SELAMAT PAGI BIDADARI (16)

Karya Tien Kumalasari

Hari terus berlalu, agak risih bagi Restu karena ayahnya sering berada di kantor. Ia hanya bisa mengajak Lisa makan siang sesuai jam istirahat, tidak bisa seenaknya. Itupun tidak setiap hari. Restu benar-benar sangat menghitung-hitung pengeluarannya, karena uang yang didapat sangat dibatasi. Tapi Lisa tidak bisa begitu saja menerima sikap Restu akhir-akhir ini. Dulu setiap hari bertemu, jalan-jalan, makan enak, bersenang-senang. Sekarang, tidak bisa setiap hari bertemu, makan memilih di warung murah, itupun pulangnya dengan tergesa-gesa.

“Ada apa sebenarnya ini sih Mas? Masa makan di warung murahan seperti ini? Bukannya kita selalu makan di restoran mewah? Yang makanannya serba enak dan berkelas?” protes Lisa.

“Kita harus bersabar Lisa, ayahku sedang mengawasi aku. Keuangan dibatasi. Keluar makan harus kembali tepat waktu. Kalau tidak, gajiku bisa dipotong, dan aku tidak akan bisa berbuat apa-apa lagi.”

“Ayah kamu pelit ya, masa sih anak satu-satunya diperlakukan seperti itu?”

“Kita harus bersabar. Aku harus berbuat yang bisa menyenangkan hati ayahku dulu, supaya kepercayaannya tumbuh kembali, setelah itu kita bisa bersenang-senang seperti biasa.”

Lisa diam, dalam hati dia merasa tidak puas. Lisa tidak biasa hidup sederhana. Restu-lah yang membuatnya. Dan kebiasaan hidup mewah dengan semua barang branded, tidak bisa dihilangkannya begitu saja.

“Padahal aku mau ulang tahun, dan aku berharap hadiah yang istimewa dari kamu.”

Restu terkejut. Hari biasa saja permintaannya sudah serba ‘wah’, apalagi kalau ulang tahun.

“Mengapa diam?”

“Eh, aku sedang mengingat-ingat, bukankah ulang tahun kamu masih lama?”

“Bulan depan, tahu”

“Oh, iya sih. Masih bulan depan, bisa dipikirkan nanti kan?”

“Tapi kamu bisa lupa kalau aku tidak mengingatkannya jauh-jauh hari.”

“Iya, ayo sekarang kita kembali ke kantor, kalau terlambat ayahku bisa marah.”

“Huh, lama-lama bosan aku mendengar kata ‘ayahku … ayahku’… seperti anak kecil saja,” kata Lina sambil langsung berdiri dengan wajah cemberut.

“Ayolah Lina, jangan cemberut begitu dong, nanti cantiknya hilang lho,” kata Restu mencoba merayu.

Tapi Lina bertambah cemberut. Ia diam saja saat Restu mengantarkannya kembali kantor.

Restu menurunkan Lina di depan kantornya, ia terus mengawasinya, sampai Lina tiba di depan lobi. Tapi Restu tertegun, ketika dari arah yang berlawanan dengan langkah Lina, pak Thomas juga baru mau masuk ke kantor. Dan yang membuatnya lebih tertegun lagi, ketika tiba-tiba pak Thomas merangkulnya dan mencium pipinya.

“Gila benar, dan kenapa Lisa tidak menghindar? Malah kelihatan senang dia,” geram Restu penuh cemburu.

Restu memacu mobilnya kembali ke kantor, dengan hati panas bagai hampir mendidih. Ia berpapasan dengan ayahnya yang sebenarnya mau masuk ke ruangannya.

“Dari mana kamu?” tegur sang ayah.

“Keluar makan, Pak.”

“Kamu terlambat seperempat jam dari waktu yang ditentukan. Itu memberi contoh kurang baik bagi karyawan lain,” kesal pak Broto.

