SELAMAT PAGI BIDADARI (80)

Karya Tien Kumalasari

Murni segera menghambur ke pelukan yu Sarni, sang simbok yang lama ditinggalkannya. Ia tersedu di pundaknya. Yu Sarni mengelus punggungnya pelan.

“Maafkan Murni Mbok …” isaknya.

“Kenapa kamu kabur-kaburan sih nduk. Nggak bagus seorang istri kabur-kaburan begitu,” tegur yu Sarni.

“Maafkan Murni …”

Bu Trisni yang keluar dari dapur segera mempersilakan tamu-tamunya duduk di kursinya yang sederhana. Mereka adalah Rio, Wulan dan yu Sarni.

Yu Sarni segera menggandeng anaknya, untuk duduk di sebelahnya.

“Saya menyusahkan banyak orang. Pak Rio, bu Wulan, maafkan saya.”

“Apa sebenarnya yang terjadi Murni?” tanya Wulan lembut.

“Mengapa bu Wulan bertanya? Pasti mas Restu sudah mengakui semuanya.”

“Kamu dijebak oleh perasaan cemburu kamu, karena tingkah seorang wanita jahat seperti Lisa. Dia bisa melakukan apa saja.”

“Mengapa semua orang membela mas Restu?”

“Orang yang pernah menempuh jalan salah, pada suatu saat akan kembali menyusuri jalan yang benar. Tidak selama hidup dia dituduh sebagai penjahat,” kata Rio menimpali.

Yang harus kamu ingat adalah bahwa Lisa itu wanita yang tidak punya moral, yang tidak tahu malu, dan yang jelas bahwa dia bisa melakukan apa saja demi mewujudkan keinginannya. Dia merayu mas Restu, tidak berhasil, maka dia berusaha merusak rumah tangga kalian. Dan dia berhasil,” lanjut Wulan.

Murni terdiam. Dia berfikir, mengapa semua orang membela Restu. Dan uraian kata-kata yang didengar dari mulut Rio dan Wulan, mulai meresap di hatinya.

“Mengapa mas Restu tidak ikut kemari dan menjelaskan semuanya sendiri?”

“Menurutmu kamu akan bisa menerimanya setelah apa yang dikatakannya kamu tepiskan dengan marah? Kamu juga mengatakan sudah punya calon suami baru. Apa itu pantas?” omel yu Sarni.

Murni menundukkan wajahnya.

“Banyak orang memberi tahu, dan kamu hanya mempercayai perasaan kamu sendiri. Perasaan yang panas karena terbakar api, sehingga menghilangkan akal sehatmu,” lanjut yu Sarni.

Murni terisak, menyandarkan kepalanya di bahu simbok. Lalu tiba-tiba Murni lari ke kamar mandi di arah belakang rumah. Yu Sarni mengikuti.

Saat itu bu Trisni keluar dengan membawa beberapa gelas teh hangat.

“Bu Murni masih sering muntah-muntah,” katanya sambil meletakkan gelas-gelas di meja.

“Syukurlah. Gilang akan punya adik,” celetuk Wulan.

“Silakan diminum. Mohon maaf ya Pak, Bu, hanya seperti ini rumahnya, dan suguhannya juga.”

“Tidak apa-apa Bu, rumahnya sederhana, tapi bersih dan rapi. Pantas Murni betah berada di sini,” kata Wulan sambil meraih minumannya.

“Mohon maaf, silakan di minum,” kata bu Trisni sambil beranjak ke belakang.

“Iya Bu, terima kasih banyak,” kata Rio yang kemudian juga meraih minuman yang dihidangkan.

Murni sudah kembali dengan dituntun yu Sarni.

“Murni, secara singkat saja, sekarang aku ingin membawa kamu pulang. Mas Restu dan Gilang sudah menunggu. Apa kamu masih akan berpegang pada keyakinan kamu bahwa mas Restu melakukan hal buruk itu bersama Lisa yang menyamar menjadi pembantu kamu?” tanya Wulan.

“Saya harus bagaimana?” kata Murni yang masih merasa lemas.

“Kamu harus pulang,” tegas kata yu Sarni.

“Di sini kamu menyusahkan orang lain. Jangan bandel dan jangan menurutkan kata hati kamu yang tersesat. Apalagi kamu sedang mengandung,” lanjut yu Sarni.

