mau, karena harus membantu ibunya berdagang gorengan.


“Kok bisa-bisanya kamu main sejauh itu sih Mo, jalan kaki pula,” tegur bu Trisni ketika anaknya sampai di rumah.

“Berangkatnya membonceng mas Parmo yang jualan kerupuk, turun di dekat rumah dimana dulu Trimo ketemu bu Murni untuk pertama kali. Pulangnya Trimo naik angkot, turun di jalan besar situ. Bu Murni memberi uang lagi sama Trimo.”

“Ya ampun, bu Murni sudah memberi banyak untuk kita.”

“Iya juga, tapi Trimo tak bisa menolak. Lagi pula bu Murni tidak tinggal di situ lagi. Sudah pindah, lalu Trimo mencarinya, dan ketemu di pasar, ketika ada seorang wanita tiba-tiba mau memukul bu Murni, lalu Trimo berhasil mencegahnya dengan menarik tubuhnya.”

“Lhoh, kenapa?”

“Nggak tahu Bu, sepertinya dia benci sama bu Murni.”

“Pasti dia orang jahat. Bu Murni begitu baik, kok ada yang benci sama dia?”

“Pastinya Bu.”

“Bu Murni sekarang kaya Bu, rumahnya bagus. Trimo di suruh tinggal di sana, tapi Trimo tidak mau. Kalau Trimo pergi, siapa yang membantu ibu jualan?” lanjutnya.

“Iya juga sih Mo. Tapi kalau kamu suka, ya nggak apa-apa, nanti ibu mau menyuruh orang untuk membantu.”

“Jangan Bu, biar Trimo saja yang membantu Ibu. Nanti kalau Trimo sekolah, sebelum berangkat Trimo mengantar dagangan, pulangnya mengambil uangnya. Begitu lebih enak.”

“Ya sudah, terserah kamu saja. Sekarang istirahatlah. Kamu pasti lelah.”


Pagi itu Murni keluar dari rumah, karena kehabisan kopi. Ia mencari warung terdekat dengan terburu-buru, karena harus menyiapkannya sebelum suaminya berangkat bekerja.

Ia sedang berdiri di pinggir jalan, menunggu jalanan sepi sebelum menyeberang, karena warung yang dituju terletak di seberang jalan.

“Kenapa ketika belanja aku lupa membeli kopi,” sesalnya ngedumel sambil menunggu.

Tapi sebelum dia berhasil menyeberang, sebuah pengendara motor melaju di depannya, dan seperti sengaja menabraknya. Murni terpelanting.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 55

SELAMAT PAGI BIDADARI (53)

Karya Tien Kumalasari

Murni masih menatap tajam wanita itu, ada api memercik di matanya. Murni tahu, dia hanya anak pembantu, tapi bukan berarti dia harus menerima penghinaan apapun yang diterimanya.

“Hei, mengapa menatap aku seperti itu? Rupanya kamu sudah merasa bangga bisa menjadi istri kekasihku?” tiba-tiba wanita itu mulai menyerangnya.

Murni mengangkat kepalanya dan tersenyum sinis, walau tatapan matanya tak berubah, tajam dan menyala.

“Bisa menjadi istri memang membuat aku bangga. Bagaimana dengan menjadi kekasih tanpa dinikahi? Bukankah itu rendah dan memalukan? Tapi rupanya kamu memang tak tahu malu.” jawabnya dengan berani.

“Kamu merebutnya dari aku.”

“Benarkah? Kalau aku berhasil merebutnya, berarti aku lebih hebat dari kamu! Sadari itu!” kata Murni yang kemudian langsung membalikkan tubuhnya dan menjauhi wanita itu, yang memang adalah Lisa.

Lisa terkejut.

“Perempuan udik itu tiba-tiba berani menentang dan menghina aku,” geramnya.

Hati Lisa tiba-tiba terasa panas. Bergegas dia mengejar Murni, dan tiba-tiba sudah berada di hadapannya.

Murni mengerutkan dahinya.

“Mau apa lagi kamu?”

“Dengar, aku tidak terima kamu menghina aku!” hardiknya.

“Aku tidak menghina, kamu memang hina!” balas Murni sengit.

Tiba-tiba Lisa mengangkat tangannya, diayunkannya ke wajah Murni. Tapi tangan itu berhenti terayun, karena sepasang tangan kecil menarik tubuhnya.

“Heiii. Apa ini?” teriak Lisa sambil membalikkan tubuhnya, lalu melihat seorang anak laki-laki menatapnya marah.

“Siapa kamu, gembel?”

“Trimo?!” teriak Murni senang.

“O, ini anakmu? Rupanya kamu seorang janda yang berhasil memikat kekasihku?”

“Aku bukan anaknya. Kamu wanita jahat, berani menyakiti wanita yang sedang hamil,” pekik Trimo dengan berani.

“Ee, kurangajar benar. Perempuan ini telah merebut kekasihku!”

“Trimo, sini, jangan di dengarkan kata-kata perempuan mabuk itu, ayo ikut aku.”

Trimo menurut, bergegas mendekati Murni, kemudian membalikkan lagi tubuhnya dan pergi.

Lisa ingin mengejar, tapi beberapa orang menghadangnya.

“Jangan membuat keributan di sini Mbak, Mbak ini cantik, tapi kok kasar sekali kepada perempuan yang sedang hamil.”

Lisa mendengus kesal. Ia sangat membenci wanita yang sudah dinikahi Restu, karena dia berharap kembali kepadanya, dan Restu menolaknya. Tapi dia tak bisa berbuat banyak, karena banyak orang menghadangnya, dan Murni sudah hilang bersama laki-laki kecil itu, entah kemana.

“Aku akan terus menghantui kamu,” ancamnya sambil berlalu.


Murni belanja ala kadarnya, karena ingin segera mengajak Trimo pulang ke rumahnya.

Ia meletakkan belanjaan di dapur, lalu menemui Trimo yang duduk di tangga teras.

“Heii, kenapa duduk disitu?” tegur Murni sambil membawa segelas jus jambu diletakkan di meja teras.

“Biar di sini saja Bu.”

“Jangan, sini, di depanku sini, kamu belum cerita apa-apa, kenapa bisa sampai ke mari.”

Trimo menurut. Ia berdiri lalu duduk di kursi teras dengan ragu.

“Duduklah. Kenapa kamu ini?”

“Takut kursinya kotor.”

“Ya ampun Trimo, mengapa kamu bilang begitu?”

“Ini rumah bu Murni?”

“Bukan, ini rumah pak Restu.”

“Siapa pak Restu?”

“Suami … suami aku.”

“Ooh,” kata Trimo sambil mengamati sekelilingnya.

“Minumlah, lalu ceritakan kenapa kamu sampai ke mari.”

“Saya ingin bertemu Ibu, lalu pergi ke rumah dimana saya datang kesana sebanyak dua kali. Lalu diberi tahu alamat Ibu, tapi rumah itu kosong, saya mencoba mencari, barangkali Ibu sedang ke pasar, ternyata benar.”

“Ya ampun, kamu berjalan jauh sekali, bagaimana bisa menemukan alamat rumah ini?”

“Saya terus bertanya-tanya. Tapi ada ibu-ibu yang memberi saya ancar-ancar juga.”

“Anak pintar. Sekarang minum dulu, setelah kamu cerita, kita akan makan pagi bersama-sama,” kata Murni.

“Saya hanya ingin ketemu Ibu. Tapi tidak membawa gorengan, karena habis terjual.”

Murni tertawa.

“Tidak apa-apa. Aku sudah pernah merasakan gorengan dagangan kamu, dan aku puas, enak dan legit.”

“Saya sudah membeli ponsel. Waktu itu saya tidak tahu caranya, lalu ibu membantu saya.”

“Bagus. Sekarang tidak dibawa?”

“Tidak. Tadi sambil mengantar dagangan, langsung ke sini.”

“Bagaimana kabar ibumu?”
“Baik, dan sehat. Terimakasih sudah memberi uang untuk biaya sekolah.”

“Tidak seberapa. Nanti kalau kurang, kabari aku ya Mo. Jangan sungkan.”

“Wanita jahat itu tadi siapa? Dia hampir memukul Bu Murni, untung saya bisa menahannya.”

“Aku juga tidak tahu. Sudah dua kali dia menemui aku dan mengata-ngatai aku dengan ucapan yang sangat kasar. Tadinya aku biarkan, tapi tadi aku melawan. Itu sebabnya dia marah dan ingin memukul aku.”

“Apa ketemunya juga di tempat sama Bu?”

“Iya. Nggak tahu, kenapa dia berkeliaran di sekitar pasar.”

“Mungkin dia memang menunggu ibu. Besok jangan belanja di sana lagi.”

“Iya, sedang aku pikirkan, tapi agak jauh sih. Nggak apa-apa juga, aku bisa naik becak. Atau kalau ada tukang sayur lewat aku juga bisa.”

“Iya Bu, supaya aman.”

Murni tertawa, berdiri sambil mengelus kepala Trimo.

“Kamu itu anak kecil, ngomongnya seperti orang dewasa saja,” kata Murni sambil beranjak ke dalam. Ia mengeluarkan nasi dan lauk sisa sarapan yang masih ada, kemudian memanggil Trimo.

“Aku kita makan Mo,”

Ajak Murni sambil menarik tangan Trimo.

“Nggak usah Bu.”

“Ayolah, jangan sungkan. Tadi ada gudeg sambel goreng sisa makan pagi, aku beli terlalu banyak.”

Trimo terpaksa menurut.

“Apa ibumu tahu, kamu datang kemari?”

“Tidak sih.”

“Gimana sih, pasti ibumu cemas dong. Ayo kabari sekarang. Kabari dulu baru makan,” kata Murni sambil mengambil ponselnya, sekaligus memutar nomor Trimo, karena Trimo pernah mencoba menelpon ketika membeli ponselnya.

“Bu, ini aku.”

“Ya ampun Mo, kamu di mana? Lama sekali belum pulang?” teriak bu Trisni yang sedang cemas menunggu anaknya.

“Aku di rumah bu Murni.”

“Apa? Kamu ke sana? Kenapa nggak bilang?”

“Tiba-tiba saja ingin ketemu.”

“Ya sudah, bagaimana keadaan bu Murni?”

“Baik, ini aku sedang dipaksa makan.”

“Ya ampuun, kamu kan sudah sarapan.”

“Lapar lagi,” seloroh Trimo.

“Ya sudah, hati-hati, sampaikan salam ibu untuk bu Murni ya. Nggak usah bicara, karena ibu sedang menggoreng ikan untuk makan siang, nanti gosong.”

“Iya Bu.”

Trimo menyerahkan ponselnya kepada Murni.

“Tuh, Ibumu cemas kan? Lain kali bilang, kalau mau ke mana-mana.”

“Iya.”

“Sekarang makanlah. Nanti kalau pulang jangan jalan kaki, naik angkot saja, aku beri uangnya.”

“Saya bawa uang sebenarnya.

“Tidak, itu kan uang dagangan? Sekarang makanlah. Lain kali kalau ke sini jangan jalan kaki. Banyak angkot menuju kemari kan?”

“Iya Bu.”

“Kamu mau nggak, sekolah di sini?”

“Nggak Bu, nanti ibu sendirian. Dan saya juga harus membantu ibu jualan.”

“Iya, kamu benar.”


Murni senang ketemu Trimo. Ia wanti-wanti berpesan agar tidak pulang jalan kaki, setelah memberinya sejumlah uang.

Ia memasak setelah Trimo pulang, itu sebabnya ia kesiangan. Saat mau mengirim makan siang ke bengkel, suaminya sudah pulang.

“Maaf, aku kesiangan,” kata Murni yang menyambut di tangga teras.

“Tidak apa-apa. Aku makan di rumah saja. Hei, ada sandal kecil disini, punya siapa?” pekik Restu ketika melihat sepasang sandal di bawah tangga.

Murni terkejut.

“Ya ampun, itu kan sandal Trimo. Kok bisa ketinggalan? Berarti tadi dia tidak memakai alas kaki dong. Kok bisa, dia itu.” teriak Murni.

“Siapa Trimo?” tanya Restu.

“Hanya anak kecil. Saya tidak mungkin selingkuh. Yang suka selingkuh kan laki-laki,” omel Murni bermaksud menyindir suaminya.

Sindiran itu membuat Restu terheran-heran.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 54

SELAMAT PAGI BIDADARI (52)

Karya Tien Kumalasari

Pak Broto kesal mendengar penolakan Restu. Ia meletakkan ponselnya dengan kasar.

“Kenapa Pak?”

“Restu itu sangat sombong. Kesal aku,” gerutu pak Broto dengan wajah muram.

“Sombong bagaimana sih Pak?”

“Dia menolak pemberian mobil dari aku. Dan bilang mau beli sendiri mobil bekas dengan uang pribadi. Sombong kan?”

“Bapak jangan begitu. Restu itu bukannya sombong. Dia menolak, karena tak ingin menjadi beban orang tua.”

“Siapa bilang beban. Aku memberinya dengan ikhlas, aku ini kan bapaknya, orang tuanya. Apa tidak pantas orang tua memberi sesuatu kepada anaknya?”

“Iya, sebentar pak, sabar dulu, jangan marah dulu. Ini, minumnya dihabiskan dulu, supaya lebih tenang,” kata bu Broto sambil mengangsurkan gelas minum yang masih separuhnya. Tapi pak Broto menolaknya.

“Sabar … sabar … Siapa yang tidak kesal kalau pemberiannya ditolak mentah-mentah?”

“Makanya ibu bilang sabar, supaya Bapak mau mendengar ibu bicara. Kok jadi ibu ikut dimarahin sih Pak.”

Pak Broto menyandarkan tubuhnya dengan wajah muram.

“Bapak kan tahu, Restu itu dulu pernah membuat Bapak marah, karena telah menghambur-hamburkan uang perusahaan. Ya kan Pak? Nah, sekarang ini Restu sudah sadar akan semua kesalahannya, dan selalu berusaha memperbaikinya. Bapak tahu apa yang dipikirkannya? Restu ingin melakukan sesuatu tanpa bantuan orang tua. Seburuk apapun yang ingin dia miliki, entah baju jelek atau mobil bekas, itu adalah kebanggaannya. Coba bapak mengerti. Biarkan dia merasa bangga dengan apa yang dimilikinya.”

Pak Broto mengangkat tubuhnya dari sandaran, lalu meraih gelas yang tadi disodorkan istrinya, meneguknya sampai habis. Bu Broto tersenyum. Rupanya sang suami mulai bisa mencerna apa yang dikatakannya.

“Punya mobil bekas, dan itu membuat dia bangga?” celetuk pak Broto setelah meletakkan gelasnya.

“Bukan mobil bekasnya itu yang membuat dia bangga, tapi uang yang dipergunakan untuk membeli, adalah hasil jerih payahnya. Itu yang membuat dia bangga.”

Pak Broto mengangguk-angguk, ia mulai mengerti, dan kemarahannya sudah sirna.

