SELAMAT PAGI BIDADARI (17)

Karya Tien Kumalasari

“Hallooo …” Restu mengulangi panggilannya, karena tak yakin pada pendengarannya. Seperti suara seorang laki-laki?

“Ya, Hallo …”

Restu sekarang yakin, itu suara laki-laki. Dadanya gemuruh tiba- tiba.

“Hallo, ini siapa, dan mencari siapa?”

“Saya mau bicara sama Lisa, siapa anda?”

“Lisa sedang mandi. Saya temannya, eh … sahabatnya … eh … bukan, kekasihnya.”

Restu menutup pembicaraan itu dengan amarah yang meluap. Jadi Lisa bersama laki-laki, yang mengaku sebagai kekasihnya?

Restu memukul setir mobilnya keras, dan raungan klakson segera terdengar, karena pukulan tangannya juga menekan tombol klakson.

Restu tak peduli. Dia menstarter mobilnya dan menjalankannya dengan amarah yang meluap-luap.

Omelan, kutukan dan sumpah serapah meluncur dari mulutnya, di sepanjang perjalanan yang entah kemana arah yang akan ditujunya. Malam sudah tiba, dan Restu masih berputar-putar disekitar kota. Tak pernah dibayangkan Lisa akan melakukan hal yang sangat menyakitinya. Ia berkorban banyak demi cinta butanya. Ia berbohong, menghamburkan uang, bahkan mencuri gelang milik istrinya demi menyenangkan hati kekasihnya. Tapi apa sekarang yang diperbuat kekasihnya itu? Ia berkhianat. Ia bahkan pergi dengan lelaki lain, yang sudah bisa ditebak mereka berada di sebuah hotel atau apa, yang jelas berduaan, yang satu mandi, yang satu menungguinya di kamar, atau mereka bahkan mandi bersama-sama?

Berkali-kali Restu memukul setir mobilnya, untuk melampiaskan kemarahannya.

Malam sudah larut, Restu menghentikan mobilnya di depan sebuah café. Bukan sembarang café karena ketika masuh Restu melihat berberapa pasangan sedang menari-nari seperti orang gila. Bau alkohol memenuhi ruangan. Restu tak peduli, ia memesan sebotol minuman keras. Sesloki ditenggaknya, lalu lagi dan lagi. Setengah botol sudah dihabiskannya, kepalanya mulai terasa berat. Dunia seakan berputar, membuatnya limbung. Tapi ia kemudian menenggak minuman lagi, dan lagi. Seorang perempuan seksi mendekati, dan mata kaburnya melihat bayangan Lisa pada wanita itu. Wanita itu memang wanita penghibur. Ia berdiri di belakang Restu dan memeluknya. Aroma wangi perempuan itu membuatnya lebih merasa pusing.

“Lisa … Lisa … “

Perempuan itu terkekeh. Mengelus pipi Restu dengan lembut.

“Pergi, penghianat, pergiii !!”

“Hei, aku bukan Lisa, sayang.”

“Kamu penghianat, kamu lupa bahwa aku sudah berkorban banyak,” Restu terus menceracau.”

“Mana minuman aku, ambiiiil…”

Perempuan itu mengambil botol yang hampir kosong. Restu merebutnya, dan menenggaknya habis. Lalu kepalanya terkulai di meja. Perempuan itu terkekeh, lalu menariknya masuk ke dalam.


Pak Broto sudah sejak lama berada di kantornya. Berkali-kali dia memanggil Restu, tapi Restu tak ada di ruangannya. Ia merasa kesal.

“Anak itu susah sekali diatur. Bekerja disiplin saja tidak bisa. Bagaimana aku bisa melepaskan tanggung jawab perusahaan ini padanya?” omelnya.

Satu jam, dua jam telah berlalu, Restu belum tampak batang hidungnya. Pak Broto menelpon sekretarisnya, tapi dia menjawab bahwa pak Restu belum datang.

Pak Broto menelpon ke ponsel Restu. Ponsel itu mati. Lalu pak Broto menelpon Wulan.

“Ya Pak?” jawab Wulan dari seberang.

“Suami kamu masih tidur?”

Wulan terkejut. Ia tak biasa menjelekkan suaminya di depan mertuanya. Ia selalu menutupinya. Tapi sekarang dia kebingungan. Sejak kemarin Restu tidak pulang. Kalau Wulan bilang tidur, pasti pak Broto menyuruh membangunkannya. Tapi kalau bilang sudah berangkat, kenapa jam sesiang ini belum sampai di kantor, buktinya ayah mertuanya menelpon ke rumah.

“Wulan, kamu masih di situ?”

“Oh, iy … iya Pak. Iya ….”

“Suami kamu masih tidur? Ini sudah siang dan dia belum juga datang ke kantor.”

“Oh … ** .. tapi … dia … “

“Dia kenapa Wulan, jangan sampai kamu menutup-nutupi kesalahan suami kamu,” tegur pak Broto, tandas.

“Iy … iya pak, **..tapi .. sudah … eh.. mas Restu semalam ti..tidak pulang ke rumah,” akhirnya tak ada jalan lain, Wulan Wulan mengatakan yang sebenarnya.

“Apa? Tidak pulang ke rumah?”

Sudah sering Restu tidak pulang ke rumah, Wulan tidak terkejut. Tapi pak Broto baru sekali ini mendengar bahwa anaknya tidak pulang ke rumah. Ia terkejut sekali.

“Iy .. iya Pak.”

“Dia bilang mau ke mana?”

“TI … tidak Pak.”

“Wulan, kamu itu bagaimana? Suami tidak pulang, dan kamu seperti tidak peduli?” tegur pak Broto dengan nada tidak senang.

“Maaf Pak, bukan … bukan Wulan tidak peduli, tapi … sudah sering dia melakukannya,” tak ada jalan lain, akhirnya Wulan berterus terang.

“Apa? Sering? Kamu tidak menegurnya?”

“Mana ss… saya berani?”

Pak Broto menutup ponselnya begitu saja. Ia merasa ada yang tak beres dengan rumah tangga anaknya. Ketidak becusan Restu memegang tampuk pimpinan perusahaan sudah membuatnya kecewa, ditambah sekarang ada sesuatu yang tidak wajar pada rumah tangga anaknya.

“Bapak, saatnya meeting, Bapak sudah ditunggu,” seorang sekretarisnya memberi tahu.

“Meeting ditunda. Aku sedang tak enak badan.”

Sekretaris itu mengangguk, lalu mengundurkan diri dari hadapan sang direktur utama, untuk mengumumkan pada para staf yang sudah siap mengadakan meeting atas perintah sang direktur juga.


Rio sedang mengelap mobilnya ketika tiba-tiba dilihatnya bu Broto turun dari sebuah taksi.

“Ibu, mengapa tidak menyuruh saya untuk menjemput ibu, kalau memang Ibu mau datang kemari?” sapa Rio ramah.

“Tidak Rio, aku mau ke kantor, karena bapak memanggil aku. Tapi karena aku harus ketemu Wulan sebentar, maka aku mampir,” kata bu Broto yang kemudian berlalu.

Ia langsung memasuki rumah, dan mendapati menantunya sedang membersihkan perabotan di kamar tamu.

“Ibu? Kok tiba-tiba ibu datang, sama siapa?”

“Sendiri, ibu naik taksi,” kata bu Broto yang kemudian duduk di sofa.

“Mengapa tidak meminta Rio agar menjemput Ibu?”

“Rio tadi juga bilang begitu, tapi ibu mau langsung ke kantor, karena bapakmu memintanya. Cuma, ibu perlu mampir kemari untuk bertemu kamu.”

Wulan duduk di depan ibu mertuanya, melihat ibu mertuanya merogoh tas nya.

“Ini Wulan, gelang kamu yang diambil Restu, ibu memintanya agar di kembalikan, dan kemarin sore sudah dikembalikan. Sekarang aku serahkan lagi sama kamu,” kata bu Suryo sambil menyerahkan sebuah kotak.

Wulan membukanya, melihat gelang yang bentuk maupun modelnya sama dengan miliknta. Ia mengamatinya terus. Seperti ada bedanya, tapi ia belum menemukan perbedaan itu, dan melihat ibu mertuanya sudah berdiri kembali.

“Wulan, aku hanya mau menyerahkan gelang itu, sekarang mau ke kantor, taksinya menunggu tuh, di depan.”

“Baiklah Ibu, sebentar lagi Wulan juga mau keluar untuk belanja.”

Bu Broto langsung berlalu setelah mengangguk dan meninggalkan senyum untuk menantu tersayangnya,

Wulan meletakkan kotak gelang itu di meja, setelah mengantarkan ibu mertuanya sampai ke teras. Ia melanjutkan pekerjaannya, kemudian memanggil Murni.

“Murni,” teriaknya.

“Ya Bu.”

“Apa kamu sudah siap?”

“Oh, ibu mau belanja sekarang?”
“Iya, jangan kesiangan, udara panas sekali.”

“Saya hanya tinggal ganti pakaian saja Bu.”

Wulan bersiap, dan menunggu di ruang tamu. Ia meraih kembali kotak gelang itu, mengambil gelangnya dan mengamatinya. Ia tetap merasa ada yang berbeda dengan gelang itu,

“Jadi belanja?” tiba-tiba Rio melongok dari pintu.

“Jadi dong Rio, nungguin Murni sebentar.”

“Wah, dapat hadiah dari mertua rupanya,” kata Rio ketika Wulan sedang mengamati gelang yang tadi diberikan oleh ibu mertuanya.

Wulan tertawa.

“Bukan hadiah, Rio. Panjang ceritanya. Tapi aku curiga dengan gelang ini.”

Rio mendekat, Wulan menyerahkan gelang itu.

“Dulu, gelang ini pernah hilang. Aku curiga, Restu yang mengambilnya, dan pada suatu hari ibu memergoki seorang wanita memakai gelang itu saat sedang belanja. Dari ocehan wanita itu, ibu tahu bahwa gelang itu diberikan oleh kekasih wanita itu yang namanya Restu.”

“Wauuw, ketahuan ya?”

“Ibu sangat marah, meminta agar Restu mengembalikan gelang itu. Kalau tidak, kelakuan Restu akan dilaporkannya pada bapak. Rupanya Restu ketakutan, kemarin sore gelang ini dikembalikan pada ibu, dan tadi diserahkan lagi sama aku. Tapi aku merasa ada yang aneh pada gelang itu.”

“Aneh?”

“Bentuknya sih mirip. Tapi apanya ya yang berbeda?”

“Bawalah gelang ini. Nanti kita mampir ke sebuah toko.”

“Toko apa?”

“Kemarin aku mengikuti Restu, dia pergi ke toko itu.”

“Bu, saya sudah siap,” kata Murni yang telah berganti pakaian.

“Oh, baiklah, ayo berangkat Rio.”

Rio menyerahkan kembali gelang itu, dan Wulan memasukkannya ke dalam kotak. Ia tak mengerti secara jelas maksud Rio agar membawa gelang itu, dan tentang toko yang akan ditunjukkan Rio.

*

Wulan belanja di sebuah supermarket, Murni mengikutinya, sedangkan Rio membantu mendorong troly.

Ketika selesai berbelanja, mereka melewati gerai pakaian.

“Mau belanja baju?” tanya Rio.

“Tidak, kita langsung pulang saja,” jawab Wulan.

“Tidak jadi ke toko itu?”

“Oh iya, toko apa sih sebenarnya?”

“Nanti kamu akan tahu. Kamu bawa kan gelangnya?”

“Iya, kan kamu yang menyuruhnya.”

Ketika hampir keluar, Rio melihat seorang wanita cantik, sedang bergayut di lengan seorang laki-laki gagah. Laki-laki itu tidak muda lagi, tapi masih tampak gagah dan tampan. Tiba-tiba Wulan terbelalak, melihat gelang yang melingkar di lengan wanita itu. Ia sangat mengenalnya. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi laki-laki itu segera menarik wanitanya ke arah dalam.

Wulan tertegun. Gelang itu, persis seperti gelangnya.

“Aku tahu wanita itu,” kata Rio sambil menuruni tangga.

“Kamu mengenalnya?”

“Dia yang aku lihat bersama Restu beberapa bulan yang lalu.”

“Apa? Berarti benar, gelangku masih dipakainya,” pekik Wulan tanpa sengaja.

Rio bergegas mengambil mobilnya, sementara Wulan dan Murni menunggu di lobi. Berkali-kali ia menoleh ke arah dalam, tapi wanita dan laki-laki itu sudah tak kelihatan batang hidungnya.

*

Gelang yang dipakainya itu masih gelangku,” kata Wulan ketika Rio sudah menjalankan mobilnya.

Kemudian Wulan mengambil lagi kotak gelang itu dan mengeluarkannya.

“Restu bohong. Ini bukan gelangku. Hanya modelnya yang persis,” gumam Wulan sambil terus mengamati gelang itu.

Tiba-tiba Rio menghentikan mobilnya di depan sebuah toko perhiasan.

“Ayo turun, dan bawalah gelangnya,” kata Rio sambil membukakan pintu untuk Wulan.

“Murni, kamu tunggu di mobil sebentar ya,” kata Wulan kepada Murni.

“Baik Bu.”

Wulan mengikuti Rio. Rio meminta gelang itu, lalu menunjukkannya kepada pelayan toko.

“Mau tanya Mbak, apakah gelang ini dipesan di sini?” tanya Rio sambil menyodorkan gelang yang sudah dikeluarkannya dari dalam kotak.

“Oh, iya Pak, baru kemarin sore diambil. Ada apa ya Pak?”

“Ini bahannya dari apa ya Mbak? Emas?”

“Bukan Pak, ini hanya imitasi. Kami tidak menjual perhiasan emas. Ini dulu kami buat, contohnya adalah foto-foto sebuah gelang. Yang memesan namanya Restu.”

“Oh … jadi ?” Wulan hampir memekik, tapi kemudian ia menutup mulutnya. Ia sungguh tidak mengira, Restu membohongi ibunya.

“Baiklah Mbak, terima kasih, kami hanya akan menanyakan gelang ini.”

Pelayan itu mengangguk, sementara Wulan sudah mengikuti Rio menuju mobil.”


“Benar-benar pendusta,” geram Wulan.

“Kebetulan aku mengikutinya dan melihatnya ke toko itu kemarin, makanya aku langsung curiga ketika kamu mengatakan bahwa suami kamu telah mengembalikan gelangnya,” kata Rio.

“Dan gelang itu masih dipakai oleh wanita itu.”

“Benarkah?”

“Aku melihatnya, dan yakin ketika kamu mengatakan pernah melihat wanita itu bersama Restu. Gelang itu masih dipakainya.”

“Tapi laki-laki yang digandengnya bukan Restu.”

“Perempuan nggak bener. Aduh, aku bingung mau mengatakan apa.”

“Semua kebusukan akan terkuak. Kamu harus mengatakan semuanya pada mertua kamu.”


Hari sudah malam, dan Restu belum juga pulang. Wulan dan Murni sudah makan malam, dan sudah masuk ke dalam kamar masing-masing. Berita tentang ketidak pulangan Restu belum lagi didengarnya dari kedua mertuanya, yang pastinya sudah berembug saat bertemu. Tapi mereka tidak mengabari kepada Wulan. Wulan juga enggan bertanya. Dia sudah mengatakan bahwa Restu memang sering tidak pulang.

“Apakah bapak marah sama aku karena aku tidak mau berterus terang?” pikir Wulan yang membuatnya tak bisa tidur.

Lewat tengah malam barulah Wulan terlelap. Tapi tiba-tiba sayup-sayup dia mendengar suara tangisan. Wulan membuka matanya, setengah mimpi suara itu didengarnya. Wulan mengucek matanya, barangkali dia memang bermimpi. Tapi tidak, tangisan itu masih terdengar. Wulan bangkit, lalu keluar dari kamarnya. Tangisan itu terdengar dari arah ruang tamu. Wulan tercekat karena mengenali suara itu. Lampu di ruang tamu tidak dinyalakan. Wulan melangkah ke sana dan meraih tombol lampu. Betapa terkejutnya ketika dia melihat Murni menangis terguguk di lantai dengan pakaian berantakan.

‘***

Besok lagi ya…

Bersambung ke Jilid 18

SELAMAT PAGI BIDADARI (16)

Karya Tien Kumalasari

Hari terus berlalu, agak risih bagi Restu karena ayahnya sering berada di kantor. Ia hanya bisa mengajak Lisa makan siang sesuai jam istirahat, tidak bisa seenaknya. Itupun tidak setiap hari. Restu benar-benar sangat menghitung-hitung pengeluarannya, karena uang yang didapat sangat dibatasi. Tapi Lisa tidak bisa begitu saja menerima sikap Restu akhir-akhir ini. Dulu setiap hari bertemu, jalan-jalan, makan enak, bersenang-senang. Sekarang, tidak bisa setiap hari bertemu, makan memilih di warung murah, itupun pulangnya dengan tergesa-gesa.

“Ada apa sebenarnya ini sih Mas? Masa makan di warung murahan seperti ini? Bukannya kita selalu makan di restoran mewah? Yang makanannya serba enak dan berkelas?” protes Lisa.

“Kita harus bersabar Lisa, ayahku sedang mengawasi aku. Keuangan dibatasi. Keluar makan harus kembali tepat waktu. Kalau tidak, gajiku bisa dipotong, dan aku tidak akan bisa berbuat apa-apa lagi.”

“Ayah kamu pelit ya, masa sih anak satu-satunya diperlakukan seperti itu?”

“Kita harus bersabar. Aku harus berbuat yang bisa menyenangkan hati ayahku dulu, supaya kepercayaannya tumbuh kembali, setelah itu kita bisa bersenang-senang seperti biasa.”

Lisa diam, dalam hati dia merasa tidak puas. Lisa tidak biasa hidup sederhana. Restu-lah yang membuatnya. Dan kebiasaan hidup mewah dengan semua barang branded, tidak bisa dihilangkannya begitu saja.

“Padahal aku mau ulang tahun, dan aku berharap hadiah yang istimewa dari kamu.”

Restu terkejut. Hari biasa saja permintaannya sudah serba ‘wah’, apalagi kalau ulang tahun.

“Mengapa diam?”

“Eh, aku sedang mengingat-ingat, bukankah ulang tahun kamu masih lama?”

“Bulan depan, tahu”

“Oh, iya sih. Masih bulan depan, bisa dipikirkan nanti kan?”

“Tapi kamu bisa lupa kalau aku tidak mengingatkannya jauh-jauh hari.”

“Iya, ayo sekarang kita kembali ke kantor, kalau terlambat ayahku bisa marah.”

“Huh, lama-lama bosan aku mendengar kata ‘ayahku … ayahku’… seperti anak kecil saja,” kata Lina sambil langsung berdiri dengan wajah cemberut.

“Ayolah Lina, jangan cemberut begitu dong, nanti cantiknya hilang lho,” kata Restu mencoba merayu.

Tapi Lina bertambah cemberut. Ia diam saja saat Restu mengantarkannya kembali kantor.

Restu menurunkan Lina di depan kantornya, ia terus mengawasinya, sampai Lina tiba di depan lobi. Tapi Restu tertegun, ketika dari arah yang berlawanan dengan langkah Lina, pak Thomas juga baru mau masuk ke kantor. Dan yang membuatnya lebih tertegun lagi, ketika tiba-tiba pak Thomas merangkulnya dan mencium pipinya.

