SELAMAT PAGI BIDADARI (30)

Karya Tien Kumalasari

Yu Sarni gelagapan, karena tiba-tiba Restu memeluknya erat. Memang benar, dia adalah Restu, yang ingin menemui orang tuanya. Ada sedikit ragu, dan perasaan khawatir kalau-kalau dia ditolak. Tapi Restu merasa, dia harus melakukannya. Karena itulah pagi-pagi dia sudah berada di depan gerbang rumah orang tuanya.

“Pak Restu, aduh, ada apa ini? YU Sarni tidak bisa bernapas nih, aduh, kalau yu Sarni mati bagaimana ?”

Restu melepaskan pelukannya, mengusap air matanya yang berlinang. Yu Sarni heran melihat sikap Restu. Biasanya dia galak dan garang, apalagi memeluk, bicara dengan manis saja belum pernah. Kok ini pagi-pagi sudah main peluk, pakai nangis segala.

“Yu, maafkan aku ya Yu,” katanya memelas.

“Memangnya kenapa harus minta maaf sama yu Sarni?”

“Yu, aku telah melakukan dosa besar, aku_”

“Siapa Ni?” teriakan pak Broto membuat Restu menghentikan kata-katanya.

“Ini Pak ….”

Lalu yu Sarni menarik tangan Restu kedalam. Restu berdebar, ayahnya menatapnya tajam. Tak ada kesan gembira bertemu kembali dengan anaknya. Semangat Restu jadi surut. Ia ingin membalikkan tubuhnya dan keluar dari halaman, ketika tiba-tiba mendengar teriakan ibunya sambil menahan tangis.

“Restuuuu! Kamu Restu ?”

Bu Broto berdiri, kemudian turun ke halaman, sementara pak Broto menarik koran di atas meja, kemudian membalik-baliknya. Seakan tak peduli yang datang adalah anaknya.

“Restu ?” Bu Broto memeluk Restu sambil terusak-isak.

“Kamu kembali Restu? Kembali kan?”

“Restu datang untuk minta maaf Bu, maafkan anak Ibu yang penuh dosa ini,” Restu pun terisak.

“Sudah … sudah … ayo temui bapakmu …” katanya sambil menarik Restu ke arah rumah, sementara pak Broto masih asyik dengan koran nya.

“Pak … Bapak … ini anak kita pulang Pak,” teriak bu Broto.

Pak Broto bergeming. Tapi sudah kepalang tanggung, Restu nekat menaiki tangga teras dan bersimpuh di depan ayahnya, meletakkan kepala di pangkuan ayahnya.

“Bapak, maafkah Restu … bapak …” isaknya.

Pak Broto meletakkan korannya. Bagaimanapun, Restu adalah darah dagingnya. Ada yang meremas dadanya saat mendengar isak anaknya. Tapi pak Broto berusaha tegar, pura-pura bergeming.

“Kamu ini siapa sih? Datang-datang merangkul kakiku?”

“Bapak, saya Restu, maafkan Restu Bapak, Restu banyak dosa. Restu ingin Bapak memaafkan Restu ya.”

“Benarkah kamu anakku? Sepertinya aku lupa kalau pernah punya anak bernama Restu,” katanya tak acuh.

“Pak, jangan begitu Pak, Restu sudah minta maaf,” pinta bu Broto, memelas.

“Ampun Pak, Restu berdosa. Restu sudah berobat.”

“Bertobat itu bagaimana?”

“Restu sadar bahwa Restu berdosa. Restu berjanji tidak akan mengulanginya. Restu akan menjalani hidup yang baik, yang tidak lagi memburu kesenangan.”

“Iya lah, kesenangan siapa yang akan kamu buru lagi? Kamu kan sudah tidak punya apa-apa?”

Restu terdiam, tetap merangkul kaki ayahnya dan meletakkan kepala di pangkuannya, isaknya sesekali masih terdengar.

