SELAMAT PAGI BIDADARI (14)

Karya Tien Kumalasari

Wulan bergeming, masih menata ini dan itu yang masih dianggapnya kurang sempurna.

“Wulaaan!” teriak Restu semakin keras.

Murni menggamit lengan Wulan.

“Bu, tuh … dipanggil .”

Wulan tersenyum tipis, kemudian melangkah ke arah ruang tengah, dimana Restu sedang duduk sambil menyandarkan tubuhnya di sofa.

“Ada apa?” tanyanya ketus.

“Duduklah, aku mau bicara.”

Wulan duduk tanpa menatap suaminya.

“Bicaralah, pekerjaanku masih banyak.”

“Aku mau pinjam uang kamu,” katanya masih dengan menyandarkan tubuhnya, menatap istrinya tajam.

Wulan merasa heran. Iapun menatap suaminya. Wajahnya tak sesegar hari-hari sebelumnya. Ia tampak tertekan.

“Kamu dengar, apa yang aku katakan?”

“Kamu mau pinjam uang?”

“Kurang jelas ya?” kata Restu, walau bermaksud meminta tolong tapi tak pernah terdengar nada bicara manis terhadap istrinya.

“Benar. Kurang jelas, karena aku tidak percaya kamu membutuhkan uang, lalu meminjam sama aku. Orang miskin yang tidak berkelas,” kata Wulan dingin.

“Kamu tidak miskin sekarang. Kamu sudah menjadi menantu keluarga Broto Sanjoyo.”

“Ya, tentu saja. Si miskin ini selalu mengeruk harta mertuanya. Masih ada lagi yang ingin kamu katakan untuk merendahkan aku?”

“Aku butuh uang, tidak ingin bertengkar.”

“Aku bukan mengajakmu bertengkar. Aku katakan sebelum kamu mengatakannya,” jawabnya tanpa menatap suaminya.

“Boleh atau tidak?”

“Berapa?”

“Lima juta. Jangan bilang kamu tak punya.”

Wulan berdiri lalu masuk ke kamarnya. Saat keluar ia sudah membawa uang yang diminta suaminya. Diulungkannya uang itu, lalu ditinggalkannya untuk kembali ke arah dapur.

Restu menghitung uang itu tanpa malu, lalu beranjak masuk ke dalam kamar pilihannya sendiri.

Rio yang berada di dalam mobilnya sambil membuka-buka file di laptopnya, melihat Restu keluar dari rumah, dan menghampiri mobilnya, lalu menstarternya. Ketika mobil itu berjalan disamping mobil Wulan, Restu menghentikan mobilnya.

Rio membuka kaca mobil, saat Restu juga membukanya.

“Kalau kamu mencuci mobil itu, cuci juga mobil aku. Aku ini juga majikan kamu,” katanya kasar.

“Baiklah,” jawab Rio tanpa mengangguk. Lalu Restu membawa mobilnya keluar dari halaman.

“Huhh, lagakmu seperti orang kaya, tapi kamu tuh miskin. Miskin jiwamu, tahu!” hardik Rio kesal, lalu melanjutkan kesibukan dengan laptopnya.


Hari itu Restu belum ingin masuk ke kantor, dengan alasan sibuk membenahi rumah baru, padahal dia tidak melakukan apa-apa. Dan alasan itu juga dipergunakan untuk mengelabui Lisa, agar tidak terus mendesak meminta uang.

Tapi hari ini dia telah membawa uang itu, yang dipinjamnya dari istrinya.

Ia menuju ke tempat Lisa bekerja, untuk mengajaknya makan siang.

Tapi Rio sangat kesal, saat dia sampai di depan kantor Lisa, dilihatnya Lisa memasuki mobil berwarna merah, dimana ada pria tambun yang sudah duduk di belakang kemudi. Restu mengenalnya sebagai pak Thomas, majikan Lisa.

Kesal karena Lisa tidak sedikitpun menoleh ke arahnya, sampai mobil itu membawanya pergi.

“Mau kemana kamu Lisa? Katanya enggan dekat dengan majikan. Tapi kenapa siang ini kamu pergi sama dia?” gumamnya sambil menjalankan mobilnya, mengikuti kemana mobil warna merah itu pergi.