“Gila benar, dan kenapa Lisa tidak menghindar? Malah kelihatan senang dia,” geram Restu penuh cemburu.

Restu memacu mobilnya kembali ke kantor, dengan hati panas bagai hampir mendidih. Ia berpapasan dengan ayahnya yang sebenarnya mau masuk ke ruangannya.

“Dari mana kamu?” tegur sang ayah.

“Keluar makan, Pak.”

“Kamu terlambat seperempat jam dari waktu yang ditentukan. Itu memberi contoh kurang baik bagi karyawan lain,” kesal pak Broto.

“Jalanan agak macet,” katanya memberi alasan, sambil mengikuti ayahnya masuk ke ruangannya.

“Aku memanggil kamu melalui interkom, tidak ada jawaban, jadi aku datang kemari. Ternyata kamu memang belum ada di ruangan kamu.”

“Maaf, Pak.”

“Aku minta kamu menghubungi pak Jayus, pelajari proposalnya,” kata pak Broto sambil meletakkan sebuah map berwarna hijau.

“Ya.”

“Satu lagi, mulai bulan ini, gaji kamu akan masuk ke rekening Wulan.”

Restu terkejut.

“Apa ini maksudnya Pak. Gaji saya, mengapa harus ditransfer ke rekening dia?” protesnya dengan wajah kusam.

“Apa bedanya? Toh akhirnya kamu juga memberikan gajimu kepada istri kamu bukan?”

“Tapi_”

“Wulan akan memberikan sebagian untuk keperluan kamu. Beli bensin, makan siang selama sebulan, dan katakan saja apa yang kamu perlukan. Wulan yang akan memberikannya.”

“Ini tidak adil.”

“Mengapa tidak adil? Kebutuhan kamu tercukupi kok.”

“Mengapa Retu harus meminta-minta kepada istri sedangkan itu milik Restu?”

“Bukan. Gaji yang didapatkan seorang suami adalah untuk keluarganya. Aku melakukannya karena melihat kamu terlalu boros. Jangan protes, atau kamu sama sekali tidak akan mendapatkan uangmu?” kata pak Broto yang kemudian berdiri, lalu melenggang dengan santai keluar dari ruangan.

Begitu ayahnya keluar, Restu menggebrak mejanya dengan kesal. Perasaanya sedang tidak enak gara-gara melihat Lisa dipeluk pak Thomas, begitu sampai di kantor, ayahnya membuat keputusan yang sangat membuatnya marah.

“Ini sungguh keterlaluan. Bapak menghukumku sangat berat.”

Restu menyandarkan tubuhnya, sekalipun belum menyentuh map hijau yang baru saja diletakkan ayahnya. Pikirannya kacau. Bayangan pak Thomas yang merangkul dan mencium Lisa kembali terbayang, membuat darahnya mendidih. Ia meraih ponselnya ingin menelpon Lisa. Tapi belum sampai ia menemukan nomor kontak Lina, ponselnya berdering. Dari ibunya. Pasti soal gelang itu. Tapi Restu tak berani mengabaikan panggilan itu.

“Hallo Ibu,” sambutnya, terdengar kurang ramah sih.

“Restu kamu kenapa? Lapar? Kok suaranya lesu begitu?”

“Tidak Bu, pekerjaan sedang banyak.”

“Ibu hanya ingin mengingatkan tentang gelang itu. Seminggu dari waktu yang ibu berikan sudah selesai.”

“Iya, Restu tahu. Besok akan Restu serahkan kepada Ibu.”

“Kenapa besok? Kenapa lama? Apa Ibu yang harus mengambilnya sendiri dari wanita itu, atau ibu laporkan saja semua itu kepada ayahmu?” ancam bu Broto lagi.

“Ya ampun Bu, Restu bilang besok. Karena … karena Restu belum bertemu dia.”

“Dari kemarin-kemarin ngapain? Belum bertemu dia juga?”

“Iya … memang ….”

“Memang apa?”

“Memang belum … bertemu ….”

“Baiklah, besok ibu tunggu.”

“Kalau nanti sudah jadi, akan langsung Restu serahkan sama ibu.”

“Sudah jadi apanya? Kamu pesan lagi?” curiga bu Broto.

“Tidak Bu … mm …maksud Restu, jadi janjian untuk ketemu dia.”

“Ya sudah. Pokoknya nanti atau terakhir besok. Awas kamu.”

Bu Broto menutup pembicaraan itu begitu saja, membuat Restu kemudian mengomeli dirinya sendiri atas perkataannya yang terakhir.

Gara-gara gelisah soal gelang itu, Restu jadi melupakan niatnya untuk menelpon Lisa. Lagipula ia berniat akan menjemput Lisa sepulang dari kantor nanti. Ia harus menegurnya atas sikap manisnya kepada pak Thomas.


Tapi sesampai di kantor Lisa, dia mendapat keterangan dari temannya, bahwa Lisa sudah pulang satu jam yang lalu.

“Kenapa? Apa dia sakit?”

“Tidak, katanya ada keperluan,” jawab temannya.

Restu kembali ke mobilnya dengan kesal. Ia belum menjalankannya, dan memerlukan menelpon Lisa terlebih dulu.

Tapi ponsel Lisa ternyata tidak aktif. Restu kesal sekali. Ia memacu mobilnya ke rumah Lisa, dan ternyata Lisa juga belum sampai ke rumah.

“Kemana dia? Biasanya kalau mau kemanapun dia pasti bilang,” gerutunya sambil menjalankan mobilnya, pulang.


Wulan yang merasa heran ketika melihat suaminya sudah pulang, kemudian menyuruh Murni untuk membuatkan minuman untuk Restu.

“Buatkan dan letakkan di ruang tengah.

“Baiklah Bu.”

Murni membuatkan secangkir coklat susu panas dan meletakkannya di ruang tengah. Begitu meletakkan cangkirnya, Restu menghardiknya.

“Mengapa hanya secangkir? Ini terlalu sedikit. Apa majikan kamu memang begitu pelit sehingga menyuruh membuatkan minuman dengan cangkir kecil ini?”

“Mm … maaf Pak … bukan bu Wulan yang menyuruhnya. Saya yang salah,” kata Murni sambil mengambil kembali cangkirnya, lalu membuatkannya lagi di gelas yang lebih besar.

Ketika meletakkan gelas itu, kembali Restu menghardiknya. Memang tak bisa dia bicara dengan lemah lembut, kata batin Murni.

“Mana Wulan?”

“Ada di kamarnya Pak.”

“Suruh dia kemari, aku mau bicara.”

Murni tak menjawab, dia langsung menuju ke kamar Wulan, mengetuk pintunya perlahan, kemudian membukanya saat Wulan sudah menjawabnya.

“Ada apa Murni?”

“Pak Restu memanggil Ibu.”

“Oh ya? Tumben. Di ruang tengah?”

“Ya Bu.”

Wulan mengangguk, tanpa bertanya lebih lanjut dia segera keluar dan menuju ruang tengah.

“Ada apa?”

“Duduk,” perintahnya seperti memerintahkannya kepada binatang kesayangan.

Wulan duduk, menatap tak suka kepada sang suami.

“Apa kamu sudah tahu, bahwa bapak akan mentransfer gajiku ke rekening kamu?”

“Ya, bapak sudah mengatakannya.”

“Hm, senang bukan?” kata Restu sambil tersenyum sinis.

“Senang sekali. Aku kan benalu pemorot harta keluargamu, jadi mendapatkan kepercayaan seperti ini, sangat membuatku senang. Mau protes?”

“Bagaimana cara kamu memberikan uang untuk semua kebutuhan aku?”

“Katakan apa yang kamu butuhkan. Bensin, makan siang, apa lagi?”

Restu sangat gemas melihat ketenangan istrinya. Ingin sekali dia mencakar bibir tipis yang kalau saja Restu bisa melihatnya dengan seksama, maka alangkah menggairahkannya bibir itu saat bicara. Tapi tidak. Dihatinya penuh dibayangi oleh wajah Lisa. Lisa yang seksi, yang pintar merayu, dan selalu bisa memuaskannya.

“Kamu begitu jumawa atas kepercayaan itu,” ucapnya kasar.

“Iya-lah, bukankah aku mau menikah denganmu karena ingin memoroti hartamu?”

“Perempuan tak tahu diri.”

“Ya, aku gila harta, tak tahu diri, lalu apa lagi?”

Wulan berdiri dengan wajah datar, lalu masuk kembali ke dalam kamarnya.

Restu menghirup habis coklat susunya kemudian berdiri lalu masuk ke dalam kamarnya. Tak ada satu jam kemudian, Restu keluar rumah. Tak ada yang menanyakannya. Bahkan Rio yang masih berada di dalam mobil, tapi bersiap untuk pulang, tetap bergeming di tempatnya. Tapi tanpa sepengetahuan Restu, Rio mengikutinya. Penasaran dia, dan merasa bahwa sudah saatnya dia membuka tabir kepalsuan Restu.


Restu memasuki rumah orang tuanya, dan bersyukur tidak melihat ibunya duduk bersama ayahnya.

“Tumben kamu kemari? Mana Wulan? Tidak datang bersama kamu?”

“Dia tidak mau. Restu kangen sama ibu. Mana ibu?”

“Di dalam kamarnya, barangkali,” jawab pak Broto sambil terus menikmati acara televisi.

Restu langsung menuju ke kamar orang tuanya. Masuk begitu saja tanpa mengetuk pintu, sehingga sang ibu yang sesungguhnya mau keluar nyaris tertabrak daun pintu.

“Haaah? Restu? Apa-apaan sih kamu? Mana tata krama kamu, ketuk [intu sebelum memasuki kamar orang lain. Biarpun ini kamar orang tua kamu,” omel bu Broto.

“Maaf Bu, Restu sedang tergsa-gesa,” kata Restu yang langsung masuk begitu saja ke dalam. Bu Broto tak jadi keluar.

“Ini Bu, sudah Restu kembalikan gelangnya.”

“Hm, bagus. Kamu menepati janji kamu.”

Bu Broto mengamati gelang yang hanya terbungkus kotak biasa, tapi bukan masalah bungkusnya, mungkin saja setelah dipakai, wadah yang semula menjadi tempat menyimpan gelang itu sudah dibuang. Yang penting gelangnya sudah kembali.

“Ibu harus mengerti, bahwa Restu tak ingin mendapat amarah dari bapak. Restu sangat menyayangi bapak sama Ibu.”

“Kalau kamu menyayangi orang tua kamu, lakukan yang baik-baik, dan jangan membuat orang tua kamu kecewa. Kamu masih berhubungan dengan perempuan itu?”

“Tidak Bu.”

“Syukurlah. Lakukan hal baik agar bapak sama ibu senang.”

“Restu pamit dulu ya Bu.”

“Ya sudah, lain kali kalau datang kemari ajaklah istrimu juga.”

“Baik Bu.”

Restu keluar dari kamar, berpamit kepada ayahnya dengan mencium tangannya, kemudian berlalu.

“Ada apa dia? Tiba-tiba bilang kangen sama kamu?”

“Ya, kangen saja. Tapi dia tak bisa lama-lama disini, soalnya dia tidak datang bersama istrinya, aku menegurnya tentang hal itu,” kata bu Broto yang masih ingin menutupi perbuatan buruk anaknya.


Restu tidak pulang ke rumahnya. Ia langsung ke rumah Lisa. Ia berharap Lisa sudah sampai di rumah. Ia ingin segera mendengar, apa alasan Lisa sehingga mau diperlakukan pak Thomas dengan perlakuan yang tidak semestinya. Kecuali itu ia juga ingin tahu mengapa ia pulang lebih dulu tanpa pemberitahuan.

Tapi begitu sampai di rumah Lisa, dia juga tidak mendapati Lisa di rumah. Kata orang tuanya, Lisa pergi sejak pagi dan belum kembali.

Restu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia kembali menelpon Lisa, dan kali ini diangkatnya, Restu merasa lega.

“Hallo …”

Jawaban dari seberang sangat mengejutkannya. Suara laki-laki.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 17

SELAMAT PAGI BIDADARI (15)

Karya Tien Kumalasari

“Begitu bertemu, kamu langsung menanyakan uang itu. Apa kamu tidak kangen sama aku, setelah berhari-hari tidak ketemu?” tegur Restu kesal.

“Ya kangen sih, aku kan cuma mengingatkan kamu. Jangan-jangan kamu lupa membawanya untuk aku.”

“Tidak, kan aku sudah bilang bahwa aku sudah membawanya.”

“Syukurlah, senang mendengarnya,” kata Lisa sambil menyandarkan kepalanya di bahu kekasihnya.

“Tapi Lisa, mulai saat ini kamu jangan terlalu boros.”

Lisa mengangkat kepalanya, dan memandang tajam Restu.

“Apa maksudmu Mas?”

“Aduh, baru ngomong begitu saja kok kamu marah sih?”

“Bukan marah, aku heran kamu mengingatkan aku agar tidak boros. Apa yang aku lakukan selama ini adalah kebutuhan semua perempuan. Mana ada kata boros?”

“Iya, aku tahu.”

“Apa yang terjadi?”

“Tidak ada,” kata Restu sambil melirik ke arah pergelangan tangan Lisa. Ia melihat gelang itu selalu dipakainya. Ia kemudian teringat apa yang dikatakan ibunya berkali-kali, bahkan saat dia makan siang tadi. Tentang gelang itu, dan harus diambilnya kembali. Ancamannya berat. Ibunya akan melaporkannya pada ayahnya. Dan kalau itu terjadi, bisa jadi dia akan dipecat dari perusahaan, dan akan menjadi pengangguran. Mana dia bisa bersenang-senang dengan kekasihnya?

“Kamu tampak aneh.”

“Aku kangen sekali sama kamu. Kita akan bersenang-senang sampai pagi.”

“Benarkah?”

“Kamu tidak menyambutnya dengan suka cita,” gerutu Restu.

“Aku masih terganggu dengan apa yang tadi kamu katakan.”

“Aku mengatakan apa?”

“Bahwa kamu melarang aku boros.”

“Oh ….”

Restu mencoba tertawa, untuk mencairkan kekesalan kekasihnya.

“Baiklah, maafkanlah aku.”

“Semua perempuan menyukai hal-hal yang indah, yang bagus, yang mahal ….”

“Iya, aku tahu.”

“Bukannya aku matre, tapi itu wajar.”

“Iya, maaf deh.”

“Kamu seperti tertekan.”

“Lelah aku, karena kesibukan pindah rumah itu.”

“Suatu hari kamu akan membawaku ke rumah kamu bukan?”

“Iya, akan aku lakukan. Sekarang jangan berpikir yang lain dulu, pikirkan bahwa kita akan bersenang-senang.”

“Tentu. Kamu harus selalu bisa menyenangkan aku bukan?”

“Iya, saling menyenangkan dong.”

Restu membawa mobilnya keluar kota, ke tempat yang tenang, ke sebuah hotel langganan mereka.


“Rio, maukah mengantar aku belanja?”

“Tentu saja, kamu kan majikan aku?” kata Rio sambil tersenyum.

“Rio, aku ingin semua ini segera berakhir, aku tak tega melihat kamu begini.”

“Mau memecatku?”

“Kamu selalu begitu deh.”

“Kalau tidak, ya sudah, lakukan apa yang kamu inginkan. Pak Broto membayar aku untuk itu kan.”

“Rio …”

“Ayolah Wulan, jangan protes, aku tahu apa yang harus aku lakukan. Tidak akan mengganggu kamu kok.”

“Hm, baiklah, terserah kamu saja. Sebentar lagi antar aku ya, nungguin Murni dulu.”

“Sama Murni juga?”

“Iya lah, nggak enak berdua sama kamu terus.”

“Kan aku memang sopir pribadi kamu?”

“Tapi ya nggak apa-apa kan, aku ngajak Murni, biar dia senang, nggak harus tinggal dirumah terus.”

“Oke, siap, bidadariku,” kata Rio sambil menatap Wulan, tapi Wulan kemudian membuang muka. Ia tahu siapa dirinya, dan ia harus menjaga kesuciannya sebagai seorang istri, walau sebenarnya begitu susah menghilangkan cinta yang tadinya sudah nyaris sirna.

Rio melangkah mendekati mobil, menyiapkannya di depan rumah, sambil menunggu sang bidadari dan pembantunya keluar.

Tapi tiba-tiba sebuah mobil berhenti. Rio menoleh, dan dilihatnya pak Broto kemudian turun dari dalam mobil.

“Rio, kalian mau pergi?”

“Bu Wulan katanya mau belanja bersama Murni.”

“Ee, nanti dulu, ayo ikuti aku, aku mau kamu menyanyi dulu untuk aku,” kata pak Broto sambil menarik lengan Rio.

Dan dengan entengnya kemudian pak Broto duduk di teras.

Rio hanya tersenyum-senyum. Saat Wulan pindah kemari, gitar miliknya juga dibawanya, atas perintah pak Broto.

“Sewaktu-waktu aku butuh mendengarkan kamu menyanyi untuk aku, jadi bawalah gitar itu,” katanya ketika Rio mengangkut beberapa barang Wulan yang masih tersisa.

“Saya mengambil gitarnya dulu ya Pak,” kata Rio yang kemudian pergi ke arah samping rumah, dimana ada sebuah kamar yang diperuntukkannya untuk beristirahat ketika dia tidak sedang bertugas mengantar sang bidadari.

Bu Broto langsung ke arah belakang, berpapasan dengan Wulan yang baru saja keluar dari kamar.

“Ibu?” Wulan merangkul ibu mertuanya erat-erat.

“Aku kangen sama Ibu,” bisiknya.

“Ibu juga kangen Nak, ternyata kamu mau pergi?”

“Hanya belanja beberapa keperluan, tidak apa-apa, saya suruh Murni membuatkan minum dulu untuk bapak sama Ibu.”

“Bapakmu sedang pengin nyanyi-nyanyi tuh, sama Rio,” kata bu Broto sambil duduk di ruang tengah.

“Murni, buatkan jus jeruk saja untuk bapak sama ibu ya,” kata Wulan setengah berteriak.

“Baik, Bu,” sahut Murni dari belakang.

Lalu Wulan duduk di depan ibu mertuanya.

“Nanti Ibu sama bapak makan disini ya?”

“Iya, tapi kan kamu mau pergi?”

“Tidak terlalu penting Bu, bisa nanti-nanti, atau besok. Lebih penting menemani bapak sama Ibu di sini.”

“Baiklah, masak apa kamu hari ini?”

“Hanya masak sayur kare, sama lele goreng, apa ibu suka?”

“Ibu sama bapak selalu suka apa saja masakan kamu.”

“Benarkah?”

“Benar dong, masa ibu harus berbohong?”

“Bapak ada di depan ya ?” tanya Wulan saat mendengar dentingan gitar mengalun, dan suara merdu Rio.

“Kamu tahu sendiri kan? Ayah kamu itu kalau datang kesini pasti Rio yang dicari. Itu tuh, katanya biar selalu ingat masa muda-nya dulu.”

Wulan tersenyum.

“Tapi Ibu senang kan, mendengar bapak menyanyi?”

“Terkadang suaranya agak sumbang, tapi nekat,” kata bu Broto sambil tersenyum lucu, lalu menutup mulutnya dengan telapak tangannya.

“Enggak kok Bu, Wulan sering mendengar, suara bapak bagus kok.”

Murni datang dan menuajikan dua gelas jus seperti perintah Wulan.