“Bu Murni tidak merepotkan atau menyusahkan kami, Trimo senang punya adik baru, dan saya juga senang mendapatkan saudara baru yang baik, dan justru banyak membantu keluarga kami. Namun begitu, saya menyarankan bu Murni untuk pulang, karena seorang istri punya kewajiban melayani suami dan merawat anak. Kalau ada perselisihan dan salah paham, harus diselesaikan dengan kepala dingin,” kata bu Trisni yang sudah ikut duduk bersama tamu-tamunya.

“Tuh, bu Trisni benar. Apa yang ingin kamu katakan lagi?”

“Baiklah, saya mau pulang,” kata Murni pada akhirnya, yang disambut gembira oleh semuanya.


Sementara itu pak Warso melamun di tokonya. Bagaimanapun dia sudah terlanjur jatuh cinta pada Murni. Tapi kenyataan yang ada, bahwa Murni ternyata masih punya suami, membuat semua angannya jatuh berderai. Pupus semua harapan untuk bisa bersanding dengan wanita cantik dan pintar bernama Murni.

“Pak, uang kecil di kasir habis,” kata salah seorang pegawainya.

Pak Warso bergeming. Ingatan akan gagalnya sebuah impian, membuatnya selalu melamun.

“Pak, di kasir, uang kecil habis,” ulang sang karyawan. Barulah pak Warso terkejut.

“Oh, apa … uang kecil ya? Sebentar, lihat di meja, aku sudah menyiapkan, tapi lupa memberikannya sama kamu.”

“Baik, akan saya ambil Pak,” kata karyawan itu, kemudian berlalu.

Pak Warso masih termangu, ia bahkan belum makan sejak pagi. Ketika salah seorang pembantu rumah tangganya menyusul ke toko, pak Warso baru ingat bahwa dia belum menyentuh sarapan yang disiapkan oleh mereka.

“Bapak kok belum makan sejak pagi, saya kira Bapak pergi.”

“Aduh, sampai lupa. Ini jam berapa?”

“Sudah jam satu siang. Bahkan lebih.”

“Baiklah, aku pulang.”

Tapi sebelum beranjak, salah seorang pegawai memberi tahu, bahwa ada yang mencarinya. Pak Warso berhenti melangkah, menoleh ke arah depan toko. Seorang anak dengan masih memakai seragam sekolah, berdiri menunggu.

“Trimo ya?” teriak pak Warso.

Anak itu memang Trimo. Ketika pulang sekolah, ibunya memberi tahu, bahwa pak Warso menunggunya, karenanya belum sempat berganti pakaian, Trimo segera menuju ke tokonya.

Trimo mengangguk sopan, membuat pak Warso senang. Masih bocah, tapi mengerti sopan santun.

“Sini Mo, masuk sini,” panggil pak Warso.

Trimo melangkah masuk, melalui jalan yang ditunjukkan pak Warso.

“Kamu baru pulang sekolah?”

“Iya Pak, kata ibu, saya dipanggil Bapak.”

“Iya benar, nanti kita bicara. Tapi aku lapar. Kamu sudah makan?”

Trimo tunduk tersipu.

“Pasti belum kan? Ayo ikut aku, kita makan bersama.”

“Tidak Pak, terima kasih. Silakan Bapak makan, saya menunggu di sini,” kata Trimo sungkan.

“Tidak. Mengapa menunggu. Sama-sama lapar kan?”

“Saya nanti makan di rumah saja.”

“Tidak boleh, aku ingin bicara sama kamu, sambil makan. Ayo,” kata pak Warso yang kali ini menarik tangan Trimo, sehingga Trimo tak bisa menolak.


“Jadi kamu mau kan, sepulang sekolah membantu aku di toko?” kata pak Warso sambil memaksa Trimo agar mau makan semeja dengannya.

“Tapi saya harus mengambil sisa dagangan dan uang di beberapa warung.”

“Tidak apa-apa. Ambil dulu uang-uang itu, setelahnya kamu baru datang kemari.”

“Saya harus mengerjakan apa?”

“Banyak Mo, menakar gula di setiap plastik, menakar minyak-minyak, semuanya untuk diecerkan, supaya gampang menjualnya, dan masih banyak lagi. Apa itu berat untuk kamu? Nanti kamu akan dapat uang jajan.”

Trimo tunduk tersipu.