“Jalanan agak macet,” katanya memberi alasan, sambil mengikuti ayahnya masuk ke ruangannya.

“Aku memanggil kamu melalui interkom, tidak ada jawaban, jadi aku datang kemari. Ternyata kamu memang belum ada di ruangan kamu.”

“Maaf, Pak.”

“Aku minta kamu menghubungi pak Jayus, pelajari proposalnya,” kata pak Broto sambil meletakkan sebuah map berwarna hijau.

“Ya.”

“Satu lagi, mulai bulan ini, gaji kamu akan masuk ke rekening Wulan.”

Restu terkejut.

“Apa ini maksudnya Pak. Gaji saya, mengapa harus ditransfer ke rekening dia?” protesnya dengan wajah kusam.

“Apa bedanya? Toh akhirnya kamu juga memberikan gajimu kepada istri kamu bukan?”

“Tapi_”

“Wulan akan memberikan sebagian untuk keperluan kamu. Beli bensin, makan siang selama sebulan, dan katakan saja apa yang kamu perlukan. Wulan yang akan memberikannya.”

“Ini tidak adil.”

“Mengapa tidak adil? Kebutuhan kamu tercukupi kok.”

“Mengapa Retu harus meminta-minta kepada istri sedangkan itu milik Restu?”

“Bukan. Gaji yang didapatkan seorang suami adalah untuk keluarganya. Aku melakukannya karena melihat kamu terlalu boros. Jangan protes, atau kamu sama sekali tidak akan mendapatkan uangmu?” kata pak Broto yang kemudian berdiri, lalu melenggang dengan santai keluar dari ruangan.

Begitu ayahnya keluar, Restu menggebrak mejanya dengan kesal. Perasaanya sedang tidak enak gara-gara melihat Lisa dipeluk pak Thomas, begitu sampai di kantor, ayahnya membuat keputusan yang sangat membuatnya marah.

“Ini sungguh keterlaluan. Bapak menghukumku sangat berat.”

Restu menyandarkan tubuhnya, sekalipun belum menyentuh map hijau yang baru saja diletakkan ayahnya. Pikirannya kacau. Bayangan pak Thomas yang merangkul dan mencium Lisa kembali terbayang, membuat darahnya mendidih. Ia meraih ponselnya ingin menelpon Lisa. Tapi belum sampai ia menemukan nomor kontak Lina, ponselnya berdering. Dari ibunya. Pasti soal gelang itu. Tapi Restu tak berani mengabaikan panggilan itu.

“Hallo Ibu,” sambutnya, terdengar kurang ramah sih.

“Restu kamu kenapa? Lapar? Kok suaranya lesu begitu?”

“Tidak Bu, pekerjaan sedang banyak.”

“Ibu hanya ingin mengingatkan tentang gelang itu. Seminggu dari waktu yang ibu berikan sudah selesai.”

“Iya, Restu tahu. Besok akan Restu serahkan kepada Ibu.”

“Kenapa besok? Kenapa lama? Apa Ibu yang harus mengambilnya sendiri dari wanita itu, atau ibu laporkan saja semua itu kepada ayahmu?” ancam bu Broto lagi.

“Ya ampun Bu, Restu bilang besok. Karena … karena Restu belum bertemu dia.”

“Dari kemarin-kemarin ngapain? Belum bertemu dia juga?”

“Iya … memang ….”

“Memang apa?”

“Memang belum … bertemu ….”

“Baiklah, besok ibu tunggu.”

“Kalau nanti sudah jadi, akan langsung Restu serahkan sama ibu.”

“Sudah jadi apanya? Kamu pesan lagi?” curiga bu Broto.

“Tidak Bu … mm …maksud Restu, jadi janjian untuk ketemu dia.”

“Ya sudah. Pokoknya nanti atau terakhir besok. Awas kamu.”

Bu Broto menutup pembicaraan itu begitu saja, membuat Restu kemudian mengomeli dirinya sendiri atas perkataannya yang terakhir.

