Karya Tien Kumalasari
Yu Sarni sudah selesai menyiapkan rawon dan lauk pauknya kedalam dua buah rantang besar, untuk Wulan dan untuk Restu. Bu Broto sedang berganti baju di kamar.
“Bu, apakah saya harus memanggil sopir kantor?”
“Tidak usah Ni, nanti Wulan tahu, kita akan memberi kejutan bukan?”
“Oh iya juga sih Bu.”
“Panggil taksi saja. Kamu bisa kan? Ini, pakai ponsel aku.”
“Baik Bu. Semua sudah saya siapkan di depan. Ini ke rumah bu Wulan dulu, atau ke pak Restu dulu?”
“Ke Wulan dulu saja, aku belum tahu alamat bengkelnya Restu, nanti tanya sama Wulan setelah ketemu.”
“Baiklah, saya pesan taksinya dulu.”
Bu Broto sudah selesai berdandan dan menunggu taksi di teras.
“Kunci sekalian rumahnya Ni, Bapak sudah bilang tidak pulang makan siang.”
“Jangan-jangan bu Wulan juga tidak pulang Bu?”
“Masa sih? Iya juga ya, kalau ada kesibukan di kantor, dan bapak tidak bisa pulang, pasti Wulan juga ikut sibuk.”
“Bagaimana nih Bu?”
“Sebentar, aku menelpon Restu saja kalau begitu. Tanya alamat persisnya, soalnya kalau pesan taksi kan harus tahu alamat yang dituju?”
Tapi sebelum memesan taksi, ponsel bu Broto berdering.
“Ini sepertinya dari bapak Bu,” kata Sarni yang memegang ponsel bu Broto untuk memesan taksi.
“Ada apa ya?” gumam bu Broto sambil menerima ponselnya.
“Ya Pak,” sapa bu Broto.
“Ibu masak rawon kan?”
“Iya, kok Bapak tahu?”
“Bapak dengar waktu Ibu bicara sama Sarni.”
“Memangnya kenapa?”
“Tidak jadi ada meeting hari ini, aku sama Wulan mau pulang kesitu.”
“Oh … tapi … ibu juga mau mengirim rawon ini untuk Restu.”
“Aku sudah bilang sama Restu, dia mau datang juga. Jadi Ibu suruh Sari menyiapkan makan siang kita, aku, Wulan dan Rio, serta Restu.”
“Ya ampuun, malah jadi berkumpul makan disini?”
“Iya, kami sudah bersiap mau pulang, sedang menunggu Rio yang sedang nyamperin Restu.”
“Baiklah.”
Bu Broto menutup ponselnya sambil geleng-geleng kepala.
“Untung kamu belum jadi memanggil taksi Ni.”
“Nggak jadi pergi?”
“Mereka malah mau makan siang di sini semua. Termasuk Restu juga.”
“O walah, ya sudah, saya bawa masuk kembali saja rantang-rantang itu.”
“Biar saja nanti dibawa Restu sama Wulan. Kan bisa dimakan di rumah nanti. Yang di rumah masih cukup kan?”
“Masih banyak Bu, itu tadi masak banyak sekali.”
“Ya sudah, siapkan makan siang ya Ni. Aduh, untunglah kita belum jadi berangkat.”
Sebelum berangkat, Wulan menelpon Murni yang basih berada di rumahnya.
“Murni, siang ini aku tidak pulang makan siang di rumah. Kamu makan sendiri saja ya, masih ada lauk di almari makan.”
“Iya Bu, saya tahu.”
“Makan yang banyak, dan jangan lupa obatnya diminum.”
“Baiklah Bu, tapi setelah ini saya mau balik ke mes saja.”
“Mengapa Mur? Kamu harus baik dulu, baru boleh kembali.”
“Saya tidak apa-apa Bu, malah tidak merasa tenang kalau di sini terus.”
“Tidak tenang kenapa?”
“Banyak yang membuat saya tidak tenang. Ibu kan tahu bahwa saya harus menyembunyikan keadaan saya ini? Pada simbok terutama?”
“Baiklah, tapi nanti kita bicara lagi dulu. Tunggu aku pulang, lalu meyakinkan bahwa kandungan kamu baik-baik saja. Ya.”
“Ya, Bu.”
Wulan selesai menelpon, bersamaan dengan datangnya Rio yang langsung masuk ke ruangannya.
“Sudah siap?” tanya Rio.
“Sudah, aku telpon bapak dulu.”
“Bagaimana Murni?”
“Barusan aku menelponnya, aku suruh dia makan sendiri. Tapi dia ingin segera kembali ke mes.”
“Kenapa?”
“Tidak merasa tenang katanya. Barangkali takut kalau yu Sarni datang tiba-tiba.”
“Keadaan seperti ini justru membuat kita tidak tenang. Kebohongan yang sia-sia, karena suatu hari pasti akan terbuka juga, percayalah.”
“Iya, tapi biarkan aku menenangkan murni dulu, dan menenangkan hatinya. Kita akan mencari cara, bagaimana agar Murni tidak ketakutan setiap mas Restu mendekat. Kamu kan tahu, bagaimana reaksinya ketika melihat mas Restu ada didekatnya? Ya ampun, aku sungguh takut kalau tidak bisa menenangkannya.”
“Baiklah, itu bapak sudah menunggu,” kata Restu yang melihat pak Broto sedang menuju ke ruangan Wulan.
Malam itu Supri mengunjungi Restu, setelah beberapa hari tidak ketemu. Supri melihat, wajah Restu tampak muram, walau ketika bertelpon, Restu mengatakan sudah mendapatkan kata maaf dari orang tuanya, sampai dia menyadari bahwa kedua orang tuanya masih tetap mencintainya.
“Ada apa lagi denganmu, kawan?” sapa Supri sambil menepuk bahu sahabatnya.
“Syukurlah kamu datang.”
“Ada apa?”
“Aku butuh teman berbagi.”
“Ada apa lagi? Bukankah kamu harusnya sudah merasa senang dan tenang?”
“Ini soal Murni.”
“Kenapa dia? Menuntut dinikahi? Bukankah kamu sudah siap?”
“Dia justru tidak mau bertemu dengan aku. Haruskah aku bersyukur karena aku tidak harus bertanggung jawab?”
“Bagaimana menurutmu?”
“Aku merasa tersiksa, dan beban itu masih menggayuti bahuku, jiwaku.”
“Kamu kan bisa bicara baik-baik?”
“Bicara bagaimana? Dia baru melihat aku saja sudah histeris seperti melihat setan. Justru aku yang ketakutan.”
“Lalu apa yang ingin kamu lakukan?”
“Aku tetap ingin bertanggung jawab atas Murni, terutama bayi yang dikandungnya.”
“Apakah Murni tidak ingin bayi yang dilahirkannya memiliki orang tua yang lengkap?”
“Aku tidak tahu cara berpikirnya.”
“Mungkin dia masih trauma ketika kamu melakukan kekerasan itu. Bukan dia tak mau anaknya punya bapak.”
“Aku sudah minta maaf. Berkali-kali, bahkan.”
“Harus ada cara untuk meluluhkan hatinya.”
“Katakan apa cara itu. Apapun akan aku lakukan. Aku sungguh-sungguh merasa berat atas beban dosa itu, yang hanya akan terobati saat dia mau memaafkan aku, dan mau menjadi istri aku.”
“Aku bisa mengerti, dan aku senang kamu punya pikiran seperti itu.”
“Lalu apa yang harus aku lakukan Pri, tolong aku.”
Supri menatap sahabatnya penuh iba. Apa yang membebani sahabatnya adalah dosanya yang tak terampunkan, sementara keinginan menebusnya terhalang oleh tembok yang maha kuat. Tembok hati Murni. Tapi Supri juga menyadari, tidak mudah bagi Murni menghapus kenangan buruk itu.
“Satu-satunya jalan, kamu harus bersabar, dan mencari cara agar bisa mendekati dia. Itu dulu, kalau berhasil, barulah bicara.”
“
Restu tak menjawab. Bagaimana cara mendekatinya? Apakah dia harus menelponnya? Bicara tanpa melihat wajahnya, barangkali bisa, tapi begitu mendengar suaranya, pasti dia sudah melempar ponsel yang dipegangnya. Aduhai.
Restu tak bisa tidur semalaman. Tapi benarkah tak ada jalan? Bukankah setiap ada kemauan pastilah ada jalan? Bagaimanakah kalau jalan itu buntu? Restu menutupi wajahnya dengan bantal, untuk menghilangkan mimpi buruk malam itu, yang membuatnya seperti orang kesetanan.
Malam itu, Rio dan Wulan belum ingin bicara tentang Restu di hadapan Wulan. Mereka menunggu sampai hati Murni menjadi tenang sehingga bisa menerima apapun yang dibicarakannya.
Rio dan Wulan sudah berangkat bekerja, ketika Murni mendengar suara pengamen menyanyi di depan rumah. Sebenarnya Murni enggan keluar, tapi karena merasa kasihan, akhirnyaa dia keluar juga, Pengamen itu masih anak-anak, nyanyian yang didendangkan juga tak jelas nadanya. Ia hanya menabuh sebuah gendang kecil yang dikalungkan di gulunya, dan menyanyi asal mangap saja. Tapi karena itulah Murni merasa iba. Anak itu berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan mungkin hanya sekeping uang lima ratusan, atau ribuan. Murni harus menghargainya. Lalu diulurkannya selembar uang lima ribuan ke arah anak itu.
Anak yang agak dekil itu mengucapkan terima kasih, sambil berlinang air mata.
“Mengapa menangis dik?” tanya Murni iba.
“Gara-gara tak punya ayah, saya tidak bisa sekolah.”
Besok lagi ya.
Bersambung ke Jilid 38