“Kita harus membiarkan dia punya kebanggaan. Dia sudah mengerti, bahwa kemewahan yang dimiliki bukanlah sesuatu yang bisa membuatnya bangga, karena semua itu milik orang tuanya. Sekarang dia mencoba membanggun kebanggaannya atas jerih payahnya sendiri, ayo kita dukung dia, jangan malah memarahinya.”

“Baiklah, ibu benar,” kata pak Broto dengan nada rendah, dan dengan anggukan kepala yang mantap.

“Nanti kita akan minta agar dia mengajak kita jalan-jalan, setelah dia berhasil membeli mobil yang diinginkannya,” lanjutnya dengan wajah sumringah.

“Dia pasti senang,” sahut bu Broto, tak kalah sumringahnya.


Hari masih agak siang, Restu sudah sampai di rumah. Murni terkejut, karena belum sempat membuatkan minum atau menyiapkan cemilan.

Ia menyambut suaminya dengan membawakan tas yang dibawanya, diletakkannya di meja, kemudian bergegas ke belakang. Tak disangka Restu mengikutinya.

“Mau apa?”

“Buatkan minum, tadi belum sempat,” katanya sambil terus berlalu, dan Restu juga terus mengikutinya.

Murni mengambil cangkir dan menyeduh kopi. Terkejut ketika tiba-tiba Restu memeluknya dari belakang. Ia mencoba melepaskan diri, tapi Restu memeluknya semakin erat.

“Jangan terlalu capek.”

“Tidak, biasa saja,” katanya. Lalu ia mengambil baki, setelah Restu melepaskan pelukannya, kemudian meletakkan cangkir kopi di atasnya, dan membawanya ke ruang tengah.

Restu mengikutinya.

“Mengapa tidak mau dipeluk suami? Oh ya, aku masih bau asem ya? Maaf,” katanya sambil tertawa. Tapi dia kemudian duduk di atas sofa, meraih cangkir kopi, menghirupnya sedikit.

“Masih panas.”

Murni melangkah ke belakang, mengambil sepiring pisang goreng yang masih hangat, lalu diletakkan di depan suaminya.

“Hei, mau ke mana? Duduk di sini saja, temani aku minum seperti biasanya,” tegur Restu, yang merasa bahwa seharian ini sikap Murni tampak aneh. Banyak diam dan tak sedikitpun menyunggingkan senyum ramah.

“Murni,” panggil Restu karena Murni bergeming.

Murni yang mau beranjak ke belakang berhenti melangkah, menoleh ke arah sang suami.

“Duduklah di sini. Apa karena aku bau asem? Apa aku harus mandi dulu?”

Murni terpaksa kembali, lalu duduk, dimana Restu menepuk-nepuk tempat duduk di sebelahnya.
“Aku ingin bercanda dengan anakku, apa dia nggak mau karena ayahnya masih bau asem?”

“Masih ada yang harus saya kerjakan di belakang,” kata Murni, yang tak urung kemudian duduk di sebelah suaminya.

Restu mengelus perut Murni lembut, dan Murni terlonjak kaget karena bayinya tiba-tiba menendang perutnya.

“Tuh, kan. Dia senang ayahnya datang.”

Murni tersenyum tipis. Ia selalu teringat wanita cantik yang pagi tadi menyakitinya dengan kata-kata kasar, dan dia mempercayainya. Dan karena itu dia kemudian merasa, bahwa Restu bukan menyayangi dirinya, tapi bayi yang dikandungnya.

“Mana minuman kamu?”

“Saya sudah minum.”

“Kalau begitu ayo kita minum ini berdua,” kata Restu yang kemudian menyodorkan cangkir kopinya ke arah bibir Murni. Murni mengundurkan kepalanya.

“Ayo, secangkir berdua.”

“Tidak, saya tidak minum kopi,” sergahnya.

“Kalau begitu biar aku yang mengambilkan teh untuk kamu,” kata Restu yang kemudian beranjak berdiri.

Murni terkejut. Ia juga langsung berdiri.

“Tidak, biar saya ambil sendiri,” katanya sambil beranjak ke belakang.

Restu tersenyum. Tapi dia sungguh heran melihat sikap istrinya.

“Murni, cepatlah, kalau tidak aku sendiri yang akan membuatnya untuk kamu,” teriak Restu.

Murni datang membawa secangkir teh untuk dirinya sendiri.

“Hari ini kamu aneh.”

Murni menatap suaminya.

“Saya biasa saja.”

“Tidak, kamu tidak biasa. Kamu marah sama aku? Ada yang salah?”

Murni ingin mengatakan sesuatu tentang wanita itu, tapi kemudian diurungkannya. Laki-laki selingkuh, mana mau mengaku? Paling juga akan mengelak. Dan Murni kan tahu diri. Siapa Restu, siapa dirinya. Murni selalu sadar bahwa pernikahan itu terjadi karena kehamilannya.

“Katakan sesuatu. Aku tidak percaya kalau tidak terjadi apa-apa.”

“Tidak ada. Saya hanya merasa … kurang enak badan.”

“Kalau begitu kita ke dokter sekarang.”

“Tidak, tidak ….”

“Kamu jangan bandel. Kesehatanmu berpengaruh bagi bayi yang kamu kandung. Kalau kamu sakit, dia juga akan sakit.”

Tuh kan, kembali lagi karena bayi. Itu yang dipikirkan Murni setelah ditemui wanita cantik bermulut tajam pagi tadi.

“Saya mau beristirahat saja. Kalau pak Restu ingin makan, bangunkan saya,” kata Murni sambil berdiri, setelah meneguk minumannya.


Pagi hari itu Restu berangkat seperti biasa, setelah sarapan pagi yang disiapkan Murni seperti biasa.

“Kalau kamu masih merasa tidak enak badan, tidak usah memasak. Nanti aku akan membelikan makan dari luar untuk kita makan siang. Anak-anak bengkel biar jajan seperti sebelumnya,” pesan Restu.

Murni hanya mengangguk mengiyakan. Tapi ia tetap bertekat untuk memasak seperti biasa. Ia berjalan ke arah pasar, dengan harapan tak akan bertemu wanita itu lagi. Tapi harapan tinggallah harapan. Baru saja dia memasuki pasar, wanita itu seperti muncul dari dalam bumi, berdiri begitu saja di hadapannya.

Murni terkejut. Tapi kemudian timbullah keberaniannya. Cacingpun kalau diinjak pasti menggeliat. Murni ingin melawannya.

Itu sebabnya, ketika wanita itu tersenyum sinis menatapnya, Murni membalasnya dengan mata berapi.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 53

SELAMAT PAGI BIDADARI (51)

Karya Tien Kumalasari

Murni terkejut. Dia belum pernah melihat wanita itu, yang menatapnya dengan mata penuh kebencian.

“Anda siapa?” tanyanya pelan.

“Kamu belum tahu siapa aku? Aku adalah kekasih Restu.”

Murni terbelalak.

“Kamu lihat aku baik-baik. Bagaimana penampilan aku, bagaimana wajah aku, lalu lihat dirimu sendiri. Kamu kan hanya bekas pembantu yang berhasil merayu Restu untuk bisa menikahi kamu? Tapi jangan harap bisa membuat Restu jatuh cinta sama kamu, karena dia hanya mencintai aku,” katanya sengit, kemudian berlalu, membiarkan Murni terpaku di tempatnya berdiri.

Lalu Murni sadar, dia sedang berada di pasar. Ia mengusap setitik air matanya, menyelesaikan belanja, lalu pulang.


Murni memasak dengan perasaan gundah. Bahwa dirinya tadinya hanya pembantu, dia sudah tahu dan menyadarinya. Tapi bukan dia yang memaksa apalagi merayu Restu untuk menikahinya. Bukankah Restu yang memaksanya? Tapi lalu Murni sadar bahwa Restu memaksa menikahinya karena ada bayi di dalam kandungannya, bayi yang adalah darah dagingnya. Mungkin benar dan Murni juga yakin benar bahwa pernikahan itu terjadi bukan karena adanya cinta.

Murni mengusap air matanya, lalu melanjutkan merajang sayur yang harus dimasaknya.

Ada keinginan untuk menghentikan acara memasak itu karena hatinya sakit, tapi dia sadar bahwa dia adalah seorang istri, yang apapun yang terjadi, harus melayani suaminya. Maka pada saatnya, sayur lodeh yang dimasaknya sudah matang, dia tinggal menggoreng bandeng presto dan membuat sambal terasi. Itu adalah masakan yang dipesan Restu sebelum berangkat bekerja, dan Murni tentu saja menyanggupinya.

Ia sudah menatanya di tempat biasa, dan siap dikirimkannya ke bengkel, untuk makan siang para pekerja bengkel, dan tentu saja untuk Restu.

Tapi beberapa saat lamanya dia hanya diam, menatap tumpukan rantang yang siap dibawanya. Bermacam pikiran berkecamuk dalam hatinya. Apakah dia harus berterus terang tentang kedatangan wanita cantik yang tadi menemuinya? Apakah dia harus marah karena menganggap suaminya ternyata selingkuh?

Tidak, Murni sadar sesadar-sadarnya bahwa dia hanya terpaksa dinikahi Restu, dia harus tahu diri. Biarlah ada wanita lain, Murni tak peduli. Dia hanya menjalankan kewajibannya.

Tapi kemudian Murni dikejutkan oleh kedatangan Restu yang tiba-tiba.

Restu terkejut melihat Murni duduk di kursi dan didepannya setumpuk rantang sudah tertata.

Murni berdiri menyambut.

“Kamu kenapa? Apa kamu sakit?”

“Tidak, maaf, sudah terlambat ya?”

“Tidak, aku hanya khawatir, biasanya kamu sudah mengirim sejak tadi, Ternyata sudah siap, dan kamu duduk tampak lesu.”

“Maaf.”

“Kamu tidak sakit? Tidak merasakan apa-apa?”

Murni menggeleng, Terharu melihat perhatian Restu, tapi kemudian ditepiskannya. Restu bukan memperhatikan dirinya karena sayang. Restu memperhatikan bayi yang dikandungnya.

“Aku makan di rumah saja ya? Bolehkah?”

“Boleh, tentu saja,” jawab Murni yang segera menata meja makan, lengkap dengan lauk dan nasinya. Sungkan, suaminya seperti sudah kelaparan.

“Makanan anak bengkel saya antar sekarang ya,” kata Murni yang merasa pastinya mereka juga sudah lapar.

“Jangan, biarkan saja.”

“Tapi …”

“Ayo, makan sama kamu juga,” ajak Restu ketika Murni hanya menatapnya.

Murni menurut. Ia makan sambil melayani suaminya. Sesungguhnya pada kehamilannya yang semakin tua, Murni lebih banyak makan, rasanya masih lapar kalau hanya makan sedikit. Jadi dia terpaksa makan banyak, yang disaksikan Restu sambil tersenyum.

“Nanti makanan anak-anak bengkel saya yang membawa.”

“Kasihan, pasti sudah lapar juga.”

“Tidak. Mereka akan sabar menunggu,” kata Restu sambil makan dengan nikmat.

Murni menatapnya.

“Kapan kamu akan kontrol kandungan?”

“Dua hari lagi.”

“Aku akan pulang lebih sore.”

“Tidak usah, aku ke dokter sendiri saja.”

“Jangan, aku harus mengantarkan kamu. Saat ini aku sedang menabung untuk membeli mobil yang second saja, biar agak murah,” kata Restu.

“Namanya mobil, tetap saja mahal.”

“Supaya kalau kamu periksa, tidak kehujanan. Sebentar lagi musim hujan.”

“Ada payung kan?”

“Murni, aku sudah menabung, uangku hampir cukup. Ijinkan aku meringankan beban kamu, jangan sampai kepanasan dan kehujanan. Apalagi kalau anak kita lahir.”

Murni terdiam. Lagi-lagi Murni merasa bahwa itu semua demi bayi yang dikandungnya. Dan wajah wanita cantik itu kembali terbayang.

“Kamu lihat aku baik-baik. Bagaimana penampilan aku, bagaimana wajah aku, lalu lihat dirimu sendiri. Kamu kan hanya bekas pembantu yang berhasil merayu Restu untuk bisa menikahi kamu? Tapi jangan harap bisa membuat Restu jatuh cinta sama kamu, karena dia hanya mencintai aku,”

Murni menghela napas kasar, sambil menutupkan sendok garpunya.

Restu menatapnya heran. Ada perubahan sikap Murni hari ini.

“Kamu kenapa?”

“Apa?”

“Kamu kenapa? Kok tidak seperti biasanya.”

“Aku baik-baik saja. Kalau pak Restu sudah selesai makan, segera kembalilah ke bengkel, anak-anak bengkel pasti sudah lapar,” kata Murni mengalihkan pertanyaan Restu.

“Baiklah. Aku akan pulang agak sore hari ini.”

“Ada apa?”

“Ingin bercanda dengan anakku. Kemarin sudah banyak bergerak bukan?”

Murni terpaksa tersenyum. Ia merasa geli ketika kaki mungkin di dalam perutnya menendang-nendang, apalagi kalau Restu mengelusnya. Restu mengatakan, anaknya sedang mengajaknya bercanda.

Restu berdiri, ia meraih rantang yang sudah disiapkan, kemudian berangkat kembali ke bengkel, setelah mengelus lembut perut Murni. Dan lagi-lagi bayi itu seperti menendang-nendang, membuat Murni meringis.

“Dia tahu, ayahnya mengajak dia bercanda,” kata Restu kemudian berlalu.


“Bapak tidak ke kantor hari ini?” tanya bu Broto setelah makan siang bersama suaminya.

“Tidak. Wulan sudah bisa diandalkan. Aku tidak harus setiap hari datang ke kantor.”

“Tapi kalau dilepas sendiri kan juga kasihan.”

“Tidak sendiri. Rio selalu membantunya kok.”

“Syukurlah.”

“Aku ingin membeli mobil kecil untuk Restu.”

“Bagus, Ibu juga berpikir begitu. Kasihan Restu, kalau panas kepanasan, kalau hujan kehujanan.”

“Aku akan menelponnya, apakah dia ada di bengkel. Aku akan mengajaknya melihat-lihat mobil, dan minta agar dia memilih mana yang disukainya.”

“Aku ikut ya Pak.”

“Kamu seperti anak kecil saja.”

“Iya lah Pak, sekarang yang di rumah tinggal Ibu sama Bapak. Bagusnya kalau kemana-mana harus berdua dong.”

“Baiklah, aku telpon dia dulu, takutnya dia tidak ditempat.”

“Ya Pak,” kata Restu menjawab ketika ayahnya menelpon.

“Kamu ada di bengkel?”

“Iya, baru saja kembali dari makan siang di rumah.”

“Wah, pasti menyenangkan. Istri kamu itu sama seperti simboknya, masakannya enak.”

“Iya benar Pak.”

“Bapak mau ke situ.”

“Oh ya, tumben.”

“Bapak mau mengajak kamu jalan-jalan, sama ibumu juga.”

“Tumben mau jalan-jalan. Kemana Pak?”

“Ke dealer mobil.”

“Bapak mau beli mobil?”

“Iya, Untukmu.”

Restu sangat terkejut.

“Mau beli mobil untuk Restu?”

“Iya, kamu pilih nanti, mana yang kamu suka.”

“Tidak usah Pak, Restu sudah mau membelinya sendiri, Pakai uang Restu sendiri.”

“Restu, uangmu berapa? Sudah cukupkah untuk beli mobil?”

“Hanya mobil bekas saja Pak, yang penting mesinnya masih bagus.”

“Bapak ingin membelikannya untuk kamu, simpan saja uang kamu untuk kebutuhan kamu. Apalagi kamu kan sudah mau punya anak. Kebutuhan bayi itu kan banyak.”

“Kebutuhan bayi sudah Restu siapkan. Tolong Pak, Restu tidak ingin lagi membebani Bapak. Restu sudah banyak menyusahkan Bapak.”


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 52

SELAMAT PAGI BIDADARI (50)

Karya Tien Kumalasari

Restu terkejut.

“Lisa? Mau apa kamu datang kemari?” kata Restu tak senang.

Melihat wajak tak suka itu, bukannya mundur, Lisa justru mendekat, lalu duduk di kursi di depan meja kerja Restu.

“Restu, maafkan aku ya?”

“Ya, baiklah, aku maafkan, tapi tolong pergilah, aku sedang sibuk.”

“Ya ampun Restu, aku mohon, kamu mau mendengarkan ceritaku. Tolong.”

“Untuk apa aku mendengarkan ceritamu? Urusan kamu bukan urusan aku, kita tidak punya ikatan apa-apa. Jadi lebih baik kamu pergi saja.”

Tiba-tiba Lisa menangis. Restu kebingungan. Ada anak buahnya di luar ruangannya, dan pasti melihat apa yang terjadi.

“Terlena oleh bujukan pak Thomas, sehingga aku melupakan kamu. Aku menyesal Restu. Dan mendengar kamu sudah bercerai, aku datang menemui kamu, mari kita mulai lagi semuanya dari awal.”

“Tidak, aku tidak bisa. Pergilah.”

“Restu, aku sudah tidak bekerja lagi sekarang. Isteri pak Thomas memecat aku,” isaknya.

“Itu bukan urusan aku Lisa, tolong pergilah.”

“Gelang pemberian kamu juga diminta oleh isteri pak Thomas, dia mengira gelang itu dari suaminya, padahal kan dari kamu Restu? Aku simpan terus karena aku menyayangi kamu.”

“Tidak, tidak. Jangan cerita apapun, aku tidak mau mendengarnya, itu bukan urusan aku.”

“Restu, aku masih sayang saya kamu.”

“Hentikan, aku sudah mau menikah.”

“Apa? Kamu mau menikah sama siapa Restu?”

“Kamu tidak perlu tahu, itu bukan urusan kamu.”

“Aku hanya ingin tahu, dan ingin mengenalnya saja.”

“Tidak perlu, dia bukan apa-apa kamu, dan tak ada untungnya berkenalan sama kamu. Tolong pergilah, aku masih banyak urusan,” katanya sambil berdiri, lalu naik ke atas, memasuki kamarnya dan menguncinya.

Lisa merasa kesal. Ia berdiri lalu keluar dari ruangan kecil itu, dimana Restu biasanya bekerja, mengontrol perusahaannya.

Sebelum keluar, Lisa menoleh ke arah karyawan-karyawan dan mengoceh.

“Majikan kamu itu sekarang sudah berubah. Dulu dia sangat menyayangi aku. Apapun yang aku minta selalu diberikan. Lalu dia menjadi miskin. Sekarang, ketika dia mulai bisa membangun usaha lagi, dia lupa sama aku. Kejam kan? Malah dia mau menikah katanya? Hm, aku ingin melihatnya, seperti apa istrinya, lebih cantikkah dari aku?”

Lalu Lisa melangkah pergi, diiringi pandangan aneh dari yang ada di situ, termasuk beberapa orang yang sedang memperbaiki mobilnya di bengkel tersebut.

“Siapa sih dia?” tanya seseorang.

Para karyawan hanya mengangkat bahu.

“Wanita tak tahu malu,” celetuk yang lainnya.

“Iya, masa mengumbar sesuatu yang seharusnya dirahasiakan, ditempat umum pula.”

“Pak bos juga nggak peduli, tadi ditinggalkannya begitu saja.”

“Pasti bener-bener perempuan gila.”

Lalu mereka tak peduli, dan melanjutkan pekerjaan mereka lagi, karena beberapa pelanggan sedang menunggu.


‘Rio … kita akan punya gawe.” Teriak Wulan dengan gembira ketika suaminya pulang.

“Tentang mas Restu?”

“Iya, Murni sudah bersedia. Bapak sama ibu senang sekali.”

“Atur semuanya, carikan gedung dan_”

“Tidak Rio, tidak usah.”

“Apa maksudmu? Bukankah mereka akan menikah?”

“Tapi Murni tidak mau ada pesta. Cukup menikah dan selesai.”

“Begitu ya? Mungkin rame-rame nya di kampung mereka.”

“Tidak juga.”

“Kok semuanya tidak sih?”

“Murni minta menikah di sini, jadi mas Restu sedang mengurusnya. Mungkin beberapa hari selesai. Lega aku jadinya.”

“Aku senang akhirnya semua menjadi baik. Sekarang Murni ada di mana? Di rumah bapak?”

“Iya, bersama yu Sarni, ada di rumah bapak.”

“Ayuk kita ke sana.”
“Mandi dulu saja, nanti setelah maghrib kita ke sana.”

“Baiklah, bidadari,” kata Rio yang langsung masuk ke kamarnya. Wulan sudah menyediakan baju ganti untuk suaminya, kemudian ke dapur untuk membuatkan kopi pahit kesukaan suaminya. Ada roti bakar yang dibuatnya untuk cemilan, lalu dihidangkannya di atas meja di ruang tengah.

Wulan menyetel televisi sambil menunggu suaminya, ketika tiba-tiba ponselnya berdering.

“Dari ibu,” gumamnya sambil mengangkat panggilan itu.

“Ya Ibu,” sapanya.

“Wulan, suami kamu sudah pulang?”

“Sudah Bu, sekarang baru mandi.”

“Datanglah kemari, karena bapak mau bicara bersama kalian. Nanti Restu juga akan ke rumah.”

“Rupanya ibu mau mengadakan pesta?” canda Wulan.

“Tidak Wulan, kan ibu sudah bilang, bahwa Murni hanya mau melaksanakan ijab kobul saja, tidak mau ada pesta.”

“Iya, Wulan sudah tahu kok Bu.”

“Tapi bagaimanapun kan semuanya harus dipersiapkan?”

“Iya Bu.”

“Datanglah cepat, bapak sudah menunggu.”

“Baiklah, setelah mandi, Rio akan segera Wulan ajak datang kemari.”

“Suruh Rio membawa gitarnya,” tiba-tiba terdengar suara pak Broto menyela.

“Bapak ada-ada saja sih, mau omong-omong atau mau menyanyi?” kata bu Baroto kesal.

“Masa semalaman mau ngomong terus. Kan ada waktu luang untuk bersenang-senang sebentar,” protes pak Broto. Wulan yang mendengar perdebatan itu tersenyum-senyum sendiri.

“Wulan,” kata bu Broto.

“Rio harus membawa gitarnya kan?” potong Wulan sambil tertawa.

“Iya, kamu mendengar ya. Bapakmu berteriak-teriak sih.”

“Baiklah Bu, akan saya siapkan gitarnya sekarang, supaya Rio tidak lupa membawanya.”

“Iya Wulan, segera ya, kami tunggu. Tuh, Restu sudah datang.”

“Sebentar lagi kami ke sana Bu.”