“Hentikan tangismu itu, jangan membasahi pangkuan aku dengan ingus kamu,” kata pak Broto datar. Tapi Restu masih tetap pada posisinya.

“Pak, jangan begitu Pak, Restu sudah bertobat,” pinta bu Broto menahan isak.

“Dari mana kamu tahu kalau dia bertobat?”

“Dia sudah datang, dan meminta maaf kepada orang tuanya, berarti dia bertobat. Kalau dia masih belum bertobat, mana berani dia datang kemari?”

“Bisa saja dia datang hanya karena butuh uang, pura-pura minta maaf, ujung-ujungnya minta uang. Iya kan?”

“Tidak Pak, Restu tidak akan minta apa-apa lagi pada Bapak ataupun ibu,” katanya bergetar.

“Oh ya? Kamu sudah bisa mencari makan sendiri? Sehingga tidak butuh orang tua?”

“Saya hanya butuh doa, bukan harta,” katanya pelan.

“Haaa, aku suka ini,” kata pak Broto masih dengan nada meledek, tapi belum juga menyentuh tubuh anaknya.

“Restu, kalau kamu sudah sadar, kamu boleh membantu lagi di bisnis bapak, Wulan juga membantu di sana,” kata bu Broto.

“Siapa bilang begitu? Dia tidak butuh itu kok,” sela pak Broto.

“Jangan begitu Pak, dia anak kita satu-satunya, dan sudah bertobat.”

“Saya mohon, agar sekarang Bapak memaafkan saya. Setelah ini saya mau pergi Pak, saya hanya butuh itu. Kata maaf dari Bapak dan ibu,” kata Restu sambil mengangkat kepalanya, tapi masih bersimpuh di hadapan ayahnya.

Mendengar Restu mau pergi setelahnya, tiba-tiba terusik hati pak Broto. Rasa bahagia yang semula disembunyikannya mulai tampak, dari matanya yang berkaca.

“Baiklah. Apa kamu mau kembali ke rumah ini?” katanya dengan suara bergetar.

“Saya datang hanya ingin meminta maaf, saya tidak berani mengganggu lagi.”

“Apa maksudmu Restu, apa kamu mau pergi lagi?” kata bu Broto.

Restu berdiri, meraih tangan ayahnya lalu menciumnya.

“Saya mohon Bapak dan ibu selalu mendoakan saya,” katanya kemudian membalikkan tubuhnya.

“Restuuu!” pekik bu Broto ketika melihat Restu turun dari tangga teras.

Restu membalikkan tubuhnya, melihat ibunya mengejarnya, Restu kembali, kemudian merangkulnya erat.

“Maafkan saya Bu. Biarkan saya pergi. Saya sedang mencari ketenangan dalam hidup, dengan menjalani apapun, tapi baik. Ibu tidak usah khawatir, Restu tidak akan melakukan perbuatan yang menyimpang dari kebenaran.”

“Restu, kembalilah. Oh ya, apa kamu sudah mendengar bahwa Wulan dan Rio sudah menikah? Rio itu sebenarnya adalah_”

“Restu sudah tahu Bu,” potong Rio.

Restu melepaskan pelukannya, lalu bergegas pergi dan tidak menoleh lagi.

“Restuuu,” bu Broto berusaha mengejar, tapi Restu sudah menaiki sepeda motornya dan memacunya menjauh.

Bu Broto kembali ke rumah dengan tangis yang tak henti-hentinya. Begitu naik ke teras, langsung bu Broto menggoyang-goyangkan tubuh suaminya dengan marah.

“Bapak sungguh kejam. Mengapa bersikap begitu dingin kepada anak sendiri. Padahal dia sudah minta maaf. Sambil menangis-nangis pula,” kesalnya sambil terus menggoyang-goyangkan tubuh suaminya.

Pak Broto yang sebenarnya juga punya perasaan sama dengan istrinya, kemudian merangkulnya dan mengelus bahunya.

“Sudahlah Bu, sudah. Jangan marah-marah lagi.”

