Karya Tien Kumalasari
Melihat Wulan tampak terkejut, pak Broto tertawa.
“Wulan, kamu heran ada orang di depan?”
“Iyy … iyya .. Pak,” katanya gugup.
“Itu sopir untuk kita. Kita pernah bertemu ketika makan malam bersama itu, lalu dia mengamen, kamu ingat kan? Namanya Rio. Rio siapa kepanjangannya, aku lupa. Panggil saja Rio.”
“Iy … iya … Pak.”
“Ya sudah, sudah siap makan siang untuk kita?”
“Ssud … sudah Pak, sila … silakan ….”
“Ayo kita makan. Sarni juga sudah aku suruh memberi makan dia tadi,” kata bu Broto sambil berdiri, diikuti suaminya. Wulan sekali lagi menoleh ke arah teras, tapi Rio sudah tak tampak, karena tertutup pintu.
“Ya Tuhan, Rio, apa yang kamu lakukan? Benar-benar konyol deh,” keluh Wulan di dalam hati.
Ia melangkah perlahan ke arah ruang makan, lalu duduk di hadapan kedua mertuanya. Susah payah Wulan menata batinnya yang berasa tak menentu. Ia heran dengan apa yang dilakukan Rio. Konyol dan tak terduga. Ya Tuhan, keluhnya dalam hati berkali-kali.
“Wulan, kok diam? Sini ibu ambilkan nasinya,” tegur bu Broto ketika melihat Wulan diam saja.
“Oh, tidak Bu, biar saya mengambilnya sendiri,” kata Wulan dengan gugup.
Lalu mereka makan tanpa banyak berkata-kata.
“Aku sudah dapatkan rumah itu,” tiba-tiba kata pak Broto.
Bu Broto mengangkat wajahnya, demikian juga Wulan.
“Rumah itu tidak begitu besar, kan hanya Restu dan Wulan yang akan menempatinya. Besok kalau anaknya sudah banyak, gampang beli rumah yang agak besar,” kata pak Broto sambil mengelap mulutnya dengan tissue.
Wulan bergidik. Kalau anaknya sudah banyak? Rasa miris terasa mengiris. Tapi tak ada yang diucapkannya.
“Wulan ini sebenarnya berat meninggalkan kita lho Pak,” kata bu Broto.
Pak Broto tersenyum.
“Benar begitu, Wulan?”
“Iya Pak, kalau boleh, Wulan tinggal disini saja.”
Sekarang pak Broto tertawa.
“Kamu itu bagaimana Wulan? Aku setuju membeli rumah baru bagi kalian, karena supaya kalian segera punya momongan. Lha kalau kamu di sini, suamimu di sana, bagaimana bisa dapat momongan?”
Bu Broto ikut tertawa.
“Apa rumah itu jauh dari rumah kita ini Pak?” tanya bu Broto.
“Agak jauh sih, tapi aku akan membeli mobil untuk Wulan, supaya setiap dia ingin, bisa datang kemari.”
“Tidak usah Pak, Wulan tidak bisa menyetir mobil,” kata Wulan. Tidak enak rasanya mertuanya membelikan mobil untuk dia. Nanti Restu akan semakin mengejeknya.
“Bapak sudah memesannya, mungkin besok sudah siap dan akan dikirim kemari.
Wulan terkejut.
“Apakah itu perlu pak? Sungguh Wulan tidak bisa menyetir.”
“Bukankah ada Rio?”
Wulan berdebar.
“Rio akan menjadi sopir pribadi kamu.”
Jantung Wulan berdegup kencang. Ayah mertuanya akan membelikannya mobil, dan mengatakan bahwa Rio akan menjadi sopir pribadinya?
“Bapak sudah punya sopir. Setiap saat kan sopir kantor menjemput dan mengantarkan bapak. Jadi biarlah Rio menjadi sopir pribadi kamu.”
Wulan meletakkan sendok garpunya dipiring dengan tangan gemetar.
Mengapa nasib membawakan Rio kembali dalam kehidupannya? Ya Tuhan, bagaimana kalau cinta itu tumbuh kembali?
“Kamu tidak suka, Wulan?”
“Apa?”
“Rio itu baik, santun. Percayalah, bapak baru pertama ketemu secara dekat, tapi yakin kalau dia itu baik.”
