SELAMAT PAGI BIDADARI (27)

Karya Tien Kumalasari

Yu Sarni tertegun.

“Kok jauh banget Mur?”

“Memangnya kenapa Mbok? Kalau kangen, aku akan datang menjenguk Simbok di sini.”

“Yu, biarlah Murni bekerja di tempat jauh. Itu juga masih perusahaan milik Bapak kok. Dan ada mes untuk karyawan juga di sana,” kata Wulan yang kemudian mendekati mereka.

“Iya sih,” kata yu Sarni kelihatan sedih.

“Simbok jangan sedih, aku akan sering menelpon Simbok. Setiap hari juga boleh,” kata Murni menghibur, walau hatinya juga terasa bagai teriris.

“Bener ya Mur, sering menelpon Simbok.”

“Iya Mbok.”

“Biar di kehidupan Murni ada peningkatan Yu, kan Murni juga sekolah SMA sampai lulus. Nanti kalau Murni masih ingin melanjutkan sekolah, aku yang akan membiayainya,” kata Wulan lembut.

“Baiklah bu Wulan, saya percaya sama bu Wulan, Saya hanya menitipkan Murni kepada bu Wulan. Apakah Bu Wulan juga akan pindah ke sana?”

“Tidak Yu, aku membantu bapak di sini. Tapi Murni tidak akan sendiri, banyak temannya yang datang dari kota ini. Murni pasti senang kok.”

“Baiklah Bu, saya percaya Murni akan baik-baik saja.”

Simbok merangkul Murni erat dan lama, merasa berat untuk berpisah terlalu jauh. Tapi janji Wulan untuk menyekolahkan Murni sangat membuatnya sedikit terhibur.


Sebenarnya dengan menolong Murni itu, Wulan merasa sangat berdosa. Hanya untuk mengelabui yu Sarni, ia telah berbohong dengan mengatakan Murni bekerja di Jakarta. Padahal hanya dikota itu juga, dan masih termasuk perusahaan milik Rio, cuma tempatnya agak di pinggiran kota. Dan mengapa mengatakan pindah ke Jakarta, supaya yu Sarni tidak menuntut agar sering-sering pulang. Agak ribet, demi menjaga perasaan Murni, tapi Wulan rela melakukannya. Entah apa lagi nanti yang harus dilakukannya untuk tetap menutupi rahasia itu.

Pak Broto yang merasa bahwa semua itu karena perbuatan anaknya, juga selalu mendukung, bahkan membiayai setiap Murni harus memeriksakan kandungan.

Rio bisa mengerti dan dengan senang hati bersedia membantu. Murni dipekerjakan di kantor Rio, sebagai pembantu administrasi. Beruntung saat hamil Murni tidak terlalu rewel. Rasa mual dan pusing bisa diatasi dengan obat-obat yang diberikan dokter, dan dia bisa bekerja dengan baik.


Hari terus berjalan, dan Wulan juga sudah mulai bekerja mendampingi pak Broto di kantornya. Tak ada waktu luang saat dia tekun mempelajari alur sebuah usaha yang diajarkan oleh ayah angkatnya. Tapi setiap kali Murni harus periksa ke dokter, dengan suka hati Wulan menjemput dan mengantarkannya.

“Bagaimana perasaan kamu Murni?”

“Baik, Bu.”

“Kamu senang melakukannya?”

“Murni mulai terbiasa, dan ketika merasa perut Murni bergerak-gerak, tiba-tiba timbul rasa sayang di hati Murni,” kata Murni sambil tersenyum.

Wulan merasa senang mendapat jawaban Murni.

“Hati-hati ya Murni, jaga anakku dengan baik lho ya,” pesan Wulan dengan wajah berseri.

“Baiklah, akan saya jaga putra ibu dengan baik.”

“Putra? Kamu sudah tahu kalau anak itu laki-laki?”

“Kemarin saya periksa sendiri ke dokter, nggak enak merepotkan bu Wulan terus. Lalu dokter mengatakan bahwa bayi yang saya kandung adalah laki-laki.”

“Ya Tuhan, senengnya aku Murni,” Wulan mengelus perut Murni dengan rasa sayang.


Beberapa bulan berlalu, Wulan juga sudah resmi bercerai dengan Restu. Rio segera menemui pak Broto, bermaksud melamar Wulan.

Pak Broto menyambut baik keinginan Rio.

Rencana pernikahan segera di siapkan dengan sangat meriah. Tapi Wulan memprotesnya.

“Bapak, saya ingin menikah dengan cara yang sederhana saja, bukan dengan pesta yang sangat meriah,” kata Wulan.

“Tidak Wulan, kamu anakku, dan Rio bukan orang sembarangan. Semua rekan bisnis aku akan datang, semua kerabat akan menghadirinya. Ini kebahagiaan aku dan ibumu.”

“Bukankah dari pada menghamburkan uang untuk sebuah pesta, lebih baik uang itu dipergunakan untuk bersedekah bagi kaum duafa dan anak yatim piatu?”

Pak Broto terdiam. Apa yang dikatakan Wulan ada benarnya, tapi dia juga harus mengingat Rio. Apakah Rio setuju dengan acara pernikahan sederhana saja?

“Aku akan bicara sama Rio. Aku tak mau dia kecewa dengan pernikahan sederhana. Dia itu seorang pengusaha yang bukan main.”

“Bapak, memberi kesenangan kepada orang lain, membahagiakan orang lain, adalah juga sebuah pesta, setidaknya dalam hati kita.”

“Baiklah, nanti aku bicara dulu sama Rio, barangkali dia punya rencana lain.”

Tapi ketika mereka bicara dengan Rio, ternyata Rio juga sangat setuju.

“Bapak, kami akan merayakan pesta pernikahan diantara ribuan anak yatim piatu dan kaum duafa, dengan mengajak mereka makan enak, dan memberikan mereka sebagian dari rejeki kita. Bisa berupa sembako, atau uang, atau apa saja.”

Pak Broto menggeleng-gelengkan kepalanya. Sejak lama dia tahu bahwa Rio adalah pengusaha yang berjiwa sosial, senang berbagi, tidak menikmati kekayaan untuk diri sendiri. Oleh karena itu kemudian dia sepakat. Dia bukan hanya mengundang beberapa rekan bisnis dan kerabat, tapi juga sekitar dua ribuan anak yatim dan kaum duafa nantinya.


Supri mendatangi bengkel baru yang dipimpin oleh Restu. Baru beberapa bulan, tapi sudah kelihatan maju. Pada montir yang menjadi bawahan Restu adalah mintor pilihan, Rio sendiri yang memilihnya, tapi tanpa sepengetahuan Restu. Restu bahkan tak tahu siapa sebenarnya orang yang mempercayakan bengkel itu untuknya, yang memberikan enam puluh persen untuk dirinya dari penghasilan bersih, dan empat puluh persennya masuk ke bank menjadi kekayaan bengkel. Ia, hanya mengenalnya sebagai pak Bram, yang pernah dipasangkannya ban serep mobilnya saat kempes di jalan.

“Bagaimana? Kamu senang?” tanya Supri.

“Lumayan senang, aku bisa melakukan sesuatu dengan baik. Semoga pemilik bengkel ini tidak kecewa,” tukas Restu.

“Dia sudah mempercayakannya sama kamu, jadi kamu tenang saja.”

“Kenapa dia tidak pernah datang kemari?”

“Dia sangat sibuk. Mungkin tidak sempat melihat-lihat usaha bengkel ini.”

“Bagaimana mungkin, seorang pengusaha tidak peduli pada usahanya?”

“Dia bilang, kekayaan bengkel ini hanya akan dipergunakannya untuk kegiatan sosial.”

“Maksudnya … dibagikan ke orang, begitu?”

“Ya, dia seorang yang berjiwa sosial. Nanti pada suatu waktu, uang yang kamu simpan akan dipergunakannya untuk membantu orang-orang yang membutuhkan.”
“Alangkah mulia hati orang itu.”

“Jaman sekarang jarang orang yang memiliki hati seperti pak Bram.”

“Lalu bengkel kamu sendiri bagaimana?”

“Lumayan baik. Pak Bram juga menyumbang alat-alat kita dulu yang sudah tidak layak pakai, menggantinya dengan yang baru.”

“Syukurlah. Rupanya bukan hanya aku yang kecipratan keberuntungan, tapi juga bengkel kamu.”

“Benar. Dan aku juga senang, kamu sudah bisa hidup tenang sekarang.”

“Berkat kamu Pri. Kalau dulu tidak ketemu kamu, entah bagaimana hidup aku. Barangkali aku sudah bunuh diri karena putus asa.”

“Kamu itu ngomong apa? Manusia itu tidak berhak menentukan mati hidupnya sendiri. Bunuh diri itu dosa. Ketika kita mendapatkan cobaan, maka yang harus kita lakukan hanyalah bersabar dan selalu bersyukur. Namanya orang hidup itu tidak bisa selalu berjalan dengan mulus. Banyak batu sandungan yang harus dilalui. Tapi aku bersyukur kamu bisa melewatinya.

“Iya, aku sekarang bisa mengerti tentang hidup, berkat perjalanan hidupku sendiri yang berliku.”

“Kamu punya niat untuk kembali kepada orang tua kamu?”

Restu menghela napas. Sering terlintas dalam pikirannya untuk kembali dan meminta maaf, tapi Restu takut orang tuanya tidak mau memaafkannya.

“Entahlah.”

“Atau kembali kepada istri kamu?”

“Kami sudah bercerai. Ayahku sendiri yang menceraikan kami.”

“Kalau kamu mau, semua bisa dijalani lagi. Kamu bilang istri kamu orang baik.”

“Wulan bukan saja cantik, tapi juga wanita baik. Aku menyesal telah menyia-nyiakan nya, menghianatinya, demi wanita yang hanya ingin mengeruk uangku.”

“Bagus kalau kamu menyesalinya. Suatu hari nanti kamu bisa datang menemuinya, membicarakan banyak hal, meminta maaf, dan bicara tentang keinginanmu untuk kembali sama dia.”

“Saat aku kalut dan hampir putus asa, aku bertemu dia, dan meminta agar aku boleh kembali menjadi suaminya, tapi dia menolak. Dia pergi dan memberi aku uang dua juta.”

“Aku ingat, kamu pernah menceritakannya. Tapi waktu itu kan sudah lama berlalu. Barangkali hatinya masih terluka. Dan proses perceraian kalian sedang berjalan.”

“Entahlah ….”

“Kamu sudah menemukan jalan hidup kamu, ada baiknya kamu memikirkannya lagi. Kembali kepada istri kamu, memohon maaf kepada kedua orang tua kamu,” kata Supri tulus.

“Baiklah, akan aku pikirkan,” kata Restu sambil matanya menerawang jauh. Entah apa yang dipikirkannya.


Sore itu sebelum pulang ke rumah, Wulan menyempatkan diri mampir ke rumah ayah angkatnya. Ia menemui yu Sarni yang sedang membuat minuman hangat, di dapur.

“Bu Wulan mau minum di ruang tengah kan? Saya bawa minumannya ke sana.”

“Tidak Yu, aku minum di sini saja. Bawa saja ke depan, yang untuk bapak sama ibu,” kata Wulan sambil duduk di kursi dapur.

“Baiklah.”

Yu Sarni meletakkan minuman untuk Wulan di meja dapur, lalu membawa yang lainnya ke depan.

“Kasihan yu Sarni. Dia tidak tahu apa yang terjadi pada anak gadisnya. Tapi aku juga tak kuasa untuk mengatakannya.”

“Kok belum diminum Bu?”

“Iya Yu, masih panas. Duduklah di sini Yu, kamu kan juga buat minum untuk kamu sendiri?”

“Iya.”

“Teh buatan yu Sarni selalu enak.”

“Bu Wulan bisa saja. Oh ya Bu, besok kalau Bu Wulan menikah, apakah Murni juga akan pulang?”

Wulan tertegun. Untuk sesaat tak mampu menjawabnya. Perut Murni sudah semakin besar, pasti yu Sarni akan melihatnya seandainya Murni pulang.

“Pulang kan Bu, masa sih, majikannya menikah tidak mau pulang?”

“Begini Yu, pekerjaan Murni itu kan banyak, jadi tidak selalu bisa pergi setiap saat. Nanti kalau dia bisa meninggalkan pekerjaannya, ya pasti pulang, tapi kalau tidak, yu Sarni harus bersabar dulu ya?”

“Oh, begitu ya Bu? Padahal yu Sarni sudah kangen nih.”

“Nanti kalau Murni sudah bekerja setahun, barangkali dia bebas kalau setiap saat mau pulang menemui Yu Sarni.”

“Setahun … lama ya Bu.”

“Kan sudah berjalan beberapa bulan Yu, tidak lama lagi kok.”

“Ya sudah, mau bagaimana lagi kalau memang dia lagi sibuk bekerja.”

Wulan menghirup teh hangatnya, dengan perasaan berat karena selalu merasa berdosa setiap kali bicara tentang Murni di depan yu Sarni.


Sore itu bengkel sudah tutup. Restu sudah selesai mandi, dan tiba-tiba ingin berjalan-jalan. Ada beberapa barang yang ingin dibelinya, diantaranya perlengkapan mandi dan beberapa makanan untuk persediaan makan, terutama di saat pagi dan malam, karena kalau siang dia sudah makan bersama para anak buahnya.

Ia memasuki sebuah toko, untuk membeli beberapa barang yang diperlukannya.

Tiba-tiba tanpa disadari, seorang wanita yang sedang menjinjing tas berisi belanjaan, sedang keluar dari toko itu, dan menabraknya. Untunglah Restu tidak terjatuh, tapi wanita itu dengan terbungkuk-bungkuk meminta maaf.

“Maaf ya Pak, maaf, saya tidak melihat jalan. Habis bawaan saya berat.”

“Tidak apa-apa Bu, tidak apa-apa,” kata Restu sambil tersenyum. Tapi kemudian dia terkejut. Dia mengenal wanita itu yang adalah Murni. Demikian juga Murni juga mengenal laki-laki yang ditabraknya. Wajak Murni langsung menjadi gelap, dia membalikkan tubuhnya dan bergegas menjauh.

Restu terpaku.

“Itu Murni bukan? Aku tidak lupa wajahnya. Baiklah, dia kabur karena membenci aku, aku bisa memakluminya, tapi kok dia seperti hamil ya?”


Besok lagi ya…

Bersambung ke Jilid 28

SELAMAT PAGI BIDADARI (26)

Karya Tien Kumalasari

Tiba-tiba Murni memekik histeris mendengar kata dokter. Mengejutkan Wulan dan dokter itu sendiri.

“Tidaak, dokter. Saya minta gugurkan kandungan saya,” pekiknya.

Wulan merangkulnya untuk menenangkannya.

“Murni, jangan begitu. Janin itu tak berdosa,” kata Wulan lembut.

“Aku tidak mau, aku tidak mau mengandung anak pendosa itu,” tangisnya.

Dokter segera mengerti apa yang terjadi. Tapi dia bukan dokter kandungan, dan dia juga yakin bahwa dokter manapun tak akan mau melakukannya.

“Ibu, itu baru dugaan saya. Yang bisa memastikan adalah dokter kandungan. Jadi sebaiknya ibu menuruti saran saya agar ke dokter kandungan segera, supaya semuanya jelas. Saya akan memberikan pengantarnya,” kata sang dokter sambil menuliskan surat pengantar.

“Baik dokter,” kata Wulan sambil menerima surat pengantar, sedang sebelah tangannya merangkul Murni yang menangis terisak.

“Tenang Murni, semua akan ada jalan keluarnya.”

Lalu Wulan mengajak Murni keluar, setelah mengucapkan terima kasih kepada dokter yang memeriksa Murni.

“Saya tidak mau Bu, saya hanya mau menggugurkan kandungan saya saja,” isak Wulan di sepanjang perjalanan ke arah dokter kandungan yang ditunjuk oleh dokternya tadi.

“Murni, ini semua belum jelas, kita harus menunggu sampai dokter kandungan memeriksanya.”

“Maukah Bu Wulan berjanji, bahwa nanti setelah dipastikan, saya boleh menggugurkan kandungan saya?”

Wulan mengelus pundak Murni yang duduk di sebelahnya, dengan tangan kiri nya.

“Dengar Murni, kalaupun iya, kamu tidak boleh menggugurkannya.”

“Saya tidak sudi mengandung anak dari laki-laki jahat seperti dia. Saya membencinya. Saya tidak sudi.”

“Tenang Murni. Baiklah, kamu membenci dia, tapi janin yang ada didalam rahim kamu itu tidak berdosa. Kamu tega, melenyapkan nyawa janin itu? Apa kemauan dia maka dia hadir di dalam rahim kamu. Bukan kemauannya kan? Mengapa kamu juga membencinya?”

“Bu Wulan tidak mengerti perasaan saya,” keluh Murni sambil terisak.

“Aku sangat mengerti. Aku bisa merasakan bagaimana pahit rasanya menerima keadaan seperti itu. Tapi menggugurkan kandungan itu dosa, Murni,” kata Wulan lembut.

“Bagaimana mungkin saya melahirkan anak sementara saya belum menikah?”

“Nanti kita cari Restu, agar dia bertanggung jawab.”

“Tidaaaak, saya tidak sudi sama dia,” pekik Murni dan kembali histeris.

“Tenang dulu Murni, baiklah, soal itu nanti kita bicara di rumah ya, sekarang kita ke dokter dulu, dan ingat, apapun hasilnya kamu harus menerimanya dengan tenang. Ya,” pesan Wulan wanti-wanti.

Murni diam, tapi isaknya masih terdengar.

“Ingat ya Murni, apapun yang terjadi, jangan menunjukkan bahwa kamu membenci janin itu. Dokter akan marah sama kamu kalau kamu ungkapkan keinginan kamu itu.”

Murni tetap diam. Pikirannya lari kemana-mana. Bagaimana kalau simboknya tahu, bagaimana dia mengatakan kepada semua orang ketika mereka bertanya siapa dan di mana ayah bayi yang dikandungnya. Biarpun harus memastikannya di dokter kandungan, tapi pernyataan dokter terdahulu sudah hampir pasti benar. Itu membuat hati Murni menjadi ciut.

Tapi Wulan bersyukur, sampai pemeriksaan selesai dan dinyatakan bahwa Murni positip hamil lima minggu, Murni diam dan bergeming di tempat duduknya. Wulan-lah yang menjawab semua perkataan dokter, dan menerima resep yang diberikannya.

Mereka sampai di rumah ketika hari sudah malam, setelah mengambil dulu obat di apotek.


Malam itu, saat menemani Murni tidur, ponsel Wulan berdering. Wulan keluar dari kamar dan menuju teras untuk menerimanya, karena telpon tersebut datangnya dari Rio. Wulan khawatir karena dia yakin Rio akan menanyakan hasil pemeriksaan Murni ke dokter.

“Ya, Rio,” sapa Wulan.

“Apa kamu jadi mengantar Murni ke dokter?”

“Jadi. Dua dokter. Yang pertama, dokter umum, lalu ke spesialis kandungan, karena dari dokter umum sudah ada dugaan bahwa Murni positip hamil. Di dokter Kandungan hanya untuk meyakinkan dugaan dokter umum tersebut.”

“Jadi benar, Murni mengandung?”

“Ya Rio, sesore sampai malam aku terus mendampingi dan membujuknya, karena Murni histeris begitu mendengar hal itu. Ia bahkan ingin menggugurkan kandungannya, tapi aku berhasil menenangkannya.”

“Bagaimana kalau aku cari Restu dan memintanya untuk bertanggung jawab?”

“Jangan dulu Rio, aku sudah mengatakannya sekilas, tapi Murni berteriak-teriak menolaknya. Dia sangat membenci Restu.”

“Apa yang harus kita lakukan?”