“Tentu saja ibu marah. Bapak membuatnya pergi. Bapak tidak mengerti bagaimana perasaan seorang ibu. Tentu saja Bapak tega, karena Bapak tidak melahirkannya. Tidak merasakan sakit, tidak merasa berat saat dia berada dalam kandungan. Tapi aku ini ibunya, aku tidak bisa kehilangan dia.”
“Baiklah. Apa Ibu kira bapak tidak merasakan rasa yang sama dengan yang ibu rasakan?”

“Bohong! Bohong! Bapak tega! Bapak kejam! Dia pergi karena Bapak tidak menyambutnya dengan baik. Bapak tak peduli, Bapak tidak sungguh-sungguh memaafkannya,” bu Broto masih terus menangis sementara pak Broto masih merangkulnya erat.

“Bapak tidak bohong. Bapak juga mencintai Restu.”

“Bohong ! Bapak bohong! Aku tidak percaya. Mana ada cinta seperti itu. Bapak tega. Bapak membiarkannya hidup sengsara, padahal dia sudah bilang tobat.”

“Dia kan bilang, bahwa dia datang hanya untuk meminta maaf, setelahnya ingin pergi lagi. Itu keinginannya bukan? Berarti dia sudah menemukan jalan hidup yang baik, seperti yang kita harapkan.”

“Itu karena Bapak menyambutnya dingin. Tidak tampak bahagia, tidak senang dia kembali.”

“Tenanglah Bu, jangan marah-marah terus. Kalau Ibu masih marah, maka tidak akan bisa menerima perkataan bapak dengan baik.”

“Pokoknya aku benci Bapak. Aku benci karena Bapak tidak mencintai anakku.”

“Anak ibu juga anakku.”

“Bohooong! Bohooong!” teriak bu Broto, kemudian lari ke kamar dan menguncinya dari dalam.

Pak Broto menghela napas dalam-dalam. Emosi seorang ibu dan bapak memang berbeda. Si ibu menerima dengan caranya, si bapak dengan caranya pula.

Tak ada yang bisa dilakukan pak Broto kecuali menunggu kemarahan istrinya menjadi reda.


Restu sampai di bengkel, lalu membukanya sekalian karena tak lama lagi para montir bawahannya pasti sudah akan datang. Setelah itu dia segera naik ke atas, masuk ke kamarnya dan duduk termenung di sana.

Ketika dia datang menemui orang tuanya, dia memang hanya ingin meminta maaf, dan tak ingin kembali, apalagi ikut mengelola perusahaan ayahnya.Ia merasa sudah menemukan kehidupan yang membuatnya tenang, dan siap menjalani hidup sederhana yang jauh dari kemewahan dan gelimang harta.

“Aku tahu bapak juga memaafkan aku, tapi memang beda caranya dengan cara ibu memperlakukan aku. Bapak seorang laki-laki yang kuat dan tegar. Aku bangga menjadi anaknya. Tapi kasihan ibuku, dia ingin aku kembali ke rumah.”

Tiba-tiba Restu teringat yu Sarni. Tadi dia sudah meminta maaf, atas perlakuannya kepada Murni, tapi dia belum sempat mengatakan, ayahnya sudah berteriak memanggil yu Sarni. Dia juga ingin bertanya kepada yu Sarni, apakah Murni sudah menikah? Kalau belum, berarti bayi yang dikandung adalah anaknya. Restu ingin kejelasan itu, dan tak akan mengingkari tanggung jawab. Dia akan menikahi Murni kalau memang benar Murni belum menikah.

“Bodoh … bodoh … Mengapa tidak aku selesaikan sekalian tadi, tentang masalah Murni?”

Lama dia merenung tentang Murni, sehingga tidak mendengar pintu kamarnya diketuk berkali-kali. Entah ketukan yang keberapa tadi, barulah Restu mendengar lalu membukakan pintunya.

“Maaf Pak, apakah Bapak tidur tadi?”