Kaca mobil merah itu gelap, sehingga Restu tak tahu apa yang terjadi di dalamnya. Ia mengikuti terus dengan dada yang gemuruh.

Tapi sial, ketika sampai di perempatan, ia terhenti di lampu merah, dan mobil yang ditumpangi Lisa sudah melaju entah kemana.

Restu memukul-mukulkan tangannya pada kemudi, dengan kemarahan yang meluap.

Lalu ia mencoba menelpon Lisa, yang untunglah kemudian Lisa menjawabnya.

“Ya Mas, ada apa?”

“Kamu di mana? Aku tadi nyamperin kamu ke kantor untuk makan siang seperti biasanya.”

“Aku kira kamu masih sibuk mengurusi rumah baru kamu, jadi aku tidak menunggu kamu,” jawab Lisa enteng.

“Sekarang kamu di mana?”

“Kebetulan pak Thomas mengajak aku makan siang. Ya aku mau lah, kan aku tidak tahu bahwa kamu mau nyamperin aku.”

“Ya sudah, nanti saat pulang saja aku jemput kamu, aku sudah membawakan uang untuk kamu. Uang yang pernah aku janjikan.”

“Oh baguslah Mas, senang mendengarnya. Aku tunggu nanti saat aku pulang ya.”

Restu menutup ponselnya dengan sedikit lega. Lega karena Lisa tidak berbohong. Memang dia sedang bersama pak Thomas seperti yang dilihatnya.

Lalu dia memutar mobilnya pulang. Ia tak ingin ke mana-mana sendirian, jadi lebih baik pulang ke rumah barunya dan tidur.

Begitu memasuki halaman, dilihatnya Rio masih ada di dalam mobil. Dasar sejak awal dia tak menyukai Rio, maka ia memasang wajah masam saat memasuki halaman, dan berhenti lagi di samping mobil Wulan. Ia membuka kaca mobilnya.

“Jangan hanya enak-enak saja kamu. Cuci mobil aku sementara aku tidur. Nanti agak siang aku mau pergi,” katanya ketus lalu menghentikan mobilnya persis di depan teras.

Rio menahan kemarahannya karena diperintah oleh orang yang ‘bukan majikannya’. Ia turun dari mobilnya ketika Restu sudah masuk ke dalam.

Rio melongok ke dalam mobil Restu, dan melihat kunci mobil itu masih tergantung di dalam. Ia masuk kemudian membawa mobil itu keluar halaman dengan senyuman dingin.

Ternyata Rio membawa mobil itu ke tempat cucian mobil. Ia mencucikannya di sana.

“Dia bilang mau tidur, dan pastilah memang dia tidur. Dia tak akan pernah tahu mobil ini aku bawa kemana. Yang penting sudah bersih dan dia tidak punya alasan lagi untuk menindasku,” omel Rio ketika menunggu mobil itu di cuci.


“Murni, bawa makan siang untuk pak Rio ke depan ya. Ini sudah siap semua,” kata Wulan sambil menata makanan untuk Rio.

“Baik Bu, saya siapkan juga minumnya.”

“Ada jus jambu di kulkas, bawa ke depan sekalian.”

“Baik.”

Murni membawa semua makanan yang sudah disiapkan Wulan ke arah teras, menatanya di sana. Kemudian ia berjalan ke arah mobil. Biasanya Rio duduk di belakang kemudi.

Tapi ketika dia sampai, ia tak melihat Rio. Ia melongok ke dalam mobil, tapi tak ada tanda-tanda Rio ada di sana. Ia berusaha membuka pintu mobil, tapi tak berhasil. Mobil itu dikunci, tentu saja.

Murni kembali masuk ke dalam rumah. Dilihatnya Wulan sedang menata makanan di meja makan.

“Setelah ini kita makan berdua ya Mur.”

“Pak Restu kan ada?”

“Ada?”

“Tadi saya melihatnya sudah pulang, tapi aneh juga, mobilnya kok nggak ada. Apa dia pergi lagi?”

“Biarkan saja, ayo kita makan sendiri saja. Pak Rio sudah kamu suruh makan?”

