Karya Tien Kumalasari
“Hallooo …” Restu mengulangi panggilannya, karena tak yakin pada pendengarannya. Seperti suara seorang laki-laki?
“Ya, Hallo …”
Restu sekarang yakin, itu suara laki-laki. Dadanya gemuruh tiba- tiba.
“Hallo, ini siapa, dan mencari siapa?”
“Saya mau bicara sama Lisa, siapa anda?”
“Lisa sedang mandi. Saya temannya, eh … sahabatnya … eh … bukan, kekasihnya.”
Restu menutup pembicaraan itu dengan amarah yang meluap. Jadi Lisa bersama laki-laki, yang mengaku sebagai kekasihnya?
Restu memukul setir mobilnya keras, dan raungan klakson segera terdengar, karena pukulan tangannya juga menekan tombol klakson.
Restu tak peduli. Dia menstarter mobilnya dan menjalankannya dengan amarah yang meluap-luap.
Omelan, kutukan dan sumpah serapah meluncur dari mulutnya, di sepanjang perjalanan yang entah kemana arah yang akan ditujunya. Malam sudah tiba, dan Restu masih berputar-putar disekitar kota. Tak pernah dibayangkan Lisa akan melakukan hal yang sangat menyakitinya. Ia berkorban banyak demi cinta butanya. Ia berbohong, menghamburkan uang, bahkan mencuri gelang milik istrinya demi menyenangkan hati kekasihnya. Tapi apa sekarang yang diperbuat kekasihnya itu? Ia berkhianat. Ia bahkan pergi dengan lelaki lain, yang sudah bisa ditebak mereka berada di sebuah hotel atau apa, yang jelas berduaan, yang satu mandi, yang satu menungguinya di kamar, atau mereka bahkan mandi bersama-sama?
Berkali-kali Restu memukul setir mobilnya, untuk melampiaskan kemarahannya.
Malam sudah larut, Restu menghentikan mobilnya di depan sebuah café. Bukan sembarang café karena ketika masuh Restu melihat berberapa pasangan sedang menari-nari seperti orang gila. Bau alkohol memenuhi ruangan. Restu tak peduli, ia memesan sebotol minuman keras. Sesloki ditenggaknya, lalu lagi dan lagi. Setengah botol sudah dihabiskannya, kepalanya mulai terasa berat. Dunia seakan berputar, membuatnya limbung. Tapi ia kemudian menenggak minuman lagi, dan lagi. Seorang perempuan seksi mendekati, dan mata kaburnya melihat bayangan Lisa pada wanita itu. Wanita itu memang wanita penghibur. Ia berdiri di belakang Restu dan memeluknya. Aroma wangi perempuan itu membuatnya lebih merasa pusing.
“Lisa … Lisa … “
Perempuan itu terkekeh. Mengelus pipi Restu dengan lembut.
“Pergi, penghianat, pergiii !!”
“Hei, aku bukan Lisa, sayang.”
“Kamu penghianat, kamu lupa bahwa aku sudah berkorban banyak,” Restu terus menceracau.”
“Mana minuman aku, ambiiiil…”
Perempuan itu mengambil botol yang hampir kosong. Restu merebutnya, dan menenggaknya habis. Lalu kepalanya terkulai di meja. Perempuan itu terkekeh, lalu menariknya masuk ke dalam.
Pak Broto sudah sejak lama berada di kantornya. Berkali-kali dia memanggil Restu, tapi Restu tak ada di ruangannya. Ia merasa kesal.
“Anak itu susah sekali diatur. Bekerja disiplin saja tidak bisa. Bagaimana aku bisa melepaskan tanggung jawab perusahaan ini padanya?” omelnya.
Satu jam, dua jam telah berlalu, Restu belum tampak batang hidungnya. Pak Broto menelpon sekretarisnya, tapi dia menjawab bahwa pak Restu belum datang.
Pak Broto menelpon ke ponsel Restu. Ponsel itu mati. Lalu pak Broto menelpon Wulan.
“Ya Pak?” jawab Wulan dari seberang.
“Suami kamu masih tidur?”