“Yang untuk bapak, taruh di depan saja ya Mur.”

“Baik, Bu,” kata Murni yang kemudian meletakkan satu gelas di depan bu Broto, dan membawa yang satu gelas lagi ke arah depan.

“Bagaimana Murni menurut kamu? Kamu suka ditemani dia?”

“Suka sekali Bu, Murni seperti teman buat Wulan. Kalau tidak ada Murni, sepi sekali rumah ini.”

“Murni,” kata bu Broto ketika Murni melintas dari arah depan.

“Ya Bu,” jawab Murni sambil berjongkok di hadapan bu Broto.

“Eh, nggak usah jongkok begitu, berdiri saja,” kata bu Broto sambil tangannya memberi isyarat agar Murni berdiri.

Murni pun berdiri.

“Kamu kerasan tinggal bersama bu Wulan?”

“Sangat kerasan Bu. Bu Wulan sangat baik kepada saya.”

“Bagus. Ibumu juga sudah lama ikut aku, dan dia kami anggap sebagai keluarga juga.”

“Iya Bu, saya tahu.”

“Ya sudah, baik-baik menemani bu Wulan ya?”

“Baik Bu.”

Lalu Murni beranjak ke belakang.

“Dia itu sebenarnya cantik. Bukan cantik, kalau cantik itu biasanya kulitnya kuning bersih, Murni itu agak hitam, jadi ibu bilang dia manis.”

“Benar Bu, manis wajahnya, dan manis perilakunya. Dia juga rajin serta cekatan dalam melakukan semua hal.”

“Syukurlah. Dia mirip ibunya.”

“Ibu, apakah makan siang ditata sekarang?” tanya Murni dari arah ruang makan.

“Mau makan sekarang Bu?” tanya Wulan kepada ibu mertuanya.

“Tanyakan dulu sama bapakmu, kelihatannya masih asyik menyanyi. Biasanya kalau sudah begitu, setiap ditawarin makan lalu bilang … nanti … nanti….”

“Siapkan saja Murni, kan memang sudah saatnya makan,” perintah Wulan.

Murni mengangguk, dan menjalankan tugasnya untuk menyiapkan makan siang.

“Baiklah. Biar Wulan tanyakan ya.”

Wulan melangkah ke arah depan. Dilihatnya Rio dan pak Broto menyanyi bersama dengan sangat gembira. Wulan belum mengucapkan apapun, menunggu sampai lagu yang mereka kumandangkan itu berakhir. Ia berdiri di tengah pintu.

“Wulan, kenapa berdiri di situ? Kemari-lah. Duduk dan ikut menyanyi,” sapa pak Broto sambil melambaikan tangannya, setelah selesai menyanyikan sebuah lagu.

Wulan mendekat, tersenyum.

“Wulan tidak bisa menyanyi, Pak. Hanya suka mendengarkan saja.”

“Kirain kamu kemari mau ikutan menyanyi. Kalau ibumu itu dulu suka menyanyi, dulu … waktu masih muda. Kalau sekarang, dia tidak mau lagi. Katanya suaranya sudah sember.”

Wulan tertawa.

“Wulan mau menanyakan, apakah Bapak mau makan sekarang?”

“Oh, iya … waktunya makan ya? Baiklah, Rio, ayo kita makan dulu,” ajak pak Broto sambil berdiri.

“Saya di sini saja Pak. Biasanya juga di sini,” jawab Rio.

“Tapi tidak, untuk kali ini. Aku mengundang kamu untuk makan bersama kami. Ayo lah. Wulan, dia takut sama kamu, ajak dia.”

Senyuman Wulan melebar, membayangkan Rio takut sama dirinya. Tapi kemudian dia menatap Rio.

“Rio, bapak sudah mengundang, jadi aku juga mengundang kamu, ayo Rio, jangan sungkan,” kata Wulan.

“Rio … “ pak Broto menoleh lagi ke arah Rio, karena Rio masih tetap duduk.

Rio berdiri, ketika Wulan menganggukkan kepalanya.

“Bu, Rio akan makan bersama kita,” kata pak Broto.

“Oh ya, tentu saja, ayolah Rio, jangan sungkan,” sambut bu Broto ramah.

Rio merasa, bahwa keluarga pak Broto adalah keluarga yang baik dan penuh perhatian kepada sesama. Tidak membedakan walau saat ini dia adalah ‘sopir’ di rumah itu. Tapi Rio heran, Restu tidak memiliki hati seindah orang tuanya.

“Ayo duduklah. Murni, tambahkan satu lagi piringnya untuk Rio,” kata bu Broto ketika piring yang ditata masih kurang satu.

Murni bergegas menyiapkannya.

“Duduklah Rio,” kata Bu Broto lagi.

Hanya ada dua buah kursi yang tersisa, setelah pak Broto dan bu Broto duduk berdampingan. Jadi tak bisa tidak, Rio duduk di samping Wulan. Sedikit gemetar ketika ia harus menyendokkan nasi ke piring setiap yang ada di sekitar meja itu.

“Jangan sungkan Rio, kami lebih suka makan bersama begini, seperti keluarga. Tapi kalau Restu tidak ada, kamu pasti sungkan kalau disuruh makan bersama Wulan saja,” kata pak Broto sambil menyendokkan makanannya.

“Saya biasa makan di luar. Murni yang menyiapkannya,” kata Rio. Mana berani dia makan bersama Wulan di rumah itu. Ingin sih, tapi dia kan harus menjaga, jangan sampai ketahuan kalau diantara dirinya dan Wulan tadinya adalah sepasang kekasih.

“Tidak apa-apa sebenarnya, tapi terserah kamu saja. Aku tahu kamu seorang yang sangat santun dan mengerti batasan dalam bersikap,” kata pak Broto.

“Benar.” Sahut bu Broto.

Wulan tak menyahut sepatahpun. Ia masih saja berdebar ketika menyadari bahwa ada Rio di sampingnya, dan dia harus berusaha supaya tidak gugup agar kedua mertuanya tidak curiga.

“Jam berapa Restu pulang?” tanya bu Broto yang tentu saja membuat Wulan bingung. Restu tidak pulang sejak kemarin. Tapi dia berusaha menjawab sebisanya.

“Tidak tentu Bu, kadang sore, kadang malam.”

“Aku akan terus mengawasinya, tapi siang ini aku memang tidak ke kantor. Kangen sama suara Rio,” kata pak Broto.

Wulan bertanya-tanya. Mengawasi saat di kantor, bisa saja. Tapi apakah dia benar-benar pulang setelah jam kantor, mana pak Broto tahu.


Restu memang tidak pulang. Bahkan dirinya dan Lisa sama-sama tidak bekerja hari itu.

Restu menelpon ke kantor dan mengatakan bahwa dia sedang tidak enak badan. Itu dikatakannya, untuk berjaga-jaga, kalau sampai ayahnya datang ke kantor dan menanyakannya. Dan untunglah ayahnya tidak ke kantor hari itu, malah datang ke rumahnya tanpa dia ketahui.

Keduanya masih tergolek di ranjang hotel. Lisa tampak terlelap, tapi tidak dengan Restu. Ia terus teringat ancaman ibunya tentang gelang itu. Tapi bagaimana caranya mengambil dari tangan Lisa? Memintanya kembali, adalah tidak mungkin. Mencurinya, tentu tidak gampang. Berkali-kali dia menyentuh tangan bergelang itu, tapi Lisa selalu merasakannya.

Restu yang merasa bingung, kemudian menemukan sebuah akal. Ia mengambil ponselnya, dan memotret gelang itu, dari segala sisi.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 16

SELAMAT PAGI BIDADARI (14)

Karya Tien Kumalasari

Wulan bergeming, masih menata ini dan itu yang masih dianggapnya kurang sempurna.

“Wulaaan!” teriak Restu semakin keras.

Murni menggamit lengan Wulan.

“Bu, tuh … dipanggil .”

Wulan tersenyum tipis, kemudian melangkah ke arah ruang tengah, dimana Restu sedang duduk sambil menyandarkan tubuhnya di sofa.

“Ada apa?” tanyanya ketus.

“Duduklah, aku mau bicara.”

Wulan duduk tanpa menatap suaminya.

“Bicaralah, pekerjaanku masih banyak.”

“Aku mau pinjam uang kamu,” katanya masih dengan menyandarkan tubuhnya, menatap istrinya tajam.

Wulan merasa heran. Iapun menatap suaminya. Wajahnya tak sesegar hari-hari sebelumnya. Ia tampak tertekan.

“Kamu dengar, apa yang aku katakan?”

“Kamu mau pinjam uang?”

“Kurang jelas ya?” kata Restu, walau bermaksud meminta tolong tapi tak pernah terdengar nada bicara manis terhadap istrinya.

“Benar. Kurang jelas, karena aku tidak percaya kamu membutuhkan uang, lalu meminjam sama aku. Orang miskin yang tidak berkelas,” kata Wulan dingin.

“Kamu tidak miskin sekarang. Kamu sudah menjadi menantu keluarga Broto Sanjoyo.”

“Ya, tentu saja. Si miskin ini selalu mengeruk harta mertuanya. Masih ada lagi yang ingin kamu katakan untuk merendahkan aku?”

“Aku butuh uang, tidak ingin bertengkar.”

“Aku bukan mengajakmu bertengkar. Aku katakan sebelum kamu mengatakannya,” jawabnya tanpa menatap suaminya.

“Boleh atau tidak?”

“Berapa?”

“Lima juta. Jangan bilang kamu tak punya.”

Wulan berdiri lalu masuk ke kamarnya. Saat keluar ia sudah membawa uang yang diminta suaminya. Diulungkannya uang itu, lalu ditinggalkannya untuk kembali ke arah dapur.

Restu menghitung uang itu tanpa malu, lalu beranjak masuk ke dalam kamar pilihannya sendiri.

Rio yang berada di dalam mobilnya sambil membuka-buka file di laptopnya, melihat Restu keluar dari rumah, dan menghampiri mobilnya, lalu menstarternya. Ketika mobil itu berjalan disamping mobil Wulan, Restu menghentikan mobilnya.

Rio membuka kaca mobil, saat Restu juga membukanya.

“Kalau kamu mencuci mobil itu, cuci juga mobil aku. Aku ini juga majikan kamu,” katanya kasar.

“Baiklah,” jawab Rio tanpa mengangguk. Lalu Restu membawa mobilnya keluar dari halaman.

“Huhh, lagakmu seperti orang kaya, tapi kamu tuh miskin. Miskin jiwamu, tahu!” hardik Rio kesal, lalu melanjutkan kesibukan dengan laptopnya.


Hari itu Restu belum ingin masuk ke kantor, dengan alasan sibuk membenahi rumah baru, padahal dia tidak melakukan apa-apa. Dan alasan itu juga dipergunakan untuk mengelabui Lisa, agar tidak terus mendesak meminta uang.

Tapi hari ini dia telah membawa uang itu, yang dipinjamnya dari istrinya.

Ia menuju ke tempat Lisa bekerja, untuk mengajaknya makan siang.

Tapi Rio sangat kesal, saat dia sampai di depan kantor Lisa, dilihatnya Lisa memasuki mobil berwarna merah, dimana ada pria tambun yang sudah duduk di belakang kemudi. Restu mengenalnya sebagai pak Thomas, majikan Lisa.

Kesal karena Lisa tidak sedikitpun menoleh ke arahnya, sampai mobil itu membawanya pergi.

“Mau kemana kamu Lisa? Katanya enggan dekat dengan majikan. Tapi kenapa siang ini kamu pergi sama dia?” gumamnya sambil menjalankan mobilnya, mengikuti kemana mobil warna merah itu pergi.

Kaca mobil merah itu gelap, sehingga Restu tak tahu apa yang terjadi di dalamnya. Ia mengikuti terus dengan dada yang gemuruh.

Tapi sial, ketika sampai di perempatan, ia terhenti di lampu merah, dan mobil yang ditumpangi Lisa sudah melaju entah kemana.

Restu memukul-mukulkan tangannya pada kemudi, dengan kemarahan yang meluap.

Lalu ia mencoba menelpon Lisa, yang untunglah kemudian Lisa menjawabnya.

“Ya Mas, ada apa?”

“Kamu di mana? Aku tadi nyamperin kamu ke kantor untuk makan siang seperti biasanya.”

“Aku kira kamu masih sibuk mengurusi rumah baru kamu, jadi aku tidak menunggu kamu,” jawab Lisa enteng.

“Sekarang kamu di mana?”

“Kebetulan pak Thomas mengajak aku makan siang. Ya aku mau lah, kan aku tidak tahu bahwa kamu mau nyamperin aku.”

“Ya sudah, nanti saat pulang saja aku jemput kamu, aku sudah membawakan uang untuk kamu. Uang yang pernah aku janjikan.”

“Oh baguslah Mas, senang mendengarnya. Aku tunggu nanti saat aku pulang ya.”

Restu menutup ponselnya dengan sedikit lega. Lega karena Lisa tidak berbohong. Memang dia sedang bersama pak Thomas seperti yang dilihatnya.

Lalu dia memutar mobilnya pulang. Ia tak ingin ke mana-mana sendirian, jadi lebih baik pulang ke rumah barunya dan tidur.

Begitu memasuki halaman, dilihatnya Rio masih ada di dalam mobil. Dasar sejak awal dia tak menyukai Rio, maka ia memasang wajah masam saat memasuki halaman, dan berhenti lagi di samping mobil Wulan. Ia membuka kaca mobilnya.

“Jangan hanya enak-enak saja kamu. Cuci mobil aku sementara aku tidur. Nanti agak siang aku mau pergi,” katanya ketus lalu menghentikan mobilnya persis di depan teras.

Rio menahan kemarahannya karena diperintah oleh orang yang ‘bukan majikannya’. Ia turun dari mobilnya ketika Restu sudah masuk ke dalam.

Rio melongok ke dalam mobil Restu, dan melihat kunci mobil itu masih tergantung di dalam. Ia masuk kemudian membawa mobil itu keluar halaman dengan senyuman dingin.

Ternyata Rio membawa mobil itu ke tempat cucian mobil. Ia mencucikannya di sana.

“Dia bilang mau tidur, dan pastilah memang dia tidur. Dia tak akan pernah tahu mobil ini aku bawa kemana. Yang penting sudah bersih dan dia tidak punya alasan lagi untuk menindasku,” omel Rio ketika menunggu mobil itu di cuci.


“Murni, bawa makan siang untuk pak Rio ke depan ya. Ini sudah siap semua,” kata Wulan sambil menata makanan untuk Rio.

“Baik Bu, saya siapkan juga minumnya.”

“Ada jus jambu di kulkas, bawa ke depan sekalian.”

“Baik.”

Murni membawa semua makanan yang sudah disiapkan Wulan ke arah teras, menatanya di sana. Kemudian ia berjalan ke arah mobil. Biasanya Rio duduk di belakang kemudi.

Tapi ketika dia sampai, ia tak melihat Rio. Ia melongok ke dalam mobil, tapi tak ada tanda-tanda Rio ada di sana. Ia berusaha membuka pintu mobil, tapi tak berhasil. Mobil itu dikunci, tentu saja.

Murni kembali masuk ke dalam rumah. Dilihatnya Wulan sedang menata makanan di meja makan.

“Setelah ini kita makan berdua ya Mur.”

“Pak Restu kan ada?”

“Ada?”

“Tadi saya melihatnya sudah pulang, tapi aneh juga, mobilnya kok nggak ada. Apa dia pergi lagi?”

“Biarkan saja, ayo kita makan sendiri saja. Pak Rio sudah kamu suruh makan?”

“Maunya begitu Bu, tapi Pak Rio nggak ada tuh Bu.”

“Nggak ada bagaimana ?”

“Ya nggak ada, entah pergi kemana.”

“Di kamar dekat garasi?”

“Tidak ada juga. Lagian dia jarang masuk ke kamar itu. Kalau sedang tidak ada pekerjaan, dia lebih suka duduk di dalam mobil. Entah apa yang dikerjakannya.”

“Tapi sekarang tidak ada?”

“Tidak ada Bu, mobilnya juga dikunci.”

“Kemana ya dia, kenapa tidak bilang, kalau mau keluar?”

“Iya juga sih Bu.”

“Ya sudah, ayo kita makan dulu saja.”

“Baik Bu, saya cuci tangan dulu,” kata Murni.

Memang Wulan tidak menganggap Murni sebagai pembantu, jadi dia selalu mengajaknya makan semeja dengan dirinya.

Ketika asyik makan itulah tiba-tiba Restu muncul. Ia tampak marah melihat Murni duduk semeja dengan istrinya.

“Hei, apa-apaan kamu? Memangnya siapa kamu? Berani-beraninya duduk di kursi majikan?” katanya kasar.

Murni terkejut, langsung mengangkat piringnya, dan beranjak pergi.

Wulan sangat marah. Ia berteriak memanggil Murni.

“Murni, kembali ke sini. Aku yang menyuruh kamu duduk di sini.”

“Tidak boleh. Ambilkan aku piring, aku mau makan,” katanya sambil duduk di depan Wulan.

“Bisakah kamu tidak berkata kasar?”

Murni datang membawakan piring untuk Restu, kemudian kembali ke dapur.

“Kembali kemari Murni,” panggil Wulan.

“Tidak Bu, saya makan di dapur saja,” jawab Murni sambil menjauh.

“Kamu keterlaluan,” sergah Wulan.

“Kamu merendahkan diri kamu sendiri dengan makan bersama pembantu.”

“Yang rendah adalah akhlak yang kamu miliki. Perbedaan derajat hanyalah milik orang-orang tinggi hati, bukan tinggi nurani.”

“Persetan dengan omelan kamu. Aku ingin makan, jangan menghilangkan selera makanku dengan kata-kata sok pintar itu,” katanya sambil menyendok makanannya tanpa malu.

Wulan membiarkannya, melanjutkan makan dengan tanpa menatap suaminya. Tak ada suasana manis saat Restu ada di rumah. Tapi Wulan sudah terbiasa dengan keadaan itu. Ia masih bisa menerimanya dengan kesabaran yang berlipat-lipat. Semuanya demi kedua orang tuanya yang sudah tiada, dan demi kedua mertuanya yang sangat mengasihinya.

Tiba-tiba ponsel Restu berdering. Restu mengambil ponselnya, mengira dari Lisa, ternyata dari ibunya.

“Ya Bu.”

“Kamu di mana? Bukankah kamu masih cuti?”

“Iya, ini di rumah, sedang makan.”

“Oh, bagus. Apakah ada Wulan di dekat kamu?”

“Ada.”

“Ibu senang mendengarnya. Berikan ponselnya pada Wulan, tapi sebelumnya ibu ingatkan kamu. Gelang yang kamu ambil harus segera kamu kembalikan. Ibu beri kamu batas sampai akhir bulan ini,” tandas kata bu Broto.

“Bulan ini? Bulan ini tinggal seminggu lagi Bu.”

“Ibu tidak mau tahu. Bulan ini, titik. Sekarang berikan pada Wulan, ibu mau bicara.”

Restu menyerahkan ponselnya ke arah Wulan dengan wajah penuh rasa kesal, karena ibunya mengingatkan lagi tentang gelang itu.

“Hallo Ibu, sambut Wulan.”

“Kalian sedang makan?”

“Iya Bu.”

“Masak apa hari ini?”

“Hanya sup ayam sama goreng perkedel, tahu, tempe juga.”

“Hm, enaknya, ibu sudah kangen makan masakan kamu.”

“Besok Wulan ke rumah ya Bu, biar Wulan masak buat Ibu sama bapak.”

“Baiklah. Ya sudah, lanjutkan makannya, ibu cuma kangen sama kamu.”

“Wulan juga, Bu.”

Bu Broto sudah menutup ponselnya, lalu Wulan menyerahkannya kembali pada Restu yang masih melanjutkan makan dengan lahap. Wulan hanya menatapnya tanpa ekpresi, ia hanya heran Restu mau makan di rumah bersamanya. Ia tidak tahu bahwa Restu harus berhemat, karene uang yang didapatnya sudah sangat dibatasi.

Ketika selesai makan, Restu langsung beranjak ke depan, dan untunglah Rio sudah kembali dari pencucian mobil. Restu tampak senang melihat mobilnya sudah bersih berkilat. Ada yang direncanakan setelah sebentar lagi menjemput Lisa di tempat kerjanya.


“Maaf Murni, pak Restu memang selalu berkata kasar,” kata Wulan ketika membantu Murni membersihkan meja.

“Tidak apa-apa Bu, memang seharusnya begitu,” jawab Murni sambil tersenyum.

“Siapa yang mengharuskannya? Kamu bukan pembantu di sini. Acuhkan saja apa yang dikatakan pak Restu, toh dia akan jarang ada di rumah.

Murni hanya tersenyum.

“Ya Bu, sungguh saya tidak apa-apa.”

“Ya sudah, aku juga mau beristirahat di kamar ya Murni.”

“Ya Bu.”

Wulan beranjak ke arah kamarnya, dan melihat Restu sudah siap untuk pergi. Ia mengacuhkannya, dan langsung masuk ke dalam kamarnya.

Tapi ia kemudian teringat kata Murni bahwa Rio tak ada di depan. Wulan keluar kamar lagi, dan melihat Restu sudah masuk ke dalam mobilnya.

“Kerja bagus, kamu harus melakukannya setiap hari,” perintahnya sebelum membawa mobilnya pergi, sementara Rio tegak berdiri di dekat mobil Wulan dengan wajah tak begitu cerah.

“Rio,” panggil Wulan ketika suaminya sudah pergi.

“Mengapa kamu belum makan juga?”

Rio mendekat, lalu naik ke teras.

“Aku mau makan sekarang. Lega melihat dia pergi,” katanya sambil duduk.

“Kamu dari mana? Tadi Murni mencari, kamu tak ada di mana-mana.”

“Diperintah oleh “ndara kakung” untuk mencuci mobilnya.”

“Kamu mencucinya?”

“Ogah aku. Aku bawa saja ke tempat pencucian mobil.”

“Oh, jadi kamu tadi pergi ke tempat pencucian mobil?”

“Ya, membawa mobil suami kamu,” katanya sambil menyendok makanannya.”

“Dia sungguh keterlaluan.”

“Tidak juga, kan aku memang sopir.”

“Kamu masih akan melanjutkannya?”

“Kamu ingin memecat aku?”

“Rio, aku tidak tega melihatmu begini.”

“Aku akan terus melakukannya sampai dia benar-benar bisa membuat kamu bahagia.”

“Rio.”

“Makanannya enak, sayang supnya sudah agak dingin.”

“Kamu sih, tidak segera makan tadi, biar dipanasin Murni ya?”

“Tidak, ini enak, dan hampir aku habiskan,” katanya sambil tersenyum, “ enak karena makan dengan ditunggui bidadari cantikku.”

“Rio … “ kata Wulan sambil tersenyum. Lalu Wulan sadar, betapa ia masih mencintai laki-laki ini, yang dengan gigih masih memegang rasa cinta untuknya, dan ingin melihatnya bahagia.


Restu sudah sampai di depan kantor Lisa. Ia melihat Lisa keluar dari sana, tapi ada pak Thomas dibelakangnya, yang berbincang dengan sangat manisnya dengan Lisa. Rio menahan rasa kesalnya, yang kemudian terasa terobati ketika Lisa sudah mendatanginya dan masuk ke dalam mobilnya.

“Benarkah kamu sudah membawa uang untuk aku?” tanyanya begitu ia duduk dan menutupkan pintu mobilnya.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 15

SELAMAT PAGI BIDADARI (13)

Karya Tien Kumalasari

“Mengapa bengong? Lakukan apa perintahku.” Kata bu Broto dengan suara masih meninggi.

“Masa sih Bu, aku harus memintanya kembali?”

“Aku tidak mau dengar alasan kamu. Pokoknya ambil kembali dan berikan kepada istri kamu, karena gelang itu milik dia.”

“Ibu terlalu memanjakan Wulan,” kesal Restu.

“Karena dia wanita yang baik. Bukan wanita yang mau menerima barang curian.”

“Ibu …”

“Kalau kamu tidak mau aku akan minta kepada ayah kamu agar memaksamu,” ancam bu Broto.

“Ibu, jangan begitu dong bu, susah bagi saya melakukannya,” rintih Restu.

“Aku tidak peduli. Kamu bisa mengambilnya dari istri kamu, jadi kamu harus bisa mengambilnya dari tangan dia.”

Restu menundukkan kepalanya. Bingung. Lebih gampang mengambil dari almari Wulan daripada mengambil dari tangan Lisa.

“Itu yang pertama. Yang ke dua, kamu harus memutuskan hubungan kamu dengan wanita memalukan itu.”

“Ibu, aku sangat mencintai dia ….”

“Cinta … cinta … cinta macam apa dengan memanjakannya bahkan dengan cara yang nista? Mencuri itu perbuatan nista. Kamu sadar tidak, dia itu bukan wanita baik-baik. Kalau dia wanita baik, tidak akan dia menuntut apapun dari kamu. Tapi dia … dia banyak menuntut. Ya kan? Ibu tahu. Kamu memberikan uang lima juta hari ini dan dia masih tidak terima. Wanita memalukan seperti dia dan kamu sangat mencintainya? Ya Tuhan, kamu dibutakan oleh sesuatu yang kamu namakan cinta. Itu nafsu! Tahu! Cinta itu sangat pintar memilih. Tidak sembarang cinta dijatuhkan. Ia hanya akan jatuh ke tempat yang baik, yang manis, yang menawan, bukan karena wajahnya tapi karena hatinya. Camkan itu Restu.”

Restu terpaku di tempat duduknya. Kedua permintaan ibunya sangat sulit dilakukannya. Mengambil gelang yang telah diberikannya? Memutuskan hubungan mereka? Mana mungkin? Entah itu namanya cinta atau apa, tapi sungguh berat berpisah dengan Lisa. Dia selalu menginginkannya, merindukannya.

“Baiklah. Kalau kamu sudah mengerti, lakukanlah. Setelah itu akan ada lagi satu permintaan untuk kamu. Aku pergi dulu,” kata bu Broto sambil berdiri, kemudian beranjak meninggalkan ruangannya dengan cepat, meninggalkan Restu yang masih terpaku di tempatnya, dengan menutup pintunya pelan.

Tapi kemudian pintu itu terbuka, dan bu Broto melongok lagi ke dalam dengan sebuah ancaman.

“Kalau kamu tidak bisa melakukannya, biar ayahmu yang mengurusnya.”

Lalu pintu itu tertutup kembali, dengan agak keras.

Restu terhenyak. Ia tahu, ayahnya bisa melakukan sesuatu dengan lebih keras, dan itu sangat menakutkannya. Tapi tidak mudah juga melakukan perintah ibunya.

Restu menyandarkan kepalanya di sandaran sofa, kedua tangannya memijit-mijit pelipisnya, karema tiba-tiba ia merasa pusing.

Ketika ponselnya kembali berdering, Restu bergeming. Ia melirik ke arah ponselnya, dan melihat dari siapa panggilan itu. Kepalanya bertambah pusing ketika tahu bahwa Lisa menelponnya. Ia membiarkannya walau berkali-kali dering itu terdengar. Restu terus memijit-mijit keningnya sambil menyandarkan kepalanya.

Sebuah ketukan pintu terdengar, lalu sekretarisnya masuk. Ada surat yang harus ditandatanganinya, tapi ia hanya meletakkan berkas itu di meja kerja atasannya, lalu berdiri termangu melihat Restu bersandar di sofa, tampak lelah.

“Bapak … sakit?” tanyanya pelan, dan agak ragu.

Restu membuka matanya, dan melihat sekretarisnya berdiri tegak didekat meja kerjanya.

“Maaf Pak … “

“Ada apa?” tanyanya dingin.

“Mohon bapak menandatangani sur_”

“Tinggalkan saja di meja,” hardiknya, membuat sang sekretaris kaget, lalu bergegas meninggalkan ruangan sang pimpinan.

Restu kembali menyandarkan tubuhnya di sofa. Ia merasa kacau, tak tahu apa yang harus dilakukannya. Ancaman terakhir ibunya sangat membuatnya kecut. Masih baik ibunya memarahinya di kantor, dan itu disadari Restu dengan sesadar-sadarnya, bahwa ibunya masih menjaganya dari kemarahan ayahnya. Artinya ayahnya belum tahu apa-apa tentang kelakuannya. Ia harus bisa memenuhi perintah ibunya, mungkin salah satunya, yaitu tentang gelang itu, tapi untuk berpisah dengn Lisa, alangkah beratnya.


“Ibu seperti sedang marah, ya Mas sopir?” kata yu Sarni kepada Rio ketika sedang menunggu bu Broto.

“Memangnya tadi ada peristiwa apa? Bukankah saat berangkat sepertinya baik-baik saja?”

“Iya sih. Apa perempuan kemayu itu tadi ya, yang membuat ibu kesal?”

“Perempuan kemayu siapa?”

“Tadi ibu ketemu perempuan cantik, tapi ya ampun, kenapa ya penjahitnya, bajunya itu atasnya miring, jadi pundak satunya nggak tertutup gitu, trus bagian bawahnya juga jauh di atas lutut. Tapi kelihatannya ibu bicara baik-baik tuh. Kok kemudian tiba-tiba seperti menahan marah, dan sekarang menemui pak Restu. Apa marahnya sama pak Restu? Tapi kenapa ya?”

“Apa wanita itu ada hungannya dengan pak Restu?” kata Rio seperti bergumam.

“Apa Mas sopir?”

“Nggak kok, nggak apa-apa,” kata Rio yang tak ingin bergunjing tentang Restu dan wanita yang pernah dilihatnya.

Sementara itu bu Broto sudah kembali ke mobil. Wajahnya masih keruh, tapi tak seorangpun berani bertanya. Ia masuk begitu saja, lalu duduk seperti semula.

“Pulang Bu?” tanya Rio sambil menstarter mobilnya.

“Iya, langsung pulang, Rio.”

“Baik Bu,” jawab Rio.

Tak ada yang berbicara diantara mereka bertiga, sampai kemudian memasuki halaman rumah. Tapi begitu masuk ke rumah, bu Broto mengembangkan senyum, ketika melihat suaminya menyambutnya dari ruang tengah. Ia tak ingin tampak sedang marah, agar suaminya tidak bertanya apa sebabnya.

“Bapak kok sudah ada di rumah?”

“Sudah tadi. Apa Rio tidak cerita?”

“Cerita, aku khawatir, bapak sakit, kok tumben ke kantornya cuma sebentar.”

“Kesal aku sama Restu.”

Bu Broto terkejut. Kok sama dengan dirinya.

“Ada apa dengan Restu?”

“Pengeluaran selama setahun, lebih-lebih enam bulan terakhir, sangat membengkak. Aku tidak percaya sama dia. Banyak alasan yang tidak masuk akal.”

“Nah, itu berarti ada hubungannya dengan perempuan bernama Lisa itu. Sudah jelas Restu memanjakannya, dengan uang, bahkan nekat mencuri gelang istrinya,” kata batin bu Broto, tapi tidak ingin mengatakannya.

“Mulai sekarang aku akan aktif lagi di kantor. Semua mengeluaran harus melalui aku. Tanpa tanda tangan aku, tidak ada yang bisa mengambil uang seenaknya,” kata pak Broto kesal.

“Itu bagus Pak, aku setuju. Kalau memang Restu berbuat seenaknya, harus dibatasi semua pengeluaran atas namanya. Harus jelas untuk apa uang itu dipergunakan.”

“Iya Bu, tadi aku cepat pulang, karena kesal pada kelakuan Restu, yang melakukan hal seenaknya. Entah untuk apa uang itu dipergunakan. Kepalaku pusing sekali, lalu aku pulang.”

“Sekarang sudah baikan?”

“Aku sudah mengendapkan emosiku dengan menyanyi.”

“Menyanyi?” tanya bu Broto heran.

“Rio aku suruh menyanyi, aku kadang-kadang mengikutinya.”

Bu Broto tersenyum. Ia senang suaminya bisa terhibur karena Rio.

“Besok kalau dia sudah mengikuti Wulan, aku akan memintanya datang saat aku aku ingin dia menghibur aku. Atau besok kalau ada acara di kantor, akan aku suruh Rio menyanyi.”

“Seperti artis ya dia?” tawa bu Broto.

“Lebih dari artis. Kalau artis menyanyi mendapat imbalan berpuluh atau bahkan beratus juta, tapi Rio menyanyi hanya aku beri seratus ribu, itupun harus dipaksa karena dia selalu menolaknya.”

“Benar, dia mencari uang dengan cara wajar, tidak terlalu berharap banyak. Anak baik.”

“Tuh, kan dugaanku benar, bahwa dia orang baik?”

“Iya, ibu percaya. Bapak memang hebat, itu sebabnya dulu ibu memilih Bapak,” kata bu Broto sambil berlalu, meninggalkan pak Broto yang tertawa lepas. Ia merasa terhibur karena bisa selalu saling mendukung. Hanya saja kali itu bu Broto masih terganggu dengan kelakuan Restu. Di kantor main uang, diluaran main perempuan. Tapi dia memang belum ingin berterus terang kepada suaminya atas kelakuan anaknya. Dia akan mencoba memperingatkannya, dan baru akan bertindak lebih lanjut apabila dia tak mau menuruti keinginannya.


Siang itu Restu menjemput Lisa di kantornya. Walau mengikutinya, wajah Lisa selalu cemberut menahan kesal.

“Lisa, ayo dong, jangan marah dulu.”

“Bagaimana aku tidak kesal sama kamu, transfer uang hanya sedikit, hanya bisa beli dua baju yang biasa-biasa saja, lalu aku menelpon kamu berkali-kali kamu tidak mau mengangkatnya.

“Kamu kan harus tahu, saat itu aku di kantor, dan sedang ada meeting, mana bisa mengangkat telpon? Ponselnya saja ada di ruang kerjaku, sedangkan meetingnya di ruang yang lain,” kata Restu berbohong.

“Setelah tahu, mengapa tidak langsung menelpon aku?”

“Aku belum membuka ponsel dari tadi, dan bukankah aku sudah datang menemui kamu?”

“Tapi aku masih kesal sama kamu. Apa kamu mau menambah uang untuk aku belanja lagi?”

“Lisa, kamu sudah belanja baju banyak. Masih mau baju yang seperti apa lagi?”

“Itu hanya baju biasa saja, dan aku harus beli tas serta sepatu yang serasi dengan baju-baju itu. Kalau aku terlihat modis, bukankah kamu suka?”

“Bagi aku, kamu berpakaian seperti apa saja pasti aku suka.”

“Benarkah? Tapi kalau tidak pantas, aku yang tidak suka.”

“Ya sudah, apapun yang kamu suka … “

“Tapi janji ya, mau nambahin uangnya lagi? Kamu tahu, kantorku akan mengadakan pesta ulang tahun perusahaan, jadi aku harus tampil prima, supaya disayang oleh atasan.”

“Wah, kalau ini membuat aku cemburu dong.”

“Kenapa cemburu?”

“Aku tidak suka kamu di sayang sama atasan kamu.”

Lisa tertawa.

“Atasan aku itu sudah setengah umur. Mana mungkin aku suka sama dia? Dan mana pantas dia berbuat yang tidak-tidak?”

“Yang namanya laki-laki itu, biarpun sudah tua, tetap saja suka sama perempuan. Apalagi yang cantik seperti kamu.”

“Masa?”

“Benar, jadi mulai sekarang jangan lagi berpakaian menarik ketika sedang bekerja. Nanti atasan kamu bisa suka sama kamu. Lalu aku, bagaimana?”

Lisa tertawa keras.

“Kamu kan tahu Restu, asalkan kamu selalu menyenangkan aku dengan uang kamu, maka aku tidak akan berpaling.”

Restu terdiam. Menyenangkan Lisa dengan uang? Kemarin-kemarin masih bisa, tapi sekarang bagaimana? Sedangkan ia tidak lagi bisa mengambil uang di kantor seenaknya.

“Restu ….”

“Hmm …”

“Besok kamu akan menambah lagi uang buat aku belanja kan? Atau sekarang sudah ada?”

“Sekarang belum ada. Tunggu besok ya.”

“Tapi bener ya, besok dikasih?”

“Iya,” kata Restu asal. Padahal dia belum tahu bagaimana caranya bisa mendapatkan uang lagi, sementara uang yang dipegangnya sudah menipis.

“Kemana kita?

“Kali ini aku akan langsung mengantarkan kamu pulang, aku harus bersiap-siap karena akan segera pindah rumah.

“Oh ya, kapan kamu pindah rumah?”

“Dua hari lagi.”

“Senangnya. Aku tak sabar menunggu kebebasan kamu untuk aku setiap saat,” kata Lisa gembira.


Sore itu Restu memang langsung pulang. Kepalanya masih berdenyut pusing gara-gara ibunya tiba-tiba mengetahui hubungannya dengan Lisa, dan juga melihat gelang yang dipakai Lisa.

“Dasar Lisa, mengapa juga memakai gelang itu untuk harian?” keluh Restu berkali-kali.

Dan keesokan harinya Restu benar-benar tidak bisa mentransfer uang seperti janjinya kepada Lisa. Sudah tertutup kemungkinan untuk mengobral uang demi menjerat cinta Lisa kepadanya.

Tapi ketika itu Lisa bisa mengerti, karena Restu punya alasan sedang sibuk pindah rumah, padahal dia tidak melakukan apa-apa. Semua barang yang harus dibawanya pindah rumah sudah dibereskan oleh Wulan dan dibantu Murni, kemudian ditatanya di kamar seperti tatanan di rumah orang tuanya.

“Aku tidak tidur di kamar ini,” katanya kesal kepada Wulan ketika melihat baju-bajunya ditata di almari di dalam kamar yang sedianya untuk mereka berdua.

“Ya, tentu saja. Siapa yang menyuruhmu tidur di kamar ini?”

“Kalau begitu suruh Murni memindahkannya di kamar depan. Disitu aku akan tidur.”

“Kemarin di taruh di situ karena ibu ikut mengaturnya. Nanti biar Murni memindahkannya di kamar manapun yang kamu inginkan,” jawab Wulan sambil meninggalkan Restu menggerutu di ruang tengah. Ia menuju dapur dimana Murni mengatur semua perabot dengan rapi.

“Dapur ini akan menjadi tempat masak makanan kita berdua Murni.”

“Kenapa berdua Bu?”

“Pak Restu tidak pernah makan di rumah.”

“Oh, kalau begitu kita masak apapun yang ibu inginkan.”

“Dan yang juga kamu inginkan,” kata Wulan sambil tersenyum.

“Dan untuk mas sopir juga kan Bu?”

“Oh iya, aku lupa ada mas sopir,” kata Wulan yang masih bertanya-tanya, bagaimana Rio begitu betah berada di rumah keluarga Broto dan sekarang ditugaskan untuk menjadi sopir pribadinya.

“Wulan, aku mau bicara,” tiba-tiba Restu berteriak dari ruang tengah.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 14

SELAMAT PAGI BIDADARI (12)

Karya Tien Kumalasari

Bu Broto semakin mendekati wanita itu, untuk meyakinkan dugaannya.

“Itu, bukankah gelang Wulan yang hilang? Tentu saja aku tahu, karena aku yang memesannya, persis dengan punyaku sendiri. Mengapa wanita itu bisa memakainya?”

Wanita itu beralih ke gantungan baju di sebelahnya, dan bu Broto mengikutinya, pura-pura mengamati baju di tempat itu, dan semakin yakin bahwa itu adalah gelang menantunya yang hilang, karena ada inisial huruf W disitu, sedang miliknya sendiri hurufnya B.

“Maaf jeng, gelangnya bagus,” tak tahan, bu Broto menyapanya.

“Oh, ini? Iya Bu, ini gelang pemberian pacar saya,” jawab wanita itu yang memang Lisa adanya.

“Aduh, bagus sekali, saya kok suka melihatnya. Modelnya cantik.”

“Ibu suka?” kata Lisa sambil mengacungkan tangannya yang bergelang, dengan bangga. Dan itu membuat bu Broto semakin yakin.

“Waduh, bagus sekali. Dimana ya ini belinya? Saya suka modelnya,” kata bu Broto masih berpura-pura.

“Waduh, maaf Bu, saya tidak tahu dia belinya di mana, soalnya dia memberinya begitu saja, dan entah kapan dan di mana dia beli, saya tidak bertanya. Yang penting saya suka. Ini gelang mahal lho bu, ada permata berlian di sini. Lihat Bu, ini berlian, bukan batu biasa,” kata Lisa masih dengan kebanggaan yang menyelimutinya.

“Iya, ini berlian. Senang ya, punya pacar orang kaya, bisa memberikan hadiah yang mahal untuk kekasihnya.”

“Pacar saya itu seorang pengusaha muda Bu, tentu saja uangnya banyak.”

Pikiran bu Broto langsung ke arah anak laki-lakinya. Pasti dia mengambil punya istrinya untuk diberikan kepada wanita genit yang berpakaian minim itu. Rasa geram dan marah kepada Restu mulai merayapI hatinya. Kalau tidak, mana mungkin gelang itu bisa berada di tangan wanita itu?

“Iya … iya, kalau tidak kaya mana bisa beli gelang sebagus ini,” kata bu Broto yang dengan sekuat tenaga berusaha menahan perasaannya.

“Mau difoto tidak Bu, barangkali Ibu mau pesan yang seperti ini, supaya modelnya bisa pas,” kata Lisa yang sama sekali tak pernah tahu bahwa wanita dihadapannya adalah yang memiliki gelang ini sebelumnya sebagai hadiah untuk menantu tersayangnya.

“Oh, iya .. bagus lah, kalau boleh.”

Bu Broto lalu mengambil ponselnya, lalu di potretnya gelang di tangan Lisa, saekaligus ia memotret pemakai gelang itu sekalian.

“Wanita bodoh. Kamu membiarkan harimau untuk menerkam dirimu sendiri,” kata batin bu Broto sambil memasukkan ponsel ke dalam tasnya kembali.

“Ibu kok motret saya juga sih?”

“Nggak apa-apa kan jeng, saya suka, kan jeng juga cantik?”

Lisa tertawa senang.

“Kalau ibu punya anak laki-laki ganteng, boleh dong menjadi menantu ibu,” kata Lisa sambil tertawa sumringah.

“Lho, kan tadi bilang sudah punya pacar? Yang memberi gelang itu, bukankah pacar jeng?”

“Nggak apa-apa Bu, kalau ada yang lebih ganteng, apalagi lebih kaya. Hari ini dia sudah mengecewakan saya. Mentransfer uang hanya lima juta saja. Padahal saya baru melihat baju-baju bagus, habis dong uang lima juta untuk dua potong baju? Itu juga baju biasa saja buat saya sih,” kata Lisa dengan sombongnya.

Bu Broto menahan rasa kesal dan marahnya. Ia harus segera menjauh dari tempat itu sebelum tangannya yang gatal berhasil mencakar wajah cantik di depannya.

“Sudah ya Bu, pakaian disini tidak ada yang cocok buat saya. Oh ya, jangan lupa kalau ibu punya anak laki-laki ganteng ya. Pastilah Ibu ini juga orang kaya, penampilan Ibu kan sudah kelihatan.”

“Tidak jeng, saya orang biasa saja kok. Ya sudah, saya juga mau pulang,” kata Bu Broto sambil menggamit lengan yu Sarni yang sejak tadi bengong seperti sapi ompong.

“Yu, ini dulu ya bajunya, Murni pasti suka ya Yu?”

“Ini bagus sekali Bu, sudah. Mana mungkin Murni tidak suka,” kata yu Sarni.

“Kamu ambil barang belanjaan di penitipan ya Yu, lalu tunggu aku di lobi. Aku mau bayar baju-baju ini dulu, lalu memanggil taksi. Atau menelpon Rio saja ya Yu, enaknya.”

“Terserah Ibu saja. Kalau mas Rio nanti pasti mau membantu mengusung belanjaan ke mobilnya.”

“Ya sudah, kamu ke sana dulu, aku mau ke kasir sambil menelpon Rio.”


Rio sedang duduk di dalam mobilnya, masih berkutat dengan laptopnya ketika tiba-tiba Wulan mendekat.

“Rio.”

“Eit. Kamu membuat aku terkejut saja, bidadari cantik,” kata Rio sambil menutup laptopnya.

“Sampai kapan kamu melakukan semua ini?”

“Apa maksudmu?”

“Kamu tidak bisa terus begini bukan? Kamu seorang pimpinan perusahaan besar. Mengapa kamu melakukannya?”

“Apa kamu mau memecatku?”

“Bukan begitu. Kamu kan punya pekerjaan. Mengapa kamu melakukan semua ini? Aku hanya tak mau pekerjaan utama kamu terbengkalai.”

“Kamu tidak usah khawatir, aku tetap bisa mengendalikannya kok.”

“Rio, seharusnya kamu tidak melakukan ini.”

“Saya harus berhenti?”

“Bukankah sebaiknya begitu?”

“Katakan pada pak Broto, dan minta agar beliau memecat aku, baru aku mau berhenti,” kata Rio tandas.

“Rio ….”

“Lakukan saja.”

“Ya Tuhan, Rio … aku hanya kasihan sama kamu.”

“Mengapa kasian? Aku bahagia dengan semua ini, dengan bisa melihat kamu setiap hari.”

“Kita sudah seharusnya berjauhan Rio, cari wanita yang lebih baik dari aku. Sangat banyak di luar sana.”

“Aku hanya akan berhenti saat aku melihat kamu bahagia. Kamu hidup bersama suami yang tidak berharga. Kamu masih akan tetap setia mendampinginya?”

“Ini demi kedua mertua aku, Rio. Mereka sangat menyayangi aku. Tak tega aku melukainya.”

“Jadi kamu rela mengorbankan kebahagiaan kamu demi rasa balas budi kepada kedua mertua kamu?”

“Rio. Mengertilah.”

“Tidak, aku tidak bisa mengerti. Dan segeralah masuk ke dalam. Karena kalau ayah mertua kamu keluar dan melihat kamu berbincang dengan sopir ganteng ini, maka kamu akan dituduh menyukai aku,” kata Rio sambil tersenyum menggemaskan.

Wulan menghela napas panjang, kemudian membalikkan tubuhnya, dan melangkah perlahan ke dalam rumah.

Rio menatap punggung kekasih hatinya itu dengan perasaan tak menentu. Sungguh dia tak tega melihat kekasihnya menderita.

Ketika dia kembali membuka laptopmya, toba-tiba ponselnya berdering.

“Rio, bisakah menjemput sekarang?” suara bu Broto ketika Rio mengangkatnya.

“Baiklah Bu, saya jemput sekarang,” jawab Rio yang kemudian menutup ponselnya, kemudian menstarter mobilnya, menuju supermarket di mana tadi majikannya berbelanja.


Di sepanjang perjalanan pulang, bu Broto tampak diam. Ia sangat geram setelah melihat gelang yang dipakai wanita tadi. Ia yakin, Restu lah yang dimaksud wanita itu. Siapa lagi pengusaha muda yang memberikan gelang itu kepada pacarnya? Bukankah Wulan yang kehilangan gelang itu?

Ia sama sekali tak menyangka anaknya mampu berselingkuh sementara di rumah ada seorang istri cantik yang sangat manis budi. Baiklah, mungkin dugaannya salah, walau dia hampir yakin. Dan ia harus membuktikannya.

“Kalau aku bilang pada ayahnya, pasti dia akan marah sekali. Bisa-bisa Restu diusir dari rumah,” kata batin bu Broto.

Naluri seorang ibu, yang walau sedikit tapi tak bisa membenci anak kandungnya begitu saja, apalagi kalau sampai si anak diusir dari rumah.

“Nanti aku akan menegur Restu dulu dan tidak perlu melapor kepada ayahnya.”

“Ibu sakit?” tiba-tiba tanya yu Sarni yang melihat perubahan sikap majikannya.

“Tidak Yu.”

“Apa wanita dengan pakaian kurang bahan itu membuat Ibu kesal?” tanya yu Sarni yang tidak suka melihat penampilan wanita yang berbincang dengan majikannya, dan berkata-kata sengan pongahnya tentang pacarnya. Mana yu Sarni tahu bahwa yang dimaksud pacar adalah Restu.

“Iya, dia menyebalkan ya Yu?”

“Ibu sih, tadi melayaninya,” kesal yu Sarni.

“Hanya biar dia senang kok Yu.”

“Kalau itu saya, sudah pasti sudah saya tingalkan sejak dia membuka mulut sombongnya,” gerutu yu Sarni.

“Iya ya Yu. Nggak apa-apa lah, dunia ini kan isinya macam-macam Yu, ada orang sombong, ada orang tidak tahu malu dan masih banyak lagi. Yang pemting adalah kita bisa melakukan hal terbaik untuk hidup kita. Ya kan?”

“Iya Bu.”

“Oh ya Rio, apa ketika kamu berangkat tadi, bapak sudah pulang?”

“Sudah Bu. Langsung beristirahat di kamarnya, jadi saya juga tidak pamitan sama bapak.”

“Apa bapak sakit?” tanya bu Broto yang merasa khawatir.

“Tampaknya bapak baik-baik saja.”

“Oh, syukurlah.”

Tapi kemudian bu Broto berubah pikiran. Ia ingin menemui Restu di kantornya, karena ia tak ingin suaminya mendengar tentang kelakuan anaknya.

“Rio, mampir ke kantor sebentar ya,” katanya kepada Rio.

“Ke kantornya bapak?”

“Iya.”

“Tapi bapak kan sudah pulang?”

“Aku ingin ketemu Restu.”

“Oh, baiklah Bu,” kata Rio yang kemudian memutar balik mobilnya, karena jalan ke arah kantor sudah lewat.


“Kamu menunggu di sini dulu ya Yu, aku mau ketemu Restu sebentar,” pesan bu Broto begitu keluar dari mobil.

“Baiklah Bu.”

Bu Broto bergegas melangkah ke dalam kantor, dan langsung memasuki ruang kerja Restu. Saat itu Restu sedang bertelpon.

“Iya, kamu harus sabar. Pasti aku akan mengiriminya lagi. Iya sayang.”

“Restu !” kata bu Broto yang tiba-tiba masuk.

Restu segera menutup ponselnya.

“Ibu? Kok_”

“Sedang menelpon siapa kamu?” tanya bu Broto dengan wajah masam.

“Itu Bu, rekanan bisnis,” jawab Restu sambil duduk di sofa, mengikuti ibunya yang sudah lebih dulu duduk.

“Rekan bisnis? Rekan bisnis dipanggil sayang?”

“Oh, itu … hanya bercanda kok bu.”

“Kamu pembohong!” hardik ibunya.

“Ibu? Kenapa datang-datang Ibu marah?”

“Apa yang kamu lakukan selama ini Restu?”

“Apa maksud ibu?”

Bu Broto mengambil ponsel yang ada di dalam tasnya, kemudian membuka file sebuah foto. Foto wanita yang ditemuinya di supermarket tadi.

“Ini siapa?” tanya bu Broto dengan menatap tajam anaknya.

“Ibu … ini … “

“Ini siapa? Jawab saja.”

“Ini … teman kok bu … “

“Teman? Lihat gelang yang dia pakai. Kamu kan yang memberikan gelang ini untuk dia?”

Wajah Restu pucat pasi. Bagaimana ibunya bisa mendapatkan foto-foto itu.

“Ini … foto rekayasa bukan?” jawabnya sekenanya, dengan suara bergetar.

“Apa? Foto rekayasa? Apa maksudmu? Ibu baru saja memotretnya tadi di supermarket. Rekayasa yang seperti apa maksudmu? Kamu jangan menjawab asal jawab saja. Apa kamu kira ibumu ini begitu bodohnya sehingga kamu bisa menjawab yang tidak masuk akal seperti itu?”

“Ibu …”

“Kamu mengambil gelang istri kamu dan memberikannya kepad perempuan tak sopan yang berpakaian seronok dan bicara tanpa tahu dengan siapa dia berbicara.”

“Ibu, aku … :

“Kamu berselingkuh bukan? Kamu mencuri gelang istri kamu bukan?”

“Ibu …”

“Jawab Restu!”

Restu menundukkan kepalanya. Dia tak bisa apa-apa. Kalau dia bilang bahwa dia hanya berteman, tapi gelang itu adalah bukti kuat kelakuan buruknya.

“Apa kamu bisu? Siapa perempuan itu?”

“Dia ….”

“Dia siapa?”

“Namanya Lisa.”

“Aku tidak peduli siapa namanya. Apa hubungan kamu sama dia!”

“Sebenarnya ….”

“Jawab saja, atau aku harus memanggil ayah kamu agar datang kemari sekarang supaya kamu bisa menjawabnya lebih jelas?”

‘Tidak Bu, jangan. Baiklah, saya akan menjawabnya.”

“Cepat !”

“Saya mencintai dia.”

“Apa katamu?” bu Broto berdiri lalu menampar pipi anak laki-lakinya.

“Auggh.” Restu memekik kecil.

“Kamu lupa sudah memiliki istri? Bukankah Wulan lebih cantik dan lebih santun? Dia juga selalu bersikap manis kepada siapapun. Ya Tuhan, apa istri kamu tahu pada kelakuan busuk kamu ini?”

“Saya dan Lisa sudah lama saling mencintai. Bapak dan Ibu yang memaksa Restu menikah sama Wulan,” Restu berusaha membela diri.

“Jadi kamu berpacaran sama wanita seronok itu, dan mengesampingkan istri pilihan orang tuamu? Dimana mata hati kamu Restu!”

“Saya … sangat mencintainya, dan tidak bisa meninggalkannya,” jawabnya lirih.

“Bodoh! Perempuan semacam itu yang bisa mengalahkan Wulan istri kamu? Dan wanita semacam itu yang mendorong kamu melakukan hal nista dengan mencuri perhiasan istri kamu?”

“Maaf Bu. Saya pikir Wulan tidak menyukainya, jadi ….”

“Jadi kamu kemudian mencurinya? Mencuri perhiasan istri kamu untuk kamu berikan kepada kekasih burukmu itu? Kamu tahu, berapa juta harga gelang itu, dan hanya pantas dipakai saat ada pesta atau pertemuan yang istimewa? Dan perempuan itu memakainya saat belanja, sambil mengeluh karena kamu hanya memberinya uang lima juta?”

Restu semakin menundukkan wajahnya. Dia tak mengira Lisa mengatakan semuanya kepada ibunya. Tak ada lagi yang bisa dijawabnya untuk membela diri.

“Dengar. Ambil kembali gelang itu, dan kembalikan kepada istri kamu.”

“Apa?”


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 13

SELAMAT PAGI BIDADARI (11)

Karya Tien Kumalasari

Tergagap Restu menjawabnya, karena dia telah ingkar pada apa yang telah dikatakannya, atau tadi dia memang berbohong kepada ayahnya, agar bisa berangkat dari rumah lebih cepat, demi janjinya kepada Lisa.

“Mengapa diam?” kata pak Broto dengan nada tinggi.

“Bapak … itu … jangan marah dulu, tadi ban kempes di jalan,” jawabnya sekenanya.

“Kalau ban kempes, bukankah kamu bisa menelpon ke kantor supaya sopir mengurusnya dan kamu bisa sampai di kantor lebih cepat?”

“Iya Pak, maaf. Saya tadi hanya menelpon bengkel supaya menggantikan ban mobil saya.”

Pak Broto tidak menjawab, wajahnya kusut. Ia kemudian berdiri dsn keluar dari ruangan Restu, untuk masuk ke dalam ruangannya sendiri.

Restu menghela napas lega, karena ayahnya tidak mendesaknya lebih lanjut. Ia segera teringat janjinya kepada Lisa, agar segera mentransfer uang ke rekening Lisa. Tapi dia melihat uang di rekeningnya mulai menipis. Ia keluar dari ruangan dan menuju ke ruang keuangan.

Ketika masuk, dia melihat pak Karman, manager keuangan sedang beranjak mau keluar.

“Pak Karman, saya ada perlu,” kata Restu menghentikan langkah pak Karman.

“Ya, pak Restu, ada apa?”

“Saya mau mengambil uang sekarang.”

“Tapi saya sedang ditunggu pak Broto saat ini Pak, bisakah nanti setelah saya kembali?”

“Tapi saya butuh sekarang. Saya kehabisan dana untuk kegiatan sosial di sebuah panti asuhan.”

“Maaf Pak, saya ketemu pak Broto terlebih dulu, karena tadi dia tampak tergesa-gesa,” kata pak Karman sambil terus berlalu keluar ruangan, membiarkan Restu berdiri mematung dengan wajah kesal.

Mau tak mau Restu melangkah kembali ke ruangannya. Belum sampai dia masuk ke ruangan, ponselnya berdering.

Restu kebingungan karena Lisa menelpon.

Lama dia tidak mengangkatnya, dan ponsel itu terus berdering.

Restu baru mengangkatnya setelah berada di dalam ruangannya.

“Ya Lisa …”

“Restu gimana sih?”

“Eh, sayangku, jangan marah dulu. Ayahku ada di kantor dan manager keuangan sedang berbicara dengannya. Sabar dulu, aku kan harus mengambil uang terlebih dulu.”

“Ya ampun, aku sudah minta ijin pada pimpinan untuk bisa keluar sebentar untuk belanja, tapi uangmu belum masuk.”

“Baiklah, sebentar ya, tapi ini tidak sebesar biasanya, karena aku belum mengambil lagi uangnya.”

“Kamu itu pimpinan macam apa sih, masa sampai kehabisan uang?”

“Kan sebagian besar uang aku berikan sama kamu, sayang. Kamu harus mengerti bahwa terkadang aku juga harus mengambil dulu di kantor.”

“Baiklah, aku tunggu, tapi janji ya, besok harus ditambah lagi.”

“Baiklah, sayang, apapun aku akan lakukan demi kamu,” kata Restu yang kemudian sedikit kesal karena Lisa memutuskan sambungan tiba-tiba.

Restu segera mentransfer uang

Beberapa juta saja, karena dia belum sempat mengambil uang lagi.


Sementara itu, di ruangan pak Broto, pak Karman sedang duduk menunggu pak Broto yang sedang memeriksa laporan keuangan yang digarapnya.

Pak Broto tampak menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Mengapa banyak sekali uang keluar dengan atas nama Restu?”

“Pak Restu menangani sendiri semua kegiatan sosial setiap bulannya. Uang itu kata pak Restu disumbangkannya ke beberapa panti asuhan,” terang pak Karman.

“Mana laporan penerimaan dana sumbangan itu?”

“Pak Restu belum memberikannya kepada saya Pak.”

“Bagaimana kamu ini, Karman? Kamu tidak bisa sembarangan mengeluarkan uang, tanpa ada kejelasan.”

“Tapi pak Restu selalu marah kalau saya menanyakannya. Katanya masih tertinggal ruangannya, atau entah dengan alasan apa.”

“Kamu benar-benar seorang pimpinan yang tidak becus. Perusahaan ini bisa ambruk kalau kamu dengan mudahnya mengeluarkan uang, hanya karena anakku yang memintanya.”

“Saya mohon maaf Pak.”

“Kamu tidak usah takut biarpun Restu itu anakku.”

“Ini tadi juga pak Restu mau minta uang lagi, belum jelas kegunaannya.”

“Baiklah, mulai saat ini kamu tidak bisa mengeluarkan uang tanpa tanda tanganku. Mengerti?”

“Baik Pak.”

“Perbaiki laporan ini dan cari tanda terima dari setiap panti asuhan yang mendapat sumbangan.”

“Baik.”

Pak Karman keluar dari ruangan, dan mendapatkan Restu sedang menuju ke ruangannya.

“Baru selesai?” tanya Restu.

“Ya Pak. Tapi kalau Pak Restu mau mengambil uang lagi, harus mendapat persetujuan dari pak Broto.”

“Apa? Aku ini kan anaknya pak Broto?”

“Itulah tadi yang dikatakan pak Broto. Mari mengisi blangko pengeluaran uang, lalu Pak Restu minta tanda tangan pak Broto terlebih dulu.”

Wajah Restu merah padam karena kesal. Ia tidak bisa mengingkari janjinya pada Lisa, karena Lisa mengancam akan meninggalkannya.

Baru saja dia masuk ke ruangan, sekretarisnya mengatakan bahwa ayahnya memanggilnya.

Restu melangkah ke ruangan ayahnya, sambil mereka-reka jawaban apa yang akan dikatakannya kalau ayahnya bertanya tentang uang yang selalu digunakannya.

Perlahan ia membuka pintu, dan tak urung hatinya berdebar. Pasti manager keuangan sudah melaporkan semua uang yang dipergunakannya, terbukti semua pengeluaran uang harus dengan sepengetahuan ayahnya.

“Lama sekali, kemana saja sih kamu? Mengapa tidak ada di ruangan?”

“Maaf Pak.”

“Duduk,” perintah sang ayah tegas.

Restu dudu didepan meja kerja ayahnya.

“Untuk apa saja kamu mengeluarkan banyak uang selama setahun ini? Baru hari ini aku sempat memeriksanya, dan terkejut melihat laporan yang dibuat manager keuangan.”

“Apa pak Karman tidak bilang bahwa saya hanya mengambil uang untuk kegiatan sosial yang langsung saya tangani?”

“Apakah seorang pimpinan seperti kamu yang harus menangani semua itu sendiri? Apa tidak ada staf yang bisa kamu suruh untuk melakukannya?”

“Saya ingin berbincang secara langsung dengan para pimpinan yayasan itu, sehingga tahu apa yang sesungguhnya mereka butuhkan.”

“Mana bukti semua pengeluaran itu?”

“Saya tidak pernah memintanya Pak.”

“Kamu ini pimpinan macam apa sih Restu, aku kira selama setahun ini kamu bisa mengemudikan perusahaan dengan benar. Ternyata aku salah telah memilih kamu untuk menanganinya, biarpun kamu anakku sendiri.”

Restu tertunduk di tempatnya duduk.

“Mulai sekarang kamu tidak bisa mengambil uang langsung, tanpa harus ada peretujuan dari aku. Aku tidak suka bertele-tele menunggu jawaban kamu, yang pasti akan membuat aku kesal.”

“Saya minta maaf Pak, tapi sekarang saya berjanji kepada Yayasan Peduli Bagi Duafa untuk bisa memberikan bantuan.”

“Apa? Yayasan itu belum lama ini sudah mendapatkan bantuan dari kita. Dan memberikan bantuan atau santunan itu ada saatnya, tidak sembarangan seperti yang kamu lakukan.”

“Tapi Pak …”

“Sudah, sudah … jangan bicara apa-apa lagi. Rupanya sekarang aku harus kembali aktif di perusahaan. Keluarlah, dan ingat, pengeluaran uang harus dengan sepengetahuan aku. Kamu merusak tatanan dan mengumbar uang dengan tidak jelas. Aku tidak mau mendengar alasan apapun dari kamu. Yang jelas, aku tidak lagi mempercayai kamu,” kata pak Broto tandas.

Restu keluar dari ruangan dengan langkah gontai. Bayangan Lisa yang marah-marah terlintas di kepalanya.

Sementara pak Broto tampak memijit-mijit keningnya karena tiba-tiba kepalanya terasa sangat pusing.

“Sedikit saja aku lengah, perusahaan ini akan hancur di tangan anakku sendiri.”


Rio sedang mengotak atik laptop dari dalam mobil Wulan ketika tiba-tiba mobil pak Broto memasuki halaman. Dengan segera Rio menyimpan laptpnya, lalu keluar menyambutnya.

“Rio,” sapa pak Broto sambil tersenyum.

“Ya Pak.”

“Ayo ke teras, ambil gitarmu, aku ingin mendengarkan kamu menyanyi,” kata pak Broto sambil melangkah kemudian duduk di teras.

Rio mengikutinya dengan heran. Siang-siang begini, sang bos besar ingin mendengarnya menyanyi?

“Ayo, itu gitarmu bukan?”

“Sekarang Pak?”

“Bulan depan,” pak Broto sambil menyandarkan tubuknya ke kursi.

Rio tersenyum. Ia melihat wajah pak Broto tampak keruh, pasti ada hal yang membuatnya kesal di kantor.

Rio mengambil gitar yang terletak di sudut teras, kemudian duduk agak jauh di depan pak Broto.

“Kamu tidak mengantarkan ibu belanja?”

“Tadi ibu hanya meminta saya mengantarkan, lalu meminta saya pulang, barangkali bu Wulan membutuhkan saya, katanya.”

“O, baguslah, dengan demikian aku bisa mendengarkan kamu menyanyi,” katanya sambil tersenyum.

“Cepat menyanyilah,” kata pak Broto tak sabar.

“Lagu apa ya Pak?”

“Terserah kamu, mau menyanyi lagu apa, yang penting aku bisa terhibur. Kamu tidak melihat wajahku kusut?”

“Iya Pak, saya melihatnya.”

“Hm, banyak masalah di kantor. Kepalaku pusing, menyanyilah, agar aku merasa lebih relax.”

Rio mengangguk, lalu mulai memetik gitarnya.

“O my heart, won’t belive that you were left me. I keep teling my self that it’s true. I can get over anything you want my love. But I can’t get my self over you. Don’t forget to remember me.. And the love that used to be, I still remember you. I love you ……….

Pak Broto mengangkat tubuhnya, dan mengikuti irama lagu sambil manggut-manggut, bahkan sedikit mengikutinya kala dia hafal syairnya.

Rio merasa senang, begitu menyelesaikan lagunya, wajah pak Broto tampak lebih cerah. Ia bertepuk tangan keras sekali.

“Bagus Rio, itu Don’t forget to remember me, lagu kesukaanku juga,” seru pak Broto.

“Lagi ?” Rio menawarkan.

“Tentu saja Rio, ayolah,” kata pak Broto gembira.

“Please, release me let me go … for I don’t love you anymore …”

“Wah, iya … lagu kejam itu, tapi bagus, aku suka lagunya, teruskan … teruskan …” kata pak Broto gembira.

Wulan yang mendengan dentang gitar dan suara Rio, keluar dari kamar, mengintip ke teras, lalu senyumnya merekah melihat Rio sedang menyanyi didepan ayah mertuanya.

Pak Broto menghela napas lega begitu Rio selesai menyanyikan lagunya.

“Benar kata orang, menyanyi bisa meringankan beban pikiran.”

“Iya Pak.”

“Itukah sebabnya maka wajah kamu selalu tampak berseri? Karena kamu suka menyanyi?”

Rio tersenyum. Bagaimana wajahnya tidak selalu tampak berseri kalau setiap hari bisa melihat wajah pujaan hatinya?

“Ya, sudahlah, aku mau istirahat dulu sebentar, sambil menunggu ibu pulang dari belanja.”

“Sebenarnya tadi saya minta agar ibu menelpon kalau sudah selesai, supaya saya bisa menjemputnya,” kata Rio sambil meletakkan kembali gitarnya di tempat semula.

“Mungkin belum selesai belanja, atau memilih naik taksi saja, kalau dia butuh kamu pasti akan menelpon,” kata pak Broto sambil beranjak ke dalam.

Rio keluar dari teras, kembali ke mobil lalu mengambil laptopnya. Ada yang harus dikerjakannya tentang perusahaannya sendiri.


“Sudah semua bu Wulan,” kata Murni ketika membantu Wulan bebenah.

“Bagus Murni, aku kira cukup, sekarang kamu istirahatlah.”

“Baik Bu, saya akan menata meja saja, tadi simbok berpesan begitu.”

“Baiklah, kan kita juga sudah selesai masak? Ayo aku bantu.”

“Biar saya saya, bu Wulan.”

“Tidak, biar aku bantu, aku sudah biasa bekerja, tidak enak membiarkan sesuatu yang belum selesai.”

“Bu Wulan rajin.”

“Kamu tahu dari mana, kan kamu baru kemarin datang?”

“Simbok sudah cerita banyak tentang bu Wulan.”

“Ah, yu Sarni itu berlebihan. Biasa kan seorang perempuan mengerjakan semua pekerjaan rumah?”

“Bu Wulan juga rendah hati.”

“Eeh, sudahlah. Kok jadi acara puji memuji nih. Ayo ke belakang,” kata Wulan sambil menarik tangan Murni.


Bu Broto sudah berbelanja sayur dan semua kebutuhan dapur bersama yu Sarni tapi masih mengingat-ingat barangkali ada yang terlupa.

“Apa lagi ya Yu, ada yang kurang?”

“Kalau yang saya catat semuanya sudah Bu, tinggal Ibu mau menambah apa lagi.”

“Ayo kita ke kasir, lalu belanjaan kita titipkan di penitipan. Setelah itu ke counter pakaian ya yu.”

“Ibu mau beli pakaian?”

“Aku mau beli untuk Murni.”

“Ah, Ibu, Murni kan masih punya, biarpun hanya satu dua.”

“Tidak apa-apa, kan sebentar lagi dia akan mengikuti Wulan, biar senang punya beberapa baju baru.”

“Yah, Ibu.”

Yu Sarni tak bisa membantah, ia membawa belanjaan ke kasir, dan membiarkan bu Broto membayarnya, kemudian menitipkannya di penitipan barang.

“Ayo kita naik,” ajak bu Broto.

Keduanya naik ke lantai dua, lalu melihat-lihat pakaian yang dipajang.

“Ini bagus ya Yu?”

“Jangan yang mahal-mahal Bu, kan hanya untuk di rumah.”

“Sesekali biarlah dia memakai pakaian yang agak mahal. Sudah, kamu nggak boleh protes. Ini juga bukan yang mahal sekali kok, biasa saja.”

Tiba-tiba bu Broto melihat seorang wanita cantik, sedang memilih-milih baju. Tapi bukan kecantikan wanita itu yang menarik bagi bu Broto.

Ia mendekat, berpura-pura memilih pakaian yang ada di dekat wanita itu. Lalu melirik ke arah pergelangan tangannya. Gelang itu, dia sangat mengenalinya.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 12

SELAMAT PAGI BIDADARI (10)

Karya Tien Kumalasari

“Apa ada masalah di kantor? Maksudku, tentang keuangan?” tanya bu Broto.

“Aku belum tahu Bu, kan baru mau diperiksa. Agak merasa aneh sih, kok pengeluaran selama enam bulan ini sepertinya membengkak.”

“Bagian keuangan kan orang-orang yang bisa dipercaya sih Pak?”

“Benar, itu sebabnya aku mau mencari, salahnya di mana.”

“Semoga baik-baik saja. Dan ibu minta, Bapak juga jangan sampai kecapekan. Akhir-akhir ini terlalu banyak yang Bapak urusi.”

“Benar, itu karena ada kerjasama dengan pihak lain, yang Restu belum bisa menanganinya.”

“Suruh Restu belajar, kan memang dia ditugaskan untuk mengurus semuanya?”

“Benar, Restu memang harus belajar. Nanti aku ngomong lagi sama dia, bahwa dia harus ikut di setiap meeting dengan klient.”

“Wulan, kok diam saja,” tegur bu Broto.

Wulan tersenyum.

“Wulan kan tidak paham dengan semua yang dibicarakan,” jawab Wulan sambil memasukkan suapan terakhirnya.

“Lain kali kamu juga harus belajar, supaya kalau bapak benar-benar pensiun, kamu bisa mendampingi suami kamu mengurus perusahaan,” kata pak Broto.

“Benar apa yang dikatakan bapakmu itu Wulan, ada baiknya kamu belajar. Sesekali ikutlah suami kamu ke kantor, supaya tahu bagaimana usaha mertua kamu ini,” sambung bu Broto.

Wulan lagi-lagi hanya tersenyum, sambil meletakkan sendok garpunya di piring.

“Wulan mana bisa Bu?”

“Kalau kamu belajar sudah pasti bisa. Kamu kan lulusan perguruan tinggi, pasti punya keahlian dalam mengelola sebuah usaha. Hanya karena belum berpengalaman, jadi merasa tidak bisa.”

“Eh, itu kan Murni?” seru Wulan ketika melihat Murni sudah ada di dapur.

“Nanti bicaralah sama Murni, dia yang akan menemani dan membantu kamu di rumah baru,” kata bu Broto.

“Iya Bu,” kata Wulan dengan wajah berseri. Dia agak merasa terhibur dan tidak sendirian nantinya.

“Bapak kok makannya sudah?”

“Sudah kenyang Bu, ini tadi sudah nambah dua kali, nanti perut bapak bisa meletus kalau harus nambah lagi,” canda pak Broto.

“Meletus? Balon … ‘kali.”

Wulan segera berdiri, menumpuk piring-piring bekas, sementara pak Broto berdiri meninggalkan ruang makan, diikuti istrinya.

“Murni, apa kabar?” sapa Wulan sambil menepuk bahu Murni.

Murni anak yu Sarni, adalah gadis yang sudah remaja. Dia baru saja lulus sekolah SMA. Gadis itu manis, dan pintar. Dia sudah sering membantu ibunya di rumah itu setiap liburan.

“Kabar baik, bu Wulan.”

“Senang rasanya, bakal ditemani kamu nantinya.”

“Iya, saya juga senang.”

“Kamu tidak akan aku anggap sebagai pembantu. Kamu keluarga aku juga,” kata Wulan sambil duduk di kursi dapur, sementara yu Sarni membersihkan meja makan.

“Terima kasih, bu Wulan. Saya senang, soalnya daripada bengong di rumah setelah lulus.”

“Nanti kamu tidak akan bengong, karena menemani aku ngobrol,” kata Wulan sambil tersenyum.

Murni menatap calon majikannya, yang kalau tersenyum tampak sangat menawan. Dia juga baik, dan ramah kepada siapapun. Belum dijalani, dia sudah merasa kerasan akan berada di rumah Wulan.

“Nanti kalau sudah tidak capek, bantu aku bebenah barang-barang ya, mungkin minggu depan kami akan pindah ke rumah baru.

“Baik, bu Wulan. Saya tidak capek kok. Kalau di suruh sekarang, saya siap.”

“Jangan Murni, Kamu kan baru datang. Nanti atau besok juga nggak apa-apa.”

“Benar Wulan, besok saja bebenah sama Murni, aku akan belanja sama Sarni,” kata bu Broto yang tiba-tiba masuk ke dapur.

“Oh iya, Ibu kan mau belanja. Tidak apa-apa kalau Wulan harus menemani dulu.”

“Tidak, aku sama Sarni saja. Selesaikan kamu mengurus barang-barang. Kan tidak usah bawa almari, karena di sana semuanya sudah siap.”

“Baiklah kalau begitu Bu, jawab Wulan, yang kemudian berdiri dan beranjak ke depan.

Dilihatnya ayah mertuanya sedang berbincang dengan Rio di teras.

“Aku senang kalau kamu kerasan bekerja di sini,” terdengar suara ayah mertuanya.

“Tentu saja Pak, karena Bapak sangat baik kepada saya,” kata Rio.

Lalu terdengar ayah mertuanya tertawa.

Wulan duduk di ruang tamu, pura-pura membaca koran yang terletak di meja, tapi telinganya menguping pembicaraan Rio dan ayah mertuanya.

“Rio, maukah kamu besok membawa gitar kamu?”

“Gitar, Pak? Untuk apa?”

“Aku mau mendengar kamu menyanyi lagi.”

Rio tertawa. Wulan tersenyum mendengarnya.

“Syukurin, salah sendiri pakai pura-pura jadi pengamen segala,” kata batin Wulan.

“Suara saya jelek, pak,” kata Rio masih sambil tertawa.

“Siapa bilang? Suara kamu bagus, aku terkesan sama kamu, karena mendengar suara kamu, dan lagu-lagu yang kamu nyanyikan. Itu semua mengingatkan aku saat muda dulu, saat mengejar cinta ibunya Restu,” kata pak Broto tanpa malu-malu.

“Bapak suka menyanyi?”

“Dulu saya suka menyanyi. Tapi sekarang suka mendengarkan saja, karena suaraku sudah buruk, sember, seperti panci ditabuh.”

Lalu keduanya terbahak. Wulan yang ada di dalam ikut tersenyum mendengarnya.

“Ada apa Wulan, kok senyum-senyum sendiri?” tiba-tiba ibu mertuanya datang dan duduk di depannya.

“Itu Bu, mendengar pembicaraan bapak sama Rio.”

“Bicara apa mereka?”

“Bapak ingin agar Rio besok membawa gitar.”

“Oh ya? Kangen suara Rio barangkali.”

“Kata bapak, dulu sering menyanyi buat ibu, saat mengejar cinta Ibu,” goda Wulan.

Bu Broto terkekeh.

“Bapakmu itu tidak tahu malu. Masa sih, seperti itu diceritakan sama Rio.”

“Ya tidak apa-apa dong Bu, mengenang masa-masa manis dulu.”

“Hiiih, memalukan,” kata bu Suryo tersipu.

Wulan tersenyum, senang membayangkan betapa mesra dulu ayah dan ibu mertuanya saat masih pacaran. Tapi tiba-tiba hatinya merasa miris sendiri. Mengapa kebahagiaan itu tidak bisa menyentuhnya dan tidak membiarkan dia bersama laki-laki yang dicintainya?

Di teras sana, pak Broto dan Rio terus terkekeh, karena pak Broto menceritakan kisah cintanya dulu dengan bu Broto.

Karena kesal, bu Broto kemudian keluar, menghentikan celoteh suaminya tentang masa lalunya.

“Bapak iih, mengapa cerita-cerita seperti itu. Nggak malu sama Rio, apa?”

Pak Broto menoleh kepada isterinya yang tiba-tiba muncul di depan pintu.

“Sini, duduk sini Bu,” pak Broto malah menyuruh istrinya duduk.

“Nggak mau. Bapak aneh. Jangan dengarkan Rio, bapak itu suka ngarang.”

“Eeh, siapa ngarang? Itu benar Rio. Dulu ibunya Restu itu menolak aku, tapi malu-malu mau pada akhirnya.”
Bu Broto mencubit lengan suaminya.

“Bapak nggak lucu deh. Oh ya Rio, besok antarkan aku belanja ya?” kata bu Broto mengalihkan pembicaraan.

“Baik Bu.”

“Aku sama yu Sarni, soalnya Wulan mau bebenah barang-barang yang mau dibawanya ke rumah baru.”

“Baik.”

“Tapi kalau kamu sudah di sana, sesekali harus datang kemari. Gitarmu harus selalu dibawa, karena kalau sewaktu-waktu aku ingin kamu menyanyi, kamu harus siap,” kata pak Broto.

“Baik Pak, besok akan saya bawa.”

“Bagus Rio, sekarang beristirahatlah. Di dekat garasi ada kamar korong, itu memang untuk sopir. Biasanya sopir kantor kalau aku membutuhkannya, sebelum aku siap aku suruh dia istirahat dulu di kamar itu.”

“Baik Pak, saya istirahat di mobil saja.”

“Terserah kamu saja Rio, aku juga mau istirahat dulu,” kata pak Broto sambil masuk ke dalam rumah, diikuti istrinya.

Rio memilih istirahat di dalam mobil, karena dia punya pekerjaan lain. Dia harus memantau usahanya walau tidak selalu berada di kantor. Ada laptop yang diletakkan di dalam bagasi, yang sewaktu-waktu dipergunakannya.


Pagi itu seperti biasa Restu makan dengan tergesa-gesa. Ia hanya mengambil sedikit nasi, supaya bisa segera pergi.

“Restu kenapa sih, tidak pernah sarapan dengan benar, selalu seperti tergesa-gesa,” tegur ibunya.

“Iya Bu, soalnya Restu selalu bangun kesiangan, jadi takut terlambat. Restu kan harus memberi contoh yang baik untuk karyawan, jadi Restu harus datang sebelum mereka datang, untuk mendisiplinkan mereka supaya bisa datang lebih pagi, agar tidak kedahuluan pimpinannya,” kata Restu sambil meletakkan sendoknya.

Pak Broto melirik sekilas, dan mengangguk senang.

“Hei, mengapa tidak pamit sama istri kamu?” teriak pak Broto jarena Restu langsung keluar dengan tergesa, hanya mencium tangan ayah dan ibunya sekilas.

“Aku berangkat Wulan,” teriaknya dari arah yang agak jauh, karena dia tidak mau berhenti.

Bu Broto menghela napas kesal. Ia maklum kalau Wulan juga tidak mau berdiri untuk mengantarkan suaminya, soalnya sikap Restu juga seenaknya.

Restu langsung menghampiri mobilnya, lalu dia berteriak kesal karena ketika dia mau keluar, tiba-tiba sebuah motor yang dikendarai Rio memasuki halaman.

Restu membuka kaca mobilnya dan menatapnya marah.

“Bodoh!” hardiknya sambil berlalu.

Rip menoleh dan bergumam pelan:

”Dia memaki aku? Bilang! Supaya aku bisa menghajarnya,” ujarnya geram sambil menghentikan motor bututnya, lalu memasukkannya ke garasi. Ia sengaja membawa motor butut yang dipinjam dari salah seorang karyawannya, yang kemudian menukarnya dengan motor baru.

Pak Broto yang baru keluar dari rumah, tersenyum melihat Rio datang sambil membawa gitar yang digantungkan di pundaknya.

“Bagus Rio, ayo menyanyi dulu, sini,” sambut pak Broto dengan gembira.

“Rio menghampiri pak Broto, lalu duduk di tangga teras.

“Eeh, sini Rio, kamu benar-benar mau mengamen apa? Ayo duduk di kursi, aku ingin mendengar suara kamu lagi,” suara cerah pak Broto.

Rio berdiri, kemudian duduk di kursi pendek, di hadapan pak Broto.

“Mau lagu apa Pak?” tanya Rio.

“Terserah kamu saja. Aku yakin pasti kamu akan menyanyikan lagu yang bagus untuk aku. Oh iya, itu saja, I can’t stop loving you, aku suka lagu itu.”

Rio tersenyum, lalu mengalunlah suara merdunya dengan diiringi oleh gitarnya sendiri.

“I can’t stop loving you, I’ve made up of my mind, to live in memories, of the lonesome times,

I can’t stop wanting you, it’s usseles to say, So I’ll just live my life, of dream of yesterday,

Those happy hours, that we once knews, ….

Dan Rio menyanyikannya dengan penuh perasaan, membuat pak Broto hanyut dalam alunan lagu itu, bahkan pada syair yang diingatnya, dia ikut menyanyi bersama Rio.

Pagi itu terdengar semarak.

“Ya ampuuun, Bapak,” pekik bu Broto dari arah pintu.

Pak Broto memberi isyarat dengan jarinya, agar bu Broto tak mengganggu Rio yang sedang menyanyi.

Bu Broto tersenyum. Ia membalikkan tubuhnya, kembali masuk.

“Kita ke pasar sekarang, Rio?” kata bu Broto sebelum masuk.

Rio tersenyum, tapi pak Broto memintanya agar Rio menyelesaikan dulu lagunya.

Pak Broto berteouk tangan ketika Rio sudah selesai menyanyikannya, lalu ia merogoh sakunya, dan mengulurkan uang duaratus ribu ke arah Rio.

“Bapak, ini … apa?”

“Ini untuk kamu.” Katanya sambil memasukkan uangnya ke dalam saku baju Rio.

“Bapak gimana, saya kan tidak sedang mengamen.”

“Itu sebagai rasa senang saya pagi ini, karena kamu telah menyanyikan lagunya dengan apik.”

“Terima kasih, Pak,” kata Rio sambil berdiri.

“Taruh saja gitarmu disini, jangan kamu bawa pulang,” perintah pak Broto. Rio menurut, lalu meletakkan gitarnya di sudut teras.

“Ya sudah, siapkan mobilnya, ibu mau belanja tuh.”

“Baiklah, Pak.”


Ternyata Restu tidak langsung ke kantor. Setelah menjemput Lisa, Lisa mengeluh perutnya lapar. Dan karena itu Restu mengajaknya dulu makan pagi di sebuah restoran.

“Kapan kamu pindah rumah Mas?”

“Minggu depan. Rumah itu sudah siap.”

“Apakah ada kamar khusus seandainya aku menginap di sana?” tanya Lisa tak tahu malu.

“Tentu saja ada. Kamu tidak usah khawatir. Kita bisa bersenang-senang sesuka hati kita,” kata Restu yang sudah lupa daratan karena rayuan Lisa yang selalu membuatnya tergoda.

“Asyiik, tapi hari ini aku ingin belanja, sayang.”

“Apa uangmu habis?”

“Iya,” katanya sambil menggelendot manja.

“Baiklah, nanti aku transfer ke rekening kamu, lalu kamu bisa belanja sepuasnya.”

“Terima kasih, sayang. Nanti aku hanya akan absen di kantor, lalu minta ijin untuk keluar. Aku harus belanja semua kebutuhan aku.”

“Baiklah, sesuka kamu saja. Jadi nanti aku tidak nyamperin kamu untuk makan siang?”

“Telpon dulu saja Yang, kalau aku sudah kembali ke kantor, kamu boleh nyamperin aku.”

“Baiklah, segera selesaikan sarapan kamu, nanti kamu terlambat. Kalau aku sih tidak apa-apa, siapa sih yang berani memarahi aku?” kata Restu dengan sombongnya.

Lisa tertawa sambil menyandarkan kepalanya dibahu kekasihnya. Tapi kemudian mereka segera menyelesaikan sarapan mereka karena ini sudah lewat saatnya masuk kerja.


Restu melenggang dengan riang saat masuk ke ruang kerjanya, tapi betapa terkejutnya ketika melihat ayahnya sedang duduk di belakang meja kerjanya.

“Bapak? Kok ada disini?”

“Kamu tadi bilang harus datang lebih pagi untuk memberi contoh baik kepada karyawan kamu. Mengapa sekarang baru datang?” kata pak Broto dengan nada tinggi.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 11

SELAMAT PAGI BIDADARI (09)

Karya Tien Kumalasari

Wulan terbelalak menatap Rio, yang mengucapkannya dengan bersungguh-sungguh.

“Aku serius,” katanya tandas.

“Jangan begitu Rio.”

“Apa yang jangan begitu?” tanya Rio sambil menatapnya tajam.

“Ini jalanku, suka atau tidak, harus aku jalani.”

“Wulan, aku mencintai kamu. Tanpa memiliki kamu, aku rela, dengan satu catatan, kamu harus bahagia. Kalau tidak, aku sungguh-sungguh akan merebutmu.”

Wulan merasa miris, tatapan yang terpancar dari matanya adalah tatapan membunuh. Dia tidak main-main dengan ucapannya.

Air mata Wulan menitik.

“Setitik air matamu harus dibayarnya mahal,” tandasnya.

“Aku … “

“Jangan bilang kamu bahagia Wulan. Aku sudah tahu kelakuan suami kamu. Baik di dalam rumah, ataupun di luaran. Aku bukan memanas-manasi kamu agar kamu kemudian memilih aku, tidak. Aku melihat dengan kepalaku sendiri bagaimana dia bersikap kepada seorang perempuan di jalanan, dan aku sakit Wulan. Sakit karena dia menyakiti kamu.”

“Rio … “ Wulan mengusap air matanya.

“Nanti kamu akan tinggal disini, dan entah siapa yang mengaturnya, aku harus menjadi sopir pribadi kamu. Disitu aku akan terus menjaga kamu dari dekat.”

“Bukankah kamu pimpinan sebuah perusahaan? Bagaimana kamu bisa melakukan ini semua Rio?”

“Demi kamu, aku bisa melakukannya.”

“Rio …”

“Jangan menangis lagi Wulan, ada aku di dekat kamu.”

“Sampai kapan kamu akan melakukannya?”

“Sampai aku yakin bahwa kamu benar-benar menemukan kebahagiaan.”

Wulan masih saja terisak. Ditatapnya hamparan rumput di kiri kanan halaman rumah baru itu, dengan pohon-pohon bunga diantaranya. Rupanya ayah mertuanya tahu bahwa Wulan menyukai bunga.

“Ya Tuhan, justru ayah mertua aku yang memperhatikan aku, sedangkan suamiku tidak sama sekali,” kata bisik batin Wulan.

“Apa kamu mencintainya?” tiba-tiba tanya Rio.

“Apa maksudmu? Kami dipertemukan karena kehendak orang tua, yang kami sebelumnya belum pernah saling kenal, lalu dari awal pernikahan sampai sekarang dia selalu menghina dan merendahkan aku. Bagaimana sebuah cinta bisa tumbuh di padang gersang?”

“Kalau begitu tinggalkan dia.”

Wulan menatap Rio lekat-lekat. Mana mungkin dia bisa melakukannya? Kedua mertuanya sangat menyayangi dia. Hanya karena mereka Wulan bisa bertahan.

“Aku tidak bisa Rio.”

“Mengapa? Bukankah kamu tidak mencintainya?”

“Kedua mertuaku sangat menyayangi aku. Mereka seperti menjadi pengganti kedua orang tuaku yang telah tiada,” jawab Wulan sendu.

Tiba-tiba ponsel Wulan berdering.

“Dari ibu mertuaku,” bisik Wulan. Ia mengusap air matanya, lalu menata napasnya agar lebih teratur sebelum menjawabnya. Ia tak ingin mertuanya tahu bahwa dia menangis.

“Hallo, Ibu,” sapa Wulan setelah mengendapkan perasaannya.

“Wulan, kamu masih di rumah baru kamu?”

“Iya Ibu.”

“Bagaimana, kamu suka?”

“Iya Ibu.”

“Bapak bilang, kalau ada yang kurang, kamu segera bilang, agar bisa segera dilengkapi, supaya kamu kerasan tinggal di rumah baru kamu.”

“Tidak ada yang kurang, Ibu.”

“Baiklah. Apa kamu masih lama pulangnya?”

“Saya … ingin mampir belanja,” kata Wulan yang sebenarnya mencari waktu lebih lama untuk menghilangkan bekas tangisnya, agar mertuanya tidak curiga.

“Oh, baiklah kalau begitu.”

“Apa Ibu mau nitip sesuatu ?”

“Tidak Nak, mungkin besok saja sekalian mencatat kebutuhan Sarni. Oh ya, aku mau bilang, sampai lupa.”

“Apa itu Bu?”

“Murni sudah datang, baru saja. Dia senang ketika mendengar bahwa dia akan menemani kamu di rumah baru.”

“Oh, iya Bu, Wulan juga senang mendengarnya.”

“Ya sudah Wulan, hati-hati di jalan. Ini bapak juga sedang pergi ke kantor, ada yang harus diurusnya.”

“Baiklah, Ibu.”

Wulan menutup ponselnya dan menghela napas.

“Perhatian kedua mertuaku sangat membuatku tenang. Itu sebabnya aku masih bertahan.”

“Baiklah, terserah kamu saja. Aku berharap kamu segera menemukan kebahagiaan. Hanya itu keinginanku.”

“Terima kasih Rio, kamu selalu baik untuk aku.”

“Bukankah aku sangat mencintai kamu?” kata Rio sambil menatap Wulan dalam-dalam.

“Iya, aku tahu,” dan selalu saja air matanya berlinang setiap kali Rio mengatakannya.

“Baiklah, sekarang kita mau kemana?”

“Belanja sebentar ya? Supaya bekas tangisku ini tidak lagi tampak. Aku tak mau mertuaku melihatnya.”

“Baiklah. Mau makan siang?”

“Mampir minum-minum saja. Kita makan di rumah, karena aku sudah memasak. Nanti mereka kecewa kalau aku tidak makan.”

“Baiklah, tuan puteri, bidadari cantikku,” kata Rio yang kemudian turun dan membukakan pintu mobil untuk Wulan, sebelum dia sendiri duduk di belakang kemudi.

Wulan tersenyum lebar. Dia sangat menyukai ucapan itu, sejak awal mereka saling jatuh cinta. Dan Rio tak pernah melupakannya.


Wulan hanya belanja beberapa sayur yang ingin dimasak keesokan harinya, dan tidak tersedia di kulkas penyimpanan, kemudian mereka minum es krim kesukaan mereka.

Keduanya lebih banyak diam, hanya saling tatap dengan perasaan tak menentu, sambil menyesali dalam hati, ketika nasib memisahkan mereka.

Tak bisa dipungkiri, masih ada cinta yang tersisa di hati Wulan, setelah hari-hari yang dilaluinya diurai perlahan. Tapi Wulan adalah wanita santun yang memegang teguh norma susila. Ia harus menjaga pernikahannya dengan perilaku yang bersih dan suci dari noda, apalagi noda perselingkuhan. Betapapun besar rasa cintanya, seperti juga Rio, mereka tetap saling menjaga dan menghormati.

“Kita pulang?”

“Baiklah, saatnya makan di rumah, nanti ibu mertuaku menunggu.”

“Senang menikmati masakan kamu lagi, walau kita tidak bisa makan bersama-sama.”

Wulan tersenyum, lalu bangkit berdiri, dan keluar dari rumah makan dimana mereka hanya menikmati semangkuk es krim.

Wulan dan Rio sudah ada di dalam mobil, ketika tiba-tiba mata mereka terpaku kepada sebuah mobil lain yang mereka kenali. Mobil Restu. Rio sengaja belum menstarter mobilnya, mengamati mobil Restu yang berhenti di seberang jalan, agak jauh di depan mereka. Dilihatnya Restu turun, kemudian membuka pintu samping, lalu seorang perempuan dengan pakaian yang sangat minim kain, keluar dari sana, kemudian bergayut mesra di lengan Restu.

Rio menatapnya muak. Ia melirik sekilas ke arah Wulan, tapi Wulan bergeming. Tak ada ekspresi marah atau terluka melihat pemandangan itu. Ia tetap tampak tenang di tempat duduknya.

“Ayo Rio, kenapa diam?”

“Melihat itu,” kata Rio sambil menunjuk ke arah Restu dan perempuan itu, sampai memasuki sebuah rumah makan di dekatnya.

“Biarkan saja, mengapa kamu peduli?”
“Tidak. Hanya muak, itu perempuan yang kemarin,” katanya sambil menstarter mobilnya.


Pak Broto sedang berada di kantornya. Ia memeriksa berkas-berkas yang menumpuk di mejanya. Hari sudah siang, ia ingin pulang dan makan di rumah, tapi tiba-tiba ia teringat sesuatu. Ia memencet tombol interkom di ruangan Restu. Tapi yang mengangkat sekretarisnya.

“Pak Restu mana?”

“Pak Restu keluar makan siang, belum kembali, Bapak,” jawab sang sekretaris.

“Jam berapa ini, mengapa belum kembali?”

“Biasanya setelah jam satu baru kembali Bapak.”

“Ini kan sudah setengah dua? Baiklah, begitu dia datang suruh ke ruanganku,” kata pak Broto kesal.

“Baik, Bapak.”

Pak Broto menghela napas berat. Ia menyandarkan tubuhnya di sandaran. Usianya yang beranjak senja, membuatnya sangat gampang lelah. Ia ingin segera pulang, tapi ia harus bertemu dengan Restu. Ada yang ingin ditanyakannya, dan kemarin ketika di rumah dia lupa.

Pak Broto berpindah duduk di sofa, supaya bisa bersandar lebih nyaman.

Kira-kita seperempat jam kemudian, Restu muncul dihadapannya.

“Bapak memanggil saya?” tanyanya begitu masuk.

Pak Broto menegakkan tubuhnya.

“Duduk,” titahnya.

Restu duduk di hadapan ayahnya. Ia agak heran karena akhir-akhir ini ayahnya sering datang ke kantor. Sebenarnya bisa dimaklumi, karena ada beberapa kerja sama yang harus ditanganinya sendiri. Tapi Restu merasa ada yang berbeda atas sikap ayahnya.

“Bapak kemarin melihat kamu keluar dari sebuah rumah makan. Aduh, lupa nama rumah makannya, yang di dekat gedung bioskop itu.”

Restu tercekat. Kalau ayahnya tahu saat dia keluar, pasti ayahnya juga tahu ketika dia menggandeng Lisa dengan mesra. Itukah yang ingin ditanyakan ayahnya?

“Ya Pak. Bapak mau makan juga, waktu itu?” Restu pura-pura tidak tahu arah pertanyaan ayahnya.

“Tidak. Kamu kan tahu bahwa bapak lebih suka makan masakan isteri kamu di rumah?”

“Oh, iya Pak.”

“Bapak ingin bertanya, siapa perempuan yang kamu gandeng saat keluar dari rumah makan itu?”

Tuh kan? Restu tetap terkejut, meskipun sudah menduganya.

“Perempuan?” Restu pura-pura linglung.

“Perempuan, pakaiannya sangat tidak pantas, bapak muak melihatnya.”

“Dia_”

“Dia bergayut di lengan kamu,” kesal pak Broto.

“Oh, itu Pak … ya ampun … Restu tidak mengingatnya, soalnya ketemu hanya sekilas. Ya saat makan itu.”

“Apa maksudmu ?”

“Dia kan .. itu pak, bekas teman kuliah dulu … kebetulan ketemu.”

“Hm, teman kuliah? Kamu kok tidak risih dia bergayut di lengan kamu dengan cara seperti itu?”

“Ya, namanya lama tidak ketemu.”

“Kamu harus hati-hati dalam bergaul. Ingat, kamu sudah punya istri.”

“Iya Bapak, Restu ingat.”

“Satu lagi, rumah baru kamu sudah siap. Tadi Wulan bapak suruh melihatnya, dan mengatakan barangkali ada yang kurang. Minggu depan kalian boleh pindah.”

“Baiklah Pak,” jawab Restu dengan wajah berseri, membayangkan dirinya akan lebih bebas terlepas seperti burung lolos dari sangkarnya.

Pak Broto berdiri, setelah memanggil sopirnya dan menyuruhnya menyiapkan mobil.

“Bapak belum selesai, besok masih ada yang ingin bapak periksa.”

Restu ikut berdiri, mengikuti ayahnya keluar dari ruangan. Kemudian masuk ke ruangannya sendiri.

“Celaka. Hampir saja. Syukurlah aku segera bisa menemukan jawaban yang tepat. Mulai besok aku akan mengajak Lisa makan di tempat lain, yang tidak berada di tengah kota,” gumamnya perlahan sambil duduk di depan meja kerjanya.


Bu Broto sudah duduk di ruang makan, ditemani Wulan. Mereka tampak menunggu, karena pak Broto baru saja mengabari kalau sudah di jalan dan ingin makan di rumah.

“Wulan, bapak tidak pernah melewatkan makan siang di rumah, karena apa, karena bapak sangat menyukai masakan kamu,” kata bu Broto sambil tersenyum.

Wulan tertunduk, tersipu. Bukan hanya sekali kedua mertuanya memuji masakannya.

“Saya belajar dari yu Sarni Bu.”

Tiba-tiba Wulan teringat, kata ibu mertuanya, tadi Murni sudah datang.

“Mana Murni? Katanya sudah di sini?”

“Baru keluar sebentar, Sarni menyuruhnya beli apa tadi. O iya, sabun cuci piring habis, tadi ibu lupa bilang sama kamu.”

“Oh, iya Bu, yu Sarni sudah bilang sebenarnya, tapi Wulan lupa.”

“Nggak apa-apa, besok sekalian belanja semua barang yang habis. Ibu sudah menyuruh Sarni mencatatnya.

Sementara itu Rio sudah duduk di teras, menghadapi makan yang sudah disediakan Sarni untuknya. Ia makan dengan lahap, dan selalu merasakan, memang benar masakan Wulan sungguh nikmat.

“Sayang dia bukan isteriku,” gumamnya pilu.

Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di halaman. Rupanya pak Broto sudah pulang. Laki-laki setengah tua yang sangat baik hati itu melangkah, dan berhenti di teras, ketika melihat Rio sedang makan.

“Rio, bagaimana makannya? Enak?” sapa pak Broto.

“Sangat enak Pak.”

“Kamu tahu? Itu masakan menantuku,” kata pak Broto dengan bangga.

“Iya Pak.”

“Habiskan, kalau kurang, bilang sama Sarni, biar diambilkan lagi.”

“Sudah cukup Pak, ini juga yu Dsarni mengambilkannya sangat banyak.”

“Ya sudah, selesaikan makannya, aku juga sudah lapar,” kata pak Broto sambil melangkah ke dalam rumah.

Bu Broto tersenyum sumringah melihat suaminya sudah pulang.

“Sudah ditunggu nih Pak,” sambut bu Broto.

“Oh ya Wulan, kamu sudah melihat rumahnya?” tanya pak Broto kepada Wulan.

“Sudah Pak.”

“Bagaimana? Ada yang kurang?”

“Tidak ada Pak, semuanya sudah lebih dari cukup,” jawab Wulan.

“Bagus, bapak berharap kamu akan kerasan di rumah baru kamu,” kata pak Broto sambil duduk.

“Bapak kok sudah pulang, katanya akan selesai sampai sore?”

“Tidak, aku lapar dan ingin segera makan di rumah. Besok aku ke kantor lagi, untuk memeriksa keuangan. Aku kok merasa ada yang janggal.”


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 10

SELAMAT PAGI BIDADARI (08)

Karya Tien Kumalasari

“Rio memperlambat laju mobilnya.

“Haruskah saya berhenti?” tanyanya.

“Tidak, terus saja jalan. Nanti akan saya urus dia, siapa perempuan yang bersamanya,” jawab pak Broto dengan wajah kesal.

“Teman se kantornya, barangkali,” sahut Rio sekenanya.

“Tidak, aku tidak pernah melihat perempuan itu. Aku kurang suka penampilannya. Sepertinya dia bukan perempuan baik-baik.”

Rio diam saja. Ia merasa diantara mereka ada hubungan yang erat. Mungkin persahabatan, atau mungkin juga lebih dari itu. Tapi ia tak berhak mengomentarinya.

“Kamu tahu, dari mana aku tahu bahwa dia perempuan yang tidak baik?” tanya pak Broto lagi.

Rio tak menjawab. Ia tak ingin berpendapat apapun, apalagi kan dia anaknya pak Broto. Bagaimana kalau dia tersinggung?

“Kamu melihat cara dia berpakaian? Hanya sekilas saja aku tahu, itu pakaian yang tak pantas. Sebagian bahunya kelihatan, belahan dada juga terlihat, rok bawahnya jauh di atas lutut. Aduh, bagaimana Restu bisa bergaul dengan perempuan seperti itu,” kesal pak Broto.

“Mungkin hanya kenalan, atau kebetulan bertemu di tempat makan,” kata Rio, hanya sekedar meredakan kekesalan pak Broto.

“Aku tidak yakin. Tapi semoga dugaanku salah.”

“Kita langsung pulang Pak?” tanya Rio mengalihkan pembicaraan.

“Ya, kita langsung pulang, dan makan di rumah saja. Kamu tahu, menantuku pintar sekali memasak. Masakannya enak sekali. Itu yang membuatku jarang makan di luar.”

Rio tersenyum. Itu kan gadis yang dia cintai.

“Tapi aku heran pada Restu. Dia tak pernah makan siang di rumah. Memilih makan di restoran mahal. Huh, menghamburkan uang saja,” pak Broto masih menggerutu tentang anaknya.

“Rio, benarkah kamu belum punya pacar?” tanya pak Broto.

Rio terkejut. Bukankah kemarin sudah ditanyakannya?

“Aku tidak percaya kalau kamu belum punya pacar. Kamu kan ganteng, baik.”

Rio tertawa lirih.

“Memang belum ada yang mau Pak.”

“Perempuan bodoh mana yang tidak mau menjadi isteri laki-laki ganteng seperti kamu?”

“Bukankah perempuan selalu suka laki-laki berduit?”

“Oh, benarkah? Tapi menantuku tidak tuh. Dia wanita sederhana, yang aku ambil dari keluarga sederhana. Ayah dia itu sahabatku saat aku sekolah. Begitu melihat gadis itu, aku langsung suka. Dia lembut, baik, santun, pintar. Benar-benar tak ada duanya,” pak Broto terus memuji-muji menantunya.

Rio tak tahu harus berkomentar apa.

“Aku berharap Restu bisa merubah kelakuannya. Dia suka sekali menghambur-hamburkan uang. Entah untuk apa.”

Pak Broto diam sejenak.

“Ah ya, aku lupa belum sempat memeriksa keuangan, karena disibukkan dengan mengurus rekan-rekan kerja yang mau bergabung. Aku kan butuh kerja sama, untuk memperbesar usahaku. Pastinya ya kerja sama yang menguntungkan. Dan untuk urusan ini, harus aku sendiri yang menanganinya. Restu belum menguasai betul hal seperti ini. Harus banyak belajar.”

Rio mendengarkan semuanya dengan tanpa menyahut sepatahpun. Ia masih terbayang saat Restu menggandeng lengan gadis berpakaian seronok tadi. Ia ingin marah. Kelakuan itu tak pantas dilakukan oleh lelaki yang sudah beristri. Apa Wulan tahu kelakuan suaminya di luaran? Apakah itu satu-satunya teman Restu yang dekat dengannya, atau ada perempuan lain? Kata yu Sarni, Restu selalu kasar di rumah, demikian juga kepada istrinya. Ia sudah geram mendengar itu, apalagi melihat kelakuannya tadi.

“Rio, tadi semua pesanan sudah kita suruh mengirim ke alamat rumah baru itu kan?”

“Ya Pak, sepertinya sudah.”

“Nanti kalau kamu pulang, bawalah mobil Wulan. Besok sebelum ke rumah, kamu cek rumah itu, apa barang-barangnya sudah masuk dan ditata. Aku sudah minta tolong penunggu rumah itu untuk mengatur sesuai perintahku.”

“Baik Pak.”

“Nanti kalau semuanya sudah oke, kamu antar Wulan untuk melihat rumahnya. Biar dia yang menilai, apakah ada yang kurang, atau tidak.”

“Baik.


Wulan sedang menata meja bersama yu Sarni ketika pak Broto datang bersama Rio. Bu Broto yang menyambutnya segera mengatakan bahwa makan siang akan segera siap.

“Kita makan sekarang, Pak?”

“Ya, ajak Rio sekalian makan bersama kita,” kata pak Broto yang baru turun dari mobil.

“Tidak Pak, saya makan di luar saja.”

“Mengapa? Kamu jangan sungkan,” kata pak Broto setengah memaksa.

“Ya sudah, dia kan masih baru Pak, mungkin dia masih sungkan. Biar Sarni mengatur makannya di teras seperti biasanya saja.”

“Ya sudah. Aku ganti baju dulu dan cuci kaki tangan. Masak apa Wulan hari ini?” katanya sambil beranjak ke kamar.

“Bapak lihat saja sendiri, pasti Bapak suka,” kata bu Broto sambil mengikuti suaminya ke dalam kamar.

“Sudah siap Yu, aku mau bilang ibu dulu, dan sepertinya bapak juga sudah pulang.”

Tapi Wulan berhenti melangkah ketika ibu mertuanya masuk ke ruang makan diiringi suaminya.

“Sarni, siapkan makan dan minum untuk Rio ya,” titah bu Broto kepada Sarni.

“Baik Bu, sudah saya siapkan, tinggal membawa ke depan saja,” jawab Sarni sambil beranjak ke dapur, mengambilkan makan dan minum untuk Rio.

Pak Broto dan bu Broto sudah duduk di kursi mereka masing-masing, disusul Wulan yang kemudian melayani mereka.

“Wulan, rumah kamu sudah hampir siap. Tadi aku sudah menyuruh mengirimkan perabot yang diperlukan,” kata pak Broto.

Wulan hanya tersenyum tipis.

“Besok, kamu akan diantar Rio untuk melihat rumah kamu itu. Bilang saja kalau kamu nggak cocok, atau barangkali ada yang kurang.”

Wulan hanya mengangguk. Baguslah, besok bisa berduaan sama Rio. Dia harus bertanya, apa maksudnya melakukan semua itu.

“Kamu sepertinya berat ya meninggalkan rumah ini?” tanya bu Broto ketika melihat wajah Wulan yang tidak cerah mendengar penuturan ayah mertuanya.

“Iya, berat sekali Bu.”

“Kamu tidak usah khawatir. Setiap saat ibu dan bapak akan datang ke rumah kamu. Dan, oh ya, Sarni … “ tiba-tiba bu Broto teringat sesuatu. Sarni mendekat.

“Ya Bu.”

“Kamu sudah mengabari Murni? Mau kan dia diajak kemari?”

“Sudah Bu, dia mau. Kelihatannya senang.”

“Syukurlah. Besok suruh Rio menjemputnya. Pastinya sama kamu.” Kata bu Broto lagi.

“Tidak besok Bu, besok Rio aku suruh mengantarkan Wulan untuk melihat rumah itu dulu,” sela pak Broto.

“Oh, ya sudah, besoknya lagi, kalau begitu.”

“Baik Bu,” kata Sarni yang kemudian beranjak lagi ke dapur.

“Nah, kamu harus sudah mulai membenahi barang-barang kamu, Wulan, nanti biar Rio yang mengantarnya ke sana. Kalau Murni sudah datang kan bisa membantu mengaturnya.”

“Ya.”

“Kalau perabot, sudah lengkap. Tapi kamu lihat saja sendiri besok. Dan besok Rio akan datang agak siang, karena aku suruh melihat ke rumah baru itu, apa barang pesanan aku sudah dikirim semuanya.”


Hari itu Wulan sedah bersama Rio. Dia sudah memasak dan siap melihat rumah barunya. Tapi bukan rumah baru itu yang membuatnya bersemangat. Ia harus bicara dengan Rio. Dia seorang pengusaha muda, rela mengamen, rela menjadi sopir, apa maunya sih?
“Kok diam, bidadari cantik?” kata Rio sambil menoleh ke arah kiri, dimana Wulan masih duduk mematung.

“Rio …”

“Siap, tuan puteri,” jawabnya bercanda sambil terus mengulas senyum riangnya.

“Katakan Rio, apa maksud semua ini? Aku bingung Rio.”

“Oh .. ahaaa … bidadari cantik sedang bingung ya?”

“Jangan bercanda,” tegur Wulan kesal.

“Bukankah kamu tahu, bahwa aku senang berdekatan dengan kamu?”

“Aku sudah punya suami, kamu kan tahu itu?”

“Aku tahu.”

“Lalu …?”

“Kamu tidak menjawab pertanyaanku dulu itu.”

“Pertanyaan apa?”

“Apa kamu berbahagia?”

“Itu … untuk apa menanyakannya? Bahagia atau tidak, aku sudah menjalaninya.”

“Tidak bisa begitu Wulan, aku senang kalau kamu bahagia, Aku rela melepas kamu, asalkan kamu bahagia. Tapi aku sakit kalau kamu disakiti.”

“Siapa bilang aku disakiti?”

“Jadi kamu bahagia?” tandas kata Rio.

Wulan tak menjawab.

“Aku sudah tahu jawabannya.”

“Rio …”

“Aku sudah tahu seperti apa suami kamu.”

“Apa maksudmu?”

“Bagaimana seorang lelaki kasar bisa membuat bahagia suaminya? Bersenang senang dengan perempuan lain diluaran.”

“Apa?”

“Aku melihat dia bersama perempuan di sebuah rumah makan. Maaf kalau aku berterus terang mengatakannya. Maaf kalau kamu sakit karenanya, tapi aku tak tahan untuk tidak mengatakannya,” kata Rio dengan wajah berubah serius.

Wulan terdiam. Sesungguhnya dia tidak peduli Restu melakukan apa.

“Maaf membuat kamu marah dan cemburu, pastinya.”

“Aku tidak marah, apalagi cemburu,” katanya tandas, dan itu membuat Rio menoleh ke arahnya.

“Bagaimana mungkin mendengar kelakuan buruk suaminya dan kamu tidak marah dan cemburu?”

Wulan tak bisa menjawabnya, dan itu cukup buat Rio. Ia yakin pernikahan itu tidak wajar. Tak ada cinta, tak ada perhatian.

“Itu sebabnya aku ingin selalu dekat sama kamu, menjagamu.”

“Dan melakukan hal konyol seperti itu? Menjadi pengamen, menjadi sopir …”

“Apapun akan aku lakukan.”

“Rio, kamu berlebihan.”

“Tidak. Aku melakukannya dengan seluruh kesadaran yang ada padaku, hanya untuk menjagamu, dan tidak akan merusak apapun. Aku juga tidak akan menyentuhmu, karena itu haram untuk aku melakukannya. Jadi kamu jangan menghawatirkan apapun.”

“Bagaimana dengan pekerjaan kamu?”

“Aku bukan pekerja biasa. Aku bisa mengendalikannya dimanapun,” katanya sambil melirik kearah laptop yang diletakkannya di dekat jok kemudi.

Wulan menatap Rio, yang berbicara dengan sungguh-sungguh. Ia tahu, Rio seorang yang keras dalam bersikap, tapi lembut dalam bertutur. Rio yang manis dan tampan, Rio yang pernah dicintainya dengan segenap jiwanya.

“Tapi semuanya telah berlalu,” bisiknya pelan.

“Aku tak ingin kamu disakiti. Sekali saja aku melihat dia menyakiti kamu, dia harus menjaga nyawanya baik-baik setiap bertemu aku,” katanya tandas, membuat Wulan miris.

“Rio …”

“Aku serius.”


Rio memarkir mobilnya dihalaman rumah mungil itu. Seorang penjaga membukakan pintu.

“Ayo kita lihat rumah kamu,” kata Rio sambil mendahului masuk.

Wulan melangkah dengan enggan. Ketika memasuki rumah itu, ia merasa takjub. Mertuanya sangat bersemangat menciptakan hunian baru bagi anak dan menantunya. Rumah itu sudah penuh dengan perabot. Teras, ruang tamu, ruang santai, ruang makan, dapur dan tiga buah kamar di sebelah depan, satu lagi di dekat dapur. Kamar itu sudah tertata rapi. Satu diantaranya lebih besar.

“Ini kamar kamu dan suamimu,” kata Rio.

Wulan merinding mendengarnya. Tak mungkin ia akan sekamar dengan suaminya, dan itu disyukurinya. Yang dia tidak suka adalah setiap kata yang meluncur dari mulutnya, yang selalu terdengar merendahkan dan menghinanya. Bagaimana menghindarinya? Ia seperti terkurung dalam kasih sayang kedua mertuanya yang tak mengetahui betapa menderitanya dirinya.

“Kamar yang nyaman,” gumam Rio sambil melangkah keluar, tanpa sadar Wulan mengusap air matanya.

“Aku akan menjadi sopir pribadimu. Hal yang sangat melegakan buat aku,” katanya sambil menoleh ke arah Wulan. Tapi kemudian ia terkejut melihat Wulan berlinang air mata.

“Wulan?”

Wulan mengusapnya, lalu duduk di teras, menatap sekeiiling halaman yang penuh ditumbuhi bunga-bunga cantik.

“Rumah yang apik, dengan halaman penuh bunga cantik, kamu tidak suka? Mengapa kamu menangis? Mertua kamu sangat menyayangi kamu.”

Wulan menghela napas panjang, lalu air mata itu benar-benar terurai. Ia benar-benar bisa menumpahkan semua kesedihannya tanpa adanya kedua mertuanya di dekatnya.

“Kamu marah sama aku?” tanya Rio yang kemudian duduk di depannya.

Wulan menggeleng.

“Kalau begitu biarkan aku menjagamu dengan caraku. Kalau kamu masih saja disakiti, maka aku akan merebutmu dari tangannya,” kata Rio tandas.

Wulan menatapnya dengan mata yang membulat. Ia tahu, Rio selalu serius dalam berkata-kata.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 09