Wulan mencoba tersenyum, tak ingin bersuara soalnya kalau dia mengeluarkan suara, pasti suaranya akan terdengar gemetar.
“Nanti kita akan melihat rumah itu Bu, kalau kamu suka, dan Wulan juga suka, aku akan segera mengurus dan membayarnya,” kata pak Broto sambil berdiri.
Pak Broto melangkah ke depan, dilihatnya Rio masih duduk di teras.
“Sudah selesai makan?” tanyanya.
Rio berdiri sambil mengangkat piring dan mangkuk kotor, lalu beranjak ke dalam.
“Taruh di situ saja, biar Sarni mengambilnya.”
“Tapi …”
“Sarniiii …” pak Broto berteriak, dan tak lama kemudian Sarni muncul.
“Itu, Rio sudah selesai, bawa ke belakang,” kata pak Broto sambil menunjuk ke arah meja.
“Baik Pak,” kata yu Sarni sambil membawa piring dan mangkuk kosong ke belakang.
Pak Broto duduk di depan Rio.
“Rio, sebentar lagi kamu mengantar kami ya.”
“Kemana Pak?”
“Mau melihat rumah baru untuk anakku Restu, dan Wulan isterinya.”
“Oh, baiklah Pak.”
“Tunggu sebentar, Wulan dan ibunya sedang bersiap-siap,” kata pak Broto sambil masuk kembali ke rumah.
Dan tak lama kemudian pak Broto dan isterinya keluar, diiringi Wulan di belakangnya. Rio melangkah ke arah mobil, lalu membukakan pintu untuk majikannya, di sebelah belakang. Kemudian Rio membuka pintu depan di samping kemudi.
“Kamu di depan ya Wulan,” kata pak Broto.
Wulan tak menjawab, lalu masuk dan duduk di depan, di samping sopir.
Rio menahan senyumnya, ketika sekilas melirik gadis di sebelahnya. Wulan tak sekalipun memandangnya. Ia benar-benar gemas menyaksikan polah Rio yang begitu konyol.
Siang itu sebelum mengajak keluarganya melihat rumah yang akan dibeli, pak Broto lebih dulu mampir ke kantor, karena ada yang harus dibawanya. Saat turun dari mobil, dilihatnya Restu juga baru datang setelah makan siang. Restu terkejut melihat seseorang yang duduk di belakang kemudi mobil ayahnya.
“Siapa dia Pak?”
“Sopir baru. Kami akan melihat rumah yang akan kita beli untuk kamu.”
Restu menatap tak senang.
“Untuk apa sopir baru? Bukankah sudah ada sopir kantor yang bisa mengantar Bapak kemanapun?”
“Tidak apa-apa. Bapak suka dia. Lagi pula akan ada mobil baru untuk Wulan, dia akan menjadi sopir pribadinya,
“Apa?: Mobil baru?” Restu ingin perotes, ada sopir baru, ada mobil baru, dan itu untuk Wulan. Tapi pak Broto segera mengibaskan tangannya.
“Sudah, jangan protes. Sekarang tolong ambilkan map bapak di meja, tadi bapak lupa membawanya.”
Restu beranjak ke arah kantor, untuk mengambil map seperti dikehendaki ayahnya. Wajahnya muram, apalagi mendengar ayahnya akan membeli mobil untuk Wulan. Tapi ia tak berani menentang keinginan ayahnya.
Pak Broto memberi aba -aba agar berhenti, ketika sampai di depan sebuah rumah.
“Langsung saja masuk ke dalam, Rio,” titahnya.
Rio memasukkan mobilnya ke dalam.
Mereka turun, dan seorang penunggu rumah menyambut mereka setelah membukakan pintu.
“Silakan Pak, sudah saya buka pintunya,” kata sang penunggu rumah itu, karena sudah tahu bahwa pak Broto calon pembeli rumah itu.
Rumah itu bagus. Memang tidak begitu besar, Mereka masuk ke dalam rumah. Wulan yang berjalan di belakang, melihat ke arah Rio yang sudah turun dari mobil. Rio tersenyum ke arahnya, tapi Wulan memelototinya. Rio memalingkan wajahnya, karena dia tak bisa menahan tawanya melihat Wulan yang tampak gusar.