Wulan terkejut. Ia tak biasa menjelekkan suaminya di depan mertuanya. Ia selalu menutupinya. Tapi sekarang dia kebingungan. Sejak kemarin Restu tidak pulang. Kalau Wulan bilang tidur, pasti pak Broto menyuruh membangunkannya. Tapi kalau bilang sudah berangkat, kenapa jam sesiang ini belum sampai di kantor, buktinya ayah mertuanya menelpon ke rumah.
“Wulan, kamu masih di situ?”
“Oh, iy … iya Pak. Iya ….”
“Suami kamu masih tidur? Ini sudah siang dan dia belum juga datang ke kantor.”
“Oh … ** .. tapi … dia … “
“Dia kenapa Wulan, jangan sampai kamu menutup-nutupi kesalahan suami kamu,” tegur pak Broto, tandas.
“Iy … iya pak, **..tapi .. sudah … eh.. mas Restu semalam ti..tidak pulang ke rumah,” akhirnya tak ada jalan lain, Wulan Wulan mengatakan yang sebenarnya.
“Apa? Tidak pulang ke rumah?”
Sudah sering Restu tidak pulang ke rumah, Wulan tidak terkejut. Tapi pak Broto baru sekali ini mendengar bahwa anaknya tidak pulang ke rumah. Ia terkejut sekali.
“Iy .. iya Pak.”
“Dia bilang mau ke mana?”
“TI … tidak Pak.”
“Wulan, kamu itu bagaimana? Suami tidak pulang, dan kamu seperti tidak peduli?” tegur pak Broto dengan nada tidak senang.
“Maaf Pak, bukan … bukan Wulan tidak peduli, tapi … sudah sering dia melakukannya,” tak ada jalan lain, akhirnya Wulan berterus terang.
“Apa? Sering? Kamu tidak menegurnya?”
“Mana ss… saya berani?”
Pak Broto menutup ponselnya begitu saja. Ia merasa ada yang tak beres dengan rumah tangga anaknya. Ketidak becusan Restu memegang tampuk pimpinan perusahaan sudah membuatnya kecewa, ditambah sekarang ada sesuatu yang tidak wajar pada rumah tangga anaknya.
“Bapak, saatnya meeting, Bapak sudah ditunggu,” seorang sekretarisnya memberi tahu.
“Meeting ditunda. Aku sedang tak enak badan.”
Sekretaris itu mengangguk, lalu mengundurkan diri dari hadapan sang direktur utama, untuk mengumumkan pada para staf yang sudah siap mengadakan meeting atas perintah sang direktur juga.
Rio sedang mengelap mobilnya ketika tiba-tiba dilihatnya bu Broto turun dari sebuah taksi.
“Ibu, mengapa tidak menyuruh saya untuk menjemput ibu, kalau memang Ibu mau datang kemari?” sapa Rio ramah.
“Tidak Rio, aku mau ke kantor, karena bapak memanggil aku. Tapi karena aku harus ketemu Wulan sebentar, maka aku mampir,” kata bu Broto yang kemudian berlalu.
Ia langsung memasuki rumah, dan mendapati menantunya sedang membersihkan perabotan di kamar tamu.
“Ibu? Kok tiba-tiba ibu datang, sama siapa?”
“Sendiri, ibu naik taksi,” kata bu Broto yang kemudian duduk di sofa.
“Mengapa tidak meminta Rio agar menjemput Ibu?”
“Rio tadi juga bilang begitu, tapi ibu mau langsung ke kantor, karena bapakmu memintanya. Cuma, ibu perlu mampir kemari untuk bertemu kamu.”
Wulan duduk di depan ibu mertuanya, melihat ibu mertuanya merogoh tas nya.
“Ini Wulan, gelang kamu yang diambil Restu, ibu memintanya agar di kembalikan, dan kemarin sore sudah dikembalikan. Sekarang aku serahkan lagi sama kamu,” kata bu Suryo sambil menyerahkan sebuah kotak.
Wulan membukanya, melihat gelang yang bentuk maupun modelnya sama dengan miliknta. Ia mengamatinya terus. Seperti ada bedanya, tapi ia belum menemukan perbedaan itu, dan melihat ibu mertuanya sudah berdiri kembali.