“Aku hanya akan terus mendampinginya dan menguatkannya. Dan aku punya rencana, kalau anak itu lahir, biarlah dia menjadi anakku.”

“Bagus Wulan, aku senang mendengarnya. Barangkali itu satu-satunya jalan terbaik.”

“Baiklah Rio, aku tidak bisa meninggalkannya, sampai dia benar-benar tertidur. Dia menangis terus.”

“Ya, aku bisa mengerti. Baiklah, temani dia dulu. Kalau ada waktu aku akan ke rumah kamu.”

“Baiklah Rio.”

“Selamat malam Bidadari,” kata Rio dengan lembut.

“Selamat malam, Pangeran yang baik hati,” jawab Wulan sambil tersenyum.

Wulan kembali ke kamar, melihat Murni masih terisak.

“Belum tidur, Murni?”

“Tidak bisa tidur Bu,” jawabnya dengan suara serak.

“Kamu harus segera tidur. Tenangkan hati kamu. Kamu tidak menanggung beban itu sendiri. Aku akan selalu ada untuk kamu.”

“Saya takut kalau simbok mendengarnya. Saya tak mau simbok sedih karena kejadian yang menimpa saya.”

“Kita akan bicara pelan-pelan sama yu Sarni.”

“Jangan Bu, tolong jangan bilang apapun sama simbok.”

“Tapi bagaimana cara kamu menutupinya. Kalau kamu hamil, pasti kelihatan.”

“Itu sebabnya saya ingin membuang anak ini.”

“Ya Tuhan, Murni istigfar ya, jangan sampai kamu menjadi pembunuh. Bayi itu tak berdosa. Kamu lah yang berdosa kalau melakukannya.”

“Lalu apa yang harus saya lakukan?”

Murni, besok kalau anak kamu lahir, dia akan menjadi anakku.”

“Apa maksud bu Wulan?”

“Aku akan menganggap bayi itu sebagai anakku. Dia akan menjadi anakku, Murni.”

Murni bangkit dari tempatnya berbaring.

“Benarkah?”

“Aku berjanji akan melakukannya.”

“Tapi … ibu kan … tidak punya suami lagi?”

“Aku … juga akan menikah lagi, Murni.”

Murni tersenyum, melihat sinar bahagia di mata majikannya ketika mengatakan ingin menikah. Entah mengapa, ia akan merasakan kebahagiaan yang dirasakan majikannya.

“Bu Wulan akan menikah? Sama pak Rio kan?”

Wulan tersenyum senang, pembicaraan tentang menikah itu membuat Murni sejenak melupakan kegundahan jiwanya.

“Bagaimana kamu bisa menduga begitu?”

“Saya tahu, Pak Rio menyukai Bu Wulan sejak lama.”

“Bagaimana kamu tahu?”

“Lagunya selalu I can’t stop loving you,” kata Murni.

Wulan tertawa.

“Siapa tahu dia punya wanita yang lain?”

“Tidak, cara pak Rio memandang Bu Wulan sangat berbeda.”

“Murni bisa aja.”

“Tapi benar kan?”

“Doakan bahwa itu benar ya Mur?”

“Saya selalu mendoakan untuk kebahagiaan Bu Wulan, yang sangat baik pada saya.”

Tapi kemudian Murni kembali membaringkan tubuhnya. Wajahnya kembali suram.

“Murni, kamu harus tetap bersemangat, dan berhentilah meratapi apa yang sudah berlalu, hadapilah hidup ini, apapun yang menimpa kamu. Kalau ada masalah yang memberatkan kamu, mari kita hadapi bersama.”

“Menurut Bu Wulan, apa yang harus saya lakukan? Baiklah, saya akan menerima keadaan ini, tapi saya tidak ingin simbok menjadi sedih. Apa sebaiknya saya pergi saja dari sini?”

“Jangan Murni, kalau kamu pergi, yu Sarni akan bertambah sedih.”

“Saya akan membuat alasan.”

“Alasan apa?”

“Saya bekerja di luar kota.”
“Lalu kamu akan melakukan apa?”

“Entahlah. Saya akan melahirkannya jauh dari sini.”

Wulan termenung. Rupanya dia juga memikirkan, bagaimana kalau Murni disembunyikan sampai dia melahirkan.


Beberapa hari terakhir ini Supri sering meninggalkan bengkel. Semua kegiatan bengkel diserahkannya kepada Restu.

Hari itu bengkel agak sepi. Hanya ada satu mobil yang harus dibenahi, dan digarap oleh dua orang karyawan lainnya.

Restu sedang beristirahat, ketika Supri datang.

“Sepi ya?” kata Supri sambil duduk, lalu menyalakan kipas angin di meja kerjanya.

“Baru saja selesai semua, masih tersisa satu mobil ada masalah di karburator.”

“Syukurlah sudah diatasi.”

“Sibuk sekali kamu kelihatannya.”

“Ya. Ini aku mau bicara sama kamu.”

“Tentang …?”

“Tentang bengkel dong. Ada seorang pengusaha yang ingin membuka bengkel, dan sudah disiapkan tempat serta peralatannya. Serba baru dan canggih.”

“Hebat. Di mana?”

“Letaknya strategis, dipinggir jalan besar. Besok aku ajak kamu ke sana untuk melihat. Kamu pasti suka.”

“Yah, aku lebih suka di sini, kan milik kamu, bukan milik pengusaha yang entah siapa itu.”

“Bukan begitu, aku akan minta agar kamu memimpin bengkel itu.”

“Aku? Mengapa aku?”

“Dia minta agar aku menunjuk seseorang yang bisa dipercaya, dan itu adalah kamu.”

“Jangan Pri, aku tidak berani. Masa aku yang harus memimpin bengkel? Aku belum canggih betul, masih harus banyak belajar.”

“Jangan takut. Ada montir-montir yang terlatih akan membantu kamu, semuanya sudah diatur.”

“Kalau sudah ada montir-montir terbaik, mengapa harus aku?”

“Harus ada yang diserahi sebagai pimpinan, yang mengatur semuanya.”

“Aku nggak berani dong Pri, kalau mengecewakan bagaimana?”

“Kamu harus berani. Kamu mendapat kepercayaan ya harus bersyukur. Dari situ kamu akan lebih berkembang. Dan penghasilan kamu juga jauh lebih baik.”

“Ya ampuun, maksa nih ya?”

“Di sana sudah ada tempat untuk kamu tinggal. Di lantai atas.”

“Tempat itu bertingkat?”

“Dua tingkat, dan bagus. Bersyukurlah Restu. Ini jalan dari Allah karena kamu sudah bertobat dan menjalani hidup dengan baik.”

“Takutnya mereka kecewa dengan cara kerja aku.”

“Kamu kan sudah mempelajari semuanya di sini. Dan kamu juga bekas pengusaha. Kamu pasti bisa mengatur semuanya. Kamu jadi bos, tidak harus berkutat dengan olie dan berkeringat seperti di sini.”

Restu menghela napas, belum begitu yakin atas kepercayaan yang tiba-tiba diberikan kepada dirinya.

“Baiklah, besok kita lihat bersama tempat itu, dan semua perlengkapannya. Kamu bisa mengatur itu seperti sebuah usaha. Setelah oke, kamu bisa langsung tinggal di rumah itu, dan bengkel itu akan langsung beroperasi.

Restu tak bisa menolak. Ia belum yakin, tapi ia akan mencobanya. Barangkali benar kata Supri, ini adalah jalan terbaik menuju kehidupan yang lebih layak.


Hari itu Wulan pergi ke kantor. Ia langsung menuju ke ruang pak Broto.

“Kamu akan langsung bekerja hari ini, Wulan?” tanya pak Broto gembira ketika Wulan masuk ke ruangannya.

“Tidak sekarang dong Pak, saya kan harus belajar dulu dari Bapak.”

“Baiklah, ayo kita belajar mulai sekarang.”

“Begini Pak, sebenarnya saya ingin bicara tentang Murni.”

“Murni? Kata Sarni dia sakit, beberapa hari yang lalu. Kenapa dia?”

“Murni hamil.”

Pak Broto terkejut, menatap bekas menantunya tak berkedip.

“Saya sudah membawanya ke dokter.”

“Ini perbuatan anak bengal itu,” kesal pak Broto sambil mengusap wajahnya.

“Murni takut kalau yu Sarni mendengarnya. Dia bahkan ingin lari dari rumah karena bingungnya.”

“Kita harus mencari Restu.”

“Murni tidak mau ketemu mas Restu. Dia sangat membencinya.”

Pak Broto menghela napas berat.

“Saya bilang pada Murni, kalau anaknya lahir, maka saya yang akan merawatnya.”

“Kamu?”

“Saya akan menjadikannya anak saya.”

“Itu bagus. Anak yang dikandung Murni adalah darah dagingku.

“Tapi Murni ingin bersembunyi dari yu Sarni. Begitu besar kekhawatirannya tentang orang tuanya.”

“Bagaimanapun tidak bisa selamanya menyembunyikan sebuah rahasia. Suatu saat dia pasti akan tahu.”

“Bapak kan punya cabang di luar kota?”

“Ya, itu baru akan dibuka Rio bulan depan.”

“Bagaimana kalau Murni dipekerjakan di sana?”

“Murni bekerja?”

“Dia lulusan SMA Pak, apapun, bantu-bantu di administrasi, misalnya.”

Pak Broto mengerti, ini adalah upaya Wulan untuk menjauhkannya Murni dari ibunya, agar tak tahu tentang kehamilan anaknya.


Yu Sarni terkejut, ketika tiba-tiba Murni datang.

“Eh, kamu sama siapa Mur? Kok tiba-tiba datang, membuat simbok kaget saja.”

“Sama Bu Wulan. Tuh di depan.”

“Mau belanja, atau sudah belanja?”

“Baru mau, bu Wulan mengajak Murni mampir.”

Yu Sarni menatap Murni lekat-lekat.

“Kamu kok agak pucat sih Mur?”

“Simbok bercanda deh. Karena tidak pernah kepanasan, kulit Murni jadi putih, tidak hitam seperti biasanya.”

“Kamu sehat?”

“Sehat sekali Mbok.”

“Syukurlah, simbok senang mendengarnya.”

“Murni ikut mampir kemari, sekalian mau bilang sama simbok.”

“Bilang apa?”

“Mulai besok, Murni mau bekerja.”

“Bukankah kamu sudah bekerja di rumah bu Wulan?”

“Ini bekerja di kantoran Mbok?”

“Di kantoran? Bercanda kamu?”

“Tidak Mbok, ini sungguhan. Pak Broto apa belum bilang sama Simbok? Murni mau bekerja di kantornya pak Broto, tapi di luar kota. Agak jauh dari sini.”

“Jauh itu di mana?”

“Di Jakarta Mbok.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 27

SELAMAT PAGI BIDADARI (25)

Karya Tien Kumalasari

Pak Broto tertawa melihat Wulan seperti orang linglung. Ia melirik ke arah Rio, yang tersenyum-senyum menggemaskan. Ada apa sebenarnya, apa yang terjadi, dan apa yang dilakukan Rio sehingga pak Broto berkata seperti itu.

“Wulan, kamu itu kenapa? Sejak masuk ke ruangan ini kok seperti orang bingung begitu?”

Wulan tak bisa menjawabnya. Beribu pertanyaan memenuhi benaknya.

Pak Broto masih saja tertawa.

“Lihat Rio, Wulan kebingungan. Barangkali dia akan menolak lamaran kamu,” kata pak Broto masih dengan tertawa.

Wulan mengangkat wajahnya. Apa dia salah dengar? Pak Broto memanggilnya Rio? Jadi Rio sudah membuka jati dirinya? Ia menetap Rio dengan pandangan kesal, karena Rio tak mengatakan sebelumnya. Tapi Rio masih tetap saja tersenyum-senyum, membuat Wulan semakin gemas.

“Apa jawabmu Wulan?” pak Broto mengulangi pertanyaannya.

Wulan belum menjawab. Kejadian ini sungguh membuatnya terkejut. Bukan karena pak Broto mengatakan bahwa dia adalah wakilnya di perusahaan, tapi karena ternyata Rio sudah mengatakan semuanya. Bahkan pasti kisah cintanya di masa lalu sudah diceritakannya.

“Kalau kamu menolak, jawab saja menolak. Bukankah laki-laki ini menyebalkan? Dia bahkan sudah menipu ayahmu ini habis-habisan. Pura-pura menjadi pengamen, lalu bersemangat ketika aku menjadikannya sopir di rumah kita, yang ternyata dia hanya ingin dekat sama kamu. Menyebalkan bukan? Kalau aku jadi kamu, sudah pasti aku tolak si pembohong ini,” canda pak Broto.

Mendengar itu, barulah Wulan tersenyum.

“Tuh, Rio, dia tersenyum, dia setuju untuk menolak kamu. Ya kan Wulan?”

Rio tertawa lebar.

“Bapak, kalau Wulan menolak saya, saya akan bunuh diri saja, di tempat ini juga,” kata Rio sambil menampakkan wajah mewek.

Pak Broto tertawa semakin keras.

“Jawab Wulan, aku tidak mau melihat orang bunuh diri di depanku,” kata pak Broto, masih dengan tawa kerasnya.

Wulan tetap tidak menjawab, tapi ia tak bisa menahan senyum melihat kekonyolan dua laki-laki di hadapannya ini.

“Baiklah Rio, karena aku takut kamu bunuh diri di hadapan aku, aku yang mewakili Wulan untuk menjawabnya. Lamaran diterima.”

Rio mendekati pak Broto lalu mencium tangannya sambil mengucapkan terima kasih berkali-kali.

Wulan masih saja tersenyum.

“Konyol !!” akhirnya Wulan mengatakannya.

Dan ke dua laki-laki itu tertawa karena yakin bahwa Wulan tak akan menolaknya.

“Baiklah Bapak, karena saya sudah diterima, saya mohon agar mulai hari ini saya dipecat dari jabatan saya sebagai sopir bu Wulan.

“Tentu, sekarang juga aku pecat kamu.”


Siang hari itu selepas dari kantor pak Broto, Rio mengajak Wulan makan di sebuah restoran. Wulan mengomel karena Rio tidak mengatakan apapun tentang hal dia membuka jati dirinya di depan pak Broto.

“Mengapa aku harus mengatakannya? Bukankah kemarin aku sudah bilang bahwa akan memberikan kejutan?”

“Jadi ini, kejutannya?”

Rio mengangguk, begitu bahagianya dia, akhirnya bisa menemukan kembali cinta dari kekasihnya, yang sekian lama menghilang karena pernikahannya dengan Restu.

“Kamu suka sekali membuat kejutan Rio?”

“Asyik bukan?”

“Kadang menyebalkan.”

“Masa? Bukankah kamu suka?”

“Tidak.”

“Bohong. Kamu suka bohong juga ya? Tadi didepan pak Broto tidak menjawab bahwa kamu suka lamaran aku.”

“Memangnya kamu minta sama bapak supaya melamarkan aku untuk kamu?”

“Iya.”

“Dasar.”

“Sekarang aku ingin mendengar jawaban langsung dari mulut kamu, apa jawabmu?”

“Kan sudah dijawab sama bapak?”

“Kamu sendiri dong, aku ingin mendengar jawaban kamu.”

“Rio, kamu harus menunggu sampai masa idah aku selesai.”

“Iya, aku tahu, tapi hanya sebuah jawaban, masa sih aku baru bisa mendengarnya sampai beberapa bulan lagi?”

Wulan cemberut.

“Jawab dong, Bidadari …”

Wulan tertawa. Ia ingat ketika dengan konyolnya Rio mengamen dan mngucapkan ‘SELAMAT PAGI BIDADARI’ di rumah keluarga Broto, dan membuat yu Sarni ke ge er an.

“Iya, aku mau.”

“Mau apa dong.”

“Kamu mintanya apa?”

“Oh ya, setiap permintaan pasti kamu mau?”

“Rio, kamu jangan konyol. Tadi bapak mengatakan kalau kamu mau melamar aku, ya itu jawabannya.”

“Baiklah, toh nanti kalau kamu sudah jadi istriku, kamu harus mau semuanya kan?”

“Hiih, norak ya.”

“Eh, aku ngomong apa?”

“Rio, nanti setelah makan kita cepat pulang ya. Perasaanku nggak enak nih.”

“Kenapa sih?”

“Beberapa hari ini Murni mengeluh sakit.”

“Murni sakit?”

“Tapi aku curiga, jangan-jangan Murni hamil.”

“Haaa? Benarkah?”

“Keluhannya pusing, lemas, perut terasa nggak enak.”

“Kamu harus membawanya ke dokter untuk kepastiannya.”

“Iya, nanti sore aku harus memaksa dia, soalnya dari kemarin-kemarin, aku sudah mengajaknya ke dokter, tapi dia menolak. Katanya takut di suntik.”

Rio terbahak.

“Masa sih? Sudah segede itu, takut disuntik?”

“Ada lhoh, teman aku yang sudah kuliah tetap takut disuntik.”

“Heran deh.”

“Tapi nanti sore aku harus memaksanya. Lalu aku jadi bingung nih, bagaimana kalau benar-benar Murni hamil?”

“Kita cari Restu, dia harus menikahinya.”

“Murni tidak mau. Dulu saja pernah ketemu saat sedang makan bersama aku, lalu ketemu Restu, dia pergi menjauh. Pasti dia sangat benci sama pemerkosanya.”

“Ya sudah, hal itu dipikirkan lagi. Tapi bicara tentang Restu, aku jadi ingat. Aku tahu di mana Restu berada.”
“Memangnya di mana?”

“Dia bekerja di sebuah bengkel mobil.”

“Bagaimana kamu bisa tahu?”

“Bengkelnya itu, bengkel langganan aku. Waktu itu ban mobilku kempes, aku kebetulan pergi sendiri, tidak mengajak sopir. Aku kesulitan dong memasang ban serep aku, lalu aku menelpon bengkel langganan. Eh yang datang Restu. Kaget aku.”

“Dia mengenali kamu?”

“Nggak tahu apa yang dipikirkan dia, tapi aku tahu, dia menatap aku agak-agak heran gitu sepertinya. Tapi diam saja.”

“Syukurlah kalau dia bekerja. Harapan bapak sama ibu adalah agar dia tahu bagaimana sulitnya hidup. Semoga semua itu bisa menjadi pelajaran bagi dia. Semoga juga dia segera menemukan kehidupan yang baik, sadar akan kesalahannya, lalu bapak bisa menerima dia kembali.”

“Aamiin. Lalu kalau dia mau kembali sama kamu?”

“Dia pernah menemui aku dan ingin kembali, tapi aku menolaknya. Aku yakin hal itu dilakukan karena dia sudah putus asa karena tak tahu apa yang diperbuatnya.”

“Tapi nyatanya dia sekarang bisa bekerja. Lain kali aku akan mencari cara agar bisa ketemu dia lagi, dan sedang aku pikirkan cara agar bisa membantu dia.”

“Apa yang akan kamu lakukan?”

“Mungkin aku akan membuka sebuah bengkel baru. Aku mau bicara dulu sama Supri, pemilik bengkel itu, agar membantu aku untuk usaha bengkel, lalu minta agar dia mengarahkan Restu untuk memimpin bengkel baru itu.”

“Berarti kamu akan menceritakan semuanya pada Supri, tentang Restu?”

“Mungkin, sedikit.”

“Kamu sungguh baik Rio.”

“Tapi kamu tidak perlu mengatakan hal ini pada bapak, terutama tentang usaha aku tentang mendirikan bengkel itu, juga Restu tidak usah tahu bahwa semua itu usaha aku.”

“Baiklah. Aku suka itu.”

“Sekarang segera selesaikan makan siang kita, katanya kamu harus segera pulang karena Murni sakit.”

“Iya, benar Rio. Banyak yang aku harus memikirkannya. Semoga dugaanku tentang kehamilan itu tidak benar.”


Bu Broto juga terkejut, ketika suaminya mengatakan tentang pengusaha besar yang ternyata adalah Rio.

“Ya Tuhan, jadi yang kita lihat di televisi dan gambar di koran itu memang Rio?”

“Dia menangis-nangis minta maaf karena telah menipu kita selama ini.”

“Beruntung sekali Wulan, dicintai seorang pengusaha yang dengan segala upaya dilakukan demi mendekati dan menjaga kekasihnya.”

“Hebat dia itu. Kalau mengingatnya, aku selalu geleng-geleng kepala karena takjub.”

“Apa itu berarti nanti Wulan akan menjadi istrinya?”

“Iya lah Bu, karena sesungguhnya mereka memang saling mencintai. Dan hebatnya, walau berdekatan, mereka bisa menjaga martabat dan kehormatan, mengingat Wulan adalah istri Restu.”

“Senang mendengarnya.”

“Rio anak baik. Tapi aku agak rugi Bu.”

“Kenapa? Apa dia mengurungkan kerja sama itu?”

“Bukan. Kerja sama tetap berlanjut, tapi dengan tidak adanya Rio di keluarga kita, aku tidak lagi bisa seenaknya meminta dia menyanyi sambil main gitar.”

“Bapak itu, kenapa memikirkan hal sepele seperti itu?”

“Ini bukan hal sepele Bu, kalau kita menyanyi, maka kita akan merasa selalu bersemangat. Cobalah sekali-sekali ibu bernyanyi. Pasti nyaman di hati.”

“Ogah, suara ibu sudah jelek, sember … nanti yang mendengar pada lari semuanya.”

“Siapa yang mau lari, wong dulu suara Ibu itu juga bagus kok. Ya tidak usah menunggu Rio untuk menyanyi, misalnya bersenandung saat melakukan kesibukan di rumah, saat berdandan. Gitu lho Bu.”

“Nggak mau. Malu dong Pak.”

“Adanya cuma aku, paling-paling Sarni. Ibu harus tahu, menyanyi itu sehat.”

Bu Broto hanya tersenyum mendengar kata-kata suaminya. Menyanyi? Dulu dia suka, tapi setelah menyadari bahwa suaranya jelek, mungkin pita suaranya sudah bermasalah karena tua, dia enggan melakukannya.


Supri sedang sibuk di bengkel, ketika ponselnya berdering. Ia mengangkatnya, biarpun masih dengan tangan berlepotan olie karena walaupun dia pemiliknya, tetap saja dia seringkali harus turun tangan membantu.

“Hallo, oh iya Pak Bram, ini saya sendiri. Oh, baiklah, apa pak Bram mau kemari? Tidak? Oh, iya, saya tahu tempatnya. Penting sekali ya? Harus sekarang? Tapi saya harus menyelesaikan pekerjaan saya dulu. Maukah pak Bram menunggu? Baiklah, nanti saya kabari kalau saya sudah selesai.”

“Harus memperbaiki mesin ke suatu tempat?” tanya Restu setelah Supri meletakkan ponselnya.

“Bukan, ada yang ingin agar aku menemuinya.”

“Oh, ya sudah.Kalau harus datang ke suatu tempat, aku sudah selesai nih.”

“Hanya ingin bicara, entahlah tentang apa. Itu pengusaha besar yang sering ke bengkel kita. Oh ya, yang dulu kamu datangi untuk memasang ban serepnya. Ini malah yang sudah ditambal belum diambil.”

“Nanti kalau kamu menemui dia kan bisa dibawa sekalian.”

“Iya, kamu benar, sekarang ayo bantu aku supaya cepat selesai, soalnya aku sedang ditunggu.”

“Baiklah, sini aku bantu.”


Supri memenuhi panggilan Rio di suatu rumah makan. Hanya Supri yang makan, karena Rio sudah makan sebelumnya, bersama Wulan.

“Kok Bapak malah tidak makan?”

“Hanya pesan makanan kecil sama minum, soalnya saya sudah makan, mas Supri. Jangan sungkan, sementara Mas Supri makan, saya akan ngomong-ngomong sama Mas Supri.”

“Baiklah,” kata Supri sambil mengangguk.

“Sudah lama kah, pegawai yang bernama Restu itu bekerja pada Mas Supri?”

“Baru satu bulan lebih Pak, tapi dia pintar dan cekatan. Dia itu sebenarnya kan teman saya sekolah di SMA dulu.”

“O, teman sekolah?”

“Kami berpisah karena dia lanjut kuliah, sedangkan saya berhenti karena tidak punya biaya. Tiba-tiba ketemu saat dia sedang bengong di sebuah taman. Nasibnya buruk. Dia diusir oleh orang tuanya karena kelakuannya.”

“O, dia bercerita semua itu pada Mas Supri.”

“Bercerita Mas, tak ada yang disembunyikan, karena dulu kami sahabat, cuma beda kasta. Dia kaya raya, saya miskin papa,” kata Supri sambil bercanda.

Dan karena Supri ternyata sudah tahu semuanya, maka Rio tidak usah banyak cerita.

“Pak Bram tahu tentang Restu? Atau Pak Bram justru kenal sama dia? Berarti waktu mengganti ban itu pak Bram sempat bertegur sapa dong. Tapi kok Restu tidak cerita apa=apa ya.”

“Tidak bertegur sapa memang, karena dia tidak mengenali saya, hanya saya yang mengenali dia.”

“Oh, dan itu sebabnya maka pak Bram memberi dia uang banyak?”

“Dia cerita tentang uang tak seberapa itu?”

“Cerita, tapi saya berikan uang itu sama dia, setelah dipotong ongkos resmi nya. Kasihan saya sama dia.”

Lalu terjadilah pembicaraan antara Rio, yang dikenal Supri dengan panggilan pak Bram, dan Supri sendiri tentang rencana seperti yang sudah diceritakannya pada Wulan.


Sore itu Wulan mengajak Murni ke dokter langganannya. Wulan terus membujuknya agar Murni mau mengikuti sarannya, karena sebelumnya Murni selalu menolaknya. Apalagi Murni juga merasa bahwa badannya terasa selalu lemas dan tidak ingin makan apapun.

Tidak lama menunggu, keduanya dipersilakan masuk. Dan apa yang ditakutkan Wulan, ternyata terbukti. Murni hamil.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 26

SELAMAT PAGI BIDADARI (24)

Karya Tien Kumalasari

Pak Broto bingung, laki-laki gagah yang seorang pengusaha terkemuka itu tetap saja merangkul kakinya, bahkan sesekali terdengar isaknya.

“Pak Bram, tolong berdirilah, saya tidak enak kalau begini,” kata pak Broto sambil berusaha membangunkan tamunya.

“Mari kita duduk, dan katakan ada apa?”

“Bapak, sebelum saya menuruti perintah Bapak, saya mohon, maafkanlah saya, apapun yang telah saya perbuat,” katanya dengan suara bergetar.

“Apa yang harus saya maafkan? Pak Bram tidak pernah melakukan kesalahan apapun.”

“Banyak Pak, saya teklah membohongi Bapak lama sekali.”

“Apa maksud pak Bram?”

“Katakanlah bahwa Bapak akan memaafkan saya.”

“Tapi apa yang harus saya maafkan? Saya bingung, saya tidak mengerti.”

“Bapak pernah bilang bahwa saya mirip dengan sopir Bapak bukan?”

“Oh, ya ampun, saya yang harus minta maaf. Bukan maksud saya menyamakan bapak dengan sopir saya. Tapi … memang wajah sopir saya itu sangat ganteng, mirip sekali dengan Pak Bram. Tapi dari mana Bapak tahu bahwa saya menyamakan wajah Bapak dengan sopir saya? Sungguh bukan dengan maksud merendahkan,” kata pak Broto yang kemudian merasa ketakutan.

“Tidak Pak, Bapak tidak salah. Saya memang Rio.”

Kalau saja pak Broto tidak memegang tanganan sofa, pasti dia sudah jatuh terguling. Matanya menatao tamunya tak berkedip, sementara sang tamu yang memang Rio adanya itu menundukkan wajahnya.

“Apa pak Bram bergurau?”

“Nama saya Rio Bramantyo,” jawab Rio tanpa mengangkat wajahnya.

“Rio? Sopirnya Wulan?”

“Saya Rio sopirnya bu Wulan.”

“Kamu menyamar menjadi sopir, atau kamu Rio yang menyamar menjadi pengusaha?” pak Broto masih bingung, tidak bisa begitu mudah mempercayai apa yang dikatakan Rio.

“Saya Bramantyo yang menyamar menjadi sopir Pak.”

Pak Broto menyandarkan tubuhnya. Rio kemudian duduk di depannya.

“Saya mohon maaf, saya mohon, maafkan saya Pak,” kata Rio memelas.

“Jadi kamu itu Rio? Rio pengusaha yang menyamar jadi pengamen, lalu menjadi sopir keluarga aku?” kata pak Broto setelah bisa menenangkan diri.

“Iya Pak, saya mohon maaf.”

“Mengapa ? Mengapa kamu melakukan itu? Maaf, aku ber ‘kamu’ sekarang, karena aku biasa begitu. Apa kamu marah?”

“Tidak Pak, sungguh, tetaplah bersikap seperti dulu, saya senang menerima perlakuan ini, bahkan kalau kerja sama ini sudah berjalan,” kata Rio menatap pak Broto dengan memelas. Ia masih khawatir, pak Broto akan marah atas apa yang telah dilakukannya.

“Katakan, mengapa kamu melakukannya? Menjadi pengamen jalanan, memasuki restoran, dan dengan suka rela menyanyi untuk aku.”

“Sesungguhnya, Wulan adalah bekas pacar saya,” katanya pelan. Masih takut kalau pak Broto akan menyemprotnya.

“Wulan? Bekas pacar kamu?”

Rio mengangguk lesu.

“Tapi dia menikah dengan putra Bapak.”

“Kamu ingin merebutnya dari tangan anakku?”

“Tidak. Sama sekali tidak. Cinta saya tulus, suci, saya ikhlas Wulan berdampingan dengan pria lain, asalkan Wulan hidup bahagia.”

“Kamu tahu kalau Wulan tidak bahagia?”

“Maaf, saya memang tahu. Saya beberapa kali melihat pak Restu berduaan dengan seorang wanita.”

“Itu setelah kamu menjadi sopir aku kan? Saat kamu memutuskan untuk masuk kedalam keluarga aku sebagai sopir, apa kamu sudah melihat bahwa Restu bukan suami yang baik?”

“Saat saya mengamen, saat pak Restu bersuara kasar, bahkan yu Sarni pernah mengatakan bahwa pak Restu selalu kasar kepada istrinya.”

“Lalu kamu pura-pura jadi pengamen, untuk apa?”

“Hanya ingin melihat keadaan Wulan, dan merasa yakin bahwa Wulan bahagia.”

Pak Broto menghela napas panjang.

“Tapi saya tidak pernah mengganggu Wulan, bahkan menyentuhpun tidak. Saya bersedia menjadi sopir karena ingin melindungi Wulan.”

“Tapi kamu ternyata melihat bahwa rumah tangga mereka berantakan bukan?”

“Saya sangat prihatin untuk itu.”

“Apa kamu masih mencintai Wulan?”

Rio menundukkan wajahnya.

“Karena ketulusan cinta itu, saya rela melakukan apapun agar bisa melindungi dia. Kalau saya yakin Wulan hidup bahagia, saya pasti sudah pergi jauh meninggalkannya, karena bagi saya yang terpenting adalah kebahagiaan Wulan.”

“Jadi jelasnya, kamu masih mencintai Wulan?”

“Ya Pak. Tapi kalau Wulan menolak saya, saya tidak akan merasa sakit hati. Hidup adalah sebuah pilihan.”

“Ya Tuhan, sungguh luar biasa cara Tuhan mempersatukan cinta yang terpisah. Tapi tidak, aku harus yakin Wulan masih mencintai kamu. Sekarang, Wulan adalah anakku, dan kebahagiaannya adalah tanggung jawabku. Kalau kamu bisa membahagiakannya, maka dekatilah dia,” kata pak Broto sambil menatap tajam Rio.

Rio mengangkat wajahnya.

“Bapak mau memaafkan saya?”

“Aku bisa mengerti. Tapi jangan terburu senang dulu. Kalau Wulan tidak suka lagi sama kamu, maka kamu harus pergi jauh-jauh darinya.”

Rio tersenyum. Dia merosot dari tempat duduknya, meraih tangan pak Broto, kemudian diciumnya lama sekali.

“Baiklah, bagaimana dengan kerja sama itu? Hanya akal-akalan kamu juga agar bisa meminta maaf dan mendekati aku?”

Rio menggenggam erat tangan pak Broto.

“Tidak pak, tentu saja tidak. Kerja sama akan terus berjalan, dan saya yakin usaha bersama ini akan lebih berkembang bagi kita.”

Pak Broto tersenyum.

“Mana staf kamu yang akan datang hari ini? Bukankah kamu mendahului mereka?”

Rio melihat arloji tangannya.

“Mereka akan datang setengah jam lagi. Tidak lebih dan tidak kurang.”

“Baiklah, anak buahku sudah bersiap menyambut di ruang meeting.”


Hari itu Murni kelihatan aneh. Dia tidak segesit biasanya. Ia bersih-bersih rumah sambil sesekali mencium botol minyak kayu putih yang terbuka tutupnya. Botol kecil itu selalu digenggamnya, sementara tangan yang lain mengayunkan sapu dan kemoceng untuk bersih-bersih ruang dan perabotan.

Ulah Murnio itu tidak luput dari perhatian Wulan yang baru saja keluar dari kamar. Beberapa menit yang lalu, pak Broto menelponnya, dan memintanya datang ke kantor. Wulan berdebar, pasti pak Broto akan mengulangi perintahnya agar dia membantunya di kantor.

“Hm, baiklah, aku akan mencobanya,” gumamnya saat itu, sambil bersiap-siap.

Tapi ketika aroma minyak kayu putih merebak memenuhi ruangan, lalu melihat ketika sebentar-sebentar Murni mencium botol kecil berisi minyak kayu putih itu, maka kemudian Wulan mendekati Murni.

“Murni, kamu kenapa?”

“Oh, ini Bu, rasanya kalau tidak mncium bau minyak kayu putih kok saya merasa mual terus perut terasa nggak enak.”

Wulan terpaku ditempatnya berdiri. Pusing, mual, bau minyak kayu putih … Bukan karena Wulan pernah merasakannya, tapi ia pernah mendengar salah seorang temannya bercerita, saat dia hamil, keluhan yang dikatakannya hampir sama dengan keluhan Murni.

“Kamu beristirahat saja Murni, nanti sore kita ke dokter. Kalau sekarang aku mau ke kantornya bapak dulu, bapak memanggil aku.”
“Kenapa ke dokter Bu, tidak, saya tidak mau.”

“Murni, apa yang kamu rasakan itu aneh. Kamu itu sakit.”

“Saya tidak merasakan sakit, saya bisa mengerjakan banyak hal. Bersih-bersih rumah, memasak …”

“Murni, jangan bandel ya. Pokoknya kita harus ke dokter sore nanti. Kamu harus mau.”

“Tapi saya takut Bu, sungguh saya takut.”

“Aku temani kamu. Aku juga akan minta pada dokternya agar dia tidak menyuntik kamu.”

Murni menatap Wulan ragu. Sebenarnya dia benar-benar takut. Tapi karena Wulan memaksa, dia tak berani berkata ‘tidak’.

“Oke, Murni, sekarang istirahatlah. Dan tidak usah memasak, aku akan beli lauk matang saja nanti.”

Murni hanya mengangguk. Tapi saat Wulan berangkat, dia melanjutkan kegiatannya bersih-bersih. Ia membersihkan tubuhnya, barulah masuk ke dalam kamarnya. Memang benar, Murni merasakan sesuatu yang aneh pada tubuhnya. Pusing, lemas, mual. Tapi dia merasa bahwa hanya karena masuk angin maka dia merasa sedikit terganggu.

Dia membaringkan tubuhnya. Bersyukur bahwa Wulan sangat pengertian, tidak memintanya agar memasak, karena sesungguhnya dia sedang enggan memasak.

Ia memejamkan matanya, sambil sebelah tangannya mendekatkan botol minyak kayu putih itu pada hidungnya.

“Ini pasti gangguan lambung, karena kemarin terlalu banyak makan rujak,” gumamnya sambil terus memejamkan matanya, berharap pusingnya segera hilang. Sebenarnya Wulan sudah menunjukkan obat pusing di almari obat, yang kalau dia merasa pusing maka tinggal mengambilnya. Tapi kali ini Murni enggan menggerakkan tubuhnya yang terasa lemas.


Bu Broto mengetuk pintu rumah Wulan ketika melihat rumah itu terkunci rapat. Tapi berkali-kali dia memencet bel tamu, bahkan mengetuk pintunya, tak ada jawaban dari dalam.

“Apa Wulan pergi ya? Katanya Rio minta ijin untuk beberapa hari, pastilah dia kemudian pergi sendiri, sama Murni.

Tapi kemudian bu Broto menelpon Wulan. Beberapa kali tidak diangkat.

“Ya ampun, pasti Wulan menyimpan ponselnya di dalam tas, sehingga tidak mendengar dering telpon dari aku.”

Lalu bu Broto merasa bersalah, karena tadi tidak meminta agar Wulan saja yang disuruhnya datang.

Bu Broto duduk di teras, berusaha memanggil taksi online, tapi kemudian terdengar pintu dibuka dari dalam.

“Oh, ada Bu Broto ,” Murni memekik kaget.

“Kamu kemana saja? Aku sudah memencet bel, sudah mengetuk pintu, kamu tidak segera membukanya. Aku sudah mau memanggil taksi nih.”

“Maaf Bu, saya sedang di kamar mandi, perut saya agak nggak enak rasanya.”

“Hm, perut kamu sakit? Pantesan bau minyak kayu putih. Bu Wulan mana?”

“Bu Wulan pergi, tadi bapak menelpon, agar bu Wulan segera pergi ke kantor bapak.”

“Oh, jadi Wulan ke kantor nih? Rupanya bapak sedang memaksa Wulan agar mau membantunya di kantor.”

“Iya Bu.”

“Ya sudah, kalau kamu sakit, kembalilah tidur sana, aku mau pulang saja.”

“Jangan Bu, saya buatkan minum dulu, lalu sebaiknya Ibu menunggu, siapa tahu bu Wulan tidak lama.”

“Perutmu masih sakit? Mulas? Diare?”

“Tidak Bu, hanya agak nggak enak rasanya. Sepertinya lambung saya terganggu, kemarin makan rujak kebanyakan.”

“O, kamu itu gimana. Makan apapun kalau berlebihan, ya pasti menyebabkan sakit. Sudah minum obatnya?”

“Saya tidak tahu obat sakit perut yang mana Bu.”

“Di almari obat kan ada, coba cari, dan baca etiketnya, pasti kamu tahu-lah, masa nggak bisa baca, anak lulusan SMA?”

“Iya Bu, nanti Murni cari, atau menunggu bu Wulan saja, takut salah. Lagi pula bu Wulan bilang, nanti sore mau mengajak Murni ke dokter.”

“O, ya sudah kalau begitu.”

“Saya buatkan minum ya Bu.”

“Tidak usah Mur, aku mau pesan taksi saja. Nggak tahu juga Wulan akan lama atau tidak, lagipula kamu kan sedang sakit.”

“Tidak sakit beneran sih Bu, paling hanya gangguan lambung.”

“Apapun, yang namanya gangguan itu juga penyakit.”

“Ya sudah, aku pesan taksi saja, lelu kamu tiduran sana.”

“Bu, tapi jangan bilang simbok kalau saya sakit ya, takutnya simbok khawatir.”

“Iya, baiklah.”


Wulan terkejut, ketika memasuki ruang pak Broto, tapi ruangan itu kosong. Sekretarisnya juga tak kelihatan. Dia duduk di sofa, menunggu.