“Tidak, aku sedang … melakukan sesuatu, ada apa?”

“Minta kunci kasir Pak, ada yang butuh kembalian.”

“Oh, ya … aku lupa. Sudah ada pelanggan?”

“Hanya ban bocor Pak, sudah selesai.”

Restu mengambilkan kunci kasir, sambil bergumam:” Rupanya aku melamun beberapa saat lamanya.”

Restu melihat ke arah jam dinding.

“Sudah jam sepuluh.”

Ia membereskan tempat tidurnya, lalu turun ke bawah.


Siang itu pak Broto tidak ke kantor. Dia sibuk menenangkan istrinya, yang tetap saja tak mau bicara sejak kepergian Restu pagi harinya.

Hari sudah siang, yu Sarni sudah menyiapkan makan siang, dan sudah mengatakannya kepada majikannya.

“Pak, makan siang sudah siap, tapi ibu masih belum membuka kamarnya, saya takut memanggilnya, Pak.”

“Iya, selesaikan saja menyiapkan makannya, biar aku yang memanggilnya.”

“Sudah siap Pak.”

“Baiklah.”

Pak Broto menuju ke arah kamar. Pintu itu masih terkunci. Pak Broto mengetuk-ngetuk pintu tapi tak ada jawaban.

“Bu, buka pintunya dong Bu, ayo makan dulu. Sarni sudah menyiapkan semuanya.”

Tak ada jawaban, lalu diulanginya lagi, dan diulanginya, tetap tak ada suara.

Pak Broto melangkah ke belakang, membuka laci almari yang berisi segala macam kunci serep.

“Mudah-mudahan kunci serep kamar itu ada di sini.”

Pak Broto terus mencari kunci.

“Dituang semua saja Pak, biar Sarni ikut mencari,” kata Sarno yang merasa kasihan melihat majikannya tampak gelisah.

Lalu pak Broto menuangkan semua isi laci itu ke lantai. Yu Sarni bersimpuh di lantai, memilih-milih. Ada beberapa kunci yang mirip, tapi yu Sarni dan pak Broto hapal betul yang mana kunci kamar yang harus ditemukannya.

Akhirnya pak Broto menemukannya. Ia berdiri dan bergegas ke kamarnya, membuka kamar itu dengan mudah. Dilihatnya bu Broto berbaring di tempat tidur, memeluk guling menghadap tembok.

“Bu, kenapa begitu sih Bu. Bapak sedih kalau Ibu marah. Baiklah, nanti Bapak akan mencari Restu sampai ketemu, dan membawanya kemari,” hibur pak Broto.

Tapi bu Broto diam saja. Pak Broto memegang tangan istrinya, dan terkejut ketika terasa panas sekali. Lalu dia memegang keningnya, dan lehernya.

“Bu, kamu kenapa? Bagaimana rasanya?”

Pak Broto bergegas keluar.

“Ni, coba telpon kantor. Suruh sopir datang kemari, cepat,” perintah pak Broto.

Sarni bergegas ke arah telpon, mencari nomor kantor. Ia sudah tahu apa yang harus dilakukannya, karena pak Broto sering menyuruh Sarni kalau sewaktu-waktu butuh sopir.

Pak Broto mengambil mangkuk besar dengan air hangat.

“Kalau sudah tolong ambilkan lap, kompres ibu. Panasnya tinggi. Aku akan bersiap membawanya ke rumah sakit.”

“Baik Pak.”

Sarni membawa baskom dan lap kecil, kemudian mulai mengompres bu Broto. Bu Broto tak bergerak.

“Bu, Ibu sadar ya. Mengapa Ibu sepeti ini?”

Tak lama kemudian mobil kantor telah sampai. Dibantu yu Sarni, pak Broto membopong tubuh istrinya, dibawanya ke mobil.

“Ke rumah sakit, cepat!” perintah pak Broto


Besok Lagi ya…

Bersambung ke Jilid 31

Tags: No tags

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *