Karya Tien Kumalasari
Yu Sarni tertegun.
“Kok jauh banget Mur?”
“Memangnya kenapa Mbok? Kalau kangen, aku akan datang menjenguk Simbok di sini.”
“Yu, biarlah Murni bekerja di tempat jauh. Itu juga masih perusahaan milik Bapak kok. Dan ada mes untuk karyawan juga di sana,” kata Wulan yang kemudian mendekati mereka.
“Iya sih,” kata yu Sarni kelihatan sedih.
“Simbok jangan sedih, aku akan sering menelpon Simbok. Setiap hari juga boleh,” kata Murni menghibur, walau hatinya juga terasa bagai teriris.
“Bener ya Mur, sering menelpon Simbok.”
“Iya Mbok.”
“Biar di kehidupan Murni ada peningkatan Yu, kan Murni juga sekolah SMA sampai lulus. Nanti kalau Murni masih ingin melanjutkan sekolah, aku yang akan membiayainya,” kata Wulan lembut.
“Baiklah bu Wulan, saya percaya sama bu Wulan, Saya hanya menitipkan Murni kepada bu Wulan. Apakah Bu Wulan juga akan pindah ke sana?”
“Tidak Yu, aku membantu bapak di sini. Tapi Murni tidak akan sendiri, banyak temannya yang datang dari kota ini. Murni pasti senang kok.”
“Baiklah Bu, saya percaya Murni akan baik-baik saja.”
Simbok merangkul Murni erat dan lama, merasa berat untuk berpisah terlalu jauh. Tapi janji Wulan untuk menyekolahkan Murni sangat membuatnya sedikit terhibur.
Sebenarnya dengan menolong Murni itu, Wulan merasa sangat berdosa. Hanya untuk mengelabui yu Sarni, ia telah berbohong dengan mengatakan Murni bekerja di Jakarta. Padahal hanya dikota itu juga, dan masih termasuk perusahaan milik Rio, cuma tempatnya agak di pinggiran kota. Dan mengapa mengatakan pindah ke Jakarta, supaya yu Sarni tidak menuntut agar sering-sering pulang. Agak ribet, demi menjaga perasaan Murni, tapi Wulan rela melakukannya. Entah apa lagi nanti yang harus dilakukannya untuk tetap menutupi rahasia itu.
Pak Broto yang merasa bahwa semua itu karena perbuatan anaknya, juga selalu mendukung, bahkan membiayai setiap Murni harus memeriksakan kandungan.
Rio bisa mengerti dan dengan senang hati bersedia membantu. Murni dipekerjakan di kantor Rio, sebagai pembantu administrasi. Beruntung saat hamil Murni tidak terlalu rewel. Rasa mual dan pusing bisa diatasi dengan obat-obat yang diberikan dokter, dan dia bisa bekerja dengan baik.
Hari terus berjalan, dan Wulan juga sudah mulai bekerja mendampingi pak Broto di kantornya. Tak ada waktu luang saat dia tekun mempelajari alur sebuah usaha yang diajarkan oleh ayah angkatnya. Tapi setiap kali Murni harus periksa ke dokter, dengan suka hati Wulan menjemput dan mengantarkannya.
“Bagaimana perasaan kamu Murni?”
“Baik, Bu.”
“Kamu senang melakukannya?”
“Murni mulai terbiasa, dan ketika merasa perut Murni bergerak-gerak, tiba-tiba timbul rasa sayang di hati Murni,” kata Murni sambil tersenyum.
Wulan merasa senang mendapat jawaban Murni.
“Hati-hati ya Murni, jaga anakku dengan baik lho ya,” pesan Wulan dengan wajah berseri.
“Baiklah, akan saya jaga putra ibu dengan baik.”
“Putra? Kamu sudah tahu kalau anak itu laki-laki?”
“Kemarin saya periksa sendiri ke dokter, nggak enak merepotkan bu Wulan terus. Lalu dokter mengatakan bahwa bayi yang saya kandung adalah laki-laki.”
“Ya Tuhan, senengnya aku Murni,” Wulan mengelus perut Murni dengan rasa sayang.
Beberapa bulan berlalu, Wulan juga sudah resmi bercerai dengan Restu. Rio segera menemui pak Broto, bermaksud melamar Wulan.
Pak Broto menyambut baik keinginan Rio.
Rencana pernikahan segera di siapkan dengan sangat meriah. Tapi Wulan memprotesnya.
“Bapak, saya ingin menikah dengan cara yang sederhana saja, bukan dengan pesta yang sangat meriah,” kata Wulan.
“Tidak Wulan, kamu anakku, dan Rio bukan orang sembarangan. Semua rekan bisnis aku akan datang, semua kerabat akan menghadirinya. Ini kebahagiaan aku dan ibumu.”
“Bukankah dari pada menghamburkan uang untuk sebuah pesta, lebih baik uang itu dipergunakan untuk bersedekah bagi kaum duafa dan anak yatim piatu?”
Pak Broto terdiam. Apa yang dikatakan Wulan ada benarnya, tapi dia juga harus mengingat Rio. Apakah Rio setuju dengan acara pernikahan sederhana saja?
“Aku akan bicara sama Rio. Aku tak mau dia kecewa dengan pernikahan sederhana. Dia itu seorang pengusaha yang bukan main.”
“Bapak, memberi kesenangan kepada orang lain, membahagiakan orang lain, adalah juga sebuah pesta, setidaknya dalam hati kita.”
“Baiklah, nanti aku bicara dulu sama Rio, barangkali dia punya rencana lain.”
Tapi ketika mereka bicara dengan Rio, ternyata Rio juga sangat setuju.
“Bapak, kami akan merayakan pesta pernikahan diantara ribuan anak yatim piatu dan kaum duafa, dengan mengajak mereka makan enak, dan memberikan mereka sebagian dari rejeki kita. Bisa berupa sembako, atau uang, atau apa saja.”
Pak Broto menggeleng-gelengkan kepalanya. Sejak lama dia tahu bahwa Rio adalah pengusaha yang berjiwa sosial, senang berbagi, tidak menikmati kekayaan untuk diri sendiri. Oleh karena itu kemudian dia sepakat. Dia bukan hanya mengundang beberapa rekan bisnis dan kerabat, tapi juga sekitar dua ribuan anak yatim dan kaum duafa nantinya.
Supri mendatangi bengkel baru yang dipimpin oleh Restu. Baru beberapa bulan, tapi sudah kelihatan maju. Pada montir yang menjadi bawahan Restu adalah mintor pilihan, Rio sendiri yang memilihnya, tapi tanpa sepengetahuan Restu. Restu bahkan tak tahu siapa sebenarnya orang yang mempercayakan bengkel itu untuknya, yang memberikan enam puluh persen untuk dirinya dari penghasilan bersih, dan empat puluh persennya masuk ke bank menjadi kekayaan bengkel. Ia, hanya mengenalnya sebagai pak Bram, yang pernah dipasangkannya ban serep mobilnya saat kempes di jalan.
“Bagaimana? Kamu senang?” tanya Supri.
“Lumayan senang, aku bisa melakukan sesuatu dengan baik. Semoga pemilik bengkel ini tidak kecewa,” tukas Restu.
“Dia sudah mempercayakannya sama kamu, jadi kamu tenang saja.”
“Kenapa dia tidak pernah datang kemari?”
“Dia sangat sibuk. Mungkin tidak sempat melihat-lihat usaha bengkel ini.”
“Bagaimana mungkin, seorang pengusaha tidak peduli pada usahanya?”
“Dia bilang, kekayaan bengkel ini hanya akan dipergunakannya untuk kegiatan sosial.”
“Maksudnya … dibagikan ke orang, begitu?”
“Ya, dia seorang yang berjiwa sosial. Nanti pada suatu waktu, uang yang kamu simpan akan dipergunakannya untuk membantu orang-orang yang membutuhkan.”
“Alangkah mulia hati orang itu.”
“Jaman sekarang jarang orang yang memiliki hati seperti pak Bram.”
“Lalu bengkel kamu sendiri bagaimana?”
“Lumayan baik. Pak Bram juga menyumbang alat-alat kita dulu yang sudah tidak layak pakai, menggantinya dengan yang baru.”
“Syukurlah. Rupanya bukan hanya aku yang kecipratan keberuntungan, tapi juga bengkel kamu.”
“Benar. Dan aku juga senang, kamu sudah bisa hidup tenang sekarang.”
“Berkat kamu Pri. Kalau dulu tidak ketemu kamu, entah bagaimana hidup aku. Barangkali aku sudah bunuh diri karena putus asa.”
“Kamu itu ngomong apa? Manusia itu tidak berhak menentukan mati hidupnya sendiri. Bunuh diri itu dosa. Ketika kita mendapatkan cobaan, maka yang harus kita lakukan hanyalah bersabar dan selalu bersyukur. Namanya orang hidup itu tidak bisa selalu berjalan dengan mulus. Banyak batu sandungan yang harus dilalui. Tapi aku bersyukur kamu bisa melewatinya.
“Iya, aku sekarang bisa mengerti tentang hidup, berkat perjalanan hidupku sendiri yang berliku.”
“Kamu punya niat untuk kembali kepada orang tua kamu?”
Restu menghela napas. Sering terlintas dalam pikirannya untuk kembali dan meminta maaf, tapi Restu takut orang tuanya tidak mau memaafkannya.
“Entahlah.”
“Atau kembali kepada istri kamu?”
“Kami sudah bercerai. Ayahku sendiri yang menceraikan kami.”
“Kalau kamu mau, semua bisa dijalani lagi. Kamu bilang istri kamu orang baik.”
“Wulan bukan saja cantik, tapi juga wanita baik. Aku menyesal telah menyia-nyiakan nya, menghianatinya, demi wanita yang hanya ingin mengeruk uangku.”
“Bagus kalau kamu menyesalinya. Suatu hari nanti kamu bisa datang menemuinya, membicarakan banyak hal, meminta maaf, dan bicara tentang keinginanmu untuk kembali sama dia.”
“Saat aku kalut dan hampir putus asa, aku bertemu dia, dan meminta agar aku boleh kembali menjadi suaminya, tapi dia menolak. Dia pergi dan memberi aku uang dua juta.”
“Aku ingat, kamu pernah menceritakannya. Tapi waktu itu kan sudah lama berlalu. Barangkali hatinya masih terluka. Dan proses perceraian kalian sedang berjalan.”
“Entahlah ….”
“Kamu sudah menemukan jalan hidup kamu, ada baiknya kamu memikirkannya lagi. Kembali kepada istri kamu, memohon maaf kepada kedua orang tua kamu,” kata Supri tulus.
“Baiklah, akan aku pikirkan,” kata Restu sambil matanya menerawang jauh. Entah apa yang dipikirkannya.
Sore itu sebelum pulang ke rumah, Wulan menyempatkan diri mampir ke rumah ayah angkatnya. Ia menemui yu Sarni yang sedang membuat minuman hangat, di dapur.
“Bu Wulan mau minum di ruang tengah kan? Saya bawa minumannya ke sana.”
“Tidak Yu, aku minum di sini saja. Bawa saja ke depan, yang untuk bapak sama ibu,” kata Wulan sambil duduk di kursi dapur.
“Baiklah.”
Yu Sarni meletakkan minuman untuk Wulan di meja dapur, lalu membawa yang lainnya ke depan.
“Kasihan yu Sarni. Dia tidak tahu apa yang terjadi pada anak gadisnya. Tapi aku juga tak kuasa untuk mengatakannya.”
“Kok belum diminum Bu?”
“Iya Yu, masih panas. Duduklah di sini Yu, kamu kan juga buat minum untuk kamu sendiri?”
“Iya.”
“Teh buatan yu Sarni selalu enak.”
“Bu Wulan bisa saja. Oh ya Bu, besok kalau Bu Wulan menikah, apakah Murni juga akan pulang?”
Wulan tertegun. Untuk sesaat tak mampu menjawabnya. Perut Murni sudah semakin besar, pasti yu Sarni akan melihatnya seandainya Murni pulang.
“Pulang kan Bu, masa sih, majikannya menikah tidak mau pulang?”
“Begini Yu, pekerjaan Murni itu kan banyak, jadi tidak selalu bisa pergi setiap saat. Nanti kalau dia bisa meninggalkan pekerjaannya, ya pasti pulang, tapi kalau tidak, yu Sarni harus bersabar dulu ya?”
“Oh, begitu ya Bu? Padahal yu Sarni sudah kangen nih.”
“Nanti kalau Murni sudah bekerja setahun, barangkali dia bebas kalau setiap saat mau pulang menemui Yu Sarni.”
“Setahun … lama ya Bu.”
“Kan sudah berjalan beberapa bulan Yu, tidak lama lagi kok.”
“Ya sudah, mau bagaimana lagi kalau memang dia lagi sibuk bekerja.”
Wulan menghirup teh hangatnya, dengan perasaan berat karena selalu merasa berdosa setiap kali bicara tentang Murni di depan yu Sarni.
Sore itu bengkel sudah tutup. Restu sudah selesai mandi, dan tiba-tiba ingin berjalan-jalan. Ada beberapa barang yang ingin dibelinya, diantaranya perlengkapan mandi dan beberapa makanan untuk persediaan makan, terutama di saat pagi dan malam, karena kalau siang dia sudah makan bersama para anak buahnya.
Ia memasuki sebuah toko, untuk membeli beberapa barang yang diperlukannya.
Tiba-tiba tanpa disadari, seorang wanita yang sedang menjinjing tas berisi belanjaan, sedang keluar dari toko itu, dan menabraknya. Untunglah Restu tidak terjatuh, tapi wanita itu dengan terbungkuk-bungkuk meminta maaf.
“Maaf ya Pak, maaf, saya tidak melihat jalan. Habis bawaan saya berat.”
“Tidak apa-apa Bu, tidak apa-apa,” kata Restu sambil tersenyum. Tapi kemudian dia terkejut. Dia mengenal wanita itu yang adalah Murni. Demikian juga Murni juga mengenal laki-laki yang ditabraknya. Wajak Murni langsung menjadi gelap, dia membalikkan tubuhnya dan bergegas menjauh.
Restu terpaku.
“Itu Murni bukan? Aku tidak lupa wajahnya. Baiklah, dia kabur karena membenci aku, aku bisa memakluminya, tapi kok dia seperti hamil ya?”
Besok lagi ya…
Bersambung ke Jilid 28