“Saya membantu, bukan karena uang. Dan kalau saya diberi, akan saya berikan ibu untuk kebutuhan di rumah dan bayar sekolah,” katanya sambil menundukkan muka.

“Anak baik, aku senang mendengarnya. Bagus, terserah untuk apa, tapi aku ingin tahu, apa kamu merasa berat dengan pekerjaan itu?”

“Saya akan melakukannya. Dan kalau belum bisa, saya akan belajar.”

“Bagus, berarti kamu sanggup. Kamu bisa mulai besok, dan atur oleh kamu sendiri, bagaimana kamu bisa mengambil uang kamu di warung-warung, lalu baru mulai bekerja membantu aku.”

Trimo mengangguk.

Tapi belum lama mereka berbincang, salah seorang pegawai menyusul ke rumah.

“Maaf Pak, ada seorang wanita mencari Bapak.”


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 81

SELAMAT PAGI BIDADARI (79)

Karya Tien Kumalasari

“Aku boleh numpang dong, masa sih nggak boleh, jangan pelit dong, pak tua ganteng,” kata Lisa tanpa malu.

Tapi kemudian pak Warso turun dari mobilnya, lalu memasuki garasi dan mengendarai mobil yang lain, sementara Lisa terkunci di dalam mobil. Lisa berteriak-teriak, tapi pak Warso tak peduli. Ia sudah langsung keluar dari halaman toko.

Lisa turun dari mobil setelah pak Warso pergi jauh dari rumah. Rasa kesal membuatnya kemudian membanting pintu mobil dengan sangat keras, membuat para karyawan toko yang sudah pada datang, kemudian menatapnya heran.

“Apa lihat-lihat?” hardiknya sambil pergi begitu saja.

“Siapa dia tuh?” tanya salah seorang karyawan.

“Nggak tahu, tiba-tiba masuk ke dalam mobil bapak, lalu bapak pergi dengan mobil yang lain.”

“Tampaknya bukan wanita baik-baik.”

“Barangkali simpanan bapak.”

“Hush! Mana mungkin? Kalau simpanan pasti langsung dibawa pergi, bukan ditinggalkan begitu saja.”

“Ya sudah, ayo … kerja … kerja, sudah ada pembeli tuh.”

Karyawan yang tiba-tiba mendapatkan bahan ngrumpi kemudian bubar, dan mengerjakan pekerjaan mereka masing-masing.

“Sebenarnya bapak pergi ke mana? Nggak ada uang kembalian di kasir nih, uangnya besar semua,” celetuk kasir saat membuka laci.

“Rupanya bapak lupa, karena terburu-buru.”

“Kemana sih, bapak?”

“Nggak tahu, mungkin ke rumah Murni.”

“Waduh, bisa lama kalau ke sana. Aku tukar uang kecil dulu di bank ya.”

“Ya sudah, buruan, repot kalau pembeli mulai ramai.”


Pak Warso mengetuk pintu rumah bu Trisni, bu Trisni yang sedang bebenah di dapur segera keluar. Murni ada di kamarnya.

“Permisi Bu.”

“Oh, Pak Warso, silakan masuk.”

“Bagaimana keadaan Murni?”

“Belum begitu baik. Baru saja dia muntah-muntah lagi.”

“Apa obatnya tidak diminum?”

“Diminum sih, tapi yang namanya hati sedang sedih, diberi obat juga tambah parah keadaannya.”

“Ada apa sebenarnya. Saya dulu menerima Murni begitu saja, dan keterangan yang saya terima bahwa dia adalah janda. Tidak tahunya kemarin ketemu yang namanya suami, dan membuat saya bingung.”

“Ceritanya agak rumit Pak,” kata bu Trisni ragu-ragu. Tapi kemudian bu Trisni bermaksud menceritakan semuanya, agar tak terjadi salah terima pada pak Warso yang menjadi majikan Murni.

“Rumitnya bagaimana? Kemarin di depan suaminya, dia bilang bahwa saya calon suaminya, saya benar-benar tidak mengerti.”

“Sebenarnya ada seorang perempuan jahat yang bermaksud merusak hubungan bu Murni dan suaminya yang namanya pak Restu.”

“Merusak bagaimana maksudnya?”

Lalu bu Trisni mengatakan kepada pak Warso, seperti yang dikatakan Restu kepadanya.

Pak Warso teringat wanita genit yang bernama Lisa. Dia kah pengganggu itu?

“Namanya Lisa?”