“Wulan, ayo sini …” panggil ibu mertuanya.
Wulan terkejut, lalu melangkah masuk. Ada tiga buah kamar yang salah satunya lebih besar dari yang lain.
“Ini kamar kamu dan Restu, nantinya Wulan,” kata pak Broto.
Wulan kembali merasa miris.
“Ini satu kamar lagi di dekat dapur, untuk kamar pembantu. Oh ya Bu, bagaimana kalau Murni anaknya Sarni disuruh menemani Wulan di sini?”
“Iya Pak, ibu juga berpikir begitu. Murni kan bisa membantu bersih-bersih dan masak. Dia pintar seperti ibunya. Biar nanti ibu bilang sama Sarni.”
Wulan sedikit lega. Ia sudah mengenal Murni, dan tahu bahwa anak itu baik.
“Bagaimana Wulan, kamu suka rumah ini?”
Wulan menatap ayah mertuanya. Mana bisa dia bilang tak suka, mereka sudah berusah payah melakukannya, dan bermaksud membahagiakannya. Bahwa akhirnya Wulan tidak merasa bahagia, mana mereka tahu.
“Terserah Bapak saja,” kata Wulan pelan.
“Aku juga suka, rumah ini cukup bagus,” kata bu Broto.
“Baiklah, aku akan segera mengurusnya. Nanti kita tinggal beli perabot yang diperlukan,” kata pak Broto dengan wajah sumringah.
“Semoga di rumah ini akan terlahir cucu-cucu kita ya Pak,” kata bu Broto penuh harapan.
Tapi kembali Wulan merinding mendengarnya.
Hari terus berjalan, tapi Wulan belum pernah sempat berinteraksi dengan Rio. Ia lebih sering mengantarkan ayah mertuanya, saat ayah mertuanya tersebut tidak ke kantor. Memang pak Broto jarang sekali ke kantor, dan menyerahkan semuanya pada Restu, yang dianggapnya sudah bisa memimpin usaha yang dirintisnya
Wulan juga belum sempat menikmati mobil barunya, karena Rio masih sibuk mengantarkan ayah mertuanya.
Siang itu saat sedang berada di dapur, yu Sarni melihat Wulan lebih sering termenung daripada mengolah masakannya, sehingga yu Sarni yang kemudian menyelesaikan masakannya.
“Bu Wulan, sayurnya sudah matang. Coba Ibu incipin dulu,” kata yu Sarni sambil mendekati Wulan yang masih berpangku tangan di meja dapur.
“Oh, iya Yu, maaf, aku sedang merasa lelah,” katanya sambil bangkit, kemudian berdiri mendekati sayur yang masih bertengger di atas kompor, menyendoknya sedikit, lalu mencicipinya setelah agak dingin.
“Enak Yu, sudah enak kok.”
“Syukurlah, soalnya saya takut kalau bu Wulan tidak berkenan, habisnya Bu Wulan terlihat seperti sangat lelah.”
“Iya Yu, kenapa ya aku agak malas. Tapi enak kok, mengapa aku tidak berkenan? Bukankah yu Sarni yang mengajari aku memasak? Jadi sudah pasti yu Sarni lebih piawai dalam memasak daripada aku dong,” kata Wulan sambil mematikan kompornya, lalu kembali duduk di meja dapur.
“Bu Wulan sakit?”
“Tidak yu, hanya agak malas.”
“Jangan-jangan Bu Wulan ngidam,” kata yu Sarni sekenanya, tapi membuat Wulan merasa seperti tersengat listrik.
“Aa ..aap..pa? Ngidam?”
Lalu Wulan tertawa. Ngidam dari mana? Bersentuhan saja tidak pernah.
“Seorang isteri itu bisa saja merasa lelah saat sedang hamil muda.”
“Tidak Yu, mana mungkin?”
“Kok tidak mungkin sih Bu?” tanya yu Sarni heran.
“Bagaimana bisa hamil, bersentuhan saja tidak,” kata Wulan yang tiba-tiba disadarinya bahwa dia telah kelepasan bicara. Wulan yang sangat santun tidak pernah menceritakan sikap suaminya yang semena-mena terhadapnya. Ia selalu diam dan memendam rasa sakit itu untuk dirinya sendiri.
Tapi yu Sarni ternganga mendengar ucapannya itu.