“Kemana ya Bapak, kalau pergi, mengapa tadi memanggil aku?” gumamnya sambil membuka-buka majalah yang terletak di meja.

Tiba-tiba seseorang masuk.

“Bu Wulan?” tanya seorang gadis cantik, yang pernah dikenal Wulan sebagai sekretarsis pak Broto.

“Ya?”

“Pak Broto sedang menunggu Ibu di ruang meeting.”

“Oh, baiklah.”

“Mari saya antarkan,” kata gadis itu.

Wulan mengikuti sang sekretaris dengan dada berdebar.

“Tampaknya kali ini aku tak bisa mengelak lagi,” gumamnya dalam hati.

Tapi betapa terkejutnya Wulan, ketika memasuki ruang meeting, dia melihat Rio ada di sana, duduk di hadapan pak Broto. Tak ada orang lain selain pak Broto dan Rio .

Wulan menahan langkahnya.

“Wulan, kenapa berhenti di situ, kemarilah,” kata pak Broto sambil melambaikan tangannya.

Wulan melangkah perlahan, sedikit gemetar karena Rio terus menatapnya sambil tersenyum lucu.

“Apa ini? Rio sudah ketemu bapak, dan dia sebenarnya adalah Rio. Apakah Rio datang sebegai pengusaha yang akan bekerja sama?” kata batin Wulan.

“Wulan, kenapa kamu itu? Sini, aku perkenalkan kamu dengan rekan bisnis kita yang luar biasa ini.”

Wulan melangkah perlahan, lalu pak Broto memintanya agar Wulan duduk di antara dirinya dan Rio.

“Pak Bram, perkenalkan, ini Wulandari, anak saya. Dia akan menjadi wakil saya mulai hari ini,” kata pak Broto sambil menahan senyuman.

“Bapak, tap … pi…”

“Ini perintah, dan semuanya sudah diputuskan,” kata pak Broto tandas.

Wulan menundukkan wajahnya.

“Kecuali itu, pak Bram ini sebenarnya juga ingin melamar kamu. Apakah kamu bersedia menjadi istrinya?”

Wulan merasa bumi yang dipijaknya bergoyang.


Besok lagi ya…

Bersambung ke Jilid 25

SELAMAT PAGI BIDADARI (23)

Karya Tien Kumalasari

Yu Sarni memijit-mijit tengkuk Murni.

“Aku tidak apa-apa Mbok, memang tadi pagi merasa pusing, tapi aku lupa minum obat yang diberikan bu Wulan,” kata Murni.

“Kok bisa lupa itu bagaimana sih Mur, memperhatikan kesehatan sendiri itu kan penting,” tegur bu Broto.

“Iya Bu, nanti sampai di rumah saya akan minum obatnya.

Ketika Wulan sudah datang dengan membawa mobilnya, yu Sarni memapah Murni agar masuk ke dalam mobil. Wulan terkejut, melihat Murni sangat pucat.

“Ada apa Murni?”

“Katanya pusing, jawab bu Broto yang kemudian duduk di samping kemudi, sementara yu Sarni memijit-mijit kepala Murni di belakang.

“Tadi pagi memang dia bilang agak pusing. Kamu sudah minum obatnya Mur?”

“Maaf Bu, saya lupa minum obatnya.”

“Lhho, bagaimana sih kamu? Sekarang pusing sekali? Ke dokter saja ya?”

“Tidak … tidak … saya tidak mau ke dokter. Mau istirahat saja di rumah.”

“Ya sudah, ini mengantar ibu, lalu langsung pulang supaya kamu bisa segera beristirahat.”

Tapi dalam hati Wulan, sebenarnya ada perasaan was-was. Sebulan lebih yang lalu, terjadi perkosaan itu. Adalah hal yang mungkin kalau sekarang Murni hamil.

“Ah, tidak … jangan …” gumam Wulan yang ternyata terlontar dari mulutnya, membuat bu Broto heran.

“Kamu bilang apa Wulan?”

“Oh, eh … apa Bu?”

“Kamu bilang … tidak … jangan. Apanya yang jangan?”

“Eh … itu Bu, saya tadi … seperti meninggalkan kompor masih menyala… mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa,” jawab Wulan sekenanya. Dia bersyukur karena tiba-tiba bisa menemukan jawaban yang tepat. Walau begitu, kekhawatiran itu tetap ada.

Setelah mengantarkan bu Broto dan yu Sarni, dengan disertai pesan yu Sarni wanti-wanti agar Murni segera minum obatnya, maka Wulan segera meluncur menuju pulang.

Ia membantu membawa belanjaan, karena melihat Murni tampak lemas.

“Murni, kamu cuci kaki tangan dulu, ganti baju, lalu minum obatnya, dan segera tidur. Kalau pusingnya tidak reda, nanti sore aku antar kamu ke dokter.”

“Tidak Bu, jangan.”

“Murni, kalau sakit tidak bisa kita obati sendiri, maka hanya kepada dokter-lah kita minta obatnya.”

“Tidak Bu, saya takut di suntik.”

Wulan terkekeh.

“Murni, kamu itu bukan anak kecil lagi lhoh. Kok bisa-bisanya takut disuntik? Disuntik itu kan tidak sakit, hanya seperti digigit semut,” kata Wulan seperti menasehati seorang anak kecil.

“Tapi Murni takut Bu, sungguh.”

“Kamu tahu tidak, dokter itu tidak selalu perlu menyuntik pasiennya. Kalau sakitnya biasa saja, mana perlu disuntik?”

“Saya ke belakang dulu saja ya Bu, Maaf, barang-barangnya saya tata nanti sore ya Bu.”

“Sudah, tidak usah mikir barang belanjaan, nanti aku yang atur. Segera minum obatnya dan istirahatlah.”

“Baik Bu.”


Wulan termenung sampai beberapa saat lamanya. Kekhawatiran kalau sampai Murni hamil selalu menghantuinya. Ia tak mau Murni menderita. Kasihan gadis, lajang, harus memelihara seorang bayi.

“Ah, aku berandai-andai terlalu jauh. Hanya pusing, mengapa aku juga ikut pusing? Mudah-mudahan Murni hanya pusing karena kecapekan atau masuk angin,” gumamnya sambil menata barang-barang belanjaan yang tadi dibelinya. Ia tak ingin Murni melakukannya karena badannya sedang tidak enak.

Ketika sedang asyik itu, tiba-tiba ponselnya berdering. Senyum Wulan merekah, melihat wajah tampan dengan mata teduh di layar ponselnya itu tampak seperti menatapnya dengan tatapan memikat.

“Ya, Rio,” sapanya sumringah.

“Hallo, bidadari … lagi ngapain.”

“Ini, lagi menata belanjaan di dapur.”

“Tadi kamu belanja?”

“Mengantarkan ibu belanja, sekalian aku juga belanja.”

“Menyesal beberapa hari bakal tidak menikmati masakan kamu.”

“Ah, tidak lama kan? Urusannya belum selesai?”

“Iya, belum kelar, nanti aku akan membuat kejutan untuk kamu.”

“Kejutan apa ya?”

“Namanya kejutan, ya tidak bisa dikatakan sekarang dong. Nanti kamu tidak akan terkejut lagi.”

“Hmm, coba aku tebak …”

“Oke, tebak saja.”

“Kamu mau memberi aku oleh-oleh.”

“Tidak. Memangnya aku kemana?”

“Mmm … kamu mau melamar aku?”

Rio terbahak.

“Idiih, sudah ingin dilamar ya?”

“Nggak, bercanda … tahu. Baru saja diurus dan surat cerai belum kelar, sudah minta dilamar?”

“Iya lah, kan akunya yang ngebet.”

“Rio, jangan bercanda.”

“Baiklah, ya sudah … aku masih banyak urusan nih.”

“Lho, masalah tebak-tebakan tadi bagaimana?”

“Tidak usah ditebak, nanti juga kamu akan tahu,” kata Rio sambil tertawa, kemudian menutup pembicaraan itu.”

Wulan tersenyum. Rio selalu bisa membuatnya tertawa. Lalu Wulan menyelesaikan pekerjaannya menata barang-barang, kemudian masuk ke kamar Murni. Dilihatnya Murni pulas, tapi wajah itu masih tampak pucat. Wulan mendekat, dan memegang kening Murni, takutnya dia panas. Tapi tidak. Wajah Murni justru berkeringat.

Wulan merasa sedikit lega.

“Tapi kalau nanti sore masih mengeluh juga, aku pasti akan memaksanya pergi ke dokter.”

Lalu Wulan menyesal karena tadi tidak menceritakan keadaan Murni kepada Rio, dan kekhawatiran yang melandanya. Habis, Rio kelihatan masih sibuk. Ia harus menunggu sampai Rio datang, sehingga ada teman untuk berbagi, karena Wulan benar-benar gelisah karena sakitnya Murni.


Yu Sarni yang sangat khawatir, tampak begitu gelisah.

“Kenapa sih Ni, kamu mondar mandir seperti orang bingung?”

“Ini Bu, mau menelpon Murni, bagaimana keadaannya sekarang.”

“Anakmu itu hanya kecapekan, lalu masuk angin, kamu kok begitu bingungnya sih Ni.”

“Tadi kelihatan pucat sekali Bu, tentu saja saya khawatir.”

“Kalau kamu khawatir, telpon saja sana. Tapi kalau dianya sedang tidur nanti malah mengganggu. Kamu telpon Wulan saja, menanyakan keadaannya.”

“Oh gitu ya Bu, saya telpon bu Wulan saja.

“Ada apa Yu? Mau ngomong sama Murni?” tanya Wulan saat yu Sarni menelpon.

“Iya Bu, kalau bisa.”

“Bisa saja sih Yu, tapi sekarang Murni sedang tidur. Pulas sekali tidurnya.”

“Oh, syokurlah kalau begitu. Yu Sarni sangat khawatir, karena tadi wajahnya kelihatan pucat.”

“Murni hanya kecapekan Yu, tidak usah khawatir. Nanti kalau dia sudah bangun biar menelpon yu Sarni.”

“Baiklah Bu, terima kasih banyak. Maaf lho, mengganggu.”

“Tidak apa-apa, aku sedang melihat acara televisi nih, tidak sedang repot.”

Yu Sarni merasa lega.

“Bagaimana?” tanya bu Broto.

“Kata bu Wulan, Murni sudah tidur pulas. Katanya juga, Murni hanya masuk angin.”

“Nah, sekarang kamu lega kan?”

“Iya Bu, sangat lega. Saya ke belakang dulu, menyiapkan minuman, barangkali bapak segera pulang.”


Bengkel Supri di siang hari ini sedang banyak pelanggan. Beberapa mobil menunggu untuk di servis atau di betulkan mana yang kurang sempurna.
Tiba-tiba ponsel Supri berdering.

“Hallo … pak Bram? Oh … di mana? Baiklah, saya akan segera mengirimkan orang saya ke situ. Baiklah, segera.”

Supri menutup ponselnya, lalu menatap Restu yang sedang membetulkan mesin.

“Restu. Tolong ke ke alamat Jl. Bhayangkara 10 ya, ada langganan yang ban nya kempes, dan meminta kita untuk memasang ban serepnya.”

“Ini aku belum selesai.”

“Biar aku saja. Pak Bram ini kan langganan. Sebaiknya segera dilayani.”

“Baiklah.”

Restu mengambil peralatan untuk mencopot dan memasang ban, kemudian membawa motor Supri, untuk pergi ke alamat yang dikatakan sahabatnya.

Sesampainya ke alamat yang dituju, Restu melihat sebuah mobil mewah, dan seorang laki-laki gagah sedang berdiri di bawah sebuah pohon rindang.

Restu mendekat, dan sangat terkejut melihat laki-laki gagah berpakaian perlente itu wajahnya sangat mirip dengan sopir bekas istrinya. Ia menatapnya tak berkedip.

“Luar biasa, sangat mirip. Tak mungkin ini Rio. Rio kan hanya sopir, sedangkan ini, berpakaian necis, dengan jas biru tua serasi dengan celananya yang tampak pas dipakai oleh orang segagah dia.

Restu mendekat.

“Saya dari bengkel Supri Pak,” katanya pelan begitu turun dari sepeda motor.

“Oh iya, ini, tiba-tiba kempes, tampaknya tertusuk paku atau apa, entahlah. Tolong dipasangkan serepnya, lalu bawa yang bocor untuk ditambal ya?”

“Dan suaranya juga mirip kata batin Restu. Tapi ia terus mengangguk dan mengerjakan sesuai perintah sang pelanggan.

Laki-laki gagah itu tak begitu memperhatikan sang montir. Ia duduk di sebuah bangku yang kebetulan ada di bawah pohon, sambil terus sibuk bertelpon.

Restu mengerjakannya dengan cekatan, membuat pak Bram sangat senang. Ia mengeluarkan uang duaratus ribu, diserahkannya pada Restu. Saat itulah dia menatap Restu. Tapi ia tak mengucapkan apa-apa. Ia hanya berkata ‘terima kasih’ sambil mengulurkan uangnya.

Restu menerimanya ragu.

“Pak, ini … terlalu banyak.”

“Berapa ongkosnya? Sisanya buat kamu,” katanya tanpa mempedulikan Restu yang menatap lembaran merah itu dengan takjub, sementara sang pengendara mobil sudah berlalu.

Restu memasukkan uang ke dalam sakunya, lalu menuju kembali ke bengkel sambil membawa ban kempes milik tuan gagah yang baik hati itu.


Restu meletakkan ban yang harus ditambal, kemudian menyerahkan uang duaratus ribu kepada Supri.

“Kok banyak sekali?”

“Nggak tahu, dia memberi uang itu, aku kembalikan nggak mau.”

Supri tertawa.

“Pak Bram itu seorang pengusaha yang sangat dermawan. Kalau ke bengkel, baik suruhan atau dia sendiri yang atang, pasti selalu memberikan uang lebih. Ya sudah, itu rejeki kamu.”

“Apa maksudmu? Ini untuk bengkel kan?”

“Bayarkan ongkos yang semestinya ke bengkel, sisanya untuk kamu.”

“Untuk aku?”

“Itu rejeki kamu,” kata Supri sambil tertawa.

Restu tersenyum dan mengangguk, ditolak-pun Supri tak akan mau menerimanya. Baiklah, rejeki, kata Supri.


Sore hari itu Murni terbangun, agak terkejut melihat dapur sudah rapi. Pasti Wulan sudah melakukannya sendiri.

“Kok Bu Wulan mengerjakan semuanya?” tanya Murni.

“Bagaimana keadaan kamu? Masih pusing?”

“Tidak Bu, sudah baikan.”

“Jangan karena kamu takut ke dokter, maka kamu bilang sudah baikan.”

Murni tersenyum/

“Tidak Bu, sungguh saya sudah tidak apa-apa. Hanya sedikit mual.”

“Mual? Muntah-muntah?”

“Tidak, hanya mual. Tapi saya sudah menggosok perut saya dengan minyak kayu putih, dan sudah mereda.”

Wulan diam. Kata mual, pusing, selalu dihubungkannya dengan kehamilan. Itu karena Wulan memang sangat khawatir tentang itu.

“Benar, tidak apa-apa? Ke dokter yuk.”

“Bu Wulan gimana sih, saya sudah tidak apa-apa. Mengapa harus ke dokter juga?”

“Bukan karena kamu takut dokter kan?” Wulan masih mendesak.

“Ya ampun Bu, bukan karena takut, saya memang sudah tidak apa-apa. Saya buatkan minum untuk Bu Wulan ya.”

“Aku sudah membuat minumanku sendiri Mur, kamu buat untuk kamu sendiri saja.”

“Bu Wulan kok sudah melakukan semuanya, dan tidak membangunkan saya.”

“Kamu tidurnya sangat pulas, nggak sampai hati aku. Ya sudah, buat minuman hangat, lalu kemari, ini roti yang tadi kita beli.”

“Baik Bu, tapi saya mau mandi dulu.”

“Mandi dengan air hangat, kamu kan belum sehat benar.”

“Iya Bu, gampang,” kata Murni sambil menjauh.


“Kok sampai sore pak, baru pulang?” tanya bu Broto ketika suaminya pulang.

“Banyak yang harus dikerjakan. Besok, pengusaha yang pernah kita lihat di televisi dan kita lihat di koran itu, akan menemui aku di kantor.”

“Benarkah?”

“Tadi orang kepercayaannya yang datang, dan membicarakan masalah kerja sama. Aku setuju, karena kita banyak diuntungkan dengan adanya kerja sama itu.”

“Syukurlah Pak, biarpun ibu tidak mengerti tentang bisnis, tapi ibu senang kalau usaha Bapak semakin maju.”

“Ibu sudah bicara sama Wulan tentang keinginanku itu?”

“Sudah, waktu belanja bersama tadi.”

“Wulan ikut belanja?”

“Memang yang mengantarkan Wulan, soalnya Rio minta ijin tiga hari, karena ada keperluan di kampung.”

“O, acara lamaran, barangkali.”

“Nggak tahu aku Pak, Wulan tampaknya juga tidak mengerti. Ya syukurlah kalau dia sudah mendapatkan jodohnya, memang sepertinya sudah saatnya dia berumah tangga.”

“Kembali ke Wulan tadi Bu, Ibu sudah bicara kan?”

“Sudah.”

“Apa katanya?”

“Tampaknya dia mau, tapi masih ragu-ragu. Takut tidak bisa memenuhi harapan Bapak.”

“Nanti aku akan bicara lagi sama dia. Aku yakin Wulan bisa kok”

“Iya Pak, semoga benar-benar bisa membantu.


Pagi hari itu seluruh staf kantor sudah bersiap untuk menunggu tamu yang mereka anggap luar biasa, karena dia adalah seorang pengusaha terkenal.

Pak Broto masih duduk di kantornya, ketika tiba-tiba sekretaris mengatakan bahwa ada yang ingin bertemu.

“Siapa?”

“Namanya pak Bram.”

“Pak Bram?” pak Broto terkejut karena nama tamu yang ditunggu adalah Bramantyo.

“Kok sudah datang? Berapa orang?”

“Sendiri.”

Pak Broto heran.

“Sendiri, persilakan beliau masuk.”

Pak Broto berdiri untuk menyambut tamu yang aneh itu. Ketika pintu terbuka, seorang laki-laki gagah dengan setelah jas abu-abu tua masuk, langsung menubruk kaki pak Broto.

Pak Broto bingung dan tentu saja tercengang.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 24

SELAMAT PAGI BIDADARI (22)

Karya Tien Kumalasari

Pagi hari itu pak Broto sedang membaca koran pagi. Secangkir coklat susu sudah dihabiskannya sebelum dingin. Ia hanya ingin sarapan roti tawar bakar oles mentega dan seiris keju, karena harus buru-buru berangkat ke kantor.

Ia menikmati potongan-potongan roti itu sambil membaca koran. Ada headline yang kembali membuatnya heran.

“Seorang pengusaha kaya dan dermawan akan membagikan bantuan berupa uang dan sembako di daerah terpencil. Pengusaha itu adalah R. Bramantyo.”

Pak Broto berhenti membaca, karena melihat tampang pengusaha yang disebutkan. Kembali ia melihat wajah kembarnya Rio.

“Bu, lihat ini Bu, ini yang kita lihat di televisi, yang wajahnya mirip Rio itu kan?” kata pak Broto sambil membuka korannya lebar-lebar dan menunjukkannya kepada istrinya.

Bu Broto mengambil kacamatanya, kemudian mengamati gambar di koran, yang ditunjukkan suaminya.

“Ini? Benar Pak, ini orangnya yang kita lihat di televisi itu. Benar, persis Rio.”

“Heran ada wajah persis seperti ini.”

“Coba nanti kalau ketemu Rio, gambar ini ditunjukkan. Pasti dia senang, wajahnya persis dengan wajah seorang pengusaha besar,” kata bu Broto sambil tertawa.

“Ya sudah Bu, aku harus datang pagi, karena ada pertemuan dengan seorang utusan dari sebuah perusahaan.”

“Tamu penting ya pak? Pagi-pagi sekali?”

“Bukan begitu, sebelumnya aku harus bicara dengan staf, dan mempelajari surat yang sudah dikirimkan.”

“Ya sudah pak, aku kan nggak tahu soal perusahaan. Harusnya ada Restu, supaya pekerjaan Bapak lebih ringan,” sesal bu Broto.

“Sudah, jangan mengingat-ingat dia lagi. Biarkan dia belajar menjalani hidup, dan tahu bagaimana rasanya mengais rupiah demi rupiah, bukan hanya menikmati kesenangan sengan menghamburkan uang, yang akhirnya membawanya kepada perilaku yang tidak terpuji.”

“Iya, benar Pak, tapi bagaimanapun aku kan ibunya, pantas kalau aku merasa kehilangan.”

“Memangnya hanya ibu saja yang merasa kehilangan? Bapak ini apalagi. Tapi kita tidak boleh cengeng. Berpikirlah bahwa Restu sedang belajar menjalani hidup.”

“Ya Pak.”

“Aku berpikir, Wulan akan aku suruh belajar tentang mengendalikan sebuah usaha.”

“Wulan itu pintar. Dia juga pernah kuliah, meskipun belum selesaai karena kemudian orang tuanya meninggal.”

“Itulah Bu, mungkin mulai bulan depan akan aku minta dia membantu aku di kantor.”

“Iya Pak, nanti ibu bantu bicara sama Wulan, mudah-mudahan dia bersedia.”

“Ya sudah, bapak berangkat dulu ya.”

“Iya Pak, hati-hati di jalan.”

“Katanya Ibu mau belanja hari ini?”

“Iya, nanti aku minta tolong Rio supaya bisa mengantar.”

“Telpon saja dari sekarang.”

“Sekarang kan belum datang Pak, baru jam setengah delapan, biasanya Wulan menyuruh datang antara jam sembilan.”

“Ya sudah, terserah Ibu saja,” kata pak Broto sambil berjalan menuju ke mobil, dimana sopir dari kantor sudah menjemputnya.


“Murni, kamu membuat apa untuk sarapan kita?” tanya Wulan pagi hari setelah bersih-bersih rumah.

“Saya sedang merebus sayuran, ada sambal pecel di kulkas.”

“Bagus Murni, nasi pecel, sudah lama aku tidak makan pecel.”

“Kebetulan kemarin beli tauge dan mentimun di tukang sayur, sementara di kulkas juga ada bayam dan kacang panjang.”

“Hm, sedap. Sama bikin telur ceplok ya Mur?”

“Mau nggoreng telur ceplok, tiga saja ya Bu, sama mas Rio.”

“Hari ini Rio tidak datang, katanya ada urusan. Jadi buat untuk dua orang saja. Aku, sama kamu.”

“Baiklah, kalau begitu. Eh Bu, ada telpon tuh,” kata Murni.

Wulan segera berlari ke arah ruang tamu, ketika mendengar ponselnya berdering. Ternyata dari ibunya. Sejak Restu diusir, pak Broto meminta supaya Wulan menganggap mereka orang tuanya, jadi dia kemudian juga menganggap mereka sebagai pengganti orang tuanya yang sudah meninggal.

“Hallo Ibu,” sapanya begitu membuka ponsel.

“Wulan, sedang apa kamu?”

“Baru selesai bersih-bersih rumah, kalau Murni sedang membuat pecel.”

“Wah, enak sekali.”

“Ibu mau? Nanti Wulan kirim ke rumah.”

“Nggak usah Wulan, Sarni sudah masak tumpang”

“Wah, itu juga enak.”

“Rio sudah datang? Nanti kalau sudah datang, ibu minta agar dia mengantarkan ibu dan Sarni belanja,”

“Oh, maaf Bu, hari ini Rio tidak datang, katanya ada keperluan di kampungnya, mungkin dua atau tiga hari.”

“Oh, begitu ya.”

“Kalau Ibu mau belanja, biar Wulan saja yang mengantarkan sama Murni.”

“Benarkah? Pasti menyenangkan belanja berempat.”

“Sekarang Bu? Tapi Wulan belum mandi.”

“Tidak sekarang, cuma mau belanja kebutuhan rumah, tidak tergesa-gesa. Lagi pula kamu belum sarapan juga.”

“Cuma sarapan, tapi mau mandi dulu.”

“Selesaikan semuanya, ibu juga mau mandi dulu.”

“Baiklah, saya juga akan bilang sama Sarni bahwa kita mau belanja bersama.”

Wulan meletakkan ponselnya, lalu bergegas ke belakang.

“Mana sayurnya, aku bantu memotong-motong sebentar.”

“Sudah selesai Bu, tinggal menggoreng telur.”

Kalau begitu aku mandi dulu saja, demikian juga kamu, soalnya kita akan mengantarkan ibu belanja, pasti dengan yu Sarni juga.”

“Benarkah?” tanya Murni gembira.

“Kamu catat juga apa kebutuhan kita sendiri, jadi kita bisa sekalian belanja.”

“Baik Bu. Tapi maaf Bu, apa ibu punya obat pusing?”

“Ada di almari obat. Kamu sakit?”

“Tidak, hanya sedikit pusing, mungkin karena tidur kemalaman tadi.”

“Kamu juga sih, mengapa tidur sampai malam?”
“Menyetrika baju Bu, sudah tiga hari menumpuk.”

“Setelah makan baru kamu minum obatnya, atau kamu nanti nggak usah ikut belanja saja ya?”

“Ikut Bu, hanya sedikit pusing, nanti setelah minum obat pasti sudah sembuh.”

“Baiklah, aku siapkan obatnya dulu, kalau begitu.”


Sudah seminggu Restu bekerja membantu Supri di bengkel. Supri senang karena Restu cepat mengerti tentang mesin hanya dalam waktu singkat. Dalam keadaan terpaksa harus bergerak, tak bisa tidak Restu harus menjalaninya. Setiap hari berkutat dengan mesin, sampai tubuh berkeringat dan berlepotan oli, tidak dirasakannya. Tiba-tiba Restu merasa, bahwa menikmati uang dengan keringat bercucuran terasa nikmat. Baru sekarang dia tahu, bahwa untuk mendapatkan uang harus disertai dengan usaha dan jerih payah yang tidak mudah. Nikmat mencari uang inilah yang membuka mata hatinya tentang kehidupan yang sebenarnya. Bukan menghamburkan uang dengan mudah, dan tanpa perhitungan, untuk kesenangan yang ternyata hanyalah sesuatu tanpa makna.

“Istirahat dulu Restu, ini aku bawakan nasi bungkus untuk kita semua,” kata Supri yang tadi pamit sebentar untuk membeli makanan. Ada dua karyawan lainnya yang ikut membantu dalam usaha bengkel itu.

“Aku selesaikan dulu ini, katanya akan diambil jam satu siang.”

“Nggak apa-apa. Ditinggal makan dulu, pasti selesai, nanti biar dibantu Sardi, kan mereka sudah selesai.”

Restu terpaksa meninggalkan pekerjaannya, setelah mencuci tangan dia segera makan bersama, duduk di lantai, dan melahap dengan nikmat.

“Kamu menyesal Restu, terpaksa menjalani hidup yang sederhana seperti ini? Tubuh belepotan olie dan keringat bercucuran, lalu makan dengan berkelesotan di lantai. Makan nasi bungkus pula,” kata Supri sambil menatap Restu yang menikmati makan siangnya dengan lahap.”

“Aku senang melakukannya. Ini adalah pembelajaran untuk hidup aku. Terima kasih kamu telah menarik tubuh dan jiwaku untuk sesuatu yang sangat bermakna dalam hidup ini.”

Supri tertawa.

“Akhirnya kamu tahu bukan, bahwa untuk sesuap nasi kita harus mengucurkan keringat kita.”

“Kamu benar, dan menikmati makan dari hasil keringat adalah nikmat. Aku juga berterima kasih karena kamu telah membawa aku untuk mengenal Tuhan, sesembahan segala umat, yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang selalu mendengar jerit orang yang bertobat.”

“Aku bersyukur kamu bisa memahami ketika Allah memberi kita cobaan. Dulu aku pernah menjalani kehidupan yang serba kekurangan. Selepas SMA, aku jatuh cinta kepada seorang gadis, dan menikahinya dalam hidupku yang masih serba kekurangan. Aku bekerja di sebuah bengkel, menabung sedikit demi sedikit, lalu bisa membuat bengkel kecil-kecilan seperti ini. Jadi kalau hidup sengsara, aku sudah kenyang menikmatinya. Tapi sekarang aku bisa merasakan hidup enak. Bukan karena harta berlimpah, tapi karena aku bisa makan berkecukupan bersama anak dan istriku, serta bisa memberi peluang kerja bagi orang lain, dan aku menamakannya, ini adalah anugerah,” kata Supri panjang lebar.

Restu mengangguk mengerti. Ia bisa menerima apa yang dikatakan sahabatnya, dan siap menjalani apapun, demi kelanjutan hidupnya.

“Siapa tahu, nanti kamu bisa menabung, lalu bisa mendirikan bengkel juga dan tidak hanya ikut aku.”

“Aamiin,” kata Restu bersemangat.

Tapi saat mereka sedang makan, tiba-tiba sebuah mobil berhenti. Mobil mewah, dan seorang berpakaian perlente, walau setengah tua, turun dari mobil itu.

“Mas, tolong isi anginnya ya.”

Restu hendak berdiri dengan meninggalkan makanannya, tapi salah seorang temannya telah mendahuluinya.

“Biar aku saja.”

“Tiba-tiba kaca jendela mobil di sebelah kiri terbuka, dan seorang wanita cantik melongok keluar.

“Mas, agak cepat ya, kami sedang tergesa-gesa,” kata wanita itu, padahal salah seorang karyawan bengkel sedang mengerjakan pengisian angin di mobil itu.

“Sabar, sayang,” kata laki-laki itu.

Restu menoleh ke arah mobil, karena merasa mengenal suara wanita itu. Dan terkejut karena dia adalah Lisa, dan laki-laki itu adalah pak Thomas, atasan Lisa..

Ada rasa marah yang kemudian merambati jiwanya. Marah karena wanita bernama Lisa itulah yang telah membuatnya terjerumus dan lupa segala-galanya, kemudian saat dia butuh pertolongan, dia mengacuhkannya. Tentu saja, karena Lisa bukan gadis yang memiliki cinta seperti yang dulu dirasakan Restu. Lisa hanya ingin uangnya, hartanya, dan kesenangan yang diberikannya. Ketika Restu datang dalam keadaan susah, mana sudi dia peduli lagi?

Ketika itu Lisa juga menoleh ke arahnya, tapi tentu saja ia tak mengenalinya lagi. Restu yang tampan dan gagah, sekarang tampak kurus dan kotor berlepotan oli.

Restu merasa lega ketika mobil itu berlalu.

“Kamu tampak aneh. Kenal sama mereka?”

“Dia Lisa,” jawab Restu singkat.

Supri tentu saja mengerti, karena Restu telah menceritakan semua yang dialaminya sebelum mengikuti dirinya dan mau bekerja untuknya.

“Oh, dia? Perempuan nggak bener, dandanannya menyolok, kata-katanya kasar. Siapa pula yang menjadi korbannya? Kamu tahu?”

“Dia pak Thomas, atasannya sendiri. Sudah lama dia suka sama Lisa.”

“Ya sudah, kenapa kamu kelihatan kesal? Cemburu?”

“Tidak. Sama sekali tidak. Dia sudah lama aku lepaskan dari ingatan aku, tapi ketika melihat dia, aku ingin marah.”

“Hanya ingin, tapi jangan marah dong. Dia itu juga termasuk orang yang menunjukkan sama kamu, bahwa cinta yang sejati. Bukan milik dia.”

“Benar. Baiklah, aku tidak akan marah lagi.”

“Lanjutkan makannya, dan istirahat sebentar untuk shalat.”


Bu Broto dan Wulan asyik berbelanja, sambil berbincang, karena Sarni dan Murni membantu memilih barang yang mereka butuhkan.

“Apa yang ibu katakan itu benar, Wulan. Bapak ingin kamu membantunya di kantor.”

“Tapi Wulan kan belum pernah bekerja Bu, mana bisa Wulan melakukannya?”

“Mengapa tidak bisa. Kamu itu kan pintar. Dulu karena tahu bahwa kamu berprestasi di kuliah kamu, bapak kan ingin membiayai kuliah kamu. Kamu menolak sih.”

“Iya Bu, soalnya Wulan kan sudah banyak merepotkan Bapak sama Ibu, dan sebenarnya Wulan ingin fokus menjalani hidup berumah tangga.”

“Sayang Restu menyia-nyiakan kamu.”

“Tidak apa-apa Bu, memang beginilah garis kehidupan yang harus Wulan jalani. Wulan bahagia karena mendapatkan bapak dan Ibu sebagai pengganti orang tua Wulan yang sudah tak ada.”

“Kamu anak baik, kami sangat menyayangi kamu.”

“Bu, daging di rumah tinggal sedikit, ditambah lagi ya Bu,” kata yu Sarni yang masih memilih-milih sayur.

“Iya, tidak apa-apa Ni.”

“Baiklah, kamu boleh memikirkannya Wulan, nanti kalau sudah ada waktu, bapak pasti akan bicara sama kamu. Aku hanya memberi tahu tentang keinginan bapak itu, supaya kamu bisa memikirkannya.”

“Iya Bu, nanti akan Wulan pikirkan.”

“Sarni, beli tomat yang masih segar dan matang, tadi bapak ingin jus tomat juga,” perintah bu Broto.

Ketika mereka selesai berbelanja, Sarni dan Murni segera membawa belanjaan mereka, mengikuti kedua majikan mereka.

“Kamu ingin beli sesuatu, Wulan?”

“Sepertinya tidak Bu.”

“Mau melihat-lihat baju?”

“Kalau Ibu ingin, Wulan antarkan. Tapi Wulan belum ingin beli.”

“Ya sudah kalau begitu, kita pulang ya.”

Wulan mendahului karena harus mengambil mobil di parkiran, dan minta agar yang lain menunggunya di lobi.

Tapi tiba-tiba Murni memegangi kepalanya. Yu Sarni terkejut, melihat wajah Murni juga tampak pucat.

“Kamu kenapa Murni?” tanya ibunya cemas.

“Nggak apa-apa Mbok, ini sudah dari pagi, aku lupa minum obat yang diberikan bu Wulan.”

‘***

Besok lagi ya…

Bersambung ke Jilid 23

SELAMAT PAGI BIDADARI (21)

Karya Tien Kumalasari

Murni melihat siapa yang datang, memberi isyarat dengan matanya kepada Wulan.

“Wulan,” laki-laki itu menatap Wulan dengan tatapan memelas.

Wulan menoleh dan terkejut.

“Mas Restu?”

“Bolehkah aku duduk?”

Wulan agak ragu. Ia melihat Restu yang tubuhnya kurus, pakaiannya lusuh. Lalu timbul belas kasihannya.

“Silakan. Mas mau makan?”

Restu mengangguk, sesungguhnya dia memang sangat lapar.

“Mau makan apa dan minum apa?” tanya Wulan.

“Terserah kamu saja,” katanya sambil menundukkan wajahnya.

Wulan segera melambaikan tangan kepada pelayan, dan memesankan makan serta minum untuk Restu.

Wulan menatap Restu. Mata itu begitu kosong. Sikap garang yang dulu selalu ditunjukkannya, tak lagi tampak. Sebulan lalu ayahnya mengusirnya, dan tampaknya dia belum mendapatkan sesuatu untuk pegangan.

“Aku minta maaf,” desis Restu lirih.

Murni diam menunduk. Kebenciannya kepada lelaki di hadapannya masih nyata. Ia tampak tak sudi menatapnya. Ia bahkan bergegas menyelesaikan makannya, lalu pamit untuk pergi ke mobil terlebih dulu.

“Kamu mau menunggu di mobil? Baiklah, ini kuncinya,” kata Wulan sambil mengulurkan kunci mobilnya.

“Murni, maafkan aku,” kata Restu sebelum Murni pergi, tapi Murni tak menjawab. Ia terus melangkah keluar dari rumah makan itu.

Restu menghela napas berat.

“Susah memaafkan dosa sebesar yang aku lakukan, aku sadar.”

“Bertobatlah, agar Allah menolong kamu.”

Makanan yang dipesan telah terhidang, Wulan mempersilakan bekas suaminya untuk makan. Walau kebencian telah mendarah daging, tapi hati yang welas asih masih melingkupi sikapnya. Ia mana tega membiarkan orang kelaparan dan tampak butuh pertolongan.

Wulan masih menghabiskan sedikit makanannya, lalu mereka makan bersama-sama.

Wulan menyelesaikan makannya terlebih dulu, karena memang dia sudah hampir menyelesaikan ketika Restu datang.

“Kamu tinggal di mana Mas?”

“Masih di losmen murahan.”

“Oh ….”

“Wulan, aku merasa bersalah, aku minta maaf ya,” kata Restu setelah menyelesaikan makannya.

“Aku sudah memaafkannya sebelum kamu memintanya. Tapi aku belum bisa melupakannya.”

“Aku tahu.”

“Apa rencana Mas selanjutnya?”

“Wulan, bolehkah aku menebus kesalahanku dengan kembali sama kamu?”

Wulan terkejut. Beruntung dia telah selesai makan, kalau tidak, pasti semua makanan akan terhambur dari mulutnya. Ia lalu meraih sisa minumnya, dan menghabiskannya.

“Aku serius. Bolehkah? Aku akan berbuat baik, dan menjadi suami yang baik untuk kamu,” pintanya memelas.

Wulan menghela napas berat.

“Itu tidak mudah Mas.”

“Tidak mudah itu bukan berarti tidak bisa, bukan?”

“Dan tidak bisa,” kata Wulan tandas.

“Tidak bisa?”

“Maaf Mas. Bapak sendiri yang menceraikan kita, dan aku bersyukur, bapak serta ibu tidak membuang aku juga, walau aku bukan lagi menantunya.

“Apakah surat cerai itu suda ada?”

“Walaupun prosesnya sedang berjalan, aku tak bisa mencabutnya. Walau begitu, aku akan selalu mendoakan kamu, agar kamu segera menemukan jalan hidup yang baik untuk kamu. Kalau kamu sudah bisa menata hidup kamu, aku yakin bapak dan ibu pasti akan bisa menerimamu kembali.”

Restu menundukkan wajahnya. Dari semula dia juga tak yakin Wulan bisa menerimanya kembali. Tadi, saat dia berjalan untuk mencari makan, kebetulan melihat Wulan sedang makan bersama Murni. Ia mencoba mendekatinya, dan ternyata dia mendapatkan jawaban yang menyakitkan. Wulan menolaknya.

“Mas, aku punya sedikit uang, pakailah. Aku harus segera pulang,” kata Wulan sambil meletakkan uang dua juta di meja, dimana Restu masih menundukkan wajahnya.

Restu mengangkat wajahnya, dan melihat Wulan membayar makanannya di kasir, kemudian keluar tanpa menoleh lagi kepadanya.

Restu menghela napas, melirik ke arah setumpuk uang di meja, dan memasukkannya ke dalam saku bajunya. Tak usah merasa malu, karena dia memang membutuhkannya.

‘***

Ketika Wulan memasuki mobilnya, dilihatnya Murni tertidur di jok depan, samping kemudi. Wulan tersenyum haru. Melihat wajah pulas seakan tanpa beban rasa haru segera menyegap dadanya. Gadis baik dan lugu, yang seharusnya terjaga kesuciannya, dirusak oleh amukan iblis berwajah manusia bernama Restu. Wulan tak habis pikir, mengapa Restu tiba-tiba meminta rujuk. Mana mungkin Wulan menerimanya? Sejak dulu tak ada rasa cinta diantara mereka, dan di sepanjang pernikahan yang tidak mereka kehendaki itu, tak pernah sedikitpun ada bahagia diantara mereka. Bahkan saling menyakiti. Kalau Wulan menerimanya, biarpun ada janji manis diucapkan Restu, Wulan tak ingin menerimanya. Ia yakin Restu sudah hampir putus asa, karena tak bisa menemukan jalan untuk hidup mandiri. Sejak dulu bergelimang harta, tak pernah merasakan pederitaan, dan sekarang ia merasa tak bisa melakukan apa-apa, lalu ingin kembali menjalani pernikahan dengan janji-janji yang entah bisa ditepatinya atau tidak.

Wulan menstarter mobilnya, dan perlahan menjalankan mobilnya. Tiba-tiba Murni terjaga. Ia mengucek matanya, seperti bangun dari mimpi.

“Maaf Bu, saya ketiduran,” katanya sedikit malu.

“Tidak apa-apa Murni, kalau masih ingin tidur, tidur saja lagi.”

“Tidak. Sudah hilang kantuknya.”

“Syukurlah. Kita pulang sekarang, ya.”

“Apa yang tadi dia lakukan?”

“Ingin rujuk kembali.”

“Ibu menerimanya?”

“Tentu saja tidak. Surat cerai saja belum keluar, mau rujuk?”

“Seandainya sudah keluar?”

“Tetap saja aku tidak mau. Aku merasa, apa yang ingin dilakukannya tadi, karena dia sudah kepepet, tidak bisa berbuat apa-apa. Bukan karena sadar yang sesungguhnya.”

“Kalau dia kembali, lebih baik saya pergi.”

“Tidak Murni, kamu akan selalu bersama aku.”

“Terima kasih Bu Wulan.”


Ketika Wulan dan Murni memasuki halaman, dilihatnya Rio sedang duduk di teras, sambil membuka-buka laptopnya.

Murni membuka pintu rumah dan membawa belanjaan ke dalam.

“Sudah lama Rio?”

“Sekitar satu jam.”

“Maaf ya, aku belanja terus makan siang di luar. Kamu sudah makan?”

“Belum sih, aku kira bisa makan di sini bersama kamu.”

“Tidak apa-apa, Murni membeli lauk matang yang bisa langsung di santap. Mau masuk ke dalam?”

“Tidak, sopir tidak boleh sembarangan masuk ke rumah majikan,” kata Rio sambil tersenyum.

Wulan membalas senyuman itu.

“Aku sudah bilang, segera hentiksn semua ini kan?”

“Iya, tidak lama lagi aku akan melakukannya.”
“Bukannya aku tidak mau kamu ada di sini setiap hari, aku khawatir bapak sama ibu lebih dulu mengetahui siapa sebenarnya kamu, dan itu mungkin akan berakibat buruk. Bisa saja bapak tersinggung karena kamu selama ini membohongi keluarga Broto.”

“Iya, aku tahu.”

“Segera lakukan Rio, aku ingin hidup kita tenang tanpa ada sesuatu yang kita sembunyikan.”

“Iya, tenanglah, bidadari-ku.”

“Aku ganti baju dulu, sekalian meminta Murni agar menyiapkan makan untuk kamu,” kata Wulan sambil melangkah ke belakang.

Rio mengangguk. Ia mengambil gitarnya, lalu memetiknya di teras, sambil menunggu Murni menyiapkan makan untuknya.

“I can’t stop loving you …

“Mas Rio sering banget nyanyi lagu itu,” kata Murni tiba-tiba, sambil membawakan jus jambu dan sepiring nasi ayam goreng beserta sambal dan lalapan.

Rio tersenyum, sambil melanjutkan alunan lagunya. Murni meletakkan semua yang dibawanya diatas meja.

“I can’t stop loving you, I’ve made up my mind. To live in memories, of the lonesome time, I can’t stop waiting you …

Murni masih berdiri di pintu, mendengarkan Rio menyanyikan lagunya, sampai selesai.

Rio tertawa melihat ulah Murni yang tampak lucu.

“Kamu suka lagunya? Atau suka suaraku?” canda Rio.

“Dua-duanya Mas tapi saya hanya tahu artinya yang awal Mas nyanyikan itu.”

“Apa artinya, coba?”

“Aku tak bisa berhenti mencintaimu, benarkah?” tanya Murni.

“Pinter kamu Murni. Oh ya, di sekolah, kamu juga mendapat pelajaran bahasa Inggris kan?”

“Iya sih, tapi nilai bahasa Inggris saya jelek. Tapi sebenarnya Mas Rio menyanyikan lagu itu untuk siapa? Mas Rio punya pacar ya?”

“Aku sangat mencintai pacar aku.”

“Ya ampuun, indah sekali. Dimana sekarang pacar mas Rio?”

“Ah, kamu … mau tahu saja …”

Murni tertawa lucu.

Ketika Wulan keluar, ia ikut tersenyum mendengar jawaban Rio.

“Memangnya Murni menanyakan apa sih Rio?”

“Menanyakan di mana pacar aku, coba … bagaimana aku harus menjawabnya?”

Murni tertawa.

“Soalnya Mas Rio nyanyinya lagu itu terus Bu. Jadi saya tanya, apa mas Rio punya pacar, kalau punya, di mana pacarnya sekarang, gitu.”

“Nanti kamu akan tahu sendiri siapa pacar mas Rio.”

“Ya sudah, Murni ke belakang dulu, mas Rio silakan makan,” kata Murni yang kemudian beranjak ke belakang.

“Makanlah Rio,” kata Wulan.

“Tungguin dong,” kata Rio manja.

“Ih, nggak sopan, majikan disuruh nungguin sopirnya makan,” canda Wulan untuk membalas candaan Rio tadi.

“Nggak apa-apa, aku memang sopir yang nggak sopan. Mana bisa dibilang sopan, sopir mencintai majikan. Tapi cintaku cinta sopan kok. Bukankah cinta itu bukan dosa?”

Wulan tersenyum manis, lalu duduk di depan Rio.

“Yang berdosa adalah saat cinta tidak bisa meletakkan di mana dia harus berada.”

“Hm, bagus. Dan segar jus jambunya,” kata Rio sambil meneguk jus jambu yang disajikan Murni.

“Cintaku aku letakkan di tempat yang aman kok. Karena cinta yang bisa meletakkan di mana dia harus berada adalah cinta yang tulus.”

“Sudah, makan saja dulu, nggak usah ngegombal.”

Rio tertawa renyah, kemudian menikmati makanannya dengan lahap, karena di tungguin sang ‘majikan’ yang selalu disebutnya bidadari.

‘***

Restu duduk di sebuah taman, menatap alam sekitar dengan takjub. Selama ini ia tak pernah menikmati indahnya alam, sejuknya desir angin dan harumnya bunga-bunga. Hati dan jiwanya tertutup godaan nafsu setan yang selalu terasa indah dan memuaskan. Tapi kemudian menjatuhkannya dalam papa yang tak terampunkan. Bahkan bekas istri yang penuh cinta kasih terhadap sesama, dan berhati lembut-pun kemudian menolaknya untuk dirinya kembali.

Sekarang, di sore yang sejuk karena pohon-pohon rindang menaunginya, semilir angin mengipasinya, harumnya bunga menyentuh hidungnya, ia baru merasa bahwa semua yang dirasa disore ini begitu menenangkan jiwanya. Jiwa yang semula tersesat, jiwa yang tak pernah terpuaskan, sekarang begitu terasa tenang, dan nyaman.

Kemana semua ini sebelumnya? Mengapa tidak sejak dulu dirasakannya?

Restu meraba sakunya, di dalam dompet hanya tersisa beberapa puluh ribu rupiah, kemudian bekas istrinya memberinya lagi dua juta. Untuk apa uang itu? Dulu dua juta bisa lenyap dalam sekejap, hanya untuk mengisi perut dan bersenang-senang. Terkadang malah bisa kurang. Tapi sekarang, yang dua juta itu terasa amat besar artinya. Tak terasa air mata Restu menetes, kemudian dengan segera diusapnya dengan ujung lengan bajunya.

“Ya tuhan … tunjukkan jalan terbaik untuk hidup hambamu ini,” bisiknya dalam sendu, lalu sekali lagi air matanya menitik.

Mengapa baru sekarang mengingat Tuhan? Kemana hilangnya Tuhan dalam kehidupannya selama ini?

“Restu? Apa benar kamu Restu?” sebuah sapa tiba-tiba mengejutkannya.

Dipandanginya seorang laki-laki sebaya dirinya, yang berdiri menatapnya dengan heran. Restu merasa pernah mengenalnya, tapi lupa dimana, dan siapa dia. Beberapa saat lamanya dia mengingat-ingat, kemudian disebutkannya sebuah nama.

“Supri? Supriyanto?”

Laki-laki itu tertawa senang karena akhirnya Restu mengingatnya.

“Aku senang kamu mengingat aku,” katanya sambil duduk disamping Restu.

Supri adalah teman sekolah semasa SMA, kemudian terpisah setelah sama-sama lulus. Supri berhenti sekolah karena ketidak adanya biaya, sedangkan Restu kemudian kuliah sampai selesai. Tapi Supri tampak lebih gagah dan segar sekarang.

“Aku hampir tidak mengenalimu Restu. Aku dengar kamu menjadi pengusaha, melanjutkan usaha orang tua kamu. Tapi coba lihat penampilan kamu. Sungguh aku heran. Apa yang terjadi? Kamu seperti anak hilang, Restu,” kata Supri sambil terus menatap bekas teman sekolahnya.

“Nasibku buruk, aku diusir oleh orang tua aku sendiri.”

“Kamu diusir? Alangkah kejamnya orang tua kamu Restu.”

“Tidak, aku yang salah.”

Kemudian Restu menceritakan semua kisah hidupnya.

Dari kelakuannya yang buruk, sampai lupa segala hal-hal baik, dan terjerumus ke dalam perilaku yang tak terpuji. Semuanya diceritakan, sampai ayahnya mengusirnya tanpa membawa harta.

Supri menatapnya iba. Ia tahu sahabatnya ingin bertobat.

“Sekarang kamu tinggal di mana?”

“Aku menginap di losmen, dan hampir kehabisan uang.”

“Ya ampun, biarpun losmen lebih murah dari hotel, tapi kamu salah memilihnya, sementara uangmu tidak banyak.”

“Aku bingung harus berbuat apa.”

“Karena kamu terbiasa hidup mewah. Sekarang kalau kamu mau memperbaiki hidup kamu, ikutlah bersamaku. Rumahku rumah sederhana, tapi istriku pasti akan senang kalau aku berniat menolong seorang teman, untuk ikut tinggal di rumah aku.”

“Tinggal di rumah kamu? Apa tidak menyusahkan?”

“Yang penting kamu mau atau tidak, setelah itu ikutlah bekerja di tempatku, aku punya bengkel kecil-kecilan.”

“Bengkel apa?”

“Mobil. Tapi kalau kamu masih suka hidup enak, pasti pekerjaan ini tidak enak buat kamu. Seharian bekerja keras, berlepotan oli ….”

“Aku mau, apapun aku mau, Supri.”

“Ambil barang-barangmu di losmen, dan ikut kerumahku.”

Barangkali tangisan Restu telah menyentuh ke ujung langit, dan Tuhan menuntun tangannya untuk melangkah ke suatu jalan, yang semoga adalah yang terbaik untuk hidupnya.”

‘***

Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 22

SELAMAT PAGI BIDADARI (20)

Karya Tien Kumalasari

“Ada orang begitu persis ya Pak, seperti kembar,” bu Broto masih berkomentar, saat mereka sudah ada di ruang makan.

“Iya, itu semua kan kebesaran Allah.”

“Apakah Rio terlahir kembar ya Pak?”

“Masa, saudara kembar, yang satu jadi pengusaha, satunya lagi jadi tukang ngamen? Jadi sopir kan karena aku yang menyuruhnya menjadi sopir di keluarga kita.”

“Iya juga ya Pak. Itu tadi kan acara di Balai Kota, makanya dihadiri pak Wali kota. Acaranya pagi-pagi sekali, setelah apel pagi.”

“Iya, aku tahu. Itu acara peletakan batu pertama atas bangunan baru untuk perluasan ruangan kantor.”

“Iya, ramai sekali.”

“Ni, nasi gorengnya kok tumben ke asinan nih?” teriak pak Broto setelah menyendok sarapannya beberapa sendok.

Yu Sarni mendekat.

“Masa sih Pak, aduh … maaf ya Pak,” kata yu Sarni penuh sesal.

“Tumben Ni, biasanya tidak begini, dan ini terjadi sudah beberapa hari terakhir ini lho. Hanya saja aku mendiamkannya, barangkali kamu sedang capek atau memikirkan sesuatu.

“Iya Bu, kenapa, soalnya beberapa hari ini kepikiran Murni terus.”

“Kenapa kepikiran Murni? Kangen? Kalau kangen nanti aku suruh Wulan mengajaknya kemari.”

“Iya bener, Sarni tuh lagi kangen sama anaknya, sampai-sampai masak nggak karuan rasanya,” tukas pak Broto,

“Nanti aku suruh Wulan mengajaknya kemari.”

“Oh ya Bu, mobilku agak kempes, tolong Rio sekalian disuruh kemari, biar mengantar aku ke kantor.”

“Baiklah, aku telpon Wulan saja.”

Bu Broto segera mengambil ponsel dan menelpon Wulan.

“Ya Ibu.”

“Lagi ngapain, Wulan.”

“Lagi ngebantuin Murni di dapur nih Bu.”

“Oh, belum pada sarapan? Ini Wulan, bapak mau minta tolong Rio, bisa ke rumah nggak? Mobilnya bapak bocor tuh, jadi Rio mau disuruh nganterin ke kantor.”

“Oh, tapi … maaf Bu, Rio baru … baru minta ijin … ada keperluan katanya.”

“O, nggak ada ya?”

“Iya bu, sudah sejak pagi-pagi sekali. Bagaimana kalau Wulan yang mengantar bapak, Wulan ke situ sekarang ya Bu.”

“Pak, Rio sedang ijin, ada keperluan, bagaimana kalau Wulan yang mengantarnya?” bu Broto bertanya pada suaminya.

“Nggak ah, kasihan Wulan, aku panggil sopir kantor saja,” jawab pak Broto.

“Wulan, kata bapakmu, mau memanggil sopir kantor saja. Tapi kalau kamu mau ke rumah nggak apa-apa nih, ajak Murni, simboknya kangen tuh.”

“Oh, iya Bu, setelah sarapan Wulan mau ke situ bersama Murni.”

Bu Broto menutup ponselnya, sementara suaminya menelpon ke kantor minta dijemput.


“Murni, simbokmu kangen. Kita ke sana ya?” kata Murni.

Setelah kejadian mengerikan itu. Wulan selalu mendampingi Murni. Ia bahkan minta agar Murni tidur di kamarnya dengan menggelar kasur busa di samping tempat tidurnya. Ia merasa harus selalu mendampinginya, karena Murni masih tampak trauma.

“Ketemu simbok?”

“Iya, simbokmu katanya kangen. Itu kata ibu tadi.”

“Apa simbok tahu tentang_”

“Tidak, bapak sama ibu sudah berjanji untuk merahasiakan kejadian itu.”

“O.. ya sudah.”

“Mau ya? Kamu harus bersikap biasa, supaya simbok tidak curiga.”

“Syukurlah kalau simbok tidak tahu.”

Tapi ketika sampai di rumah pak Broto, dan bertemu simboknya, tiba-tiba Murni merangkul simboknya sambil menangis terisak, membuat yu Sarni heran.

“Ada apa kamu ini Mur? Ketemu simbok kok malah nangis?”

“Aku … kangen sama simbok …” sahutnya terbata. Sebenarnya dia ingin menekan segala penderitaannya, menyembunyikannya di hadapan simboknya, tapi rasa dan air matanya tak mau berkompromi. Air matanya terurai begitu saja, membuat yu Sarni bertanya-tanya.

“Kamu seperti sudah tidak ketemu bertahun-tahun saja Mur? Lagi pula rumah bu Wulan kan tidak begitu jauh dari sini?”

“Iya sih Mbok, soalnya … tadi bu Wulan juga bilang kalau simbok kangen sama aku.”

“Kangen sih, tapi cuma kangen biasa saja. Dan agak terganggu karena beberapa hari yang lalu simbok bermimpi buruk tentang kamu.”

“Mimpi apa sih mbok?” tanya Murni sambil duduk, setelah bisa menguasai perasaannya.

“Karena simbok tidur terlalu malam, atau apa, simbok memimpikan kamu. Simbok seperti melihat kamu terjatuh ke dalam jurang, meraih ranting-ranting pohon yang terjurai di sekitar jurang itu, tapi tak berhasil. Simbok berteriak-teriak memanggil nama kamu, tapi tak ada yang mendengar. Simbok menangis meraung-raung, kemudian terbangun. Dan bersyukur karena itu hanyalah mimpi.”

Murni menatap simboknya sambil kembali menitikkan air mata. Ia merasa, mimpi orang tuanya tersebut adalah firasat, ketika dirinya mendapat musibah. Ia menahan keluarnya air mata itu sekuat tenaga, lalu mengusap matanya yang basah.

Ia mencoba tersenyum menatap simboknya.

“Simbok hanya bermimpi kan?”

“Iya, hanya mimpi, tapi mimpi itu terbawa oleh simbok, sampai memasak juga tidak enak. Tapi simbok bersyukur karena kamu baik-baik saja.”

“Iya Mbok, aku baik-baik saja. Bu Wulan memperlakukan aku seperti saudara.”

“Syukurlah, senang simbok mendengarnya. Kamu sudah sarapan? Tadi simbok masak nasi goreng, kata pak Broto ke asinan. Dan bu Broto bilang masakanku tidak seenak biasanya beberapa hari terakhir ini. Mungkin karena terganggu mimpi itu.”

Murni terdiam. Apakah kejadian yang menimpa dirinya dirasakan oleh simboknya? Apakah jerit tangisnya terasa sampai di lubuk hati simboknya?

“Kamu sudah sarapan?” Yu Sarni mengulang pertanyaannya.

“Sudah Mbok, sebelum berangkat sudah sarapan sama bu Wulan.”

“Syukurlah.”

“Simbok jangan memikirkan mimpi itu lagi. Bukankah mimpi hanyalah bunga tidur?”

“Iya benar. Baiklah, simbok sudah lega karena ternyata kamu baik-baik saja.”

“Iya Mbok. Simbok mau memasak? Sini aku bantu.”

“Baiklah, tapi aku buatkan minum untuk bu Wulan dulu, juga untuk kamu.”

“Biar aku saja yang buat Mbok,” kata Murni sambil bangkit dan menyiapkan minum untuk Wulan dan dirinya sendiri.

Sementara itu di ruang tamu, bu Broto asyik menceritakan tayangan di televisi, yang menunjukkan acara dari sebuah perusahaan yang sedang membagikan sembako kepada dua ribu orang warga tak punya, termasuk beberapa anak yatim piatu.

“Itu lho Wulan, heran aku, si boss perusahaan itu, kenapa ya, wajahnya mirip sekali dengan Rio. Seperti pinang dibelah dua.”
Wulan terkejut. Ia sudah tahu bahwa sang boss yang di maksud ibunya adalah memang Rio adanya. Tadi pagi dia pamit pagi-pagi karena ada acara pembagian sembako dan pertemuan dengan Wali Kota bersamaan dengan sebuah acara di Balai Kota. Tapi dia hanya tersenyum mendengarnya. Sedih juga memikirkan, kapan Rio membuka jati diri yang sebenarnya.

“Kamu tidak melihat televisi pagi tadi?”

“Tidak bu, sibuk bersih-bersih kebun sama Murni.”

“O, kalau kamu melihatnya pasti kamu heran. Wajah kok bisa persis.”

“Mirip barangkali bu.”

“Mirip sampai persis. Heran aku.”

“Iya Bu, banyak orang mirip di dunia ini.”

“Iya sih. Tapi kok aku kebayang terus wajah pengusaha itu.”

“Namanya siapa Bu?” Wulan pura-pura bertanya.

“Namanya … aduh … Bram … Bram … siapa ya, nama perusahaannya itu … yaah, ibu lupa … tidak begitu perhatian.”

“Soalnya ibu hanya memperhatikan boss nya saja.”

“Iya, barangkali,” kata bu Broto sambil tertawa. Setelah kehilangan anak laki-lakinya, kehadiran Wulan yang masih berada diantara keluarganya, sangat menghiburnya. Apalagi Wulan sangat lembut hati, dan selalu bisa menyenangkan orang tua. Sesal kehilangan anak itu, oleh suaminya dikatakan sebagai pelajaran atas semua kesalahannya, dan sesungguhnya, membuat jauh di dalam lubuk hatinya, mereka berharap, pada suatu hari Restu akan kembali, setelah bisa mendandani hidupnya.

‘***

Restu menjalani hari-harinya dengan perasaan tak menentu. Ia merasa seperti sebuah layang-layang putus talinya, tak tahu kemana angin menerbangkannya. Beberapa hari terakhir ini dia menginap di sebuah losmen murah, untuk tempat berteduh. Tapi saat uangnya menipis, ia tak tahu lagi harus ke mana.

Hampir sebulan dia terombang ambing dalam ketidak pastian tentang hidupnya, lalu tiba-tiba dia teringat Lisa. Apakah benar Lisa benar-benar tak peduli padanya?

Sore itu dia berjalan ke rumah Lisa. Dan beruntung saat itu Lisa ada di rumah, karena baru saja pulang dari bekerja.

“Lisa,” sapa Restu penuh harap.

“Mas Restu? Apa itu kamu?”

“Biarkan aku duduk dulu, Lisa. Aku letih karena berjalan sampai kemari.”

“Oh ya, silakan duduk,” kata Lisa. Sikapnya tak semanis dulu, yang setiap kali ketemu Restu pasti langsung memeluknya mesra.

“Lisa, Kamu sudah melupakan aku?”

“Lupa? Tidak. Tapi Mas sudah lama tidak menghubungi aku.”

“Aku sering menghubungi kamu, tidak pernah tersambung. Aku kehilangan kamu Lisa.”

“Ya, sudahlah Mas, rupanya memang jalan hidup kita harus bersimpangan.”

“Aku diusir orang tuaku sendiri.”

“Ya ampuun, aku ikut prihatin Mas,” kata Lisa dengan wajah datar. Rasanya ucapan itu hanya keluar dari bibirnya, bukan dari hatinya.

“Berhari-hari aku tidur di losmen murah, karena uangku terbatas.”

“Kasihan kamu Mas, mengapa orang tua kamu begitu kejam?”

“Bolehkah aku menumpang sementara di rumah kamu?”

Lisa membelalakkan matanya.

“Menumpang di rumah aku? Ya tidak mungkin Mas, bagaimana nanti kata tetangga, kita kan tidak ada hubungan apa-apa. Maaf ya Mas.”

“Hanya sampai aku mendapat pekerjaan saja, hanya numpang tidur.”

“Aduh Mas, maaf … sekali lagi maaf, aku tidak bisa.”

Restu menahan hatinya yang perih. Ia menyadari bahwa Lisa sudah berubah. Bahkan sejak uangnya mulai menipis. Ia melihat gelang yang pernah diberikannya, masih melingkar di pergelangan tangannya. Mulutnya ingin berkata untuk meminta kembali gelang itu, tapi ia tak bisa mengeluarkan suara.

“Ya sudah Mas, sebentar lagi ada yang mau nyamperin aku untuk jalan-jalan, jadi tolong Mas pergi dulu, nanti kalau dia datang, pasti akan menimbulkan pemikiran yang tidak-tidak, dikira Mas itu pacar aku.”

Restu berdiri, tidak memerlukan ucapan dua kali untuk dia pergi. Dia sudah tahu bahwa Lisa bukan lagi Lisa yang selalu bergayut dilengannya, selalu manja dalam setiap pertemuan, dan begitu manis saat melayaninya. Itu dulu, saat ia masih bisa menghamburkan uang, dan mengguyur kekasihnya itu dengan limpahan uang dan kesenangan.

Tanpa mengatakan kata permisi, Restu berdiri dan melangkah keluar dari rumah bekas kekasihnya. Saat masih di halaman, masih sempat terdengar Lisa bergumam.

“Huhh, mana penampilan sudah begitu lusuh, uang tidak lagi punya, untuk apa datang kemari? Ada yang lebih kaya dan bisa menyenangkan aku dengan hartanya, Huhh!”

Entah apa lagi omelan yang diucapkan, Restu sudah tidak mendengarnya karena dia sudah keluar dari halaman.

‘***

Ketika Rio kembali ke rumah Wulan di sore hari itu, Wulan segera mengatakan bahwa pak Broto dan bu Broto melihat tayangan televisi pagi harinya, dan melihat wajah seorang boss yang wajahnya mirip Rio.

Rio tertawa.

“Benarkah?”

“Rio, kamu tidak bisa begini terus. Dan tolong jangan bilang aku memecat kamu,” kata Wulan dengan wajah bersungguh-sungguh.

Tapi kembali Rio hanya tertawa.

“Rio, kamu harus menghentikan semua ini. Bapak dan ibu harus tahu siapa diri kamu yang sebenarnya.”

“Iya, aku sedang berpikir bagaimana caranya.”

“Kamu kan punya banyak akal licik,” sergah Wulan.

“Ya ampuun, akal licik. Kesannya aku seperti penjahat sih,” kesal Rio.

“Memang iya.”

“Memang iya, aku penjahat, aku pencuri yang sedang menunggu mangsaku terlena.”

“Apa maksudnya?”

“Aku akan mencuri kembali hati kamu.”

“Rio !!”

Rio terbahak.

“Baiklah, akan ada saatnya aku akan membuka siapa diriku, tapi aku harus menemukan caranya, karena aku juga harus memikirkan, saat aku mengatakan diriku sebenarnya, bukan tak mungkin pak Broto akan marah besar. Marah karena aku telah menipu dia.”

Wulan terdiam. Apa yang dikatakan Rio memang ada benarnya.

“Jadi kamu harus bersabar, nanti aku pasti akan menemukan caranya, untuk membuka tabir itu agar tidak menimbulkan sesuatu yang justru tidak kita inginkan.”

“Baiklah, terserah kamu saja.”

‘***

Hari itu Wulan sedang makan siang dengan mengajak Murni. Hanya mereka berdua karena Rio kembali punya acara yang tidak bisa ditinggalkan.

“Nanti tidak usah memasak lagi Murni. Kita kan hanya berdua. Untuk makan malam bisa membeli dari sini sekalian”

“Iya Bu, terserah Bu Wulan saja.”

Mereka asyik makan, sehingga tidak tahu ketika seseorang berdiri diam di dekat meja mereka.

‘***

Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 21

SELAMAT PAGI BIDADARI (19)

Karya Tien Kumalasari

Bu Broto terbelalak menatap menantu tersayangnya.

“Kamu bilang apa, Wulan?”

“Semuanya sudah selesai Bu, bapak sudah berjanji akan menceraikan kami. Jadi tak ada gunanya saya berada di sini lagi. Ijinkan saya pergi.”

“Tidak Wulan, kamu tidak boleh pergi,” kata bu Broto yang kemudian kembali terisak.

“Mengapa Bu, saya bukan siapa-siapa lagi di sini. Maafkanlah kalau selama ini saya melakukan kesalahan, dan membuat kecewa bapak atau Ibu.”

“Jangan Wulan. Kami sudah kehilangan Restu, jangan sampai kami kehilangan kamu juga. Keputusan kamu salah Wulan. Kamu tetap anakku,”

Wulan terdiam. Ia tadi melihat, wajah pak Broto muram, dan menatap dirinya seperti tak suka. Barangkali karena dia tak pernah mengatakan apapun tentang Restu. Maksudnya untuk menenangkan hati mertuanya, tapi yang terjadi adalah bahwa kemudian mereka seperti menyalahkannya. Rasa bersalah itu yang kemudian mendorong Wulan untuk pergi.

“Wulan merasa bersalah. Ternyata langkah Wulan melindungi mas Restu itu salah. Dia semakin terjerumus karena tak ada penghalang.”

Tapi benarkah itu karena Wulan? Bukankah sudah menjadi tekat Restu untuk terus bersama Lisa? Bahwa sekarang dia mabuk-mabukan, kemudian sampai tega melakukan perkosaan, itu karena merasa bahwa Lisa mengkhianatinya.

“Tidak, jangan begitu. Ada kesalahan kamu yang selalu melindungi dia, tapi tidak semuanya adalah kesalahan kamu. Restu sudah terjerumus karena godaan perempuan itu. Entah mengapa Restu menjadi gelap mata dan melakukan hal kejam terhadap Murni.”

“Dia mabuk Bu.”

“Apakah dia sering mabuk-mabukan?”

“Seingat Wulan baru kali itu saya melihat mas Restu mabuk.”

“Pasti ada sebabnya. Mungkin dia frustasi, entah karena apa. Dia juga tega menipu ibu tentang gelang itu. Pasti dia tak tega memintanya kembali, lalu membuat tiruannya dengan imitasi, karena dia tak punya uang banyak lagi.”

“Mungkin karena uang mas Restu tidak berlimpah seperti dulu, lalu perempuan itu meninggalkannya, entahlah. Beberapa hari yang lalu dia meminjam uang lima juta kepada saya.”

“Kamu memberikannya?”

“Kalau tidak pasti dia akan marah.”

“Pasti perempuan itu yang minta, lalu karena dia tak punya lagi, lalu meminjamnya sama kamu.”

“Mungkin Bu.”

Bu Broto mengusap air matanya. Banyak hal yang membuatnya terluka. Kelakuan anak semata wayangnya, dan diusirnya yang anak oleh ayahnya sendiri.

“Tolong kamu jangan pergi, Wulan.”

“Saya bukan lagi menantu ibu, setelah bercerai. Tidak enak kalau saya terus bersama keluarga ini.”

“Kamu bukan menantu aku lagi, tapi kamu menjadi anakku.”

Wulan terdiam, memang tak bisa dipungkiri, kedua mertuanya amat menyayanginya, tapi setelah kejadian ini, Wulan merasa harus pergi.

Bu Broto merangkulnya sambil menangis.

“Jangan pergi Wulan. Kamu anakku.”


Rio heran karena pak Broto hanya sebentar berada di kantor. Baru sekitar dua jam kemudian dia sudah kembali, dan meminta Rio mengantarkannya pulang.

“Kamu tahu apa yang terjadi, Rio?” tanya pak Broto dalam perjalanan.

“Saya tidak tahu apa yang Bapak maksud.”

“Kamu juga tidak tahu apa yang dilakukan Restu selama ini?”

Rio terdiam. Nada suara pak Broto tidak seperti biasanya. Seperti orang yang sedang tertekan, seperti sedang menahan marah. Rio tidak tahu apa yang terjadi, tapi pak Broto seperti menuduhnya bahwa dia tahu sesuatu. Kelakuan Restu? Dia tahu, tapi apa dia harus berterus terang kepada ayahnya?

“Kelakuan anakku, anakku satu-satunya, yang aku harapkan bisa menjadi pewaris perusahaan milikku. Sungguh mengecewakan.”

Pak Broto mendesah, seperti menahan rasa sesak di dadanya.

“Tadi aku menyuruh salah seorang staf untuk mengurus perceraiannya.”

Rio terkejut. Kali ini ia menoleh ke arah samping. Ia melihat tatapan pak Broto yang redup, tanpa cahaya.

“Perceraian … siapa Pak?”

“Perceraian Restu dan Wulan, masa perceraian aku sama istriku?”

Rio menghela napas. Entah napas perihatin, atau napas penuh syukur. Ada sebuah harapan membayang dalam angan-angannya.“Bercerai?” gumam Rio, seperti kepada dirinya sendiri.

“Itu satu-satunya jalan. Dan aku mengusirnya.”

Rio teringat saat pagi tadi melihat Restu dengan penampilan awut-awutan, tubuh basah, berjalan menarik kopor. Ia ingin bertanya tadi, tapi diurungkannya. Baru sekarang dia mendengar kejadian yang sebenarnya.

“Aku sangat sedih, kecewa, frustasi. Tapi itu adalah pelajaran bagi dia. Kesalahannya sangat berat. Berselingkuh, berbohong, mencuri, dan sekarang …. “

Rio menoleh ke arah pak Broto, seperti menunggu apa yang akan diucapkannya. Agak lama pak Broto kemudian diam. Tapi tiba-tiba …

“Memperkosa … “

“Apa?” kata Rio setengah berteriak. Bayangan buruk melintas. Wulan diperkosa oleh suaminya sendiri? Rio mengepalkan tangannya geram.

“Murni gadis tak berdosa.”

“Apa?” Rio harus meyakinkan apa yang didengarnya, karena ia berada dalam suasana geram dan marah, sehingga tak yakin apa yang didengarnya. Benarkah Murni yang diperkosa?

“Pulang dalam keadaan mabuk, lalu memperkosa pembantu Wulan.”

“Ya Tuhan,” keluh Rio. Tak mengira Restu melakukannya.

“Biarkan dia pergi, dan menerima semua ini sebagai pelajaran. Ia pergi tak membawa apapun, kecuali pakaian yang dibawanya dalam kopor.”

“Saya ikut prihatin …”

“Saya menyesali sikap Wulan. Dia tahu kelakuan suaminya, tapi tidak pernah melaporkannya pada orang tuanya.”

“Barangkali … bu Wulan hanya ingin menjaga perasaan Bapak, sama ibu.”

“Barangkali itu alasannya.”

Tiba-tiba ponsel pak Broto berdering. Dari istrinya.

“Ya Bu. Aku akan langsung pulang. Ibu masih di situ?”

“Bapak harus segera ke rumah Wulan.”

“Ada apa lagi? Biarkan semuanya menjadi tenang dulu. Aku juga ingin menenangkan diri.”

“Wulan mau pergi.”

“Wulan mau pergi?” pekik pak Broto.

Rio-pun terkejut. Spontan dia menoleh ke arah pak Broto.

“Kalau Wulan pergi, akan pergi ke mana dia? Harusnya aku diberi tahu,” kata batin Rio yang tiba-tiba berdebar tak karuan.

“Hentikan, jangan boleh dia pergi.”

“Cepatlah Bapak datang, aku tak bisa mencegahnya.”

Pak Broto menutup ponselnya.

“Rio, ke rumah Wulan,” perintahnya.

Tanpa disuruh dua kali Rio memutar haluan, menuju ke rumah Wulan. Dia juga ingin tahu apa yang terjadi, dan apa sebenarnya maksud Wulan.

Keduanya terdiam beberapa saat lamanya. Sampai kemudian sampai dihalaman rumah Wulan, dan Rio menghentikannya.

Pak Broto bergegas memasuki rumah. Dilihatnya sang istri duduk di sofa sambil menyandarkan tubuhnya. Ia bangkit ketika mendengar langkah suaminya.

“Pak …”

“Ada apa?” tanya pak Broto sambil duduk.

“Wulan memaksa mau pergi aku sudah mencegahnya, tampaknya dia nekat. Tolong Bapak membujuknya.

“Mana dia?”

“Di kamarnya.”

“Wulaan,” teriak pak Broto agak keras.

Wulan keluar dari kamar. Pak Broto menunjuk ke arah sofa, memberi isyarat agar Wulan duduk di depannya.
Wulan duduk, menundukkan wajahnya.

“Kamu mau ke mana?”

“Biarkan saya pergi ,” lirihnya.

“Pergi ke mana? Pulang ke rumah kamu? Bukankah rumah peninggalan orang tua kamu sudah kamu jual? Saya sedang mengurus perceraian kamu dan Restu. Ada orang yang akan menyelesaikannya.”

“Kalau saya bukan lagi menantu keluarga ini, maka sebaiknya saya pergi.”

“Siapa mengatakan seperti itu?”

Wulan menundukkan wajahnya. Ia merasa pak Broto menyalahkannya karena menutupi perbuatan Restu, sehingga kelakuan Restu semakin menjadi-jadi.

“Saya merasa bersalah, mohon maaf.”

“Untuk apa lagi itu?”

“Saya telah menutupi semuanya, tidak mengatakannya kepada Bapak atau ibu, itu karena_”

“Sudah, aku tahu apa yang akan kamu katakan.”

Wulan mengusap air matanya.

“Sebentar lagi kamu bukan menantu keluarga Broto, tapi kamu akan menjadi anak kami.”

Wulan mengangkat wajahnya.

“Sejak kalian menikah, kami tidak menganggap kamu sebagai menantu. Kamu adalah anak kami. Kamu kagum atas budi baik kamu, sikap kamu, ketulusan hati kamu. Itu sebabnya kami menganggapmu bukan sebagai menantu, tapi sebagai anak sendiri.”

“Saya merasa bersalah.”

“Tidak, apa kamu merasa bahwa aku marah sama kamu? Aku mengerti kamu melakukannya karena apa, dan aku menghargainya. Jangan merasa bersalah. Anakku sendiri yang karena perempuan penggoda itu lalu lupa segalanya. Melakukan hal buruk, dan terkutuk,” pak Broto merasa sedih. Wajahnya muram. Wulan menatapnya dan merasa iba. Ia tahu pak Broto tulus mengatakannya. Ia tahu keluarga itu menyayangi dirinya.

“Jangan pergi,” kata pak Broto sendu.

Wulan merosot turun dari tempat duduknya, merangkul kaki pak Broto dan tersedu di sana.

“Sudah, berdirilah.”

Pak Broto berusaha mengangkat tubuh Wulan dan menyuruhnya kembali duduk.

Tiba-tiba Murni muncul dan bersimpuh di dekat Wulan.

“Kalau bu Wulan pergi, saya mau ikut bersamanya,” katanya dengan suara gemetar.

“Tidak. Siapa yang mau pergi?” kata pak Broto.

“Wulan dan kamu akan tetap di sini. Aku minta maaf atas kelakuan Restu yang tak beradab. Apakah ada tuntutan kamu untuk aku menebusnya?” kata pak Broto.

Murni menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Kamu mau uang? Katakan berapa.”

“Tidak.”

“Apa yang bisa aku lakukan untuk menebus kesalahan anakku?”

“Saya minta, jangan sampai simbok mengetahui peristiwa ini. Saya tak mau simbok ikut bersedih. Biar saya menanggungnya sendiri.”

“Baiklah. Simbokmu tak akan mengetahuinya. Ada lagi?”

Murni kembali menggeleng.

“Baiklah, kamu akan tetap menjadi keluarga kami, tinggallah di sini bersama Wulan, karena ini adalah rumahnya.”

Wulan mengangkat wajahnya.

“Tidak usah begitu Pak, ini rumah Bapak dan Ibu.”

“Nanti aku juga akan mengurus agar rumah ini menjadi atas nama kamu. Diam dan jangan membantah.”


Hari-hari terus berjalan, Wulan mengurungkan niatnya untuk pergi. Ia tak sampai hati menolak permintaan keluarga Broto agar dia tetap tinggal. Rasa bersalah telah diendapkannya, karena pak Broto tidak lagi menganggap Wulan bersalah.

Pagi hari itu ia melihat Rio duduk di tangga teras, sambil memegang gitar, dan memainkannya dengan diiringi suara merdunya.

“I can’t stop loving you …”

“Rio,” panggil Wulan sambil duduk di teras.

“Selamat pagi bidadari …” ucapnya lembut.