“Iya Pak, katanya bernama Lisa. Dia memang suka sama pak Restu, dan terus mengejarnya. Ketika sudah menikah dengan bu Murni, Lisa kemudian berusaha merusaknya dengan menyamar itu tadi.”

“Rupanya dia, wanita itu.”

“Pak Warso mengenal wanita jahat itu? Bahkan bu Murni tidak percaya ketika saya mengatakan apa yang dikatakan pak Restu. Dia cerita banyak saat bu Murni ada di rumah sakit. Itu sebabnya saya memberikan Gilang untuk dibawanya pulang.”

“Jadi Gilang dibawa oleh bapaknya?”

“Itulah yang membuat bu Murni semakin sedih.”

Pak Warso menghela napas berat. Ada rasa kecewa dihatinya, ketika mengetahui bahwa sebenarnya Murni pergi dari rumah karena salah sangka.

“Saya baru mengerti ceritanya,” keluh pak Warso.

“Iya Pak, kasihan bu Murni. Tapi sayangnya dia belum bisa mempercayai suaminya, karena melihat suaminya itu ada di dalam kamar Lisa yang menyamar sebagai pembantu, kemudian berteriak-teriak, pura-pura mau diperkosa.”

“Bu Trisni tahu, sebenarnya saya ingin mengambil Murni sebagai istri saya.”

“Oh, jadi benar?”

“Apanya yang benar?”

“Melihat perhatian pak Warso kepada bu Murni, saya mengira pak Warso punya maksud tertentu. Dan dugaan saya ternyata benar.”

“Iya Bu, tapi saya bukan laki-laki jahat. Saya bermaksud begitu, karena saya mengira Murni benar-benar janda.”


“Lalu sudah tahu tabiat kamu sebelumnya,” kata pak Broto yang setengah menyalahkan Restu.

“Restu kan sudah bertobat, Pak,” protes Restu.

“Benar, tapi tidak mudah melupakannya, apalagi kemudian ada yang mengacau dengan sandiwara yang sangat apik.”

“Ya sudah, aku suruh Sarni bersiap dulu, soalnya Rio akan berangkat pagi-pagi,” kata bu Broto.


Murni sebenarnya tidak tidur. Ia dengan jelas bisa mendengar pembicaraan bu Trisni dan pak Warso, karena rumah bu Trisni kan kecil, dan jarak dari kamar dan ruang tamu tidak begitu jauh. Murni terkejut mendengar pengakuan pak Warso yang sebenarnya ingin mengambilnya sebagai istri. Ia kemudian sadar, bahwa benar seperti dugaan bu Trisni, bahwa kebaikan pak Warso karena ada maksudnya.

Tapi kemudian Murni merasa lega, karena pak Warso bisa mengerti keadaannya.

Rasa mual yang dirasakannya sudah agak mereda. Murni berusaha bangkit, ketika bu Trisni menawarkannya makan pagi.

“Makanlah dulu Bu, bukankah perut ibu sekarang kosong?”

“Saya makan nasi saja, jangan diberi lauk Bu.”

“Bagaimana sih Bu, makan nasi tanpa lauk?”

“Saya mual kalau mencium aroma gurih, jadi lebih baik nasi saja,” kata Murni yang kemudian berusaha berdiri.

Tapi baru saja Murni melangkah keluar dari kamarnya, ia mendengar mobil berhenti di depan rumah. Murni membalikkan tubuhnya dan kembali berbaring.

“Pasti mas Restu datang lagi. Aku tidak akan mau pulang,” gumamnya sambil memejamkan mata, lalu berbaring membelakangi pintu.

“Murni.”

Murni terkejut, karena suara yang di dengarnya adalah suara perempuan.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 80

SELAMAT PAGI BIDADARI (78)

Karya Tien Kumalasari

Bu Trisni langsung panik, sementara ketika menjenguk ke luar, mobil pak Warso sudah tak lagi kelihatan, barangkali bisa minta tolong mengantar ke dokter lagi.

Bu Trisni dibantu Trimo mengangkat tubuh Murni yang lemas tak berdaya, membawanya duduk di kursi.

“Ambilkan teh hangat, Mo,” perintah bu Trisni.

Trimo segera berlari ke dapur, membuatkan teh untuk Murni, sementara Murni masih tampak lemas, tak mampu berkata-kata, tapi air mata meleleh dari sepasang mata indahnya.