“Apa maksud bu Wulan? Tidak pernah bersentuhan?” kata-kata itu lirih, tapi menyadarkan Wulan atas kesalahan ucapannya.
“Maaf Yu, tidak apa-apa. Ya sudah, kalau sudah selesai masaknya, aku mau mandi dulu. Nanti tolong sekalian ditata di meja makan ya,” kata Wulan smbil berdiri kemudian beranjak pergi ke kamarnya. Meninggalkan yu Sarni yang terbengong-bengong.
“Masa sih? Apa itu benar? Ya mungkin saja bu Wulan enggan disentuh suaminya, punya suami kasar begitu. Untunglah bu Wulan sabar, coba kalau aku diperlakukan seperti itu, ya sudah kabur dari kemarin-kemarin, cari suami lagi yang baik, yang ………”
“Mana Wulan?”
Yu Sarni terkejut, ketika tiba-tiba bu Broto muncul di dapur, sementara dia sedang mengomel.
“Itu … bu Wulan sudah di kamarnya, masaknya hampir selesai. Tinggal menggoreng kerupuk Bu.”
“Kamu tadi ngomong sama siapa … kok cari suami … cari suami … siapa yang mau cari suami?”
“Oh, itu bu … saya sedang memikirkan Murni. Sekolahnya sudah selesai, lalu saya suruh cari suami, tapi dia belum mau,” jawab yu Sarni sekenanya.
Bu Broto tersenyum.
Murni kan masih kecil Yu, ya lumrah kalau belum mau. Aku malah punya pikiran begini, kalau misalnya Murni kamu suruh datang kemari bagaimana? Nanti kalau Wulan sudah pindah rumah, dia pasti kesepian. Itu sebabnya aku bermaksud menyuruh anakmu datang kemari. Biar dia menemani Wulan. Katanya dia sedang mencari pekerjaan?”
“O, iya Bu, nggak apa-apa, Murni pasti suka. Besok biar saya kabari dia.”
“Tidak usah harus besok. Ini bapak sedang membenahi rumah baru dan melengkapi perabot rumah. Nanti kalau sudah siap Restu sama Wulan bisa segera pindah ke rumah baru.”
“Baiklah Bu, setidaknya akan saya kabari dulu.”
“Aku senang Yu, semoga kalau sudah punya rumah sendiri, aku bisa segera dapat cucu,” kata bu Broto dengan wajah bersinar.
Yu Sarni tertegun. Ia ingat apa yang dikatakan Wulan tadi. Tapi tak berani mengucapkan apapun.
Sementara itu, di sebuah rumah makan, Restu sedang makan siang bersama kekasihnya. Dengan wajah berseri dia mengatakan bahwa rumah barunya hampir siap. Lisa menanggapinya dengan wajah berseri.
“Benarkah Restu? Berarti kita akan bebas bertemu kapan saja?”
“Bahkan kamu boleh tidur di rumah aku kapan saja kamu inginkan.”
“Waah Restu, kamu membuat aku bahagia sekali. Walau tidak menjadi istri kamu, tapi aku tetap bisa menikmati semua pemberian kamu, dan selalu bersenang-senang bersamamu setiap saat.”
“Iya Lisa, hanya sayangnya aku tidak bisa menikahimu, sehingga yang sebenarnya aku ingin segera punya anak, jadi tertunda.”
“Tidak usah memikirkan punya anak dulu, kita akan bersenang-senang sepuasnya tanpa memikirkan anak.”
“Iya sih, tapi keinginan itu ada. Hanya saja aku belum berani, takutnya kalau tiba-tiba kamu hamil, lalu ayahku marah, bisa runtuh duniaku.”
“Nggak apa-apa, aku tidak suka merawat anak.”
“Kamu tidak suka?” tanya Restu sedikit kecewa.
“Mm … maksudku, saat sekarang ini.”
Sepasang manusia mesum itu sudah selesai makan, lalu beranjak keluar dari rumah makan itu. Tanpa mereka sadari, saat keluar itu mobil pak Broto melintas, dan pak Broto melihatnya.
“Itu kan Restu?” teriaknya.
Dan Rio pun menoleh ke arah yang ditunjuk pak Broto.
Besok lagi ya.
Bersambung ke Jilid 08