Persiapannya memang tidak terlalu heboh seperti kalau ada pengantinan di rumah. Tapi tetap saja semua harus dipersiapkan. Rio dan Wulan juga harus belanja, membeli kebaya yang bagus untuk Murni saat menikah, dan baju untuk yu Sarni, juga bu Broto dan dirinya sendiri. Rio juga membeli jas baru untuk Restu, agar walau sederhana tapi pernikahan itu bisa menjadi momen yang tak terlupakan bagi semuanya.

Murni hanya menurut saja, dan karena Wulan sudah sering membelikan baju untuk Murni, maka dia bisa memilihkan baju yang pas untuk Murni, hanya agak longgar di bagian perut, karena usia kehamilan yang sudah lima bulan pasti membuat perutnya sudah semakin membuncit.

Pernikahan itu sudah selesai, hanya dihadiri oleh keluarga, dan saudara dekat yu Sarni dari kampung yang hanya dua atau tiga orang. Tapi yu Sarni tampak bahagia, melihat anaknya bersanding dengan majikan yang ganteng dan tampak menyayangi anaknya.

“Kalian jangan tinggal di bengkel, aku lihat ruangan itu hanya bagus kamarnya, tapi tidak cukup perlengkapan untuk sebuah rumah tangga,” kata pak Broto.

“Aku akan memberi kamu hadiah sebuah rumah. Aku sudah mempersiapkannya, dan kamu boleh melihatnya, kalau sekiranya ada yang kurang, tinggal bilang saja,” lanjut pak Broto.

“Seharusnya kami bisa tinggal di rumah yang sederhana saja. Mengapa Bapak membelikannya? Awalnya Restu akan mengontrak dulu,” kata Restu.

“Tidak, ini hadiah untuk pernikahan kamu. Kamu tidak boleh menolaknya. Besok pagi kita akan melihatnya, ajak Murni juga.”

“Itu permintaan bapakmu, kamu jangan menolak,” sambung bu Broto.

Mau tak mau Restu menurut. Rumah itu dipilihkan ayahnya, tidak jauh dari bengkel tempat dia bekerja. Kecil tapi bagus, sudah lengkap dengan berabotnya.

“Bagaimana Mur? Kamu suka?” tanya Restu kepada Murni.

“Terserah pak Restu saja,” jawab Murni yang belum begitu akrab dengan suaminya.

Mereka akhirnya tinggal di rumah baru itu dengan senang hati.

Restu hanya berada di bengkel saat bengkelnya buka, dan Murni mengirim makanan untuk suaminya dan para karyawan setiap siang, hasil masakannya sendiri.

“Semakin lama Murni terbiasa dengan kehidupannya yang sekarang, apalagi Restu sangat memperhatikannya. Selalu mengantarkan saat dia periksa kehamilan, dan melarangnya bekerja terlalu keras, karena Murni memang sudah terbiasa rajin sejak membantu di rumah Wulan.

Pagi itu Murni berangkat ke pasar untuk belanja, karena persediaan dapurnya sudah menipis. Saat sedang memilih sayuran, tiba-tiba seseorang menegurnya.

“O, ini yang namanya Murni, menanti pak Broto, pengusaha yang sangat terkenal itu?”

Murni terdiam karena terkejut.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 51

SELAMAT PAGI BIDADARI (49)

Karya Tien Kumalasari

Wanita itu melenggang pergi, dengan langkah yang dibuat-buat. Tiga orang karyawan bengkel melihatnya sambil tersenyum-senyum.

“Cantik, tapi nggak menarik.”

“Terlalu genit.”

“Kemayu, padahal bukan gadis lagi.”

“Darimana kamu tahu kalau dia bukan gadis?”

“Kelihatan lah, dari cara dia berjalan.”

“Wah, jangan-jangan istri pak Restu.”

“Hush! Mana mungkin, pak Restu tidak punya istri, tampaknya masih bujang. Mungkin duren sawit.”

“Apa tuh, duren sawit?”

“Duda keren sarang duwit.”

Lalu mereka tertawa keras, sambil bersiap menutup pintu bengkelnya.

“Mengapa tadi tidak bertanya siapa namanya?”

“Iya, kalau pak Restu bertanya, bagaimana kita menjawabnya?”

“Iya juga, terburu-buru pergi sih.”

“Katakan saja dicari kerabatnya, begitu.”

“Ya sudah, yuk pulang, hampir maghrib.”

Mereka pulang setelah mengunci bengkel, karena senja telah mulai membuat hari semakin remang.


Pak Broto sudah menerima telpon dari Wulan, dan sedang berbincang-bincang dengan istrinya tentang kepulangan Murni.

“Apa berarti kita harus bersiap menikahkan mereka?” tanya bu Broto.

“Kita belum tahu apa jawaban Murni, jangan-jangan dia menolak,” keluh pak Broto.

“Bodoh kalau menolak, apa dia tak ingin anaknya punya bapak?”

“Sebaiknya ibu menelpon Yu Sarni saja. Bagaimana keputusannya. Walau bagaimanapun menikah itu kan harus ada kesiapannya, baik dari kita, maupun dari pihak Yu Sarni. Dan maunya bagaimana, kita kan harus bicara.”

“Ibu menelpon Yu Sarni, atau Restu ya enaknya.”

“Terserah Ibu saja. Mana yang lebih baik.”

Bu Broto mengambil ponselnya, lalu menghubungi Restu.

“Ya Bu,” jawab Restu dari seberang.

“Bagaimana tentang Murni? Kamu sudah bicara?”

“Yu Sarni baru mau bicara malam nanti Bu, siang tadi baru datang, tampaknya dia lelah dan sekarang masih beristirahat.”

“Jadi mereka belum bicara? Lalu kamu juga sudah ketemu dia?”

“Sudah.”

“Bagaimana sikapnya? Apa dia masih trauma, menjerit-jerit atau lari menjauhi kamu?”

“Tidak Bu, dia diam saja.”

“Tidak mau bicara?”

“Mau, sepotong-sepotong.”

“Artinya tidak ada penolakan dari dia untuk melaksanakan niat kamu selanjutnya?”

“Sejauh ini dia masih bersikap baik. Artinya tidak lari menjauh.”

“Baiklah, kabari ibu kalau sudah ada keputusannya yang pasti.”

“Kalau sudah ada pembicaraan, Restu mau langsung pulang, untuk mempersiapkan semuanya.”

“Baiklah, ibu mengerti.”

Bu Broto menutup ponselnya lalu mengangkat pundaknya tanda belum mengerti.

“Apa kata anakmu?” tanya pak Broto.

“Malam ini Sarni baru akan bicara sama Murni. Jadi tentang niat menikahi Murni itu masih menggantung. Tapi Murni sudah mau bicara sama Restu, walaupun sepotong-sepotong, katanya.”

“Berarti ini berita mau.”

“Artinya ada kemajuan. Dan yang jelas Murni pasti tidak akan kabur-kaburan lagi.”

“Semoga semuanya baik-baik saja. Kita juga tertekan dengan adanya peristiwa ini, yang selalu menggantung tak jelas kapan sampai di ujung.”

“Kita juga merasa bersalah dengan kehamilan Murni. Jalan terbaik adalah menikahkannya dengan Restu.

“Benar. Semoga Murni bisa mengerti.


Di kamarnya, yu Sarni perlahan berbicara dengan Murni. Tentang banyak hal, tentang apa yang sebaiknya dilakukan. Dan tampaknya Murni bisa mengerti, hanya saja Murni masih tampak ragu-ragu dengan niat baik Restu tersebut. Menurutnya Restu masih seperti dulu. Berangasan dan semaunya. Padahal sejak siang bersamanya, ia merasakan sikap Restu yang sangat lembut.

“Mengapa kamu diam? Apa yang kamu pikirkan?” tanya yu Sarni.