“Maunya begitu Bu, tapi Pak Rio nggak ada tuh Bu.”

“Nggak ada bagaimana ?”

“Ya nggak ada, entah pergi kemana.”

“Di kamar dekat garasi?”

“Tidak ada juga. Lagian dia jarang masuk ke kamar itu. Kalau sedang tidak ada pekerjaan, dia lebih suka duduk di dalam mobil. Entah apa yang dikerjakannya.”

“Tapi sekarang tidak ada?”

“Tidak ada Bu, mobilnya juga dikunci.”

“Kemana ya dia, kenapa tidak bilang, kalau mau keluar?”

“Iya juga sih Bu.”

“Ya sudah, ayo kita makan dulu saja.”

“Baik Bu, saya cuci tangan dulu,” kata Murni.

Memang Wulan tidak menganggap Murni sebagai pembantu, jadi dia selalu mengajaknya makan semeja dengan dirinya.

Ketika asyik makan itulah tiba-tiba Restu muncul. Ia tampak marah melihat Murni duduk semeja dengan istrinya.

“Hei, apa-apaan kamu? Memangnya siapa kamu? Berani-beraninya duduk di kursi majikan?” katanya kasar.

Murni terkejut, langsung mengangkat piringnya, dan beranjak pergi.

Wulan sangat marah. Ia berteriak memanggil Murni.

“Murni, kembali ke sini. Aku yang menyuruh kamu duduk di sini.”

“Tidak boleh. Ambilkan aku piring, aku mau makan,” katanya sambil duduk di depan Wulan.

“Bisakah kamu tidak berkata kasar?”

Murni datang membawakan piring untuk Restu, kemudian kembali ke dapur.

“Kembali kemari Murni,” panggil Wulan.

“Tidak Bu, saya makan di dapur saja,” jawab Murni sambil menjauh.

“Kamu keterlaluan,” sergah Wulan.

“Kamu merendahkan diri kamu sendiri dengan makan bersama pembantu.”

“Yang rendah adalah akhlak yang kamu miliki. Perbedaan derajat hanyalah milik orang-orang tinggi hati, bukan tinggi nurani.”

“Persetan dengan omelan kamu. Aku ingin makan, jangan menghilangkan selera makanku dengan kata-kata sok pintar itu,” katanya sambil menyendok makanannya tanpa malu.

Wulan membiarkannya, melanjutkan makan dengan tanpa menatap suaminya. Tak ada suasana manis saat Restu ada di rumah. Tapi Wulan sudah terbiasa dengan keadaan itu. Ia masih bisa menerimanya dengan kesabaran yang berlipat-lipat. Semuanya demi kedua orang tuanya yang sudah tiada, dan demi kedua mertuanya yang sangat mengasihinya.

Tiba-tiba ponsel Restu berdering. Restu mengambil ponselnya, mengira dari Lisa, ternyata dari ibunya.

“Ya Bu.”

“Kamu di mana? Bukankah kamu masih cuti?”

“Iya, ini di rumah, sedang makan.”

“Oh, bagus. Apakah ada Wulan di dekat kamu?”

“Ada.”

“Ibu senang mendengarnya. Berikan ponselnya pada Wulan, tapi sebelumnya ibu ingatkan kamu. Gelang yang kamu ambil harus segera kamu kembalikan. Ibu beri kamu batas sampai akhir bulan ini,” tandas kata bu Broto.

“Bulan ini? Bulan ini tinggal seminggu lagi Bu.”

“Ibu tidak mau tahu. Bulan ini, titik. Sekarang berikan pada Wulan, ibu mau bicara.”

Restu menyerahkan ponselnya ke arah Wulan dengan wajah penuh rasa kesal, karena ibunya mengingatkan lagi tentang gelang itu.

“Hallo Ibu, sambut Wulan.”

“Kalian sedang makan?”

“Iya Bu.”

“Masak apa hari ini?”

“Hanya sup ayam sama goreng perkedel, tahu, tempe juga.”

“Hm, enaknya, ibu sudah kangen makan masakan kamu.”

“Besok Wulan ke rumah ya Bu, biar Wulan masak buat Ibu sama bapak.”