“Wulan, aku hanya mau menyerahkan gelang itu, sekarang mau ke kantor, taksinya menunggu tuh, di depan.”
“Baiklah Ibu, sebentar lagi Wulan juga mau keluar untuk belanja.”
Bu Broto langsung berlalu setelah mengangguk dan meninggalkan senyum untuk menantu tersayangnya,
Wulan meletakkan kotak gelang itu di meja, setelah mengantarkan ibu mertuanya sampai ke teras. Ia melanjutkan pekerjaannya, kemudian memanggil Murni.
“Murni,” teriaknya.
“Ya Bu.”
“Apa kamu sudah siap?”
“Oh, ibu mau belanja sekarang?”
“Iya, jangan kesiangan, udara panas sekali.”
“Saya hanya tinggal ganti pakaian saja Bu.”
Wulan bersiap, dan menunggu di ruang tamu. Ia meraih kembali kotak gelang itu, mengambil gelangnya dan mengamatinya. Ia tetap merasa ada yang berbeda dengan gelang itu,
“Jadi belanja?” tiba-tiba Rio melongok dari pintu.
“Jadi dong Rio, nungguin Murni sebentar.”
“Wah, dapat hadiah dari mertua rupanya,” kata Rio ketika Wulan sedang mengamati gelang yang tadi diberikan oleh ibu mertuanya.
Wulan tertawa.
“Bukan hadiah, Rio. Panjang ceritanya. Tapi aku curiga dengan gelang ini.”
Rio mendekat, Wulan menyerahkan gelang itu.
“Dulu, gelang ini pernah hilang. Aku curiga, Restu yang mengambilnya, dan pada suatu hari ibu memergoki seorang wanita memakai gelang itu saat sedang belanja. Dari ocehan wanita itu, ibu tahu bahwa gelang itu diberikan oleh kekasih wanita itu yang namanya Restu.”
“Wauuw, ketahuan ya?”
“Ibu sangat marah, meminta agar Restu mengembalikan gelang itu. Kalau tidak, kelakuan Restu akan dilaporkannya pada bapak. Rupanya Restu ketakutan, kemarin sore gelang ini dikembalikan pada ibu, dan tadi diserahkan lagi sama aku. Tapi aku merasa ada yang aneh pada gelang itu.”
“Aneh?”
“Bentuknya sih mirip. Tapi apanya ya yang berbeda?”
“Bawalah gelang ini. Nanti kita mampir ke sebuah toko.”
“Toko apa?”
“Kemarin aku mengikuti Restu, dia pergi ke toko itu.”
“Bu, saya sudah siap,” kata Murni yang telah berganti pakaian.
“Oh, baiklah, ayo berangkat Rio.”
Rio menyerahkan kembali gelang itu, dan Wulan memasukkannya ke dalam kotak. Ia tak mengerti secara jelas maksud Rio agar membawa gelang itu, dan tentang toko yang akan ditunjukkan Rio.
‘*
Wulan belanja di sebuah supermarket, Murni mengikutinya, sedangkan Rio membantu mendorong troly.
Ketika selesai berbelanja, mereka melewati gerai pakaian.
“Mau belanja baju?” tanya Rio.
“Tidak, kita langsung pulang saja,” jawab Wulan.
“Tidak jadi ke toko itu?”
“Oh iya, toko apa sih sebenarnya?”
“Nanti kamu akan tahu. Kamu bawa kan gelangnya?”
“Iya, kan kamu yang menyuruhnya.”
Ketika hampir keluar, Rio melihat seorang wanita cantik, sedang bergayut di lengan seorang laki-laki gagah. Laki-laki itu tidak muda lagi, tapi masih tampak gagah dan tampan. Tiba-tiba Wulan terbelalak, melihat gelang yang melingkar di lengan wanita itu. Ia sangat mengenalnya. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi laki-laki itu segera menarik wanitanya ke arah dalam.
Wulan tertegun. Gelang itu, persis seperti gelangnya.
“Aku tahu wanita itu,” kata Rio sambil menuruni tangga.
“Kamu mengenalnya?”
“Dia yang aku lihat bersama Restu beberapa bulan yang lalu.”