“Bu, sabar ya Bu. Ibu harus ingat, Gilang bersama ayahnya, jadi tak ada yang perlu dikhawatirkan. Ya kan?”

“Tidak mau … tidak … mau …” bisiknya pelan.”

Trimo membawa gelas berisi teh hangat, diberikannya kepada Murni.

“Diminum dulu Bu,” kata Trimo.

Murni menerima gelasnya, lalu meneguknya beberapa teguk.

“Mengapa ibu berikan dia … mengapa?”

“Dia, pagi tadi datang kemari. Saya bilang bu Murni ke dokter. Entah bagaimana, dia bisa menemukan rumah sakit dimana bu Murni dirawat. Dia mengatakan bahwa bu Murni salah sangka. Pak Restu difitnah. Dia tidak melakukan apa-apa. Wanita itu yang tak tahu malu dan menjebaknya.”

“Dia bohong Bu, jangan percaya.”

“Bu Murni harus percaya, pak Restu mengatakannya dengan wajah sedih.”

“Dia itu pintar berbohong. Hati sebenarnya jahat.”

“Jadi bu Murni memilih percaya kepada wanita penggoda itu?”

“Saya belajar dari pengalaman mengenal dia Bu. Dia itu anak orang kaya yang hidupnya berantakan, karena mengejar kesenangan.”

“Bukankah bu Murni bilang bahwa dia telah bertobat?”

“Kenyataannya tidak.”

“Barangkali semua harus dipikirkan dengan kepala dingin bu, bukan dengan hati yang panas.”

“Bu Trini terkecoh oleh cara dia bicara.”

“Ya sudah, sekarang tenangkan hati Bu Murni dulu, nanti kita pikirkan apa yang seharusnya kita lakukan.”

Murni mengusap air matanya. Lalu dia mengambil ponselnya.

“Saya akan menelpon simbok.”

“Ya, silakan Bu, saya mau menata makan,” kata bu Trisni sambil beranjak ke belakang.

Begitu menelpon yu Sarni langsung mengangkat.

“Murni … owalah Mur, simbok bingung … kamu itu kemana saja, kok ilang-ilangan?”

“Iya Mbok, Murni memilih pergi, sudah nggak kuat lagi.”

“Lha nggak kuat itu kenapa?”

“Apa simbok juga sudah dibohongi oleh dia?”

“Dia siapa maksudmu? Pak Restu?”

“Siapa lagi yang tukang bohong?”

“Kamu itu jangan terburu napsu. Simbok sudah mendengar semuanya. Kamu itu salah sangka. Kamu dibohongi oleh bekas pembantu kamu yang bernama Marsih. Dia itu Lisa, perempuan jahat yang berpura-pura menjadi perempuan cacat dengan mengenakan topeng. Dia menjebak pak Restu untuk merusak rumah tangga kamu.”

“Simbok dibohongi oleh dia. Simbok seperti lupa bagaimana dia itu. Murni lebih baik pergi, Murni akan meminta cerai.”

“Murni!! Tidak bagus bicara seperti itu.” Sentak yu Sarni.

“Murni tidak kuat lagi Mbok, sekarang dia datang menemui Murni, lalu ketika Murni ada di rumah sakit, dia membawa lari Gilang.”

“Benarkah? Tapi masalah Gilang dibawa pak Restu belum sampai di rumah ini, beritanya.”

“Tolong Mbok, ambil kembali Gilang, Murni tak bisa berpisah dari dia,” tangis Murni.

“Kamu pulanglah kemari, dan bicara yang baik-baik.”

“Saat ini Murni sedang sakit Bu.”

“Sakit apa?”

“Sebenarnya … Murni hamil.”

“Alhamdulillah, ini berita menyenangkan. Simbok senang sekali. Bapak sama ibu Broto juga pasti bahagia. Cepat pulang Murni. Percayalah, semuanya akan baik-baik saja,” kata simbok yang suaranya berubah renyah karena gembira.

“Entahlah Mbok, badan Murni lemas. Ini berbeda dengan kehamilan saya yang pertama.”

“Apa kamu di rumah sakit?”

“Cuma sehari, karena tidak bisa lama-lama meninggalkan Gilang. Tak tahunya setelah pulang, Gilang sudah dibawa pergi,” sesal Murni.

“Simbok akan bilang pada ibu. Akan ada caranya untuk membawa kamu pulang kemari.”