“Duduklah di sini.” Kata Wulan sambil meminta agar Rio duduk di kursi.

Rio berdiri, menuruti permintaan Wulan, masih dengan merangkul gitarnya. Wulan berdebar, Rio menatapnya dengan pandangan tajam, serasa menembus ulu hatinya. Wulan mengalihkan tatapannya ke arah lain.

“Kenapa?”

“Semunya sudah selesai.”

“Apa maksudmu? Kamu benar-benar ingin memecatku?”

“Rio, kamu harus menghentikannya. Kamu bukan sopir. Kamu pengusaha yang sukses. Kamu punya nama besar diantara para pebisnis di kota ini.”

“Pak Broto masih minta agar aku menjadi sopir pribadimu.”

“Hentikan Rio,” Wulan memohon.

“Aku senang bisa menatap bidadariku setiap hari.”

“Tidak dengan cara ini.”

“Aku suka, aku suka bisa mengucapkan selamat pagi untuk bidadariku.”

“Rio, aku masih istri orang.”

“Hampir menjadi mantan. Aku bahagia akhirnya kamu terlepas dari dia.”

Lalu tanpa mempedulikan Wulan lagi, Rio melanjutkan memetik gitarnya. Wulan menatapnya lembut. Bukankah bahagia rasanya saat berada di dekat orang yang dicintainya? Tapi Wulan harus menahan diri. Ia tak ingin keluarga Broto mengetahui hubungannya dengan Rio. Ia ingin agar Rio segera pergi dan membuka jati dirinya, tapi entah mengapa, Rio masih menyukai pekerjaannya.

“Baiklah, aku akan ke kantor sekarang, kalau kamu ingin aku mengantarkan kamu, hubungi aku,” akhirnya kata Rio.

“Baiklah. Lebih baik kamu menekuni pekerjaan kamu yang sesungguhnya, aku merasa tidak enak kalau begini terus.

“Kamu tidak suka, aku berada di dekat kamu selamanya?”

“Akan ada saatnya, tapi bukan sekarang.”

Rio mengangguk, kemudian berdiri.

“Ada sesuatu yang harus aku kerjakan. Nanti aku kembali.”


Pak Broto sedang menikmati secangkir coklat susu yang disediakan yu Sarni. Bu Broto menemaninya, sambil melihat acara televisi.

“Bu, makan pagi sudah siap,” kata yu Sarni dari arah belakang.

“Oh iya Ni, sebentar, bapak baru melihat berita.”

“Ada pengusaha yang sangat dermawan. Dia sering membagi-bagikan sembako untuk orang miskin. Itu, mereka sedang di sebuah panti asuhan,” kata pak Broto.

“Bagus sekali kalau Bapak juga melakukannya.”

“Aku sudah sering melakukannya, tapi biasanya hanya berbentuk uang saja.”

“Pak, lihat, itu wajahnya persis seperti Rio bukan?”

“Yang mana?”

“Yang sedang berbincang dengan pak Walikota. Aduh, nggak kelihatan lagi. Bapak sih, tidak memperhatikan. Seperti Rio deh. Persis, bedanya dia memakai jas, kaca mata hitam, tampak gagah sekali. Nah, itu Pak … kelihatan lagi.”

Pak Broto juga heran. Wajah seseorang yang sedang bersalaman dengan pak Walikota, persis dengan wajah Rio.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 20

SELAMAT PAGI BIDADARI (18)

Karya Tien Kumalasari

Wulan mendekati Murni yang masih menangis terisak-isak. Baju berantakan, lalu ada noda darah berbecak di sofa. Gemetar Wulan saat berjongkok di depan Murni.

Bayangan mengerikan segera terlintas. Ini ulah siapa? Tak ada orang lain di rumah itu. Wulan bergegas ke kamar Restu, melihat Restu tergolek di ranjang. Bau alkohol memenuhi ruangan di kamar itu.

“Apa yang kamu lakukan?” hardik Wulan kasar. Ia begitu marah.

“Uuuh … per .. gi … pergiii …”

“Kamu bukan manusia Restu! Kamu bi**ng!!” kata tak senonoh itu keluar karena amarah yang tak terbendung.

“Iblis! Jahanam!! Aku benci kamu !! Aku benci kamuuu!! Setan iblis!!” teriak Wulan sambil menggebrak pintu berkali-kali.

“Kamu … diaaam … penghianat … !”

Wulan juga tak bisa menahan tangis. Ia kembali menemui Murni yang masih bersimpuh di lantai.

“Murni,” katanya lembut, sambil membetulkan baju Murni yang berantakan, kemudian menariknya duduk di sofa.

“Jahanam itu memperkosa kamu?”

Murni merangkul Wulan dan kembali terguguk di pundak Wulan. Sedih dan marah bergumpal di dada Wulan. Ini adalah puncak dari semua kejahatan yang dilakukan suaminya.

“Aku tak tahan lagi. Aku akan melaporkannya pada orang tuanya,” geram Wulan.

“Jangan Bu …” isak Murni.

“Ini kejahatan yang tidak bisa dibiarkan, Murni.”

“Jangan sampai simbok tahu, saya tidak ingin simbok menjadi sedih.”

Wulan mengelus punggung Murni.

“Baiklah, nanti kami akan mengaturnya supaya simbok tidak tahu. Tapi kejahatan ini tidak bisa dibiarkan. Aku sudah muak dengan kelakuannya.”

“Maaf Bu.”

“Bagaimana dia bisa melakukannya?”

“Saya … membukakan pintu … ketika mendengar gedoran dipintu depan..”

“Bukankah dia selalu membawa kunci rumah?”

“Entahlah, saya membukakannya … lalu tiba-tiba dia menubruk saya, memaksa saya …” lalu Murni kembali menangis.

Wulan tak perlu banyak bertanya. Dia sudah tahu apa yang terjadi selanjutnya.

“Saya tak berdaya, ingin menjerit, tap..pi … mulut saya… dibungkam .. ddan …”

“Baiklah, sudah, tidak usah cerita, aku sudah tahu, sekarang kamu mandi ya bersihkan tubuh kamu, dan ganti pakaian kamu. Buang saja pakaian yang kamu pakai ini, sudah robek di sana-sini, dan kotor oleh tangan iblis. Aku tahu ini berat. Aku prihatin atas kejadian ini, aku akan selalu mendukung kamu. Kalau perlu akan aku laporkan dia ke polisi.”

“Jangan Bu, saya mohon … simbok pasti akan tahu.”

Wulan menghela napas panjang. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan sekarang. Tapi kelakuan Restu tak bisa dibiarkan.

“Kembalilah ke kamar kamu, aku akan membersihkan semua ini, Murni.”

Terhuyung Murni melangkah, sambil menangis tak henti-hentinya. Wulan menuntunnya dengan merangkul pundaknya. Air matanya-pun bercucuran. Miris mendengar kisah Murni yang sangat menyakitkan. Akhirnya Wulan tak sampai hati meninggalkan Murni. Ia menunggu saat Murni membersihkan diri, kemudian mengenakan baju yang lebih bersih.

“Tidurlah Murni, malam sudah larut, bahkan hampir pagi,” katanya lembut, sambil menyeka air matanya sendiri. Tak tega rasanya melihat gadis baik yang selalu menemaninya itu mendapat perlakuan yang sangat biadab dari majikan yang mestinya patut dihormati.


Hari hampir pagi, tapi Wulan melarang Murni untuk keluar dari kamar. Semalaman dia menangis, dan Wulan selalu memeluknya.

Wulan bangkit ketika mendengar langkah di luar pintu.

Ketika keluar, dilihatnya Restu melangkah ke arah dapur dengan terhuyung-huyung.

“Mau apa kamu?” hardik Wulan.

“Minum, kepalaku pusing sekali.”

“Laki-laki b**at!”

“Apa kamu?” tanya Restu sempoyongan dan berusaha menampar Wulan.

Tapi Wulan berhasil menghindar, dan Restu jatuh tertelungkup. Wulan membiarkannya. Hari masih pagi, tapi Wulan segera menelpon ibu mertuanya.

“Ada apa Wulan? Pagi sekali kamu menelpon ibu?”

“Ibu, maafkan Wulan. Ibu sudah bangun?”

“Tentu saja sudah, ibu bahkan sudah mandi.”

“Maukah Ibu datang kemari?”

“Nanti ibu akan ke rumah kamu. Kemarin ibu tergesa-gesa, jadi tidak sempat bicara.”

“Wulan mohon, sekarang Bu,” kata Wulan memohon.

“Sekarang?” tanya bu Broto heran.

“Sekarang Bu, ada hal penting yang akan Wulan katakan sama ibu, tapi tidak di rumah sini.”

“Tampaknya serius sekali Wulan?”

“Sangat serius Bu. Saya tunggu.”

Wulan menutup pembicaraan itu. Lalu menyimpan kembali ponselnya. Sementara itu Restu berusaha bangkit. Badannya terasa lemah. Ketika bangkit, ia merasa alam sekitarnya berputar-putar.

“Minum … tolong ambilkan minum …” rintihnya.

Wulan pergi ke belakang, mengambil segayung air, kemudian di siramkan ke tubuh Restu, membuatnya gelagapan.

“Apa-apaan kamu?”

:Manusia b**at seperti kamu tidak cukup diguyur air. Harusnya disiram bensin lalu disulut. Mengerti?”

Wulan terus menerus bicara kasar. Kemarahannya sungguh tak terkendali.

Restu bangkit, lalu menatap istrinya marah.

“Kurangajar kamu!”

Guyuran air itu membuat kesadarannya sedikit pulih. Ia merasa Wulan sangat kasar, tidak seperti biasanya.

“Kamu lebih dari kurangajar. Kamu biadab, seperti bukan manusia.”

“Tutup mulut kamu!” Restu berteriak.

Wulan masih memegang gayung, ia ke belakang lalu ketika kembali, gayung itu sudah penuh air. Dengan gemas Wulan menyiramkannya lagi ke kepala Restu.

Restu marah bukan alang kepalang. Ia mendekati Wulan dan menjambak rambutnya. Wulan menjerit, lalu Murni tiba-tiba keluar. Ia membantu Wulan mencakar wajah Restu yang masih memegangi rambut Wulan.

Restu melepaskan pegangan di rambut istrinya, menyapu wajahnya yang berdarah.

“Begundal busuk. Kamu berani ?”

Pada saat itu pak Broto dan bu Broto muncul. Sangat terkejut melihat suasana yang kacau balau. Air menggenangi sebagian ruang tengah, dan melihat Restu wajahnya berdarah. Lalu Wulan yang rambutnya acak-acakan.

“Apa yang terjadi?” teriak pak Broto?

Restu sangat terkejut melihat ayah dan ibunya datang.

“Apa yang terjadi, sehingga kamu meminta bapak sama ibu datang, Wulan?” teriak Restu.

Wulan menangis dengan rambut awut-awutan, sementara Murni menyandarkan tubuhnya pada tembok ruangan.

“Wulan, ada apa?” tanya bu Broto lembut.

“Tanyakan pada mas Restu Bu, tanyakan apa yang dilakukannya pada Murni, semalam.”

“Apa yang dilakukannya?” teriak pak Broto.

“Dia memperkosa Murni!” pekik Wulan menahan emosi.

Pak Broto dan bu Broto terkejut.

“Restu !!” hardik pak Broto sambil menatap Restu penuh amarah.

Restu menundukkan kepalanya.

“Aku tidak … aku tidak … “ tergagap Restu menjawabnya, karena sesungguhnya dia belum sepenuhnya sadar.

“Lihatlah Pak, lihat ada darah di sofa itu. Disitu dia memperkosa Murni.”

Murni kembali menangis. Menutupi wajahnya dengan kedua tangan.

“Apa kamu bukan anakku? Kamu kerasukan iblis? Atau kamu sendiri iblis itu?” teriak pak Broto sambil menampar wajah Restu sekeras-kerasnya.

Restu menutupi wajahnya.

“Tapi … tapi … “

“Tengah malam dia datang sambil mabuk. Murni membukakan pintu, lalu diperkosa oleh dia,” Wulan mengumbar kemarahannya. Tak tahan, lalu semua ditumpahkannya di pagi itu juga.

“Dia berbohong! Dis banyak dusta! Dia berhubungan dengan wanita itu. Mencuri gelang lalu diberikan padanya. Lalu mengembalikannya pada ibu. Tapi yang dikebalikan itu barang palsu. Hanya imitasi!” Wulan berteriak tak mau berhenti.

Pak Broto semakin tersulut amarahnya.

“Jadi itu kelakuan kamu?” teriaknya sambil menjambak rambut anaknya.

“Ampun Pak … saya mohon ampuun … Saya tidak sadar melakukannya …”

“Itu karena kamu mabuk! Kamu manusia tersesat. Dosamu setinggi langit, sedalam lautan!”

“Ampun Pak, saya akan bertanggung jawab, saya akan menikahinya,” katanya gemetar.

“Aku tidak mauuu!” tiba-tiba Murni berteriak.

Wulan mendekatinya, kemudian berusaha menenangkannya.

“Pergi kamu dari sini !” hardik pak Broto.

“Ampun Pak ..”

“Pergiiii !!”

“Pak, tenangkan hati Pak, tenang, jangan terbawa amarah,” kata bu Broto pilu. Sebagai seorang ibu tentu saja dia tak sampai hati melihat anaknya disakiti.

“Biarkan saja. Pergi !! Kamu tidak mendengar kataku? Pergi !! Kamu bukan anakku lagi!”

“Bapaaak,” rintih Restu sambil bersimpuh dihadapan ayahnya, memegangi kedua kakinya memelas.

“Jangan panggil aku bapak. Aku bukan bapakmu!”

“Ampun Bapakkk …” Restu benar-benar menangis.

“Wulan, ambil semua pakaian Restu, biar dibawanya. Setidaknya aku masih merasa iba melihat kamu tak memiliki pakaian.”

Wulan melangkah ke kamar Restu. Dia memasukkan semua pakaian dan semua barang Restu ke dalam kopor, lalu membawanya keluar.

“Itu barang-barang Restu?”

“Dia tidur di situ, tidak pernah tidur di kamar saya.”

Pak Broto bertambah marah.

“Jadi begitu? Dan kamu Wulan, selalu menutupinya?”

“Maaf Bapak,” jawab Wulan sambil menangis.

“Restu! Itu barang-barang kamu! Ambil dan segera pergi !”

“Bapak … biarkan dia memperbaiki kesalahannya,” tangis bu Broto.

“Dia akan memperbaikinya kalau dia sudah sadar apa artinya menderita. Segera pergi, bawa kopor kamu dan besok akan aku urus perceraian kamu!”

“Bapak …”

Pak Broto duduk di sofa, tangannya bersedakap, tak peduli pada Restu yang berdiri dengan lunglai, lalu keluar sambil menarik kopornya.

Bu Broto menubruk suaminya dengan tangis yang mengharu-biru.

“Sudahlah Bu, itu pelajaran untuk dia. Kesalahannya sudah bertumpuk-tumpuk.”

“Tapi dia anak kita Pak.”

“Kalau dia bisa menyadari kesalahannya, maka dia akan kembali menjadi orang baik. Biarkan dia pergi, dan menyadari bahwa hidup bukan hanya bersenang-senang. Ada saatnya manusia terpuruk. Sudahlah, jangan menangis Bu.” Kata pak Broto lembut.


Di luar, Restu berpapasan dengan Rio yang datang dengan sepeda motor bututnya. Dengan heran dia menghentikan kendaraannya. Mulutnya ingin menyapa tapi Restu terus saja melangkah. Rio heran. Restu pergi dengan berjalan kaki, menyeret kopor dan badannya basah, rambut awut-awutan.

“Apa yang terjadi?”

Rio kembali menjalankan motornya, memasuki halaman dan memarkirnya di bawah pokon. Ia melihat mobil pak Broto. Mobil Restu juga terparkir di sana.

Rio melangkah perlahan mendekati rumah, lalu kembali mundur ketika mendengar suara tangis bu Broto.

“Ya Tuhan, apa yang terjadi? Apakah pak Broto sudah mengetahui kelakuan Restu lalu mengusirnya pergi?” gumam Rio sambil memasukkan motornya ke garasi. Ia akan mengeluarkan mobil Wulan, tapi diurungkannya.

Akhirnya karena tak tahu apa yang harus dilakukannya, Rio hanya duduk di bangku, yang terletak di bawah pohon mangga.

Tapi rupanya kehadiran Rio diketahui oleh pak Broto. Pak Broto segera keluar, dan memanggil Rio. Bukan untuk menyuruhnya menyanyi, tentu saja, karena Rio menatap wajah pak Broto yang gelap bagai tertutup mendung.

“Ya Pak,” kata Rio pelan.

“Antarkan aku ke kantor.”

“Sekarang Pak? Ini masih pagi.”

“Tidak apa-apa, ada yang harus aku lakukan.”

“Baiklah.”

Pak Broto masuk ke dalam sebentar, kemudian keluar lagi, lalu mengajak Rio pergi.


Wulan membersihkan rumah, dan noda darah di soja, dibantu Murni dengan mata sembab karena tak berhenti menangis.

Dia juga membuatkan minum untuk bu Broto dan Wulan, dua cangkir coklat susu seperti biasanya.

Ketika meletakkannya di meja, bu Broto menyentuh pundaknya.

“Maafkan Restu, Murni.”

Murni mengangguk lemas.

“Aku akan melakukan apa saja, untuk menebus kesalahan Restu.”

“Saya mohon, jangan sampai simbok tahu tentang kejadian ini Bu, saya mohon.”

“Mengapa Murni?”

“Saya tidak ingin simbok sedih,” Murni kembali terisak.

“Ya sudah, ya sudah … aku tidak akan mengatakannya. Selanjutnya kamu harus segera bisa menenangkan diri kamu, kami semua bersama kamu.”

Murni mengangguk, kemudian berlalu.

“Kamu istirahat saja dulu Murni. Tidak usah memasak untuk hari ini. Kita memesan saja untuk makan pagi,” kata Wulan.

Murni mengangguk. Rasanya dia memang tak mampu melakukan apapun. Dia memasuki kamar kemudian kembali meratapi nasibnya.

“Wulan, sudah lama hal ini berlangsung, mengapa kamu tidak mau berkeluh pada ibu? Kami mengira rumah tangga kamu baik-baik saja.”

“Maaf Bu, saya juga hanya ingin menjaga perasaan ibu dan Bapak. Saya rela menderita demi menyenangkan bapak sama ibu.”

“Wulan, tapi kamu salah. Kamu akhirnya tidak bisa mengendalikan dia, membiarkan dia terperosok semakin jauh,” kata bu Broto seakan menyalahkan Wulan.

“Tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa Bu, dia tidak pernah mau mendengarkan kata Wulan. Itu sudah sejak kami baru saja menikah.”

“Ya Tuhan.”

“Sejak awal pernikahan dia sudah bilang tidak mencintai Wulan, dia mencintai gadis lain. Malah dia menuduh Wulan, bahwa Wulan mau menjadi menantu ibu, karena Wulan gila harta, dan sebagainya.”

“Dan kamu hanya diam?”

“Kalau dilawan juga pasti akan ramai. Karenanya Wulan memilih diam.”

“Tapi aku melihat kalian seperti baik-baik saja.”

“Dia meminta agar kami berpura-pura.”

“Ya Tuhan, pasti kamu sangat menderita.”

“Tidak Bu, demi kebahagiaan bapak sama Ibu yang menyayangi saya. Saya merasa baik-baik saja. Hanya saja, setelah kelakuan dia semalam, Saya tidak bisa menahan kemarahan saya. Saya muntahkan semuanya, saya maki dia, dan saya melaporkan semuanya pada bapak sama Ibu. Sekarang, karena semua sudah terbuka, saya mau pamit pada bapak dan Ibu.”

“Apa?”

“Ijinkan saya pergi Bu.”


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 19