“Baiklah. Ya sudah, lanjutkan makannya, ibu cuma kangen sama kamu.”

“Wulan juga, Bu.”

Bu Broto sudah menutup ponselnya, lalu Wulan menyerahkannya kembali pada Restu yang masih melanjutkan makan dengan lahap. Wulan hanya menatapnya tanpa ekpresi, ia hanya heran Restu mau makan di rumah bersamanya. Ia tidak tahu bahwa Restu harus berhemat, karene uang yang didapatnya sudah sangat dibatasi.

Ketika selesai makan, Restu langsung beranjak ke depan, dan untunglah Rio sudah kembali dari pencucian mobil. Restu tampak senang melihat mobilnya sudah bersih berkilat. Ada yang direncanakan setelah sebentar lagi menjemput Lisa di tempat kerjanya.


“Maaf Murni, pak Restu memang selalu berkata kasar,” kata Wulan ketika membantu Murni membersihkan meja.

“Tidak apa-apa Bu, memang seharusnya begitu,” jawab Murni sambil tersenyum.

“Siapa yang mengharuskannya? Kamu bukan pembantu di sini. Acuhkan saja apa yang dikatakan pak Restu, toh dia akan jarang ada di rumah.

Murni hanya tersenyum.

“Ya Bu, sungguh saya tidak apa-apa.”

“Ya sudah, aku juga mau beristirahat di kamar ya Murni.”

“Ya Bu.”

Wulan beranjak ke arah kamarnya, dan melihat Restu sudah siap untuk pergi. Ia mengacuhkannya, dan langsung masuk ke dalam kamarnya.

Tapi ia kemudian teringat kata Murni bahwa Rio tak ada di depan. Wulan keluar kamar lagi, dan melihat Restu sudah masuk ke dalam mobilnya.

“Kerja bagus, kamu harus melakukannya setiap hari,” perintahnya sebelum membawa mobilnya pergi, sementara Rio tegak berdiri di dekat mobil Wulan dengan wajah tak begitu cerah.

“Rio,” panggil Wulan ketika suaminya sudah pergi.

“Mengapa kamu belum makan juga?”

Rio mendekat, lalu naik ke teras.

“Aku mau makan sekarang. Lega melihat dia pergi,” katanya sambil duduk.

“Kamu dari mana? Tadi Murni mencari, kamu tak ada di mana-mana.”

“Diperintah oleh “ndara kakung” untuk mencuci mobilnya.”

“Kamu mencucinya?”

“Ogah aku. Aku bawa saja ke tempat pencucian mobil.”

“Oh, jadi kamu tadi pergi ke tempat pencucian mobil?”

“Ya, membawa mobil suami kamu,” katanya sambil menyendok makanannya.”

“Dia sungguh keterlaluan.”

“Tidak juga, kan aku memang sopir.”

“Kamu masih akan melanjutkannya?”

“Kamu ingin memecat aku?”

“Rio, aku tidak tega melihatmu begini.”

“Aku akan terus melakukannya sampai dia benar-benar bisa membuat kamu bahagia.”

“Rio.”

“Makanannya enak, sayang supnya sudah agak dingin.”

“Kamu sih, tidak segera makan tadi, biar dipanasin Murni ya?”

“Tidak, ini enak, dan hampir aku habiskan,” katanya sambil tersenyum, “ enak karena makan dengan ditunggui bidadari cantikku.”

“Rio … “ kata Wulan sambil tersenyum. Lalu Wulan sadar, betapa ia masih mencintai laki-laki ini, yang dengan gigih masih memegang rasa cinta untuknya, dan ingin melihatnya bahagia.


Restu sudah sampai di depan kantor Lisa. Ia melihat Lisa keluar dari sana, tapi ada pak Thomas dibelakangnya, yang berbincang dengan sangat manisnya dengan Lisa. Rio menahan rasa kesalnya, yang kemudian terasa terobati ketika Lisa sudah mendatanginya dan masuk ke dalam mobilnya.

“Benarkah kamu sudah membawa uang untuk aku?” tanyanya begitu ia duduk dan menutupkan pintu mobilnya.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 15

Tags: No tags

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *