SELAMAT PAGI BIDADARI (37)

Karya Tien Kumalasari

Yu Sarni sudah selesai menyiapkan rawon dan lauk pauknya kedalam dua buah rantang besar, untuk Wulan dan untuk Restu. Bu Broto sedang berganti baju di kamar.

“Bu, apakah saya harus memanggil sopir kantor?”

“Tidak usah Ni, nanti Wulan tahu, kita akan memberi kejutan bukan?”

“Oh iya juga sih Bu.”

“Panggil taksi saja. Kamu bisa kan? Ini, pakai ponsel aku.”

“Baik Bu. Semua sudah saya siapkan di depan. Ini ke rumah bu Wulan dulu, atau ke pak Restu dulu?”

“Ke Wulan dulu saja, aku belum tahu alamat bengkelnya Restu, nanti tanya sama Wulan setelah ketemu.”

“Baiklah, saya pesan taksinya dulu.”

Bu Broto sudah selesai berdandan dan menunggu taksi di teras.

“Kunci sekalian rumahnya Ni, Bapak sudah bilang tidak pulang makan siang.”

“Jangan-jangan bu Wulan juga tidak pulang Bu?”

“Masa sih? Iya juga ya, kalau ada kesibukan di kantor, dan bapak tidak bisa pulang, pasti Wulan juga ikut sibuk.”

“Bagaimana nih Bu?”

“Sebentar, aku menelpon Restu saja kalau begitu. Tanya alamat persisnya, soalnya kalau pesan taksi kan harus tahu alamat yang dituju?”

Tapi sebelum memesan taksi, ponsel bu Broto berdering.

“Ini sepertinya dari bapak Bu,” kata Sarni yang memegang ponsel bu Broto untuk memesan taksi.

“Ada apa ya?” gumam bu Broto sambil menerima ponselnya.

“Ya Pak,” sapa bu Broto.

“Ibu masak rawon kan?”

“Iya, kok Bapak tahu?”

“Bapak dengar waktu Ibu bicara sama Sarni.”

“Memangnya kenapa?”

“Tidak jadi ada meeting hari ini, aku sama Wulan mau pulang kesitu.”

“Oh … tapi … ibu juga mau mengirim rawon ini untuk Restu.”

“Aku sudah bilang sama Restu, dia mau datang juga. Jadi Ibu suruh Sari menyiapkan makan siang kita, aku, Wulan dan Rio, serta Restu.”

“Ya ampuun, malah jadi berkumpul makan disini?”

“Iya, kami sudah bersiap mau pulang, sedang menunggu Rio yang sedang nyamperin Restu.”

“Baiklah.”

Bu Broto menutup ponselnya sambil geleng-geleng kepala.

“Untung kamu belum jadi memanggil taksi Ni.”

“Nggak jadi pergi?”

“Mereka malah mau makan siang di sini semua. Termasuk Restu juga.”

“O walah, ya sudah, saya bawa masuk kembali saja rantang-rantang itu.”

“Biar saja nanti dibawa Restu sama Wulan. Kan bisa dimakan di rumah nanti. Yang di rumah masih cukup kan?”

“Masih banyak Bu, itu tadi masak banyak sekali.”

“Ya sudah, siapkan makan siang ya Ni. Aduh, untunglah kita belum jadi berangkat.”


Sebelum berangkat, Wulan menelpon Murni yang basih berada di rumahnya.

“Murni, siang ini aku tidak pulang makan siang di rumah. Kamu makan sendiri saja ya, masih ada lauk di almari makan.”

“Iya Bu, saya tahu.”

“Makan yang banyak, dan jangan lupa obatnya diminum.”

“Baiklah Bu, tapi setelah ini saya mau balik ke mes saja.”

“Mengapa Mur? Kamu harus baik dulu, baru boleh kembali.”

“Saya tidak apa-apa Bu, malah tidak merasa tenang kalau di sini terus.”

“Tidak tenang kenapa?”

“Banyak yang membuat saya tidak tenang. Ibu kan tahu bahwa saya harus menyembunyikan keadaan saya ini? Pada simbok terutama?”

“Baiklah, tapi nanti kita bicara lagi dulu. Tunggu aku pulang, lalu meyakinkan bahwa kandungan kamu baik-baik saja. Ya.”

“Ya, Bu.”
Wulan selesai menelpon, bersamaan dengan datangnya Rio yang langsung masuk ke ruangannya.

“Sudah siap?” tanya Rio.

“Sudah, aku telpon bapak dulu.”

“Bagaimana Murni?”

“Barusan aku menelponnya, aku suruh dia makan sendiri. Tapi dia ingin segera kembali ke mes.”

“Kenapa?”

“Tidak merasa tenang katanya. Barangkali takut kalau yu Sarni datang tiba-tiba.”

“Keadaan seperti ini justru membuat kita tidak tenang. Kebohongan yang sia-sia, karena suatu hari pasti akan terbuka juga, percayalah.”

“Iya, tapi biarkan aku menenangkan murni dulu, dan menenangkan hatinya. Kita akan mencari cara, bagaimana agar Murni tidak ketakutan setiap mas Restu mendekat. Kamu kan tahu, bagaimana reaksinya ketika melihat mas Restu ada didekatnya? Ya ampun, aku sungguh takut kalau tidak bisa menenangkannya.”

“Baiklah, itu bapak sudah menunggu,” kata Restu yang melihat pak Broto sedang menuju ke ruangan Wulan.


Malam itu Supri mengunjungi Restu, setelah beberapa hari tidak ketemu. Supri melihat, wajah Restu tampak muram, walau ketika bertelpon, Restu mengatakan sudah mendapatkan kata maaf dari orang tuanya, sampai dia menyadari bahwa kedua orang tuanya masih tetap mencintainya.

“Ada apa lagi denganmu, kawan?” sapa Supri sambil menepuk bahu sahabatnya.

“Syukurlah kamu datang.”

“Ada apa?”

“Aku butuh teman berbagi.”

“Ada apa lagi? Bukankah kamu harusnya sudah merasa senang dan tenang?”

“Ini soal Murni.”

“Kenapa dia? Menuntut dinikahi? Bukankah kamu sudah siap?”

“Dia justru tidak mau bertemu dengan aku. Haruskah aku bersyukur karena aku tidak harus bertanggung jawab?”

“Bagaimana menurutmu?”

“Aku merasa tersiksa, dan beban itu masih menggayuti bahuku, jiwaku.”

“Kamu kan bisa bicara baik-baik?”

“Bicara bagaimana? Dia baru melihat aku saja sudah histeris seperti melihat setan. Justru aku yang ketakutan.”

“Lalu apa yang ingin kamu lakukan?”

“Aku tetap ingin bertanggung jawab atas Murni, terutama bayi yang dikandungnya.”

“Apakah Murni tidak ingin bayi yang dilahirkannya memiliki orang tua yang lengkap?”

“Aku tidak tahu cara berpikirnya.”

“Mungkin dia masih trauma ketika kamu melakukan kekerasan itu. Bukan dia tak mau anaknya punya bapak.”

“Aku sudah minta maaf. Berkali-kali, bahkan.”

“Harus ada cara untuk meluluhkan hatinya.”

“Katakan apa cara itu. Apapun akan aku lakukan. Aku sungguh-sungguh merasa berat atas beban dosa itu, yang hanya akan terobati saat dia mau memaafkan aku, dan mau menjadi istri aku.”

“Aku bisa mengerti, dan aku senang kamu punya pikiran seperti itu.”

“Lalu apa yang harus aku lakukan Pri, tolong aku.”

Supri menatap sahabatnya penuh iba. Apa yang membebani sahabatnya adalah dosanya yang tak terampunkan, sementara keinginan menebusnya terhalang oleh tembok yang maha kuat. Tembok hati Murni. Tapi Supri juga menyadari, tidak mudah bagi Murni menghapus kenangan buruk itu.

“Satu-satunya jalan, kamu harus bersabar, dan mencari cara agar bisa mendekati dia. Itu dulu, kalau berhasil, barulah bicara.”

Restu tak menjawab. Bagaimana cara mendekatinya? Apakah dia harus menelponnya? Bicara tanpa melihat wajahnya, barangkali bisa, tapi begitu mendengar suaranya, pasti dia sudah melempar ponsel yang dipegangnya. Aduhai.

Restu tak bisa tidur semalaman. Tapi benarkah tak ada jalan? Bukankah setiap ada kemauan pastilah ada jalan? Bagaimanakah kalau jalan itu buntu? Restu menutupi wajahnya dengan bantal, untuk menghilangkan mimpi buruk malam itu, yang membuatnya seperti orang kesetanan.


Malam itu, Rio dan Wulan belum ingin bicara tentang Restu di hadapan Wulan. Mereka menunggu sampai hati Murni menjadi tenang sehingga bisa menerima apapun yang dibicarakannya.

Rio dan Wulan sudah berangkat bekerja, ketika Murni mendengar suara pengamen menyanyi di depan rumah. Sebenarnya Murni enggan keluar, tapi karena merasa kasihan, akhirnyaa dia keluar juga, Pengamen itu masih anak-anak, nyanyian yang didendangkan juga tak jelas nadanya. Ia hanya menabuh sebuah gendang kecil yang dikalungkan di gulunya, dan menyanyi asal mangap saja. Tapi karena itulah Murni merasa iba. Anak itu berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan mungkin hanya sekeping uang lima ratusan, atau ribuan. Murni harus menghargainya. Lalu diulurkannya selembar uang lima ribuan ke arah anak itu.

Anak yang agak dekil itu mengucapkan terima kasih, sambil berlinang air mata.

“Mengapa menangis dik?” tanya Murni iba.

“Gara-gara tak punya ayah, saya tidak bisa sekolah.”


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 38

SELAMAT PAGI BIDADARI (36)

Karya Tien Kumalasari

Restu meletakkan tubuh Murni perlahan, di kamarnya. Ada rasa haru menyengat, melihat perut membuncit dan wajah Murni yang pucat.

Mata Murni yang tadinya terpejam, tiba-tiba terbuka. Ia menatap orang-orang yang berdiri di sekelilingnya, lalu ketika matanya terpaku pada sesosok wajah, tiba-tiba ia menjerit sekuat-kuatnya.

“Pergiiiii … pergiiiiii …. Pergiiiii !!”

Rio menarik tangan Restu, diajaknya keluar dari kamar. Wulan mendekati dan menepuk-nepuk tangannya.

“Murni, tenang ya….”

“Di mana saya … di mana saya …. “ Murni histeris, meronta, sehingga Wulan terpaksa merangkul tubuh nya.

“Murni, ini kamar kamu. Kamar kamu sendiri, kamu lupa?”

“Saya pergi saja, saya tidak mau dia, jangan biarkan mendekati saya … saya mau pergi saja …”

“Murni, murni, tenang Murni, kamu aku bawa ke sini karena keadaan kamu lemah. Harus ada yang mengawasi kamu. Jadi di sini saja dulu selama beberapa hari, ya.”

“Saya tidak mau. Di sini ada dia … di sini ada diaa…. Nggak mau, aku pergi sajaa ….”

“Tidak, jangan khawatir Murni di sini hanya ada aku dan Rio.”

“Bu Wulan bohong. Ada diaaaa … ada diaaaa …”

“Tidak, tenanglah, dia sudah pergi. Tenang ya … sebentar, aku buatkan minum kamu, lalu makan ya, kamu lemas, lemah.”

“Jangan pergi Bu, nanti dia datang ….”

“Dia sudah pergi, percayalah.”

Murni masih tampak curiga, ia melihat ke sekeliling, dan membuka telinga lebar-lebar, barangkali ia bisa mendengar suara laki-laki yang dibencinya itu,

Tapi suasana sepi. Murni berusaha bangkit, tapi Wulan menahannya.

“Tiduran saja dulu, aku ambilkan teh hangat, lalu kamu harus makan, karena dokter memberi kamu obat kan?”

“Biar saja saya mengambilnya sendiri.”

“Jangan bandel. Kalau kamu sehat, kamu boleh melakukannya,” kata Wulan tandas, lalu keluar dari kamar.

Di halaman, Rio dan Restu duduk berhadapan pada bangku-bangku taman.

Rio tampak sangat terpukul. Dia bermaksud baik, tapi ternyata Murni masih membencinya. Rio yang mengetahui hal itu, kemudian menghiburnya.

“Pak Restu harus sabar, dia masih trauma.”

“Saya mengerti, tapi saya tidak mengira dia sampai histeris begitu.”

“Kejadian itu membuatnya selalu merasa ketakutan. Barangkali memerlukan waktu lama untuk menyembuhkannya dari luka itu.”

“Saya sedih melihat wajahnya, terharu melihat perutnya yang membuncit. Bukankah di dalamnya ada darah daging saya?”

“Perlahan-lahan nanti Wulan akan membujuknya.”

“Kalau begitu saya mau pulang dulu ke bengkel.”

“Baiklah, dan sekali lagi bersabarlah. Sebuah keinginan yang baik pasti akan mendapatkan sesuatu yang baik juga.”

Rio mengantarkan Restu mengambil sepeda motornya, dan melarang Restu masuk lagi ke rumah untuk berpamitan, supaya Murni tidak kembali ketakutan.


Ketika Rio memasuki rumah, ia mendengar Wulan sedang bercakap dengan Murni. Tampaknya dia sedang memaksa Murni untuk makan.

“Kamu harus makan, supaya kamu tidak lemas. Bukankah perutmu kosong sekarang?”

“Benarkah dia sudah pergi?”

“Dia sudah pergi Murni,” kata Rio yang mendengar pembicaraan itu, lalu menjenguk ke dalam kamar.

“Tuh, kan. Kamu kok tidak percaya sih sama aku?”

“Maaf Bu.”

“Sudah, sekarang makanlah.”

“Saya mau makan di dapur saja.”

“Apa-apaan sih kamu Murni?”

“Bagaimana mungkin saya membiarkan bu Wulan melayani saya?”

“Kamu itu sedang sakit, jadi menurutlah.”