“Tolong jangan pertemukan Murni dengan mas Restu.”

“Kamu jangan bicara yang tidak-tidak, kamu akan menyesalinya nanti,” pesan yu Sarni yang kemudian menutup pembicaraan itu.


Bu Broto sangat gembira mendengar bahwa Murni sudah hamil lagi. Ia segera menelpon Restu. Tapi baru saja bu Broto mengangkat ponselnya, Restu sudah muncul sambil menggendong Gilang.

Bu Broto berteriak senang, yu Sarni tergopoh-gopoh menyambut.

“Gilang, sayang … akhirnya kamu datang,” kata bu Broto yang kemudian menggendong Gilang, membawanya ke belakang diikuti yu Sarni.

“Apa yang terjadi?” kata pak Broto yang baru sekilas mendengar cerita tentang Murni.

“Murni ada di rumah sakit. Restu membawanya tanpa sepengetahuan Murni,” kata Restu sambil duduk di depan ayahnya.

“Baru saja Sarni bilang, istrimu hamil.”

“Iya, Restu mendengarnya dari bu Trisni, pemilik rumah dimana Murni tinggal bersama Gilang.”

“Bagaimana ini, rumah tangga baru saja dibina sudah kacau seperti ini.”

“Soalnya ada yang membuatnya Pak. Dia berharap supaya rumah tangga kami hancur. Murni tidak percaya lagi sama Restu. Restu juga sudah mengatakan kepada bu Trisni tentang apa yang terjadi sebenarnya, dengan harapan dia akan bisa meredakan amarah Murni. Tapi mengingat kekerasan hati Murni, Restu kurang yakin dia akan percaya, apalagi dia masih di rumah sakit.”

“Tadi menelpon Sarni, memang dia bilang bahwa tidak percaya sama kamu. Tapi dia sudah tidak di rumah sakit.”

“Berarti dia sudah tahu kalau Gilang Restu bawa pulang kemari.”

“Ya, dia bilang begitu.”

“Bagaimana cara menjemputnya? Dia tak akan mau mendenfarkan Restu. Harus ada penengah yang dipercayainya.”

“Yang bisa menangani masalah ini, hanya Rio dan Wulan. Tapi mengingat Wulan juga sedang hamil, entah bagaimana nanti, yang penting kabari dulu Rio atau Wulan.”

“Baiklah Pak, saya akan minta tolong mas Rio. Tapi barangkali belum bisa hari ini, karena ini sudah sore. Oh iya, mana yu Sarni?” teriaknya kemudian kepada yu Sarni.

Yu Sarni bergegas datang.

“Ini, pakaian Gilang, dan susu, berikut botolnya.”

“Baik, nanti saya yang akan mengurusnya. Murni sudah hamil lagi, sebaiknya Murni tidak memberi ASI lagi untuk Gilang,” kata yu Sarni, yang kemudian membawa barang-barang Gilang ke kamarnya.


Pagi-pagi sekali, pak Warso sudah keluar dari tokonya. Sudah ada karyawan yang membuka dan menata semuanya.

Pak Warso sudah menyiapkan mobilnya, bermaksud mengunjungi Murni, tapi tiba-tiba wanita yang mengaku bernama Lisa sudah berdiri di depan toko.

Pak Warso terkejut. Rupanya wanita itu memata-matai dirinya, sehingga tahu dimana harus menemuinya.

“Pak tua yang ganteng,” sapa Lisa sambil tersenyum genit.

“Ada apa Mbak datang kemari?” kata pak Warso dengan wajah kurang senang.

“Ya ampun Pak, semalam saya tidak bisa tidur karena memikirkan Bapak.”

Wajah pak Warso semakin muram. Wanita cantik yang hampir saja membuatnya terpikat itu sekarang membuatnya sebal, karena bicaranya yang tidak karuan. Pada dasarnya pak Warso bukan orang jahat. Dia menginginkan Murni karena Murni mengaku sudah janda. Hanya saja dia belum sempat mengutarakan maksudnya, sudah mendengar tentang kehamilannya, dan juga melihat suaminya datang menemuinya di rumah sakit.

Pak Warso langsung naik ke atas mobilnya, tapi tanpa diduga Lisa sudah naik dari sisi kemudi, dan duduk dengan santainya.

“Apa maksudnya ini?” hardik pak Warso.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 79