“Apa? Berarti benar, gelangku masih dipakainya,” pekik Wulan tanpa sengaja.
Rio bergegas mengambil mobilnya, sementara Wulan dan Murni menunggu di lobi. Berkali-kali ia menoleh ke arah dalam, tapi wanita dan laki-laki itu sudah tak kelihatan batang hidungnya.
‘*
Gelang yang dipakainya itu masih gelangku,” kata Wulan ketika Rio sudah menjalankan mobilnya.
Kemudian Wulan mengambil lagi kotak gelang itu dan mengeluarkannya.
“Restu bohong. Ini bukan gelangku. Hanya modelnya yang persis,” gumam Wulan sambil terus mengamati gelang itu.
Tiba-tiba Rio menghentikan mobilnya di depan sebuah toko perhiasan.
“Ayo turun, dan bawalah gelangnya,” kata Rio sambil membukakan pintu untuk Wulan.
“Murni, kamu tunggu di mobil sebentar ya,” kata Wulan kepada Murni.
“Baik Bu.”
Wulan mengikuti Rio. Rio meminta gelang itu, lalu menunjukkannya kepada pelayan toko.
“Mau tanya Mbak, apakah gelang ini dipesan di sini?” tanya Rio sambil menyodorkan gelang yang sudah dikeluarkannya dari dalam kotak.
“Oh, iya Pak, baru kemarin sore diambil. Ada apa ya Pak?”
“Ini bahannya dari apa ya Mbak? Emas?”
“Bukan Pak, ini hanya imitasi. Kami tidak menjual perhiasan emas. Ini dulu kami buat, contohnya adalah foto-foto sebuah gelang. Yang memesan namanya Restu.”
“Oh … jadi ?” Wulan hampir memekik, tapi kemudian ia menutup mulutnya. Ia sungguh tidak mengira, Restu membohongi ibunya.
“Baiklah Mbak, terima kasih, kami hanya akan menanyakan gelang ini.”
Pelayan itu mengangguk, sementara Wulan sudah mengikuti Rio menuju mobil.”
“Benar-benar pendusta,” geram Wulan.
“Kebetulan aku mengikutinya dan melihatnya ke toko itu kemarin, makanya aku langsung curiga ketika kamu mengatakan bahwa suami kamu telah mengembalikan gelangnya,” kata Rio.
“Dan gelang itu masih dipakai oleh wanita itu.”
“Benarkah?”
“Aku melihatnya, dan yakin ketika kamu mengatakan pernah melihat wanita itu bersama Restu. Gelang itu masih dipakainya.”
“Tapi laki-laki yang digandengnya bukan Restu.”
“Perempuan nggak bener. Aduh, aku bingung mau mengatakan apa.”
“Semua kebusukan akan terkuak. Kamu harus mengatakan semuanya pada mertua kamu.”
Hari sudah malam, dan Restu belum juga pulang. Wulan dan Murni sudah makan malam, dan sudah masuk ke dalam kamar masing-masing. Berita tentang ketidak pulangan Restu belum lagi didengarnya dari kedua mertuanya, yang pastinya sudah berembug saat bertemu. Tapi mereka tidak mengabari kepada Wulan. Wulan juga enggan bertanya. Dia sudah mengatakan bahwa Restu memang sering tidak pulang.
“Apakah bapak marah sama aku karena aku tidak mau berterus terang?” pikir Wulan yang membuatnya tak bisa tidur.
Lewat tengah malam barulah Wulan terlelap. Tapi tiba-tiba sayup-sayup dia mendengar suara tangisan. Wulan membuka matanya, setengah mimpi suara itu didengarnya. Wulan mengucek matanya, barangkali dia memang bermimpi. Tapi tidak, tangisan itu masih terdengar. Wulan bangkit, lalu keluar dari kamarnya. Tangisan itu terdengar dari arah ruang tamu. Wulan tercekat karena mengenali suara itu. Lampu di ruang tamu tidak dinyalakan. Wulan melangkah ke sana dan meraih tombol lampu. Betapa terkejutnya ketika dia melihat Murni menangis terguguk di lantai dengan pakaian berantakan.
‘***
Besok lagi ya…
Bersambung ke Jilid 18