Murni menghela napas.

“Apakah pak Restu bersungguh-sungguh?” tanyanya pelan.

“Apa masih kurang jelas bagi kamu, apa yang dilakukannya selama ini? Dia sudah berubah. Dia tidak mau membantu di perusahaan ayahnya karena ingin berusaha sendiri dan dia berhasil, walau tampaknya dibantu oleh pak Rio. Nyatanya berkali-kali dia menyatakan penyesalannya, dan bersedia menikahi kamu saat tahu bahwa kamu hamil.”

“Rasanya agak aneh.”

“Apa maksudmu?”

“Majikan menikahi pembantu. Murni takut dia akan menyakiti Murni.”

“Mur, ini jalan terbaik untuk hidupmu. Terlalu panjang kamu memikirkannya, tidak akan baik untuk kandungan kamu yang akan semakin menjadi besar. Kamu harus percaya, pak Restu sudah berubah.”

Lama Murni terdiam.

“Jawabanmu ditunggu. Nanti setelah kamu menjawab, pak Restu akan pulang dan mempersiapkan semuanya.”

“Baiklah, Murni setuju.”

“Waduh, simbok seneng banget Mur, memang ini adalah jalan terbaik.”

“Tapi Mbok …”

“Tapi apa lagi?”

“Murni tidak mau menikah di sini, Murni malu Mbok,” katanya sendu.

“Lagi pula aku juga tidak mau ada pesta atau perayaan. Yang penting menikah,” lanjutnya

“Baiklah, nanti saya akan bicara sama Pak Broto dan bu Broto. Itu masalah gampang bagi mereka. Yang penting kamu bersedia.”

Murni mengangguk.

“Sekarang tidurlah. Besok pak Restu mau kembali ke kota.”

“Mengapa kita tidak sekalian saja kembali ke kota? Aku tidak mau lama-lama tinggal di sini. Aku malu mbok.”

“Nanti aku bicara sama Pak Restu, sekarang kamu istirahat saja dulu, ini sudah malam.”

Murni mengangguk, kemudian menarik selimut sampai ke dadanya, dan mencoba tidur sambil memeluk guling.

Yu Sarni keluar dari kamar, dengan heran ia melihat bahwa Restu masih terjaga.

“Pak Restu belum tidur?”

“Belum ngantuk Yu.”

Lalu yu Sarni memberi isyarat agar Restu mengikutinya keluar, dan duduk di balai-balai yang terletak di depan rumah.

Restu mengerti, maksudnya agar Murni tidak terganggu dengan pembicaraan mereka, mengingat hari sudah malam.

“Bagaimana Yu.”

“Saya sudah bicara sama Murni.”

“Apa jawabnya?”

“Dia setuju menikah dengan pak Restu.”

“Syukurlah, senang saya mendengarnya. Kalau begitu besok saya mau pulang dulu.”

“Tunggu dulu, pak Restu. Murni bilang dia tidak mau menikah di kampung. Katanya dia malu.”

“Oh, begitu, baiklah. Bilang sama Murni bahwa dia tidak perlu khawatir, semua akan saya urus dengan sebaik-baiknya.”

“Murni juga tidak mau ada keramaian dalam pernikahan itu.”

“Baiklah. Besok aku akan pulang dan menyampaikan semuanya pada bapak.”

“Ada lagi Pak, besok kalau pak Restu pulang, saya sama Murni mau bareng sekalian.”

“Oh, begitu? Bagus kalau begitu. Saya akan mencari taksi pagi-pagi sekali.”

“Maaf ya Pak Restu, jadi merepotkan.”

“Tidak Yu, mengapa bilang begitu? Aku senang sudah mendapatkan jalan terbaik, dan ini membuat saya tidak lagi terbebani oleh semua kesalahan saya.”

“Sekarang Pak Restu tidur dulu, yu Sarni juga sudah ngantuk.”


Hari itu bu Broto senang, Yu Sarni sudah datang bersama Murni. Ia minta agar untuk sementara Murni tinggal di sana dulu, sambil menunggu Restu mengurus semuanya.

Sementara itu Restu segera kembali ke bengkel. Ia sampai di bengkel, ketika bengkel baru saja buka.

“Apa kabar semuanya?” tanya Restu kepada para pegawainya.

“Baik Pak Restu,” jawab mereka serentak.

“Ada kendala?”

“Semuanya baik-baik saja.”

“Tapi kemarin ada yang mencari pak Restu,” kata salah seorang pegawai yang lain.

“Siapa?”

“Mohon maaf, kami lupa menanyakan namanya. Tapi dia seorang wanita cantik berpakaian seksi, mengaku sebagai kerabat pak Restu.”

“Siapa? Kenapa tidak ditanyakan namanya?”

“Waktu itu sudah sore, kami hampir menutup bengkel, dan dia tergesa-gesa pergi.”

Restu termenung. Seorang wanita cantik, berpakaian seksi, mengaku sebagai kerabatnya?

“Dia bilang hari ini akan datang lagi.”

“Ya Tuhan, apakah dia? Mau apa datang kemari?”

Tapi belum sempat Restu menaiki tangga untuk masu ke ruangannya, terdengar teriakan dengan suara nyaring. Suara yang dikenalnya.

“Restuuu!!”


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 50

SELAMAT PAGI BIDADARI (48)

Karya Tien Kumalasari

Kaki Murni tiba-tiba susah digerakkan, seperti ada yang menggantung dan terasa berat. Laki-laki ganteng bernama Restu itu demikian juga. Terpaku di tengah pintu, dan berat untuk melangkah. Separuh hatinya ingin menyambut kedatangan Murni, separuh hatinya khawatir kalau Murni kemudian ketakutan dan histeris. Tapi tak ada suara apapun dari mulut Murni, tak ada wajah ketakutan, kecuali keraguan untuk melangkah. Restu mencoba memberanikan diri untuk melangkah, setapak demi setapak, dengan dada penuh debaran. Ia semakin berani manakala Murni tak bereaksi atas langkahnya. Dua tapak lagi Restu akan sampai di hadapan Murni. Murni menatapnya tak berkedip.

“Murni, kamu datang?” sapanya lembut.

Kemana larinya serigala bertaring yang menakutkan? Kemana larinya mata beringas dan hasrat mencabik tubuhnya sehingga terkoyak-koyak berkeping-keping? Murni tak menemukannya. Ia bahkan membiarkan ketika Restu mengambil kopernya, dan menariknya mendekati rumah.

Murni melangkah pelan. Jantungnya berdebar kencang. Matanya mencari, di mana simboknya, maka laki-laki ganteng majikannya ini yang menyambutnya?

“Naik apa?” tanya Restu setelah memasuki rumah, dan meletakkan koper Murni disamping pintu kamar.

“Angkot,” jawabnya singkat sambil duduk. Matanya mencari-cari.

“Yu Sarni baru membeli makanan,” kata Restu tanpa ditanya. Ia mengerti dari mata Murni yang mencari-cari.

Murni menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Restu beranjak ke belakang, lalu keluar sambil membawa segelas air putih, diserahkannya kepada Murni.

Tiba-tiba Murni merasa bersalah, mengapa majikannya malah meladeninya? Ia tergesa menerima gelas itu dan meminta maaf.

“Maaf, mengapa melayani saya? Biar ss ..saya … mengambil sendiri,” katanya dengan tangan gemetar.

“Minumlah, kamu pasti lelah,” kata Restu sambil duduk di depannya, membuat Murni semakin gugup.

“Minumlah,” ulang Restu ketika melihat Murni masih memegang gelasnya.

Murni mengangguk, lalu meneguknya, hampir habis. Ia tampak kehausan.

“Lagi?” tanya Restu.