Gara-gara gelisah soal gelang itu, Restu jadi melupakan niatnya untuk menelpon Lisa. Lagipula ia berniat akan menjemput Lisa sepulang dari kantor nanti. Ia harus menegurnya atas sikap manisnya kepada pak Thomas.


Tapi sesampai di kantor Lisa, dia mendapat keterangan dari temannya, bahwa Lisa sudah pulang satu jam yang lalu.

“Kenapa? Apa dia sakit?”

“Tidak, katanya ada keperluan,” jawab temannya.

Restu kembali ke mobilnya dengan kesal. Ia belum menjalankannya, dan memerlukan menelpon Lisa terlebih dulu.

Tapi ponsel Lisa ternyata tidak aktif. Restu kesal sekali. Ia memacu mobilnya ke rumah Lisa, dan ternyata Lisa juga belum sampai ke rumah.

“Kemana dia? Biasanya kalau mau kemanapun dia pasti bilang,” gerutunya sambil menjalankan mobilnya, pulang.


Wulan yang merasa heran ketika melihat suaminya sudah pulang, kemudian menyuruh Murni untuk membuatkan minuman untuk Restu.

“Buatkan dan letakkan di ruang tengah.

“Baiklah Bu.”

Murni membuatkan secangkir coklat susu panas dan meletakkannya di ruang tengah. Begitu meletakkan cangkirnya, Restu menghardiknya.

“Mengapa hanya secangkir? Ini terlalu sedikit. Apa majikan kamu memang begitu pelit sehingga menyuruh membuatkan minuman dengan cangkir kecil ini?”

“Mm … maaf Pak … bukan bu Wulan yang menyuruhnya. Saya yang salah,” kata Murni sambil mengambil kembali cangkirnya, lalu membuatkannya lagi di gelas yang lebih besar.

Ketika meletakkan gelas itu, kembali Restu menghardiknya. Memang tak bisa dia bicara dengan lemah lembut, kata batin Murni.

“Mana Wulan?”

“Ada di kamarnya Pak.”

“Suruh dia kemari, aku mau bicara.”

Murni tak menjawab, dia langsung menuju ke kamar Wulan, mengetuk pintunya perlahan, kemudian membukanya saat Wulan sudah menjawabnya.

“Ada apa Murni?”

“Pak Restu memanggil Ibu.”

“Oh ya? Tumben. Di ruang tengah?”

“Ya Bu.”

Wulan mengangguk, tanpa bertanya lebih lanjut dia segera keluar dan menuju ruang tengah.

“Ada apa?”

“Duduk,” perintahnya seperti memerintahkannya kepada binatang kesayangan.

Wulan duduk, menatap tak suka kepada sang suami.

“Apa kamu sudah tahu, bahwa bapak akan mentransfer gajiku ke rekening kamu?”

“Ya, bapak sudah mengatakannya.”

“Hm, senang bukan?” kata Restu sambil tersenyum sinis.

“Senang sekali. Aku kan benalu pemorot harta keluargamu, jadi mendapatkan kepercayaan seperti ini, sangat membuatku senang. Mau protes?”

“Bagaimana cara kamu memberikan uang untuk semua kebutuhan aku?”

“Katakan apa yang kamu butuhkan. Bensin, makan siang, apa lagi?”

Restu sangat gemas melihat ketenangan istrinya. Ingin sekali dia mencakar bibir tipis yang kalau saja Restu bisa melihatnya dengan seksama, maka alangkah menggairahkannya bibir itu saat bicara. Tapi tidak. Dihatinya penuh dibayangi oleh wajah Lisa. Lisa yang seksi, yang pintar merayu, dan selalu bisa memuaskannya.

“Kamu begitu jumawa atas kepercayaan itu,” ucapnya kasar.

“Iya-lah, bukankah aku mau menikah denganmu karena ingin memoroti hartamu?”

“Perempuan tak tahu diri.”