Murni berusaha duduk. Memang tubuhnya terasa lemas. Ia heran, baru mendengar nama Restu di sebut saja, badannya sudah terasa panas dingin, dan ingin muntah. Kalau saja Murni tahu bahwa yang membopongnya masuk ke kamar adalah Restu, entah apa yang akan dilakukannya. Barangkali Murni akan melompat dari gendongan.

Tapi kemudian dia menurut, ketika Wulan mengambilkan makan untuknya.

“Mau disuapin?”

“Tidak Bu, biar saya makan sendiri.”

“Baiklah, segera makan, aku tungguin kamu di sini,” kata Wulan sambil duduk di kursi, menatap bagaimana Murni menyantap makanannya dengan lahap. Rupanya Murni benar-benar kelaparan.

“Setelah makan, minum obat kamu. Aku letakkan di atas nakas.”

“Iya Bu, sudahlah Bu, jangan lagi melayani saya, saya sudah merasa kuat melakukannya sendiri.”

“Baiklah, setelah minum obat kamu harus tidur,” kata Wulan sambil keluar dari kamar.


Hari itu bu Broto sibuk membantu Sarni memasak di dapur. Ia sedang menyiapkan bumbu rawon, masakan kesukaan Restu. Yu Sarni membantu mengiris daging sambil tersenyum-senyum.

“Ibu sangat bersemangat hari ini.”

“Iya Ni, ini masakan kesukaan Restu. Nanti aku sendiri yang akan mengirimkannya ke bengkel.”

“Saya jadi heran, mengapa pak Restu tidak memilih bekerja di kantor bapak saja?”

“Itu kemauannya Ni, tidak ada yang bisa mencegahnya. Bapaknya juga membiarkannya, dan itu bagus. Dia tidak harus bergantung kepada orang tuanya. Barangkali lebih enak menikmati uang hasil usaha sendiri, daripada bergantung kepada orang tua.”

“Rupanya pak Restu belajar dari pengalamannya hidup susah ya Bu.”

“Ternyata benar kata bapaknya, bahwa apa yang dilakukannya dulu itu, bisa dijadikan pembelajaran untuk dia.”

“Hasilnya juga malah bagus, membuat orang tua bangga, ya Bu.”

“Iya Ni. Itu benar.”

“Tapi saya masih penasaran sama pak Restu.”

“Memangnya kenapa?”

“Ketika datang pertama kali itu, pak Restu memeluk saya, dan minta maaf pada saya, Saya bingung, soalnya saya tidak pernah merasa pak Restu punya salah sama saya.”

Bu Broto terdiam. Hampir saja terlontar kata-kata, bahwa Restu pernah melakukan hal tidak senonoh terhadap Murni. Untunglah bu Broto segera teringat, bahwa Murni tidak ingin simboknya mengetahui kejadian itu. Padahal sebenarnya, bagaimanapun menutupi sebuah rahasia, pasti pada suatu saat akan terbuka juga. Tapi karena harus menjaga perasaan Murni, bu Broto harus ikut menutupi rahasia itu.

“Kenapa ya Bu? Punya salah apa pak Restu sama yu Sarni?”

“Restu itu kan sudah sadar, bahwa semua yang dilakukannya adalah tidak benar. Jadi ya wajar saja kalau dia tidak merasa cukup untuk meminta maaf kepada orang tuanya saja, tapi juga kepada orang-orang disekitarnya.”

“Tapi yang saya heran, pak Restu melakukannya sambil menangis, gitu.”

“Bagus lah Ni, kalau orang menyesal sampai menangis, berarti penyesalannya itu sungguh-sungguh keluar dari hati yang paling dalam.”

“Benar juga ya Bu.”

“Sudah Ni, ini bumbunya, segera diuleg, jangan sampai ke siangan. Kalau kamu mau ikut juga boleh, aku sendiri pasti tidak bisa membawanya.”

“Ibu masak banyak sekali sih?”

“Restu itu temannya banyak, ada beberapa katanya, jadi biar bisa dimakan rame-rame. Nanti kita juga akan mampir ke rumah Wulan, katanya kalau siang Wulan sama Rio juga pulang untuk makan siang di rumah.”

“O, iya Bu, pantesan ibu beli dagingnya banyak sekali. Ternyata untuk tiga keluarga.”

“Kamu tidak lupa beli telur asin bukan? Rawon itu kan cocoknya sama telur asin.”

“Sudah bu. Itu sudah Sarni siapkan di meja, nanti tinggal dibawa.”

“Nanti tidak usah bilang sama Wulan kalau kita mau mampir, biar dia terkejut ya Ni.”

“Ibu suka sekali membuat kejutan.”


Besok lagi ya…

Bersambung ke Jilid 37

SELAMAT PAGI BIDADARI (35)

Karya Tien Kumalasari

Rio baru saja pulang dari kantor, dan heran melihat Wulan tampak termenung seperti memikirkan sesuatu yang berat.

“Ada apa?”

“Aku tak yakin dia mau menemuinya.”

“Apa? Dan siapa?”

“Murni.”

“Memangnya kenapa?”

“Rasanya tak mungkin dia mau menemui mas Restu.”

“Dia kan bermaksud baik, ingin bertanggung jawab, pastinya dia mau dong.”

“Aku tidak yakin. Tadi pagi ketika aku menelpon dia, dan mengatakan bahwa mas Restu akan bertemu dia, maka dia tidak menunjukkan respon apapun. Tapi dia segera menghentikan pembicaraan.”

“Kamu mengatakan kalau “mas Restu akan bertanggung jawab?”

“Tidak, baru mengatakan bahwa mas Restu ingin bertemu. Dia sangat membencinya.”

“Bukankah lebih baik kalau Restu menikahinya, sehingga anaknya lahir bukan tanpa ayah.”

Murni membenci mas Restu karena kelakuannya. Itu sangat menyakitkan, dan susah menghentikan kebencian itu,

Rio menghela napas berat. Lalu ia duduk di depan istrinya.

“Hal terbaik yang harus dilakukan ialah mas Retu menikahi Murni, dengan demikian aib itu akan tertutupi.”

“Benar.”

“Temuilah Murni, dan ajak dia bicara. Aku yakin dia mau mendengarkannya.”

“Rio, masalah perasaan tidak cukup diajak bicara. Maksudku, kalau saja Murni mau bertemu mas Restu, kemudian mas Restu juga bisa meluluhkan hatinya, barangkali hal terbaik itu bisa dilaksanakan.

“Karena susah mempertemukan, sebaiknya kamu aja dulu dia bicara. Atau tiba-tiba kamu datang bersama mas Restu.

“Wah, jangan-jangan dia malah lari.”

“Ya sudah, yang terbaik adalah mengajaknya bicara terlebih dulu. Katakan bahwa yang terbaik adalah menerima permintaan maaf mas Restu, dan menerimanya apabila dia menikahinya.

“Nanti aku mau ke sana, mengantarkan dia periksa ke dokter.”

“Baiklah kalau begitu, ajak dia bicara, dia pasti mau mendengar kalau kamu yang bicara.”


Tapi ketika Wulan datang ke mes dimana Murni tinggal, ia tak menemukan Murni.

Murni bertanya kepada teman disamping kamarnya, tapi tak seorangpun tahu kemana Murni pergi.

“Mungkinkah dia sudah berangkat ke dokter?” gumamnya sambil keluar dari mes itu.

“Padahal biasanya belum buka juga dokternya di jam segini,” gumamnya lagi.

Lalu Wulan menelponnya, tapi tak tersambung. Ponselnya mati.

“Ada apa ini?”

Wulan segera menyusulnya ke dokter, tapi dia juga tak menemukan Wulan di sana. Tempat prakter dokter itu pun masih tertutup. Belum ada seorangpun pasien yang datang.

Wulan masuk dan duduk di kursi tunggu, barangkali Murni memang belum datang. Ia mengambil nomor antrian, supaya kalau Murni datang, dia bisa diperiksa awal. Lalu Wulan mencoba menelpon lagi, tetap saja tak tersambung.

“Aku kok merasa aneh. Ada apa anak ini,”

Setengah jam lebih Wulan menunggu, beberapa pasien sudah pada datang. Wulan mengutak atik ponselnya, mengabari sang suami bahwa dia tidak bisa ketemu Murni, dan saat ini sedang menunggu di tempat praktek dokter.

Pasien pertama, yang seharusnya adalah giliran Murni, sudah dimasuki pasien lain. Wulan mulai gelisah. Tak pernah Murni melewatkan jadwal periksa kandungan.

Wulan berdiri, lalu melangkah keluar ruang tunggu, tak ada tanda-tanda Murni datang. Wulan berjalan ke arah jalan, keluar dari halaman.

Tiba-tiba Wulan melihat sebuah bayangan, yang bersembunyi dibalik sebuah mobil. Bergegas Wulan menghampiri. Bayangan itu berlari menghindar. Wulan segera tahu, bahwa itu adalah Murni.

“Murni!!” Wulan berteriak.

Wulan mengitari mobil itu, tapi Murni menghindar, dan berlari.

“Murni! Ada apa kamu ini??!!”

Murni berlari menjauh, membuat Wulan ketakutan. Dengan perut besar dan berlari.

“Ya Tuhan Murni, jangan lariii!!”

Dan itu benar, Murni terjatuh.

“Auhhhh!” jeritnya.
Wulan memburu ke arah Murni terjatuh.

“Ada apa kamu ini?”

Wulan membantu Murni bangun.

“Kamu sedang hamil. Mengapa lari-lari begitu?”

Tertatih Murni bangun.

“Apa yang kamu lakukan? Mana yang sakit? Ayo periksa dulu, aku takut terjadi sesuatu pada kandunganmu.”

“Bu Wulan … sama … pak Restu?”

“Tidak, aku sendiri. Bagaimana perutmu?Sakit?”

“Tidak,” Murni terengah.

“Kita harus segera periksa. Kamu tadi sudah aku ambilkan nomor awal, sudah diambil ora lain. Ayo cepat, aku khawatir anak kamu, mengapa kamu bersikap seperti itu?”

“Saya … tidak mau ketemu dia.”

“Ya ampun Murni, jangan memikirkan diri kamu sendiri.”

Wulan segera minta agar Murni diijinkan masuk setelah pasien pertama karena sejatinya Murni ada di nomor awal. Apalagi dia habis jatuh.

Dan untunglah dokter mengatakan bahwa kandungan Murni baik-baik saja.

Walaupun begitu, ada luka di lutut dan telapak tangan Murni karena saat jatuh, kedua telapak tangan menahan tubuhnya, dan itu pula mungkin sebabnya, mengapa kandungannya baik-baik saja.


“Mengapa kamu melakukan semua itu Murni? Pakai acara sembunyi dan lari-lari segala?” tegur Wulan ketika mengantarkan Murni kembali ke mes.

“Sesungguhnya, saya ketakutan ketika bu Wulan mengatakan bahwa pak Restu akan menemui saya.”

“Murni, mengapa begitu? Kalaupun pak Restu datang, maka yang pertama kali dia hanya akan meminta maaf sama kamu. Apakah kamu tidak mau memberi dia maaf, sementara dia sudah bertobat?”

Murni diam.

“Saya maafkan dia, tapi saya merasa ngeri setiap kali membayangkan wajahnya, apalagi melihatnya. Tidak Bu, saya tidak mau melihatnya. Rasa sakit saya sungguh tidak terperi.”

“Berarti kamu tidak mau memaafkan dia?”

“Saya hanya tidak mau melihat wajah nya.”

“Murni, tidakkah terpikir oleh kamu bagaimana kalau anakmu lahir? Bukankah lebih baik dia terlahir sebagai anak sepasang suami istri dan bukan hanya seorang wanita?”

Murni terdiam. Dia bisa menerima apa yang dikatakan Wulan, tapi sungguh dia tak mau melihat wajah Restu. Kejadian itu sangat melukainya, melukai lahir dan batinnya. Ia seperti melihat hantu atau binatang buas yang dengan garang melahap tubuhnya, mengunyahnya sampai *. Semuanya sirna. Masa depannya, kesuciannya, harapan akan mencapai sesuatu yang entah apa. Tak ada yang tersisa.

“Murni,” sapa Wulan karena Murni diam beberapa saat lamanya.

“Tidaaak … tidak … jangan sampai saya melihat wajahnya.”

“Anak kamu butuh seorang ayah.”

“Bukan manusia ganas yang telah * habis kehidupan saya.”

“Kehidupan kamu belum habis Murni. Kamu tahu, kamu tidak sendiri. Ada anak kamu, walaupun nanti dia akan menjadi anakku, bukankah lebih baik dia merasa punya ayah, karena mas Restu memang ayahnya bukan?”

“Tolong, jangan sebut nama itu, tolong Bu, saya mau muntah.”

Dan Murni kemudian memang minta agar Wulan menghentikan mobilnya, karena Murni benar-benar pinta di pinggir jalan itu. Beruntung ada selokan, dimana Murni bisa memuntahkan semua isi perutnya.

Wulan sangat prihatin melihat keadaan Murni. Ia memijit-mijit tengkuk Murni, sampai gadis itu merasa tenang, kemudian mengajaknya naik kembali ke atas mobil.

Karena keadaan Murni yang tampak lemah itulah, maka Wulan bukan mengantarkannya kembali ke mes, tapi membawanya pulang.

“Murni, kamu di rumah saya dulu untuk sementara waktu ya, sampai kamu tenang kembali.”

“Bagaimana kalau simbok melihat saya?”

“Kamu ada di rumah aku, bukan di rumah bapak.”

Murni mengangguk. Entah mengapa, tubuhnya tiba-tiba terasa lemas, keringat dingin membasah. Wulan merasa kasihan kepadanya. Hanya bicara soal Restu, Murni menjadi seperti itu. Tampaknya memerlukan waktu panjang untuk meluluhkan hatinya.

Ketika sampai di rumah, Murni sudah terkulai lemah. Murni melihat Rio dan seseorang, sedang duduk di teras. Melihat Wulan datang, Murni berteriak.

“Rio, tolong Murni,” teriaknya.

Mendengar teriakan Wulan, laki-laki yang duduk bersama Rio tadi segera bangkut, dan setengah berlari mendekat. Ia adalah Restu.

Rio membuka pintu depan, dan melihat Murni terkulai tak berdaya. Dengan cekatan Restu merangkulnya dan membawanya masuk ke rumah.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 36

SELAMAT PAGI BIDADARI (34)

Karya Tien Kumalasari

Wulan dan Rio saling pandang dengan tersenyum lucu, melihat ulah pak Broto dan bu Broto. Mereka kemudian melihat Restu memasuki ruangan setelah pak Broto memberi kode.

Restu berjingkat mendekati pak Broto, dan tersenyum lebar melihat bu Broto memejamkan matanya.

“Sudah apa belum? Sudah capek nih, aku,” seru bu Broto tanpa berani membuka matanya.

“Baiklah Bu, sekarang ibu boleh membuka mata, karena hadiahnya sudah siap di depan ibu.”

Bu Broto membuka matanya perlahan, membayangkan sebuah bungkusan dengan pita merah yang dirangkai seperti bunga mawar. Tapi ia tak melihat bungkusan itu. Yang ada adalah sesosok bayangan seorang laki-laki tampan yang menatapnya haru.

Bu Broto terbelalak.

“Kamu?”

“Inilah hadiah buat Ibu,” kata pak Broto sambil merangkul pundah Restu.

“Kamu?”

Lalu Restu merangkul ibunya yang kemudian menitikkan air mata karena haru dan bahagia.”

“Syukurlah kamu ditemukan Restu, kalau tidak, bapakmu tak akan pulang,” kata bu Broto sambil masih terus merangkul anaknya.

“Wulan, katakan pada dokter, aku mau pulang. Aku ingin masak yang enak untuk Restu.”

“Bu, ini sudah malam, dokternya sudah pulang,” kata Wulan.

“Aku tidak sakit, mengapa dibawa ke sini?”

“Besok kalau dokternya visite kemari, ibu boleh bilang sama dokternya. Kalau Ibu sudah dinyatakan sehat, pasti diijinkan pulang.”

“Aku kan tidak sakit, ini akal-akalan ayah kamu saja.”

“Ibu tidak tahu ya? Tadi tuh ibu sampai lemas, dan agak panas. Mana bisa aku membuarkannya.”

“Aku lemas, karena tidak makan seharian,” kata bu Broto sambil memegangi perutnya, membuat semua orang tertawa.

“Ibu mau makan apa?”

“Bolehkah keluar? Aku mau makan di luar.”

“Tidak boleh Bu, kan Ibu masih diinfus? Ibu ingin makan apa, nanti Rio belikan. Untuk makan bersama-sama disini,” kata Rio. Wulan ikut mengangguk setuju.

“Ide bagus, aku juga lapar,” kata pak Broto.

Rio menggamit lengan istrinya, kemudian keduanya keluar dari ruangan.

“Restu, apa kamu menyesal karena telah tidak mempedulikan istri kamu selama hidup bersama?”

“Banyak yang Rio sesali. Banyak yang hilang dari impian Restu, tapi Restu tidak menyesalinya. Ini adalah jalan hidup Restu, dan Restu harus menjalaninya. Nyatanya Restu menemukan ketenangan yang lebih, dan belum pernah Restu rasakan sebelum ini.

“Senang sekali ibu mendengarnya.”

“Bu, sebenarnya Restu ini telah menemukan jalan hidupnya. Dia sekarang menjadi pimpinan sebuah perusahaan dan hidup nyaman walau tidak berlimpah harta,” kata pak Broto.

“Perusahaan apa itu?”

“Bengkel mobil.”

“Bengkel mobil?”

“Iya Bu, dan itu juga atas kebaikan Rio. Restu menyesal dulu sangat merendahkan Rio, ternyata dia bukan orang sembarangan, dan telah mengentaskan hidup Restu sehingga Restu bisa makan enak, dan tidur nyenyak.”

Lalu Restu menceritakan semua yang dialaminya kepada sang ibu, yang mendengarkannya penuh perhatian. Tentu saja bu Broto terkejut, tidak mengira Rio telah melakukan sesuatu yang penuh makna kepada orang yang dulu selalu merendahkannya. Bu Broto bersyukur, anak semata wayangnya bisa berbuat sesuatu yang sangat berlawanan dengan masa lalunya, dan benar-benar menyadari semua kesalahannya.

“Kamu akan kembali ke rumah kan Restu?” tanya ibunya menahan haru.

Restu merangkul ibunya.

“Restu akan sering datang menemui Ibu, tapi Restu tetap akan tinggal di bengkel, karena Restu memiliki tanggung jawab besar atas mengkel itu.”

Bu Broto tampak kecewa, tapi dia merasa senang karena Restu telah menjadi orang yang bertanggung jawab.

“Ibu, sekarang Restu ingin bertanya.”

“Bertanyalah, tentang apa?”

“Tentang Murni,” kata Restu sambil menundukkan wajahnya. Bayangan malam buruk itu kembali melintas, menghantam dadanya dan terasa sakit.

Bu Broto menatap suaminya, yang berdiri termangu di sampung Restu, saat Restu menyebut nama Murni.

“Kamu tahu apa yang terjadi atas dia?” tanya pak Broto.

“Restu pernah bertemu, beberapa minggu yang lalu. Apa dia sudah menikah?”

“Menikah? Itukah menurutmu?”

“Restu tidak tahu. Saat melihatnya, dia langsung kabur. Jadi Restu tidak sempat bicara, padahal Restu ingin mengatakan sesuatu.”

“Tidak bisa di sangkal, dia pasti benci sama kamu.”
“Restu melihat perutnya besar, itu sebabnya Restu bertanya, apakah dia menikah?”

“Tidak. Bayi yang dikandung itu adalah darah dagingmu,” kata pak Broto, sementara bu Broto kembali berlinang air mata.

“Ya Tuhan,” keluh Restu sambil menundukkan wajahnya.

“Apa yang akan kamu lakukan?” tanya pak Broto.

“Di mana dia sekarang? Waktu Restu ketemu, dia tidak di tempat yang dekat dengan rumah.”

“Dia menjauh, dan berbohong sama simboknya, jadi dia berbohong, mengatakan pergi bekerja di Jakarta.”

“Sesungguhnya dia di sini saja?”

“Ya. Dia bekerja di kantornya Rio. Tidak di rumah Wulan untuk sementara, pastinya smpai anaknya lahir.”

“Apa yang ingin kamu lakukan?”

“Restu ingin bertemu dia, dan menikahinya,” katanya lirih.

Pak Broto merangkul pundah Restu penuh haru. Ia bangga anaknya punya rasa tanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya.

“Tapi dia sangat benci sama kamu, Restu,” kata bu Broto lirih.

“Restu akan menemuinya dan mencoba bicara.”

“Semoga yang terbaik untuk kalian Nak, ibu bangga kamu bisa melakukan hal yang seharusnya kamu lakukan,” kata bu Broto sambil mengusap air matanya.


Pagi itu Murni sedang bersiap untuk merangkat bekerja. Ia sedang makan pagi dengan lahap. Heran juga Murni, mengapa semakin besar kandungannya, semakin besar juga nafsu makannya. Ia menghabiskan sepiring nasi dan saemangkuk sup, yang dimasaknya pagi sebelum mandi.

Tiba-tiba ponselnya berdering.

“Dari bu Wulan,” gumam Wulan sambil meraih ponsel yang terletak di meja.

“Murni?” sapa Wulan dari seberang.

“Ya, bu Wulan.”

“Lagi ngapain, kamu Mur? Sudah mandi kah?”

“Sudah mandi Bu, baru selesai sarapan, lalu mau berangkat bekerja.”

“Oh, syukurlah. Aku hanya ingin bilang, nanti sore jadwal kamu kontrol kan>”

“Iya Bu. Tapi bu Wulan tidak usah repot-repot mengantarkan, saya bisa berangkat sendiri.”

“Tapi aku ingin melihat dengan mata kepalaku sendiri, bagaimana wajah anak laki-lakiku,” kata Wulan bersemangat. Tapi entah mengapa, perkataan Wulan itu membuat Murni merasa tidak senang. Kata ‘anakku’ terasa sangat sumbang di telinga Murni. Perlahan dia mengelus perutnya, dan berbisik dalam hati, kamu anakku bukan? Bukan anak siapa-siapa.

“Murni, kamu masih di situ?” seru Wulan karena Murni diam beberapa saat lamanya.

“Oh, eh … iya Bu, ini … sambil mengangkut piring kotor ke tempat cucian.

“Baiklah, jam berapa nanti periksa? Seperti biasanya kan?”

“Ya, tapi saya kira saya akan sendiri saja, tidak usah bu Wulan mengantarkannya.”

“Mengapa Murni? Kamu tidak suka?”

“Bukan, Nggak enak saja karena merepotkan bu Wulan, sementara saya bisa melakukannya sendiri.”

“Murni, kamu lupa bahwa yang kamu kandung adalah anakku?” kata Wulan sambil tertawa.

Tapi kembali perkataan itu membuar Murni merasa tidak suka.

“Ya sudah Bu, maaf, saya akan segera masuk kerja, takut terlambat.”

“Sebentar Murni, aku ingin mengatakan sesuatu.”

“Tentang apa Bu?”

“Mas Restu ingin menemui kamu.”

“Tidak, saya tidak mau ketemu dia,” katanya tandas.

Murni meletakkan ponselnya, dan merenung sejenak. Sungguh Murni tidak suka, Wulan ikut campur dalam memikirkan kandungannya. Sekarang Murni sedang berpikir, bagaimana caranya mencegah Wulan menjamah apalagi menguasai anaknya. Apalagi Wulan mengatakan bahwa Restu ingin menemuinya. Tidak, Murni tidak mau melihat tampang laki-laki yang telah merobek masa depannya menjadi kepingan-kepingan kecil yang berterbangan dan rapuh saat angin menerpanya.

“Aku harus pergi,” gumamnya sambil bersiap pergi bekerja.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 35

SELAMAT PAGI BIDADARI (33)

Karya Tien Kumalasari

Murni baru saja pulang dari bekerja. Dengan perut semakin besar, ia menjadi semakin gampang merasa lelah. Ia sedang rebahan di ranjang, ketika ibunya menelpon.

“Simbok?”

“Ya Mur, ini simbok. Sedang apa kamu?”

“Sedang rebahan di kamar Mbok.”

“Sebetulnya simbok pengin itu lho Mur, kalau telponan, bisa kelihatan wajahnya itu lho, jadi simbok bisa melihat wajah kamu.”

“O, iya Mbok, sebetulnya bisa, tapi kan ponsel simbok itu jadul. Jadi nggak bisa dibuat vidio call, besok, kapan-kapan, Murni belikan Simbok ponsel yang bisa untuk video call ya.”

“Benar ya Mur.”

“Iya, sekarang ini, yang penting bisa ngomong, biarpun berjauhan. Dan yang penting juga, Simbok sehat. Ya kan?”

“Iya, kamu juga harus sehat lho Mur, dan jangan terlalu capek.”

“Iya Mbok. Bagaimana kabar pak Broto dan bu Broto?”

“Waduh Mur, bu Broto tadi dibawa ke rumah sakit.”

“Lhoh, sakit apa ?”

“Ceritanya panjang Mur. Tadi itu, pagi-pagi sekali pak Restu datang.”

Murni langsung merasa mual mendengar nama Restu disebut. Tapi dia harus mendengar simboknya bicara, agar simboknya tidak curiga.

“Masih pagi sekali, gerbang masih digembok. Simbok keluar lebih dulu mendengar gerbang diketuk-ketuk, ternyata yang datang pak Restu. Ya ampun Mur, simbok kabet banget. Tiba-tiba pak Restu merangkul simbok sambil menangis, dan bilang minta maaf berkali-kali. Simbok jadi bingung, kenapa dia minta maaf sama simbok.”

“Lalu dia bilang apa lagi?” Murni terpaksa menyahut, khawatir kalau simboknya mencurigai sesuatu.

“Dia terus meminta maaf, lalu simbok bertanya, ada apa minta maag=f sama yu Sarni?”

“Dia jawab apa?” potong Murni lagi.

Dia belum menjawab, tapi pak Broto sudah berteriak memanggil.”

Murni bernapas lega. Memang tampaknya simboknya tidak tahu apa-apa tentang kejadian itu.

Lalu yu Sarni bercerita tentang kemarahan bu Broto yang entah karena apa, lalu tiba-tiba sakit danpak Broto membawanya ke rumah sakit. Mungkin karena pak Restu tidak bermaksud pulang ke rumah.

“O, ya ampun. Murni jadi sedih. Ingin melihat bu Broto.”

“Ya, sudah Mur, nanti simbok kabari kalau ada apa-apa. Kamu harus jaga diri baik-baik ya.”

“Ya. Simbok juga ya.”

Murni meletakkan ponselnya dan menghela napas lega. Siapa suruh dia berbohong sama simboknya. Bukankah demi menutupi kebohongan yang satu maka dia harus berbohong lagi dan lagi? Ini terasa sangat melelahkan.

Usia kandungan sudah lima bulan, dan dia merasa sehat-sehat saja. Ia mengelus perutnya perlahan, dan rasa sayangnya kepada bayi yang dikandungnya bertambah besar. Tiba-tiba ia teringat kata Wulan, bahwa bayi yang kelak dilahirkannya akan menjadi anak Wulan. Murni terus mengelus perutnya, lalu air matanya menitik tiba-tiba. Bayi ini darah dagingnya. Ketika dia ingin melenyapkannya, adalah dosa. Bagaimana kalau dia kemudian menyerahkannya kepada orang lain? Rasa sesal menggayuti hatinya. Ia mendekap perutnya erat.

“Tidak, ini bayiku, hat=rus aku yang merawatnya. Tetaplah aku yang menjadi ibunya, gumamnya pelan.

Dan perubahan perasaan itu membuatnya tak rela melepaskannya kelak.

Lalu dia teringat kata simboknya ketika menelpon tadi, bahwa Restu meminta maaf kepadanya, serta nyaris mengatakan sebabnya, kalau saja pak Broto tidak memanggilnya. Pasti Restu akan mengulanginya, apalagi beberapa hari yang lalu ia bertemu Restu, dan kemudian Restu seperti ingin mengejarnya. Meremang bulu kuduk Murni membayangkan bertemu dengan Restu. Ingatan akan malam yang menyakitkan itu, membuat rasa bencinya tak akan bisa terobati selamanya.

“Apa yang harus aku lakukan?”

Murni sangat gelisah, dan keinginan untuk melepaskan lelah justru membuatnya kelelahan. Lelah lahir dan juga batinnya.


Wulan masih menunggui bu Broto yang tampak tidak tenang. Ia memejamkan matanya dan berusaha tidur, tapi sebentar kemudian terjaga.

“Kenapa Bu?”

“Bapakmu belum kembali?”

“Belum Bu.”

Bu Broto tampak gelisah. Raut mukanya menjadi pucat tak bersemangat.

“Bapakmu kan bilang, kalau belum menemukan Restu tidak akan pulang?”

“Iya Bu, itu benar.”

“Bagaimana kalau sampai berhari-hari kemudian ternyata memang tidak bisa menemukan?”

“Ibu tenang saja. Bapak pasti bisa menemukan kok,” hibur Wulan.

“Kamu jangan menganggap enteng masalah ini Wulan. Bapakmu itu, kalau ngomong, selalu ditepatinya. Kalau dia bilang tidak akan pulang sebelum menemukan Restu, pasti dia benar-benar tak akan pulang.”

“Bagaimana kalau Ibu menelpon bapak?”

“Aduh, masa aku harus menelpon?”

“Memangnya kenapa? Ibu minta saja pada bapak, agar cepat pulang, bertemu mas Restu atau tidak, begitu,” goda Wulan yang tampak tenang, karena dia yakin bahwa mereka pasti bisa menemukan Restu karena Rio tahu dimana Restu berada.

“Nggak mau aku.”

“Kok nggak mau? Bukankah Ibu berharap bapak segera pulang?”

“Malu aku,” kata bu Broto sambil memalingkan wajahnya.”

“Kok malu sih Bu, menelpon suami sendiri kok malu,”

“Seharian aku memarahinya, kalau tiba-tiba aku menelpon, ya malu-lah.”

Wulan tertawa, agak keras tawanya, karena benar-benar geli melihat sikap bu Broto.

“Ibu ada-ada saja. Kalau memang Ibu merindukan bapak, Ibu minta agar bapak pulang saja dong.”

“Nggak mau,” bu Broto cemberut, Wulan bertambah geli.

Ketika itulah terdengar ketukan di pintu, lalu Rio masuk. Hanya Rio. Bu Broto tampak menunggu, tapi memang hanya Rio yang masuk.

“Mana bapak?” tanya bu Broto kepada Rio.

“Bapak?”

“Apa bapakmu tidak mau pulang? Apa Rio tidak ketemu sehingga bapakmu tidak mau pulang?” tanya bu Broto dengan wajah cemas.

Rio mendekati bu Broto, dan memegangi lengannya sambil tersenyum.

“Rio, tolong bilang sama Bapak, besok bisa berangkat mencari lagi, tapi sebaiknya sekarang pulang dulu.”

“Ibu kangen ya sama bapak?” entah siapa yang menyuruh, tiba-tiba Rio kompak mengganggu bu Broto.

“Rio, kamu ini bilang apa? Ya iya lah ibu kangen, bapakmu itu kan suami ibu,” kesal bu Broto.

Tiba-tiba pak Broto muncul.

“Benar, Ibu kangen sama bapak Sudah nggak marah lagi?”

Nah, kok kompak semua nih, gangguin bu Broto.

Bu Broto memalingkan wajahnya, menyembunyikan rasa lega melihat suaminya pulang.

“Bu, bapak senang lho, ibu tidak marah lagi sama bapak. Kok wajahnya menghadap ke sana sih. Jangan bilang ibu masih marah ya, kan ibu bilang kangen tadi,” goda pak Broto sambil berjalan memutar, sehingga bisa menatap wajah bu Broto.

“Jangan senang dulu ya, pokoknya Bapak harus bisa membawa Restu kemari,” ketus bu Broto.

“Bagaimana kalau tidak ketemu, bapak nggak boleh pulang ya. Memang itu keinginan bapak kok.”

Tiba-tiba bu Broto meraih tangan suaminya, menggenggamnya erat.

“Maafkan ibu ya,” katanya lirih, menahan malu.

Rio dan Wulan saling pandang, menahan tawa melihat kemesraan sepasang suami istri yang sudah tidak lagi muda. Mereka pasangan serasi yang selalu menampakkan kasih sayang di setiap harinya. Itu sebabnya Wulan agak heran ketika melihat ibunya sangat marah kepada suaminya. Dan ternyata mereka memang tak bisa menyembunyikan kasih sayang yang selalu terjaga.

“Kalau benar Ibu memaafkan bapak, bapak akan memberi ibu hadiah.”

“Hadiah apa? Ibu tidak suka hadiah lagu, suara bapak tuh sudah nggak merdu, sember, jelek.”

Pak Broto tertawa.

“Baiklah, bukan lagu, ada yang lain kok. Pejamkan dulu mata ibu.”

Seperti anak kecil, bu Broto juga memejamkan matanya.

“Awas ya, jangan dulu di buka, sebelum bapak memintanya.”


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 34

SELAMAT PAGI BIDADARI (32)

Karya Tien Kumalasari

Pak Broto diam selama Rio mengendarai mobilnya. Ia menoleh ke kiri dan kanan jalan, barangkali menemukan sosok Restu di sepanjang perjalanannya. Gundah meliputi hatinya, karena ia tak juga menemukan sosok yang dicarinya.

Tapi kemudian Pak Broto heran, ketika Rio menghentikan mobilnya di sebuah bengkel.

“Mobilmu rusak? Atau ban kempes?” tanya pak Broto.

“Bapak ingin mencari mas Restu kan? Mohon Bapak turunlah, saya akan menunggu di mobil.”

Pak Broto menatap Rio dengan penuh tanda tanya.

“Ini bengkel kan? Mobilmu tidak apa-apa?”

“Iya Pak, tidak apa-apa.”

“Tapi … mengapa …”

“Bapak turun saja. Tapi maaf, Rio tidak ikut turun ya. Bapak bisa bertanya kepada pegawai atau montir di bengkel itu, apakah mereka tahu dimana Restu berada.”

“Oo.. begitu ya?”

Pak Broto turun dari mobil, tanpa mengerti apa sebenarnya maksud Rio. Apakah montir itu teman-temannya Restu? Lalu dirinya harus bertanya, barangkali mereka tahu dimana Restu berada? Entahlah, pak Broto melangkah ragu ke arah bengkel. Seseorang menghampirinya.

“Ada yang bisa saya bantu Pak?”

“Saya … ingin bertanya … apakah … ada yang tahu di mana Restu berada?”

“O, pak Restu?”

“Ya.” Agak heran pak Broto ketika Restu dipanggilnya ‘pak’.

“Bapak ini siapa?”

“Saya … ayahnya.”

Montir itu terkejut, mengawasi pak Broto dengan seksama. Penampilan perlente, tapi agak kusut. Mereka mengira pak Broto baru bangun tidur, tapi perkiraan itu tidak diucapkannya.

“Bapak … ayah pak Restu?”

“Ya, Anda tidak percaya? Apa saya harus menunjukkan kartu keluarga?” tanya pak Broto agak kesal.

“Oh, bukan begitu Pak, soalnya … kami belum pernah melihat Bapak. Baiklah, mari saya antarkan.”

“Mengantarkan ke mana?”

“Bukankah Bapak mencari pak Restu?”

“Ya, tentu saja.”

“Beliau ada di lantai atas,” katanya sambil berjalan menuju tangga, dan memberi isyarat agar pak Broto mengikutinya.

Pak Broto seperti orang linglung, mengikuti naik ke atas tangga dengan langkah tertatih. Montir yang mengantarkan berjalan mendahului, lalu mengetuk pintu kamar Restu yang tertutup. Pak Broto terdiam dalam keheranannya. Tak percaya saja kalau Restu tinggal di lantai atas di bengkel itu. Dan mengapa orang dibawah memanggilnya pak Restu.

“Jangan-jangan salah orang. Hanya nama saja yang sama,” pikir pak Broto.

“Ada yang mencari Bapak,” kata orang yang mengetuk pintu.

Tidak lama kemudian, pintu itu terbuka. Restu dan pak Broto sama-sama terbelalak saling pandang. Lalu tanpa komando keduanya berpelukan erat. Sang montir yang tadi mengantar segera turun, setelah merasa tidak salah orang, karena rupanya memang benar, laki-laki perlente itu adalah ayahnya sang bos muda.

“Bagaimana Bapak bisa datang kemari?” kata Restu setelah puas bepelukan, lalu mengajak ayahnya duduk di kursi kamar.

Pak Broto melihat ke sekeliling kamar. Kamarnya bagus, nyaman, ada kursi untuk tamu di dalamnya, Ada jam dinding, ada AC untuk pendingin ruangan. Pak Broto tampak takjub. Ini kehidupan menengah baginya. Meski bukan mewah, tapi jauh diatas sederhana.

“Ini kamar kamu?”

“Iya Pak.”

“Kamu jadi bos di sini?”

“Hanya sebagai pengawas, dan penanggung jawab.”

“Pantesan kamu menolak pulang. Kamu hidup berkecukupan di sini?”

“Yang penting ada uang untuk makan, beli pakaian, dan ada tempat untuk berteduh.”

“Bagaimana kamu bisa melakukannya? Kamu tidak cerita ketika tadi datang.”

“Saya hanya datang untuk meminta maaf.”

“Baiklah, bagaimana kamu bisa memegang usaha bengkel ini.”

Restu menghela napas.

“Sesungguhnya saya malu mengatakannya.”

“Mengapa malu?”

“Saya bertemu teman SMA, ketika sedang duduk sendirian di sebuah taman, dalam rasa keputus asaan saya. Dia adalah Supri, apa Bapak masih ingat?”

“Oh, Supri teman SMA kamu, yang tidak bisa kuliah selepas SMA?”

“Iya pak. Dia mempunyai usaha bengkel. Restu diajaknya ke rumahnya, diperbolehkan tinggal di sana, dan di suruh bekerja di bengkelnya.”

“Hm, bagus. Temanmu baik benar.”

“Supri juga mengajari saya mengenal Tuhan, mengajaknya bersujut setiap waktu, dan selalu memohon ampun kepadaNya. Restu menjalani semuanya, dan menemukan hidup tenang, walau sangat sederhana. Pada suatu hari Supri bilang, ada seorang pengusaha ingin mendirikan bengkel mobil, dan saya disuruh mengelolanya.”

“Bengkel ini?”

“Iya Pak, dan betapa malunya saya, karena penolong Restu itu adalah Rio.”

“Rio? Dia itu sebenarnya bukan pengamen, bukan sopir. Dia pengusaha ternama yang berhati sangat mulia.”

“Akhirnya saya tahu tentang dia.”

“Sekarang sudah menikah sama Wulan.”

“Saya juga tahu itu.”

“Dan pendiri bengkel ini adalah Rio?”

“Saya belum sempat menemuinya untuk mengucapkan terima kasih.”

“Kamu harus menemuinya. Dia ada di bawah.”

“Dia? Berarti Bapak datang bersama Rio?”

“Tapi dia tidak mau turun dari mobil.”

“Ya Tuhan. Biarkan saya menemuinya. Saya dulu begitu membencinya, sekarang malah jadi penolong saya.”

“Temui dia sekarang, setelah itu aku akan mengajak kamu menemui ibumu.”

“Tadi kan sudah ketemu?”

“Ibumu dirawat di rumah sakit, karena memikirkan kamu.”

“Ibu? Dirawat?”

Pak Broto mengangguk.

“Aku sudah berjanji, tak akan pulang sebelum bisa membawa kamu menemui ibumu.”

‘***

Rio terkantuk-kantuk di mobilnya. Ia sudah tahu bahwa pertemuan itu akan berlangsung lama, dan Rio suka melakukannya. Hanya saja dia memang belum ingin bertemu Restu. Dia masih mengira, bahwa Restu belum mengerti, siapa pemilik bengkel yang dipercayakannya padanya.

Rio terkejut ketika kaca mobil di sampingnya diketuk dari luar, dan pak Broto berdiri di dekatnya.

“Sudah selesai, Pak?” tanyanya, sambil membuka pintu mobil, tapi dia terkejut melihat Restu berdiri di sampingnya.

“Pak Restu ?” sapanya ramah.

Restu tersipu, tapi ia telah menata hatinya, karena sudah tahu bahwa akan bertemu Rio. Diulurkannya tangannya untuk bersalaman.

“Pak Rio, saya minta maaf.”

Rio tersenyum. Ucapan permintaan maaf itu tidak diduganya.

“Dan terima kasih atas semuanya,” katanya pelan.

“Mengapa berterima kasih, pak Restu?”

“Saya telah melakukan hal buruk kepada Anda, tapi Anda membalasnya dengan kebaikan. Saya sangat malu.”

“Lupakan saja. Kebaikan apa yang telah saya berikan?”

“Anda membuat saya menemukan hidup yang layak. Tadinya saya tidak mengira bahwa ini dari Anda, pak Rio. Tapi kemudian saya tahu semuanya, saya sangat malu. Saya harus berlutut di hadapan Anda untuk ungkapan terima kasih saya,” kata Restu sambil berusaha berlutut, tapi Rio menahannya.

“Jangan begitu Pak Restu. Kita sama-sama manusia, dan kita seumuran, mengapa harus berlutut?”

“Sungguh saya harus berterima kasih. Saya baru menata hati saya untuk menemui Anda. Hari ini saya baru menemui orang tua saya. Sebetulnya saya sedang mencari waktu untuk menemui Anda.”

“Sudahlah, lupakan semuanya. Didalam hidup ini kan tidak semuanya berjalan mulus. Terkadang ada sandungan, terkadang ada halangan. Tapi kalau kita mengingat satu hal, yaitu sebuah pegangan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, maka semuanya akan baik-baik saja.”

“Ya sudah, sekarang ayo kita ke rumah sakit, ibumu sedang menunggu,” kata pak Broto.

“Nah, saya sampai lupa karena pertemuan tak terduga ini, bahwa ibu sedang menunggu di rumah sakit. Mari kita berangkat sekarang.”

Restu mengangguk. Setelah berpesan kepada anak buahnya, ia kemudian pergi mengikuti Rio bersama ayahnya.

‘***

Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 33

SELAMAT PAGI BIDADARI (31)

Karya Tien Kumalasari

Pak Broto gelisah dalam menunggu. Ia tak tahu harus berbuat apa. Ada sesal dihatinya ketika tadi berpura-pura dingin ketika Restu bersimpuh sambil memeluk kakinya, dan meletakkan kepalanya di pangkuannya. Padahal dia bahagia, melihat Restu datang dengan wajah begitu segar dan sikap yang sangat tegar. Karena itu istrinya jadi salah sangka, mengira dia tak peduli pada anaknya, dan sekarang jatuh sakit oleh rasa kecewa terhadap dirinya.

Ia menunggu dan menunggu, sampai akhirnya dokter mengatakan bahwa istrinya tak apa-apa. Hanya sedikit tertekan, dan sebaiknya dirawat dulu selama beberapa hari.

Wulan yang berada di kantor, agak heran karena pak Broto tidak muncul, padahal banyak hal yang ingin ditanyakannya. Ia terkejut ketika sopir kantor menelponnya.

“Ya, ada apa Pak,” sapa Wulan.

“Saya baru saja dipanggil ke rumah pak Broto, untuk mengantarkan ibu ke rumah sakit.”

“Apa? Ke rumah sakit? Ibu sakit?”

“Tampaknya begitu, tadi diangkat berdua sama yu Sarni. Sekarang saya masih di rumah sakit, menunggu kalau bapak menyuruh saya atau apa.”

Wulan meletakkan gagang tilpon dengan tergesa. Ia membenahi kertas-kertas yang berserakan di meja, kemudian menelpon Rio. Setelah itu ia bergegas pergi ke rumah sakit.

Pak Broto sedang menunggui bu Broto di ruang IGD. Lega rasanya melihat bu Broto sudah sadar. Tapi dia menatap acuh pada suaminya. Ia bahkan tak menjawab ketika sang suami mengajaknya bicara.

“Bu, bapak minta maaf ya,” katanya lembut.

Bu Broto bergeming. Ia bahkan memalingkan wajahnya ke tempat lain. Sampai kemudian suster membawanya ke ruang rawat, bu Broto masih diam membisu. Walau begitu pak Broto tetap menemaninya dengan sabar.

Ia duduk di kursi didekat pembaringan, tapi tak berhasil memegangi tangan istrinya, karena sang istri yang masih dilanda kekesalan itu kemudian mengibaskannya.

“Bu, sudah dong marahnya.”

Bu Broto tetap memalingkan wajahnya.

“Nanti bapak akan mencari Restu, dan membawanya ke hadapan ibu.”

Bu Broto diam, bahkan kemudian memejamkan mata, pura-pura tidur. Kalau saja sebelah tangannya tidak terikat dengan jarum infus, pasti dia sudah kabur meninggalkan sang suami.

Pak Broto menghela napas, tapi kemudian meletakkan tangannya di pembaringan. Bu Broto yang merasa ada yang mengganjal di sampingnya, kemudian menggeser sedikit letak tidurnya.

“Bapak, ibu kenapa?” teriakan Wulan membuat pak Broto terkejut. Tapi Bu Broto tetap tak mau membuka matanya.

“Kamu kok bisa datang kemari, bersama Rio pula?” tanya pak Broto heran.

Sopir kantor mengabari Wulan, lalu Wulan menelpon Rio.

“Ibu sakit apa?” tanya Rio sambil memegang tangan bu Broto.

“Gara-gara Restu,” kata pak Broto singkat, kemudian berdiri lalu duduk di sofa.

Rio dan Wulan saling pandang, kemudian mengikuti pak Broto, duduk di sofa, setelah merasa bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan karena bu Broto tampak tertidur.

Pak Broto menceritakan semuanya, sejak kedatangan Rio, apa yang dikatakan Rio dan apa yang dia katakan, kemudian membuat bu Broto marah, seharian tidak keluar dari kamar dan jatuh sakit.

“Sampai sekarang, ibu masih sangat marah pada bapak, bahkan saat bapak berjanji akan mencarikan Restu serta memanggilnya agar kembali ke rumah.”

Rio dan Wulan saling pandang. Mereka, tentu saja sudah tahu akan keadaan Restu dan apa yang dilakukannya. Mereka senang akhirnya Restu datang dan meminta maaf.

Mereka yakin bahwa Restu benar-benar bertobat.

“Bapak akan mencari Restu agar mendapat maaf dari ibumu,” kata pak Broto sambil berdiri.

“Pak, kemana Bapak akan mencarinya?”

“Kemana saja, dan bapak tak akan pulang sebelum menemukan Restu,” katanya sambil melanjutkan langkahnya ke arah pintu.

“Tunggu Pak,” seru Rio.

Pak Broto menoleh kepada Rio, tapi tidak mengehentikan langkahnya.

Rio mengejarnya.

“Biar saya mengantarkan Bapak,” kata Rio sambil membukakan pintu untuk pak Broto.

Wulan tersenyum, dan menghela napas lega. Saat itulah Bu Broto membuka matanya, lalu memanggil Wulan.

“Wulan …”

Wulan bangkit dan bergegas menghampiri bu Broto.

“Bagaimana keadaan ibu?”

“Ibu baik-baik saja. Suruh dokter melepas infus ini, ibu mau pulang.”

“Jangan dulu Bu, kesehatan ibu sedang diamati oleh dokter. Kalau ternyata ibu baik-baik saja, pasti ibu boleh pulang.”

“Kemana bapakmu?”

“Bapak pergi mencari mas Restu. Tadi bilang, tidak akan kembali tanpa membawa mas Restu.”

“Ooh,”

“Bapak sangat sedih, karena Ibu marah sama bapak.”

Bu Broto tak menjawab.

“Bapakmu tidak menyayangi Restu.”

“Tidak, Ibu salah. Bapak juga menyayangi mas Restu seperti Ibu menyayanginya. Hanya cara bapak yang berbeda. Bapak hanya berpura-pura bersikap dingin. Tapi sesungguhnya bapak bahagia ketika mas Restu datang untuk meminta maaf.”

“Bapakmu bohong. Dia membiarkan Restu pergi.”

“Tidak Bu, bapak mengatakannya dengan sungguh-sungguh. Bapak membiarkan mas Restu pergi, karena mas Restu yang tidak atau belum ingin pulang.”

“Tapi ibu ingin Restu pulang. Berbulan-bulan dia pergi, seperti apa kehidupan dia. Apakah dia bisa makan cukup? Bisa memiliki pakaian yang pantas? Punya tempat untuk berteduh kalau hujan dan panas?” kata bu Broto pilu, dan air matanya kembali merebak.

“Percayalah Bu, mas Restu akan baik-baik saja. Dia berani pergi karena dia sudah menemukan kehidupannya yang nyaman, dan tidak ingin lagi menyusahkan orang tuanya.”

“Wulan, kamu jangan sok tahu ya. Bagaimana dia bisa menemukan hidup nyaman? Jauh dari orang tua, terlunta-lunta.”

“Mas Restu bukan anak kecil. Ibu tahu … ayam saja mengerti bagaimana cara mencari makan, mengapa manusia tidak?”

“Restu terbiasa hidup enak.”

“Dia sudah belajar bagaimana hidup yang sesungguhnya. Itu tadi juga yang dikatakan bapak.”

“Ibu belum merasa puas kalau belum mendengar semuanya dari Restu. Dia harusnya bercerita tentang keadaannya. Bukannya langsung pergi.”

“Mas Restu mungkin masih merasa bersalah Bu, belum saatnya ber-akrab-akrab dengan orang tuanya. Pasti rasa khawatir masih akan dimarahi itu tetap ada.”

Bu Broto mengusap air matanya. Wulan mengelus lengannya dengan kasih sayang.

“Ibu jangan sedih ya, bapak akan membawa Restu kepada Ibu, tapi kalau nanti mas Restu masih ingin pergi, Ibu jangan menghalanginya. Barangkali mas Restu lebih suka melakukan sesuatu tanpa bantuan orang tuanya. Walau susah, pasti akan dijalaninya.”

“Bagaimana dia bisa, tanpa bantuan orang tuanya?”

“Allah itu Maha Pengasih. Ketika mas Restu bertobat, maka dikirimkanlah tangan-tangan mulia untuk mengentaskannya dari papa dan derita yang disandangnya.”

“Benarkah?”

“Bukankah Ibu juga percaya akan Kebesaran Allah Yang Maha Pengasih?”

Bu Broto mengangguk. Ia seperti anak kecil yang mendapat petuah dari orang tuanya.

“Bagaimana kalau bapakmu tidak menemukan Restu? Dia tidak akan pulang dong,” kata bu Broto sedih.

Wulan tersenyum.

“Ternyata Ibu juga mencintai bapak, dan bapak juga sangat mencintai Ibu.”

“Tentu saja Wulan, sepasang suami istri harus saling mencintai.”

“Kalau begitu mengapa Ibu marah-marah sama bapak, hayooo,” ledek Wulan.

Bu Broto tersenyum tipis. Nyatanya mendengar suaminya tak akan kembali, dia juga merasa sedih.

‘***

Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 32

SELAMAT PAGI BIDADARI (30)

Karya Tien Kumalasari

Yu Sarni gelagapan, karena tiba-tiba Restu memeluknya erat. Memang benar, dia adalah Restu, yang ingin menemui orang tuanya. Ada sedikit ragu, dan perasaan khawatir kalau-kalau dia ditolak. Tapi Restu merasa, dia harus melakukannya. Karena itulah pagi-pagi dia sudah berada di depan gerbang rumah orang tuanya.

“Pak Restu, aduh, ada apa ini? YU Sarni tidak bisa bernapas nih, aduh, kalau yu Sarni mati bagaimana ?”

Restu melepaskan pelukannya, mengusap air matanya yang berlinang. Yu Sarni heran melihat sikap Restu. Biasanya dia galak dan garang, apalagi memeluk, bicara dengan manis saja belum pernah. Kok ini pagi-pagi sudah main peluk, pakai nangis segala.

“Yu, maafkan aku ya Yu,” katanya memelas.

“Memangnya kenapa harus minta maaf sama yu Sarni?”

“Yu, aku telah melakukan dosa besar, aku_”

“Siapa Ni?” teriakan pak Broto membuat Restu menghentikan kata-katanya.

“Ini Pak ….”

Lalu yu Sarni menarik tangan Restu kedalam. Restu berdebar, ayahnya menatapnya tajam. Tak ada kesan gembira bertemu kembali dengan anaknya. Semangat Restu jadi surut. Ia ingin membalikkan tubuhnya dan keluar dari halaman, ketika tiba-tiba mendengar teriakan ibunya sambil menahan tangis.

“Restuuuu! Kamu Restu ?”

Bu Broto berdiri, kemudian turun ke halaman, sementara pak Broto menarik koran di atas meja, kemudian membalik-baliknya. Seakan tak peduli yang datang adalah anaknya.

“Restu ?” Bu Broto memeluk Restu sambil terusak-isak.

“Kamu kembali Restu? Kembali kan?”

“Restu datang untuk minta maaf Bu, maafkan anak Ibu yang penuh dosa ini,” Restu pun terisak.

“Sudah … sudah … ayo temui bapakmu …” katanya sambil menarik Restu ke arah rumah, sementara pak Broto masih asyik dengan koran nya.

“Pak … Bapak … ini anak kita pulang Pak,” teriak bu Broto.

Pak Broto bergeming. Tapi sudah kepalang tanggung, Restu nekat menaiki tangga teras dan bersimpuh di depan ayahnya, meletakkan kepala di pangkuan ayahnya.

“Bapak, maafkah Restu … bapak …” isaknya.

Pak Broto meletakkan korannya. Bagaimanapun, Restu adalah darah dagingnya. Ada yang meremas dadanya saat mendengar isak anaknya. Tapi pak Broto berusaha tegar, pura-pura bergeming.

“Kamu ini siapa sih? Datang-datang merangkul kakiku?”

“Bapak, saya Restu, maafkan Restu Bapak, Restu banyak dosa. Restu ingin Bapak memaafkan Restu ya.”

“Benarkah kamu anakku? Sepertinya aku lupa kalau pernah punya anak bernama Restu,” katanya tak acuh.

“Pak, jangan begitu Pak, Restu sudah minta maaf,” pinta bu Broto, memelas.

“Ampun Pak, Restu berdosa. Restu sudah berobat.”

“Bertobat itu bagaimana?”

“Restu sadar bahwa Restu berdosa. Restu berjanji tidak akan mengulanginya. Restu akan menjalani hidup yang baik, yang tidak lagi memburu kesenangan.”

“Iya lah, kesenangan siapa yang akan kamu buru lagi? Kamu kan sudah tidak punya apa-apa?”

Restu terdiam, tetap merangkul kaki ayahnya dan meletakkan kepala di pangkuannya, isaknya sesekali masih terdengar.

“Hentikan tangismu itu, jangan membasahi pangkuan aku dengan ingus kamu,” kata pak Broto datar. Tapi Restu masih tetap pada posisinya.

“Pak, jangan begitu Pak, Restu sudah bertobat,” pinta bu Broto menahan isak.

“Dari mana kamu tahu kalau dia bertobat?”

“Dia sudah datang, dan meminta maaf kepada orang tuanya, berarti dia bertobat. Kalau dia masih belum bertobat, mana berani dia datang kemari?”

“Bisa saja dia datang hanya karena butuh uang, pura-pura minta maaf, ujung-ujungnya minta uang. Iya kan?”

“Tidak Pak, Restu tidak akan minta apa-apa lagi pada Bapak ataupun ibu,” katanya bergetar.

“Oh ya? Kamu sudah bisa mencari makan sendiri? Sehingga tidak butuh orang tua?”

“Saya hanya butuh doa, bukan harta,” katanya pelan.

“Haaa, aku suka ini,” kata pak Broto masih dengan nada meledek, tapi belum juga menyentuh tubuh anaknya.

“Restu, kalau kamu sudah sadar, kamu boleh membantu lagi di bisnis bapak, Wulan juga membantu di sana,” kata bu Broto.

“Siapa bilang begitu? Dia tidak butuh itu kok,” sela pak Broto.

“Jangan begitu Pak, dia anak kita satu-satunya, dan sudah bertobat.”

“Saya mohon, agar sekarang Bapak memaafkan saya. Setelah ini saya mau pergi Pak, saya hanya butuh itu. Kata maaf dari Bapak dan ibu,” kata Restu sambil mengangkat kepalanya, tapi masih bersimpuh di hadapan ayahnya.

Mendengar Restu mau pergi setelahnya, tiba-tiba terusik hati pak Broto. Rasa bahagia yang semula disembunyikannya mulai tampak, dari matanya yang berkaca.

“Baiklah. Apa kamu mau kembali ke rumah ini?” katanya dengan suara bergetar.

“Saya datang hanya ingin meminta maaf, saya tidak berani mengganggu lagi.”

“Apa maksudmu Restu, apa kamu mau pergi lagi?” kata bu Broto.

Restu berdiri, meraih tangan ayahnya lalu menciumnya.

“Saya mohon Bapak dan ibu selalu mendoakan saya,” katanya kemudian membalikkan tubuhnya.

“Restuuu!” pekik bu Broto ketika melihat Restu turun dari tangga teras.

Restu membalikkan tubuhnya, melihat ibunya mengejarnya, Restu kembali, kemudian merangkulnya erat.

“Maafkan saya Bu. Biarkan saya pergi. Saya sedang mencari ketenangan dalam hidup, dengan menjalani apapun, tapi baik. Ibu tidak usah khawatir, Restu tidak akan melakukan perbuatan yang menyimpang dari kebenaran.”

“Restu, kembalilah. Oh ya, apa kamu sudah mendengar bahwa Wulan dan Rio sudah menikah? Rio itu sebenarnya adalah_”

“Restu sudah tahu Bu,” potong Rio.

Restu melepaskan pelukannya, lalu bergegas pergi dan tidak menoleh lagi.

“Restuuu,” bu Broto berusaha mengejar, tapi Restu sudah menaiki sepeda motornya dan memacunya menjauh.

Bu Broto kembali ke rumah dengan tangis yang tak henti-hentinya. Begitu naik ke teras, langsung bu Broto menggoyang-goyangkan tubuh suaminya dengan marah.

“Bapak sungguh kejam. Mengapa bersikap begitu dingin kepada anak sendiri. Padahal dia sudah minta maaf. Sambil menangis-nangis pula,” kesalnya sambil terus menggoyang-goyangkan tubuh suaminya.

Pak Broto yang sebenarnya juga punya perasaan sama dengan istrinya, kemudian merangkulnya dan mengelus bahunya.

“Sudahlah Bu, sudah. Jangan marah-marah lagi.”

“Tentu saja ibu marah. Bapak membuatnya pergi. Bapak tidak mengerti bagaimana perasaan seorang ibu. Tentu saja Bapak tega, karena Bapak tidak melahirkannya. Tidak merasakan sakit, tidak merasa berat saat dia berada dalam kandungan. Tapi aku ini ibunya, aku tidak bisa kehilangan dia.”
“Baiklah. Apa Ibu kira bapak tidak merasakan rasa yang sama dengan yang ibu rasakan?”

“Bohong! Bohong! Bapak tega! Bapak kejam! Dia pergi karena Bapak tidak menyambutnya dengan baik. Bapak tak peduli, Bapak tidak sungguh-sungguh memaafkannya,” bu Broto masih terus menangis sementara pak Broto masih merangkulnya erat.

“Bapak tidak bohong. Bapak juga mencintai Restu.”

“Bohong ! Bapak bohong! Aku tidak percaya. Mana ada cinta seperti itu. Bapak tega. Bapak membiarkannya hidup sengsara, padahal dia sudah bilang tobat.”

“Dia kan bilang, bahwa dia datang hanya untuk meminta maaf, setelahnya ingin pergi lagi. Itu keinginannya bukan? Berarti dia sudah menemukan jalan hidup yang baik, seperti yang kita harapkan.”

“Itu karena Bapak menyambutnya dingin. Tidak tampak bahagia, tidak senang dia kembali.”

“Tenanglah Bu, jangan marah-marah terus. Kalau Ibu masih marah, maka tidak akan bisa menerima perkataan bapak dengan baik.”

“Pokoknya aku benci Bapak. Aku benci karena Bapak tidak mencintai anakku.”

“Anak ibu juga anakku.”

“Bohooong! Bohooong!” teriak bu Broto, kemudian lari ke kamar dan menguncinya dari dalam.

Pak Broto menghela napas dalam-dalam. Emosi seorang ibu dan bapak memang berbeda. Si ibu menerima dengan caranya, si bapak dengan caranya pula.

Tak ada yang bisa dilakukan pak Broto kecuali menunggu kemarahan istrinya menjadi reda.


Restu sampai di bengkel, lalu membukanya sekalian karena tak lama lagi para montir bawahannya pasti sudah akan datang. Setelah itu dia segera naik ke atas, masuk ke kamarnya dan duduk termenung di sana.

Ketika dia datang menemui orang tuanya, dia memang hanya ingin meminta maaf, dan tak ingin kembali, apalagi ikut mengelola perusahaan ayahnya.Ia merasa sudah menemukan kehidupan yang membuatnya tenang, dan siap menjalani hidup sederhana yang jauh dari kemewahan dan gelimang harta.

“Aku tahu bapak juga memaafkan aku, tapi memang beda caranya dengan cara ibu memperlakukan aku. Bapak seorang laki-laki yang kuat dan tegar. Aku bangga menjadi anaknya. Tapi kasihan ibuku, dia ingin aku kembali ke rumah.”

Tiba-tiba Restu teringat yu Sarni. Tadi dia sudah meminta maaf, atas perlakuannya kepada Murni, tapi dia belum sempat mengatakan, ayahnya sudah berteriak memanggil yu Sarni. Dia juga ingin bertanya kepada yu Sarni, apakah Murni sudah menikah? Kalau belum, berarti bayi yang dikandung adalah anaknya. Restu ingin kejelasan itu, dan tak akan mengingkari tanggung jawab. Dia akan menikahi Murni kalau memang benar Murni belum menikah.

“Bodoh … bodoh … Mengapa tidak aku selesaikan sekalian tadi, tentang masalah Murni?”

Lama dia merenung tentang Murni, sehingga tidak mendengar pintu kamarnya diketuk berkali-kali. Entah ketukan yang keberapa tadi, barulah Restu mendengar lalu membukakan pintunya.

“Maaf Pak, apakah Bapak tidur tadi?”

“Tidak, aku sedang … melakukan sesuatu, ada apa?”

“Minta kunci kasir Pak, ada yang butuh kembalian.”

“Oh, ya … aku lupa. Sudah ada pelanggan?”

“Hanya ban bocor Pak, sudah selesai.”

Restu mengambilkan kunci kasir, sambil bergumam:” Rupanya aku melamun beberapa saat lamanya.”

Restu melihat ke arah jam dinding.

“Sudah jam sepuluh.”

Ia membereskan tempat tidurnya, lalu turun ke bawah.


Siang itu pak Broto tidak ke kantor. Dia sibuk menenangkan istrinya, yang tetap saja tak mau bicara sejak kepergian Restu pagi harinya.

Hari sudah siang, yu Sarni sudah menyiapkan makan siang, dan sudah mengatakannya kepada majikannya.

“Pak, makan siang sudah siap, tapi ibu masih belum membuka kamarnya, saya takut memanggilnya, Pak.”

“Iya, selesaikan saja menyiapkan makannya, biar aku yang memanggilnya.”

“Sudah siap Pak.”

“Baiklah.”

Pak Broto menuju ke arah kamar. Pintu itu masih terkunci. Pak Broto mengetuk-ngetuk pintu tapi tak ada jawaban.

“Bu, buka pintunya dong Bu, ayo makan dulu. Sarni sudah menyiapkan semuanya.”

Tak ada jawaban, lalu diulanginya lagi, dan diulanginya, tetap tak ada suara.

Pak Broto melangkah ke belakang, membuka laci almari yang berisi segala macam kunci serep.

“Mudah-mudahan kunci serep kamar itu ada di sini.”

Pak Broto terus mencari kunci.

“Dituang semua saja Pak, biar Sarni ikut mencari,” kata Sarno yang merasa kasihan melihat majikannya tampak gelisah.

Lalu pak Broto menuangkan semua isi laci itu ke lantai. Yu Sarni bersimpuh di lantai, memilih-milih. Ada beberapa kunci yang mirip, tapi yu Sarni dan pak Broto hapal betul yang mana kunci kamar yang harus ditemukannya.

Akhirnya pak Broto menemukannya. Ia berdiri dan bergegas ke kamarnya, membuka kamar itu dengan mudah. Dilihatnya bu Broto berbaring di tempat tidur, memeluk guling menghadap tembok.

“Bu, kenapa begitu sih Bu. Bapak sedih kalau Ibu marah. Baiklah, nanti Bapak akan mencari Restu sampai ketemu, dan membawanya kemari,” hibur pak Broto.

Tapi bu Broto diam saja. Pak Broto memegang tangan istrinya, dan terkejut ketika terasa panas sekali. Lalu dia memegang keningnya, dan lehernya.

“Bu, kamu kenapa? Bagaimana rasanya?”

Pak Broto bergegas keluar.

“Ni, coba telpon kantor. Suruh sopir datang kemari, cepat,” perintah pak Broto.

Sarni bergegas ke arah telpon, mencari nomor kantor. Ia sudah tahu apa yang harus dilakukannya, karena pak Broto sering menyuruh Sarni kalau sewaktu-waktu butuh sopir.

Pak Broto mengambil mangkuk besar dengan air hangat.

“Kalau sudah tolong ambilkan lap, kompres ibu. Panasnya tinggi. Aku akan bersiap membawanya ke rumah sakit.”

“Baik Pak.”

Sarni membawa baskom dan lap kecil, kemudian mulai mengompres bu Broto. Bu Broto tak bergerak.

“Bu, Ibu sadar ya. Mengapa Ibu sepeti ini?”

Tak lama kemudian mobil kantor telah sampai. Dibantu yu Sarni, pak Broto membopong tubuh istrinya, dibawanya ke mobil.

“Ke rumah sakit, cepat!” perintah pak Broto


Besok Lagi ya…

Bersambung ke Jilid 31

SELAMAT PAGI BIDADARI (29)

Karya Tien Kumalasari

Supri heran, tiba-tiba Restu menghilang dari sisinya. Ia menoleh ke belakang, barangkali dia tertinggal jauh di belakang, tapi ia tak melihat bayangannya.

Supri kembali ke arah pintu masuk, sambil memanggil-manggil nama Restu, tapi Restu bagai lenyap ditelan bumi.

“Restu ! Restu !”

Tak ada, dimana-mana tak ada, ia mengitari seluruh arena kerumunan, tak tampak bayangan sahabatnya.

“Tadi di sampingku, bagaimana bisa menghilang tiba-tiba?” gumamnya resah.

Ia keluar dari halaman hotel, lalu menelpon Restu, tapi tak ada jawaban.

“Kemana anak itu? Tadi sangat bersemangat untuk menyalami pengantin, kok tiba-tiba menghilang?”

Lalu berkali-kali Supri menelponnya, dan panggilan yang kesekian puluh kalinya, barulah dia mendapat jawaban.

“Restu, kemana kamu nih? Di gondol kuntilanak?” kesal Supri.

“Aku sudah di rumah.”

“Apa kamu sudah gila?”

“Lanjutin saja pestanya, aku lebih baik pulang.”

“Kenapa?”

“Tiba-tiba kepalaku terasa sangat pusing.”

“Ya ampun. Kenapa kamu tidak bilang kalau mau pulang lebih dulu? Aku muter di sekitar gedung dan halaman, sampai pegal kaki aku,” gerutu Supri.

“Maaf, kamu agak jauh dari aku, aku tak sempat pamit. Maaf Supri,” katanya kemudian menutup pembicaraan tiba-tiba.

“Kesambet barangkali. Aku kok merasa ada yang aneh. Kenapa ya dia?”

Dan karena resah itu, Supri pun akhirnya juga bermaksud pulang. Tapi tidak, dia tidak pulang, tapi pergi ke bengkel tempat Restu tinggal.


Restu sedang meringkuk diatas pembaringan, dengan pikiran kacau yang memenuhi benaknya.

“Rio … Rio sopirnya Wulan, Rio Bramantyo … pengusaha kaya yang baik hati itu? Yang dulu sering aku suruh-suruh dengan kasar, aku maki-maki karena aku selalu merasa berkuasa, dan dia hanya seorang sopir. Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Dosaku demikian besar, dan celakanya lagi, dia memberi aku kehidupan yang jauh lebih layak dari gelandangan yang tak punya tempat tinggal dan penghasilan seperti yang aku terima. Dia … dia …

Berlinang air mata Restu mengingatnya, mengingat betapa besar dosanya, dan betapa dia harus menanggung malu karena orang yang semula dia rendahkan, ternyata pengusaha hebat yang terkenal karena kedermawanannya, bahkan menolongnya.

Terbayang wajah ganteng rupawan yang bersanding dengan Wulan, bekas istrinya, yang sangat cantik bak Dewi dari Kahyangan. Lalu Restu menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya.

“Dia … dia … dia …” lirihnya pilu.

Beberapa saat lamanya dia tenggelam dalam luka dan sesal, sampai ketika kemudian terdengar ponselnya berdering. Dari Supri.

“Pasti dia marah karena aku meninggalkannya begitu saja. Habis aku tiba-tiba kalut dan bingung,” gumamnya sambil membuka ponselnya.

“Ya Pri,” sapanya pelan.

“Buka pintunya, aku ada dibawah,” kata Supri yang langsung menutup ponselnya.

Restu turun ke bawah, menemui sahabatnya yang pasti sangat kesal. Tanpa mengatakan apapun, dia mengajaknya ke atas.

“Kamu kesambet, atau apa?” ketus Supri begitu mereka duduk.

“Aku sangat kacau.”

“Kacau kenapa? Kamu tadi sangat bersemangat untuk menyalaminya karena merasa berhutang budi, bukan? Kenapa tiba-tiba kabur?”

“Tolong jangan marah dulu.”

“Bukan hanya marah, aku ingin memakanmu,” kesal Supri.

“Ya ampun, kamu harus mendengar dulu penjelasan aku sebelum marah-marah.”

“Baiklah, tapi awas, kalau penjelasan kamu tidak masuk akal, jangan lagi menjadi sahabatku,” ancam Supri.

“Kejam sekali ancamannya sih,” kata Restu, memelas.

“Ada apa?” kata Supri dengan nada agak rendah, mendengar suara Restu yang memelas.

“Pengantinnya itu, bekas istriku.”

Supri terkejut.

“Jadi itu istri kamu? Eh, bekas istri kamu? Kamu memang gila ya, istri secantik itu disia-siakan,” omel Supri.

“Sudahlah Pri, jangan lagi bicara soal itu.”

“Habisnya … kamu juga syok, melihat istri kamu bersanding dengan pengusaha hebat itu kan? Kamu cemburu? Jadi sekarang kamu merasa cinta sama bekas istri kamu? Tapi sesal kemudian tak berguna bukan?” omel Supri panjang seperti sepur.

“Bukaaaan, bukan karena aku cemburu atau masih cinta sama dia.”

“Lalu apa? Nyatanya kamu langsung pulang. Tak kuat melihatnya disamping pak Bram kan?”

“Yang namanya pak Bram itu Rio, dulu sopir ayahku.”

Supri tercengang. Ia tak bisa mengerti apa yang dikatakan Restu. Pak Bram, pengusaha kaya raya itu, sopir ayahnya Restu?

“Pasti kamu bergurau kan?”

“Itu benar. Aku tidak tahu bagaimana ceritanya, tapi dia itu Rio, sopir ayahku, yang ternyata namanya Rio Bramantyo. Pantes wajahnya sangat mirip.”

“Maksudnya … dulu itu dia hanya sopir, lalu menjadi pengusaha kaya? Ah, gimana kamu itu? Mana mungkin seorang sopir tiba-tiba menjadi kata. Lagi pula dia sudah menjadi langganan bengkel aku sejak beberapa tahun lalu, sedangkan kamu pergi dari rumah baru beberapa bulan lalu.”

“Aku juga bingung. Apa dulu dia menyamar jadi sopir ya?”

“Kenapa?”

“Dia tadinya malah seorang pengamen.”

“Aneh.”

“Itu sebabnya aku jadi linglung, lalu lari pulang. Kamu harus memaafkan aku Pri,” keluh Restu.

Supri menghela napas berat.

“Masih banyak teka-teki dalam hidup kamu yang belum terjawab. Kamu harus segera mencari jawabnya, agar hidup kamu tenang.”

“Atau aku tinggalkan saja bengkel ini, lalu kembali saja menjadi montir di tempat kamu?”

“Apa kamu sudah gila? Disini kamu benjadi bos, di tempat aku kamu hanya pegawai aku.”

“Tapi aku lebih tenang. Dulu aku selalu merendahkan Rio. Aku kasar dan sering menghardiknya, sekarang dia memberi aku kehidulan layak. Aku tak sanggup menerimanya Pri.”

“Tidak, jangan bodoh. Yang harus kemu lakukan sekarang adalah menemui dia. Minta maaf, mengucapkan terima kasih, atau apa. Pokoknya terserah kamu. Dan kamu juga masih punya pekerjaan untuk mencari tahu tentang Murni.”

“Iya, tapi aku bingung.”

“Kamu harus bisa mengurai benang kusut yang membelit hati dan perasaanmu. Buat agar hidup kamu nyaman.”


Pesta itu telah usai. Bukan pesta hura-hura yang penuh sorak dan hiruk pikuk, tapi pesta yang sangat santun, penuh keikhlasan dalam membantu sesama, penuh suka cita oleh rasa syukur dan ungkapan ‘alhamdulillah’ bertalu-talu membubung ke atas langit sana.

Terimakasih Ya Allah, melalui tangan mulia pak Bramantyo dan isteri, karunia penuh berkah telah bertebaran dalam kidung-kidung sorga.
Wulan bangun kelelahan saat adzan subuh bertalu, lalu membangunkan suaminya dan berdua mengucapkan sujud syukur atas semua yang terlimpah. Bukan hanya untuk dirinya tapi juga untuk banyak orang yang berkesempatan menerima setitik anugerah dalam keikhlasan yang tulus.

“Selamat pagi, bidadari,” sambut Rio saat mereka selesai beribadah.

“Selamat pagi, pangeran berkuda yang tidak memiliki kuda,” sambut Wulan dengan senyuman memikat.

“Lapaar,” keluh Rio setelah duduk santai di ruang tengah sehabis mandi.

“Aku buatkan sarapan dulu ya,” kata Wulan dengan wajah penuh seri oleh bahagia yang membuncah.”

“Tentu dong,” jawab Rio sambil menarik Wulan dalam dekapannya, kemudian mencium dahinya lembut.

“Mau sarapan apa, tuan muda?” canda Wulan.

“Apa saja buatan istri aku, pasti enak,” jawab Rio mantap.

“Yang gampang saja dulu ya, bagaimana kalau nasi goreng dan ceplok telur?”

“Itu makanan kesukaan aku.”

“Baik, tuan muda.”

“Jangan lama-lama, bidadari.”

“Segera, pangeranku,” kata Wulan riang sambil melangkah ke arah dapur.

Rio menyetel televisi, dan duduk menikmati acara sambil menyandarkan tubuhnya.

Tak lama kemudian harum sedap menguar di seluruh ruangan, datangnya dari arah dapur. Tak tahan menunggu, Rio melangkah ke dapur, dan memeluk istrinya dari belakang.

“Lama banget sih, keburu lapar nih,” keluhnya sambil terus memeluk isterinya yang sedang mengaduk nasi goreng di wajan.

“Sabar dong, sebentar lagi siap.”

“Buruan, kalau masih lama juga, kamu lah yang akan aku makan,” kata Rio tanpa mau melepaskan istrinya.

“Rio, sabar dong, dan lepaskan aku, ini sudah mau mengentasnya dari wajan.”

Rio melepaskan dekapannya dan duduk di kursi dapur.

Wulan tersenyum manis, membuat Rio terpana memandanginya.

“Bidadariku memang cantik.”

Wulan mencibirkan bibirnya sambil meletakkan nasi goreng yang sudah matang di sebuah basi.”

Rio sibuk mengendus-endus aroma nasi goreng itu.

“Sebentar sayang, tinggal telur ceploknya ya,” kata Wulan yang sudah siap memasang wajan diatas kompor.

“Aku mau telurnya matang, nggak mau yang setengah matang.”

“Iya aku tahu, masa sih, seorang istri tidak tahu kesukaan suaminya.”

“Bagus,” kata Rio yang kemudian mengambil sendok dan menyendok sesendok nasi goreng yang sudah siap.

“Mau makan di dapur saja?”

“Iya, kenapa memangnya. Aku sudah tak tahan nih,” katanya sambil menyendok lagi sesendok nasi goreng. Wulan meliriknya dan tersenyum. Sambil menunggu telur mata sapi yang digoreng, dia mengambil dua buah piring lalu diletakkannya diatas meja.

“Nih, taruh di sini, kalau mau makan sekarang,” katanya sambil menyendokkan sepiring nasi goreng, lalu kembali untuk mengentas telur ceploknya yang sudah matang.

Pagi itu adalah pagi pertama, dimana keduanya bisa makan bersama di rumah sebagai suami istri.

“Ingat kalau aku harus makan di meja teras nih,” celetuk Rio tiba-tiba.

Wulan tertawa menanggapinya.

“Itu sebelum kamu dipecat dari pekerjaan kamu sebagai sopir.”

Rio tertawa keras.

“Sudah lama kamu ingin memecat aku bukan? Ingin buru-buru dilamar ya?”

Wulan mencibir, membuat Rio bertambah gemas.

Hari itu mereka berdua menghabiskan waktu di kamar. Saat makan siang dan malam-pun mereka memilih memasak berdua di rumah, diantara canda tawa sebagai ungkapan rasa bahagia.


“Bagaimana kabar bengkel kamu yang baru, Rio,” tanya Wulan ketika malam itu duduk berdua di teras depan, menikmati malam indah diantara taburan bintang yang gemerlap dan tak lelah untuk berkedip.

“Bagus, dan dikelola dengan baik. Sebenarnya Restu orang yang pintar mengendalikan sebuah usaha.”

“Dia kan dididik oleh bapak. Bahwa kemudian dia terperosok ke dalam kubangan lumpur, itu karena dia tak kuat iman, merasa bahwa semua keindahan akan kekal dinikmatinya, tak sadar aroma iblis selalu memberinya iming-iming yang menggoda.”

“Tapi akhirnya, iblis pula yang membuat dia tersaruk salam melangkah, kurus kering tak setetespun embun sudi membasah.”

“Kamu mendengar banyak dari pemilik bengkel Supri itu kan?”

“Ya, Supri itu teman SMA nya, menemukan Restu dalam keputus asaan, lalu membimbingnya untuk berjalan diatas kebenaran, membimbingnya ke arah jalan yang diridhoi Allah, dan Supri berhasil. Aku senang Restu kemudian mau bersusah payah bekerja, dan ingat akan Tuhan-nya. Dan itu pula sebabnya aku kemudian menolongnya, agar dia bisa berdiri tegak dengan penghasilan yang layak.”

“Aku bahagia memiliki suami yang penuh kasih sayang terhadap sesama.”

“Kasih hadiah dong,” rengek Rio manja.

Wulan tersenyum sambil mencium pipi suaminya. Tak hanya satu sisi, Rio menunjuk ke arah pipi lainnya yang kemudian dipenuhi oleh Wulan dengan penuh suka cita.

“Kamu ingin jalan-jalan ke mana?” tiba-tiba tanya Rio.

“Jalan-jalan? Kemana saja boleh, ke warung bakso, wedang ronde …”

“Ke luar negri, maksud aku.”

“O, tidak. Aku masih harus banyak belajar dalam membantu bapak. Kita tidak usah kemana-mana. Aku tidak ingin mengecewakan bapak,” kata Wulan mantap.

“Baiklah, aku mengerti.”

“Apa kamu akan langsung bekerja?”

“Kita libur tiga hari saja ya, penat kita karena pesta itu kan lumayan terasa.”

“Kamu lupa, dengan di rumah berlama-lama, penat kita kan bertambah?”

Kedua pengantin baru itu tertawa lirih, sedikit tersipu karena sepotong bulan diatas sana sedang meledeknya.


Pagi hari itu setelah seminggu dari pernikahan Rio dan Wulan berlalu, pak Broto sedang duduk berdua bersama istrinya di teras. Mereka sedang menunggu sarapan yang sedang disiapkan yu Sarni.

Tiba-tiba sebuah sepeda motor berhenti di depan gerbang. Pak Broto berteriak kepada Sarni, agar membuka gerbang itu.

Yu Sarn bergegas ke arah gerbang sambil membawa kunci. Tertegun ketika gerbang sudah dibuka, yu Sarni melihat sosok yang sangat dikenalnya, turun dari atas sepeda motor, langsung memeluknya erat.

Tergagap yu Sarni menerima pelukan itu


Besok Lagi yaa…

Bersambung ke Jilid 30

SELAMAT PAGI BIDADARI (28)

Karya Tien Kumalasari

Restu masih terpaku oleh pemandangan yang dilihatnya. Salahkah penglihatannya? Bukankah itu tadi Murni? Mengapa perutnya seperti besar, begitu? Apakah dia mengandung? Dia sudah menikah? Atau …

Lalu Restu teringat apa yang dilakukannya beberapa bulan yang lalu. Perilaku brutal yang dilakukan saat dia mabuk. Dia mengingatnya. Dalam keadaan badan terhuyung-huyung, dia berjalan dan menabrak pintu depan rumahnya. Tak cukup hanya menabrak, dia juga menggedor-gedornya, padahal dia membawa kunci rumah sehingga setiap pulang tidak usah membangunkan siapapun.

Saat itu dengan wajah mengantuk Murni melongok dari kaca pintu, karena dia tidak mau membukakan sembarang pintu untuk orang yang tidak dikenalnya. Begitu melihat sosok Restu, maka dia membukakannya dengan wajah setengah mengantuk. Namun begitu masuk, Restu langsung menubruknya, menyeret ke sofa dan melucuti pakaiannya dengan paksa. Dia juga membungkan mulut Murni agar tidak berteriak, lalu mengancamnya dengan mata menatap bengis. Murni tak berdaya. Lunglai dalam sakit dan derita.

Restu terhenyak mengingatnya. Apakah kehamilan Murni adalah karena kelakuannya? Tiba-tiba dunia terasa gelap bagi Restu. Ia berpegang pada dinding pintu masuk toko dimana dia mau belanja.

Hari-hari penuh tobat yang dilaluinya, membuat hatinya resah oleh dosa yang satu itu. Menodai pembantunya. Benarkah Murni hamil karena dirinya? Murni sama sekali tidak mau berhenti, apalagi berbicara. Bagaimana dia akan menanyakannya.

Restu mencoba menenangkan batinnya. Ia ingin bertanya pada Wulan, tapi ia tak pernah tahu nomor kontaknya, bahkan sejak Wulan menjadi istrinya. Satu-satunya jalan ialah menemui Wulan dan bertanya.

“Aku harus melakukannya, karena hal ini sangat menggangguku,” gumamnya sambil melangkah pulang, mengurungkan niatnya untuk belanja.

Ketika Ia sampai di bengkel, dilihatnya Supri sedang menunggunya, sambil mengamati para pekerja.

“Dari mana kamu? Mengapa wajahmu kusut begitu?” tanya Supri menyambut.

Bukannya menjawab, Restu menarik tangan sahabatnya untuk diajaknya ke lantai atas, langsung masuk ke dalam kamarnya.

“Ada apa sih, serius amat?”

“Aku tadi ketemu Murni,” kata Restu ketika keduanya sudah duduk di kursi dalam ruangan itu.

“Murni siapa? Lupa-lupa ingat aku nama itu. Ooh, iya, aku ingat. Itu nama pembantu kamu yang kamu telah_”

“Sudah, jangan diteruskan, aku telah memperkosanya, aku ingat,” kata Restu memotong kalimat yang diucapkan Supri.

“Lalu kenapa? Dia memarahi kamu? Mencaci maki kamu? Mengutuk, begitu?”

“Justru tidak. Dia kabur begitu melihat aku, sepertinya aku ini hantu.”

“Kenapa kamu tampak seperti gelisah begitu?”

“Aku melihat … perutnya membesar … seperti hamil.”

“Hamil? Karena perbuatan kamu itu?”

“Itu yang aku tidak tahu. Apa yang aku lihat tadi seperti sesuatu yang membuat aku miris. Seolah sebuah beban berat menimpa tubuhku, sehingga aku tak berdaya.”

“Harusnya kamu kejar dia … “

“Aku langsung lemas ketika peristiwa itu terbayang. Aku tak tahu harus bagaimana.”

“Tapi kan semua itu belum tentu karena kamu. Bisa jadi dia sudah menikah, lalu mengandung anak suaminya.”

“Aku ingin semuanya jelas. Tapi aku tidak tahu harus bagaimana.”

“Temui dia langsung, pasti kamu akan menemukan jawabannya. Kecuali itu kamu juga harus meminta maaf bukan?”

“Aku sudah pernah meminta maaf saat bertemu dia ketika sedang makan bersama Wulan. Dia sangat membenci aku.”

“Itu bisa dimaklumi. Tapi kalau kamu ingin hidup kamu tenang, maka kamu harus menemui dia dan mendapatkan kejelasan atas semuanya.”

“Bagaimana kalau yang dikandung itu anak aku?”

“Nikahi dia.”

“Dia sangat benci sama aku.”

“Apapun jawabannya, baik atau buruk, menyenangkan atau menyakitkan, kamu harus menghadapinya.”

Restu menghela napas, tapi kemudian dia mengangguk.

“Sekarang aku mau bilang sama kamu, bahwa besok pak Bram akan menikah.”

“Oh ya? Apakah kita diundang?”

“Dia mengundang beberapa yayasan anak yatim dan kaum duafa. Jumlahnya ribuan.”

“Benarkah?”

“Kita tentu saja boleh menghadirinya. Hanya untuk makan sepuasnya. Pak Bram juga akan membagikan banyak hadiah untuk semua yang hadir, terutama anak-anak yatim piatu dan kaum tak punya.”

“Kapan itu?”

“Besok.”

“Pagi?”

“Malam, jadi setelah bengkel kita tutup, kita bisa datang ke sana. Kamu mau kan?”

“Mau, tentu saja aku mau. Kalau boleh mendekat, aku hanya ingin mengucapkan terima kasih atas semua kebaikannya.”

“Bagus. Kamu memang harus berterima kasih, karena dia-lah maka kamu bisa menjalani hidup dengan lebih baik.”


Hari masih pagi ketika Restu dengan mengendarai sepeda motor yang disediakan untuk keperluan bengkel, menuju ke rumah Wulan. Rumah yang dulu ditinggalinya bersama Wulan tanpa adanya rasa sebagai suami istri, rumah dimana dia melakukan perbuatan tak pantas atas pembantunya sendiri.

Restu memberhentikan sepeda motornya di luar pagar, karena gerbang rumah itu tertutup rapat. Ketika ia melongok ke dalam, ia baru melihat ternyata gerbang itu digembok dari luar.

“Pergi kemana Wulan sepagi ini?” gumamnya sambil melongok-longok, barangkali ia melihat seseorang, atau bahkan Murni ada di dalam.

Tapi ia tak melihat siapapun. Harusnya dia tahu, bahwa kalau pintu pagar digembok dari luar, berarti penghuninya tak ada di tempat.

Restu menghela napas berat.

“Barangkali Wulan belanja ke pasar bersama Murni? Tapi kalau hanya ke pasar, mengapa harus menggembok pintu pagar?”

Restu kembali menaiki sepeda motornya, dan meluncur pergi dengan perasaan kecewa.

“Sebenarnya aku ingin semua itu segera terjawab, tapi rupanya aku masih harus bersabar,” katanya sambil berjalan.

Tanpa terasa, Restu melewati rumah orang tuanya. Ia memperlambat jalan sepeda motornya, dan dengan heran dia juga melihat bahwa pintu pagar itu juga digembok dari luar.

“Jadi bapak sama ibu dan Wulan pergi bersama-sama. Piknik barangkali, dengan menyajak yu Sarni dan Murni juga,” gumamnya sambil terus melajukan kendaraannya.

Karena hari masih pagi, Restu kemudian pergi ke rumah Supri. Ia membawa oleh-oleh nasi tumpang untuk dimakan bersama Supri dan keluarganya.

“Dari mana kamu sepagi ini dengan membawa sarapan untuk kami?” tanya Supri yang sudah duduk di meja makan bersama istrinya.

“Maksudku ke rumah Wulan, untuk bertanya tentang pembicaraan kita kemarin, tapi tampaknya dia pergi, bersama orang tuaku juga. Soalnya pintu pagar mereka digembok dari luar.

“Kalau begitu kamu harus bersabar. Yakinlah bahwa kalau niat kamu baik, maka semuanya juga akan baik-baik saja.”

Restu mengangguk, sambil mengunyah makanannya. Saat ini hanya Supri tempatnya mengadu, karena Supri-lah yang menuntunnya sehingga dia menemukan jalan terang untuk hidupnya.

“Enak sekali nasi tumpangnya. Beli di mana?” tanya istri Supri.

“Nggak tahu aku, tadi pas lewat, ada orang jualan, terus beli, begitu saja.”

“Tahu bacemnya juga mantap,” sambung Supri.

“Nanti aku mau masak tumpang dan tahu serta tempe bacem. Kalau Mas Restu mau, boleh ke sini untuk makan bersama-sama,” kata istri Supri pula.

“Ya Mbak, kalau bengkel lagi sepi, kalau rame, biasanya kami makan nasi bungkus seadanya, seperti kalau di bengkelnya Supri dulu,” jawab Restu.

“Iya, tapi enak makan bersama-sama dengan nasi bungkus. Apapun lauknya, rasanya nikmat,” sambung Supri.

Restu tidak lama berada di rumah Supri, karena sebentar lagi bengkel harus buka.

“Jangan lupa nanti malam aku samperin ya,” kata Supri sambil mengantarkan Restu sampai ke depan rumah.

“Iya, tentu saja. Mana mungkin aku lupa.”


Murni sedag termenung di kamarnya, dipagi itu. Hatinya sangat resah, sejak bertemu Restu kemarin. Rasa bencinya mendadak meluap, kembali memenuhi dadanya.

“Kenapa kemarin aku bertemu iblis itu. Bencinya aku, benciiii!” pekiknya lirih berkali-kali.

Lalu dia mengelus perutnya lembut, kendati begitu, bayi didalam kandungannya berhasil menenangkan jiwanya. Sangat terasa, saat kaki kecilnya menendang-nendang perutnya.

Dengan susah payah Murni mengibaskan bayangan Restu dari benaknya. Lalu tiba-tiba Murni menjadi sedih. Hari ini majikan cantiknya yang baik hati akan menikah, tapi dia tak bisa menghadirinya. Perutnya yang membuncit akan menumbulkan tanda tanya bagi yu Sarni, simboknya. Lalu Murni kembali teringat Restu yang telah membuat hidupnya susah dan sengsara karena harus jauh dari orang-orang yang disayanginya.

Tiba-tiba ponsel Murni berdering, membuyarkan lamunannya tentang orang yang sangat dibencinya. Senyumnya mengembang, melihat siapa yang menelpon.

“Bu Wulan?”

“Murni sedang apa kamu?” sapa Wulan dari seberang.

“Sedang sedih Bu.”

“Kenapa Murni?”

“Habis, ibu menikah, saya tidak bisa menyaksikan.”

“Murni, kamu tidak usah sedih ya, kamu harus ikut berbahagia walau jauh dari kami.”

“Iya Bu, saya bahagia karena Ibu juga bahagia.”

“Terima kasih Murni.”

“Ibu kan mau menikah, kok sempat-sempatnya menelpon Murni.”

“Karena sebenarnya aku juga sedih tidak ada kamu di dekatku Murni.”

“Ibu jangan membuat aku menangis dong.”

“Jangan menangis Murni, kita akan menikmati kebahagiaan bersama-sama. Tidak lama lagi kita akan bersatu seperti dulu.”

“Iya Bu. Ini Ibu ada di mana? Apakah ada simbok di situ?”

“Kami sudah ada di hotel. Karena bapak tidak suka ada kesibukan di rumah. Jadi nanti dirias juga di hotel. Bahkan bapak dan ibu serta yu Sarni juga ada di hotel sejak tadi malam.”

“Berarti rumah kosong dong Bu.”

“Kosong Mur. Entah mengapa, bapak tidak suka ada keramaian di rumah. Mungkin karena dulu sudah pernah menikahkan aku sama Restu di rumah.”

“Iya Bu, saya bisa mengerti.”

“Nanti aku suruh yu Sarni menelpon kamu, karena tampaknya dia juga kecewa kamu tidak bisa hadir di pernikahan itu.”

“Iya Bu, mau bagaimana lagi. Keadaan yang mengharuskan menjadi seperti ini.”

“Sabar ya Mur. Nanti pasti akan datang saat bahagia untuk kamu.”

“Iya Bu, oh iya Bu, saya mau ngomong sedikit. Kemarin pas saya belanja, saya ketemu mas Restu.”

“Kamu? Ketemu mas Restu?”

“Iya.”

“Kamu bicara apa?”

“Saya muak melihatnya, saya cepat-cepat menjauhi dia, dan segera pulang.”

“Jadi tidak sempat bicara?”

“Saya ogah melihatnya, apalagi bicara.”

“Ya sudah, tidak usah dipikirkan lagi. Besok kalau acara sudah selesai, aku pasti akan menemui kamu. Oh ya, kamu sudah periksa kandungan?”

“Masih minggu depan Bu, tapi bu Wulan tidak usah repot, apalagi sudah punya suami. Saya bisa ke dokter sendiri kok.”

“Iya, nanti gampang Mur, kalau sempat aku pasti akan mengantarkan kamu. Kan yang kamu kandung itu anakku?”

“Iya, Ibu benar. Kalau Ibu sempat saja.”


Hari itu bengkel agak rame. Ternyata banyak orang tahu bahwa akan ada pesta di gelar di halaman sebuah hotel, yang dihadiri ribuan anak yatim piatu dan kaum tak punya, atas pernikahan seorang pengusaha kaya yang sangat dermawan.

Restu tersenyum bangga, bahwa dia hidup dibawah atap seorang dermawan yang dipuji banyak orang. Ia semakin bersemangat untuk hadir malam nanti. Ia harus tahu bagaimana hebohnya peristiwa langka yang menggemparkan seluruh kota. Bahkan ada beberapa yang datang dari luar kota.

Masih sore ketika Supri mengingatkan, khawatir Restu lupa.

“Ya enggak, masa aku lupa. Pokoknya begitu kamu datang, aku pasti sudah siap.”

“Bagus Restu. Nanti sehabis maghrib aku berangkat dari rumah.”

“Kamu bersama istri kamu?”

“Tidak, dia memilih di rumah saja. Cuma pesan suruh bawain oleh-oleh, katanya,” kata Suori sambil tertawa.

“Mudah-mudahan ada makanan yang bisa dibawa pulang.”

“Nggak usah didengarkan, dia kan hanya bercanda. Okey, aku hanya mengingatkan kamu. Siap-siap ya.”

“Siaap, komandan,” canda Restu.


Malam itu pesta memang berlangsung sangat meriah. Banyak meja di sekitar halaman ditata makanan bermacam-macam, dan siapapun bebas mengambilnya. Di panggung, sepasang mempelai berdiri dengan gagah dan anggun, memakai pakaian jawa yang memukau banyak orang. Rio dan Wulan tersenyum bahagia, ketika satu persatu yang hadir menyalaminya.

Beberapa petugas bersiap dengan segunung hadiah berisi sembako, yang dibagiman kepada setiap yang hadir.

Restu dan Supri agak terlambat datang. Begitu masuk halaman, berjubel orang mengambil makanan dan kemudian mengambil masing-masing sebuah tas berisi sembako. Tidak ada kecurangan karena setiap keluarga harus mengambil kartu pengambilan sembako di ujung halaman.

“Kita agak terlambat.”

“Tidak apa-apa, ayo kita masuk dan mendekati panggung pelaminan.”

Supri melangkah ke arah depan, menyibakkan beberapa orang yang berjubel.

Tiba-tiba terdengar seorang pembawa acara memecah suasana hiruk pikuk malam itu.

“Saudara-Saudari semua, juga Bapak dan Ibu yang hadir di pesta malam ini, kedua mempelai, yaitu bapak Rio Bramantyo beserta ibu Wulandari, mengucapkan banyak terima kasih atas kehadirannya. Semoga ….. bla … bla … bla … Restu tidak mendengarnya lagi. Nama mempelai yang diucapkan membuatnya terpana. Rio Bramantyo … Wulandari …. Mata Restu tertuju ke arah pelaminan. Lalu kakinya terpaku ditampatnya berpijak.


Besok lagi ya….

Bersambung ke Jilid 29