“Tidak … tidak, biar nanti sa.. saya ambil sendiri,” katanya segera, sambil meletakkan gelasnya.

Murni benar-benar merasa tak enak karena dilayani. Ia heran kepada dirinya, yang tiba-tiba mulai menghilangkan ingatan tentang malam menakutkan yang pernah dialaminya.

“Tidak pantas … ss .. saya dilayani,” ucapnya pelan.

“Karena aku tahu kamu lelah dan kehausan. Bukankah udara sangat panas?”

Murni mengangguk pelan.

“Kamu sehat?”

Murni kembali mengangguk.

Kemudian keduanya terdiam, tak tahu harus mengatakan apa. Restu bahkan berat mengatakan apa yang menjadi keinginannya. Terlalu tergesa-gesa. Biar yu Sarni saja mengatakannya, sementara Murni bisa menenangkan batinnya.

“Murni?” pekik simbok dari arah pintu mengejutkan mereka.

Murni berdiri, kemudian merangkul simboknya, sambil berurai air mata. Restu mengambil bungkusan plastik yang dibawa yu Sarni, meletakkannya di meja belakang. Ia tak ingin mengganggu pertemuan mengharukan antara ibu dan anak itu.

“Bagaimana keadaanmu? Kamu sehat? Kandunganmu baik-baik saja?” yu Sarni memberondongnya dengan pertanyaan-pertanyaan.

“Sehat Mbok, aku baik-baik saja.”

“Syukurlah,” kata simbok sambil menarik Murni duduk di kursi panjang, agar mereka bisa duduk berdampingan.

“Maafkan Murni Mbok,” isak nya.

“Sudah, simbok sudah memaafkan sebelum kamu memintanya. Yang penting kamu sehat dan baik-baik saja.”

Murni masih bergayut di dada simboknya, terisak pelan. Yu Sarni mengusapnya dengan ujung bajunya.

“Murni menyusahkan simbok, dan semua orang.”

“Tidak, lupakanlah. Seorang ibu kehilangan anaknya, wajah kalau sedih atau susah. Sekarang jangan memikirkan apa-apa lagi. Ayo kita makan, simbok sudah beli makanan untuk makan siang. Padahal ini sudah hampir sore, ayo nduk,” kata yu Sarni sambil menarik tangan anaknya. Murni menurut, dan ketika di dalam, ternyata Restu sudah duduk di sana, dan meletakkan bungkusan-bungkusan di atas piring.

“Pak Restu, mengapa pak Restu yang melayani kami,” tegur yu Sarni.

“Tidak apa-apa Yu, kan hanya mengambilkan piring.”

“Murni mau ke kamar mandi dulu, Mbok,” kata Murni yang kemudian beranjak ke belakang, menuju ke kamar mandi.

Simbok duduk di depan Restu.

“Pak Restu sudah bicara sama Murni?”

Restu menggeleng.

“Tidak berani, nanti dia marah. Lebih baik yu Sarni saja.”

“Baiklah, nanti malam yu Sarni mau bicara, setelah dia beristirahat.”

Restu mengangguk setuju. Kemudian dia berdiri, menarik kursi setelah Murni kembali dari kamar mandi.

Murni tampak sungkan dilayani. Dia tidak lupa bahwa Restu adalah majikannya. Tapi Restu terus melayaninya.

“Ayo makanlah, kamu pasti lapar. Untunglah tadi simbok beli banyak, maksudnya sekalian untuk makan malam. Tapi karena kamu datang dan simbok tidak menduganya, ya nggak apa-apa, kita habiskan saja, nanti malam beli lagi.”

Sambil makan yu Sarni bercerita tentang keberadaannya di kampung bersama Restu, tanpa membawa baju dan bekal uang sepeserpun.

“Untunglah pak Rio membelikan baju ganti beberapa potong untuk pak Restu, dan pak Restu yang memberi simbok uang untuk makan dan minum. Simbok tidak masak apapun, pak Restu melarangnya, lagi pula hati simbok sedang tidak tenang, karena memikirkan kamu. Kalaupun masak pasti rasanya tidak enak,” celoteh yu Sarni.

Murni belum banyak bicara. Bahkan dia juga belum menceritakan kemana dia pergi dan pengalaman yang dilaluinya selama dua hari ini.


Wulan segera menyambut Rio sepulang dari kantor, karena ingin segera mengatakan apa yang di dengarnya dari yu Sarni yang belum lama menelponnya.

“Rio … dengar, ada berita bagus yang kamu harus mendengarnya segera,” kata Wulan sambil mengambil tas kerja Rio dari tangannya.

Mereka melangkah ke dalam, sebelah tangan Wulan menggandeng Rio, dan menariknya ke dalam dengan langkah bersemangat.

“Ada apa sih? Gembira amat,” tanya Rio heran.

“Baru saja yu Sarni menelpon.”

“Murni sudah pulang?”

“Yaa. Kamu pintar menebak.”

“Syukurlah. Mas Restu sudah bicara tentang keinginannya?”

“Belum, kata yu Sarni jangan tergesa-gesa. Dia akan bicara pelan-pelan nanti malam.”

“Syukurlah. Kemarin aku sempat mengomeli dia ketika dia kaget karena aku mentransfer gajinya.”

“Iya, kamu memang luar biasa. Transferan gaji itu memancing dia untuk menghubungi kamu kan Rio? Kalau tidak, betapa susahnya dia dihubungi,” kata Wulan sambil mengambilkan suaminya segelas jus jambu kesukaannya.

“Syukurlah.”

Rio meneguk jus yang diberikan istrinya, kemudian melepaskan sepatunya. Wulan berjongkok untuk membantunya.

“Kamu ke kantor hari ini?”

“Ya, aku juga belum lama pulang. Ada bapak juga di sana, dan pembicaraan kami hanya tentang Murni dan mas Restu saja. Bapak sangat prihatin, dan berharap Murni segera bisa kembali serta menerima Restu.”

“Kamu sudah mengabari bapak tentang kepulangan Murni?”

“Belum. Yu Sarni belum lama menelpon, lalu kamu pulang, jadi aku belum sempat mengabari bapak atau ibu.”

“Baiklah, kabari saja sekarang, sementara aku mau mandi. Apa kamu masak hari ini?”

“Maaf Rio, tidak. Hanya sisa nasi goreng tadi pagi, nggak enak dong, sudah dingin.”

“Nggak apa-apa, kita makan diluar saja, sekarang aku mau mandi dulu ya.”

“Baiklah, mandi cepat ya, biar wangi,” kata Wulan sambil meraih ponselnya untuk mengabari pak Broto tentang kepulangan Murni.


Hari sudah menjelang maghrib, bengkel Restu sudah mau tutup. Seorang yang diserahi tanggung jawab selama Restu pergi, sudah bersiap menutup bengkel, dibantu teman-temannya. Tiba-tiba seorang wanita cantik berpakaian seronok datang dengan tergesa-gesa.

“Tunggu, jangan tutup dulu,” katanya sambil turun dari taksi.

Petugas bengkel heran, karena taksi itu langsung pergi, dan tak ada tanda-tanda wanita itu akan memperbaiki mobilnya.

“Ada apa Mbak?”

“Apakah ini bengkel milik pak Restu?”

“Benar.”

“Bisakah saya ketemu? Saya sahabatnya dari jauh,” katanya.

“Maaf Mbak, pak Restu tidak ada di tempat.”

“Kemana dia?”

“Keluar kota.”

“Luar kota mana? Kapan dia kembali?”

“Kami tidak tahu Mbak, kemana, atau kembalinya kapan.”

“Baiklah, besok saja saya kembali” katanya sambil membalikkan tubuhnya dan berlalu.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 49