“Ya, aku gila harta, tak tahu diri, lalu apa lagi?”

Wulan berdiri dengan wajah datar, lalu masuk kembali ke dalam kamarnya.

Restu menghirup habis coklat susunya kemudian berdiri lalu masuk ke dalam kamarnya. Tak ada satu jam kemudian, Restu keluar rumah. Tak ada yang menanyakannya. Bahkan Rio yang masih berada di dalam mobil, tapi bersiap untuk pulang, tetap bergeming di tempatnya. Tapi tanpa sepengetahuan Restu, Rio mengikutinya. Penasaran dia, dan merasa bahwa sudah saatnya dia membuka tabir kepalsuan Restu.


Restu memasuki rumah orang tuanya, dan bersyukur tidak melihat ibunya duduk bersama ayahnya.

“Tumben kamu kemari? Mana Wulan? Tidak datang bersama kamu?”

“Dia tidak mau. Restu kangen sama ibu. Mana ibu?”

“Di dalam kamarnya, barangkali,” jawab pak Broto sambil terus menikmati acara televisi.

Restu langsung menuju ke kamar orang tuanya. Masuk begitu saja tanpa mengetuk pintu, sehingga sang ibu yang sesungguhnya mau keluar nyaris tertabrak daun pintu.

“Haaah? Restu? Apa-apaan sih kamu? Mana tata krama kamu, ketuk [intu sebelum memasuki kamar orang lain. Biarpun ini kamar orang tua kamu,” omel bu Broto.

“Maaf Bu, Restu sedang tergsa-gesa,” kata Restu yang langsung masuk begitu saja ke dalam. Bu Broto tak jadi keluar.

“Ini Bu, sudah Restu kembalikan gelangnya.”

“Hm, bagus. Kamu menepati janji kamu.”

Bu Broto mengamati gelang yang hanya terbungkus kotak biasa, tapi bukan masalah bungkusnya, mungkin saja setelah dipakai, wadah yang semula menjadi tempat menyimpan gelang itu sudah dibuang. Yang penting gelangnya sudah kembali.

“Ibu harus mengerti, bahwa Restu tak ingin mendapat amarah dari bapak. Restu sangat menyayangi bapak sama Ibu.”

“Kalau kamu menyayangi orang tua kamu, lakukan yang baik-baik, dan jangan membuat orang tua kamu kecewa. Kamu masih berhubungan dengan perempuan itu?”

“Tidak Bu.”

“Syukurlah. Lakukan hal baik agar bapak sama ibu senang.”

“Restu pamit dulu ya Bu.”

“Ya sudah, lain kali kalau datang kemari ajaklah istrimu juga.”

“Baik Bu.”

Restu keluar dari kamar, berpamit kepada ayahnya dengan mencium tangannya, kemudian berlalu.

“Ada apa dia? Tiba-tiba bilang kangen sama kamu?”

“Ya, kangen saja. Tapi dia tak bisa lama-lama disini, soalnya dia tidak datang bersama istrinya, aku menegurnya tentang hal itu,” kata bu Broto yang masih ingin menutupi perbuatan buruk anaknya.


Restu tidak pulang ke rumahnya. Ia langsung ke rumah Lisa. Ia berharap Lisa sudah sampai di rumah. Ia ingin segera mendengar, apa alasan Lisa sehingga mau diperlakukan pak Thomas dengan perlakuan yang tidak semestinya. Kecuali itu ia juga ingin tahu mengapa ia pulang lebih dulu tanpa pemberitahuan.

Tapi begitu sampai di rumah Lisa, dia juga tidak mendapati Lisa di rumah. Kata orang tuanya, Lisa pergi sejak pagi dan belum kembali.

Restu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia kembali menelpon Lisa, dan kali ini diangkatnya, Restu merasa lega.

“Hallo …”

Jawaban dari seberang sangat mengejutkannya. Suara laki-laki.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 17

Tags: No tags

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *