SELAMAT PAGI BIDADARI (31)

Karya Tien Kumalasari

Pak Broto gelisah dalam menunggu. Ia tak tahu harus berbuat apa. Ada sesal dihatinya ketika tadi berpura-pura dingin ketika Restu bersimpuh sambil memeluk kakinya, dan meletakkan kepalanya di pangkuannya. Padahal dia bahagia, melihat Restu datang dengan wajah begitu segar dan sikap yang sangat tegar. Karena itu istrinya jadi salah sangka, mengira dia tak peduli pada anaknya, dan sekarang jatuh sakit oleh rasa kecewa terhadap dirinya.

Ia menunggu dan menunggu, sampai akhirnya dokter mengatakan bahwa istrinya tak apa-apa. Hanya sedikit tertekan, dan sebaiknya dirawat dulu selama beberapa hari.

Wulan yang berada di kantor, agak heran karena pak Broto tidak muncul, padahal banyak hal yang ingin ditanyakannya. Ia terkejut ketika sopir kantor menelponnya.

“Ya, ada apa Pak,” sapa Wulan.

“Saya baru saja dipanggil ke rumah pak Broto, untuk mengantarkan ibu ke rumah sakit.”

“Apa? Ke rumah sakit? Ibu sakit?”

“Tampaknya begitu, tadi diangkat berdua sama yu Sarni. Sekarang saya masih di rumah sakit, menunggu kalau bapak menyuruh saya atau apa.”

Wulan meletakkan gagang tilpon dengan tergesa. Ia membenahi kertas-kertas yang berserakan di meja, kemudian menelpon Rio. Setelah itu ia bergegas pergi ke rumah sakit.

Pak Broto sedang menunggui bu Broto di ruang IGD. Lega rasanya melihat bu Broto sudah sadar. Tapi dia menatap acuh pada suaminya. Ia bahkan tak menjawab ketika sang suami mengajaknya bicara.

“Bu, bapak minta maaf ya,” katanya lembut.

Bu Broto bergeming. Ia bahkan memalingkan wajahnya ke tempat lain. Sampai kemudian suster membawanya ke ruang rawat, bu Broto masih diam membisu. Walau begitu pak Broto tetap menemaninya dengan sabar.

Ia duduk di kursi didekat pembaringan, tapi tak berhasil memegangi tangan istrinya, karena sang istri yang masih dilanda kekesalan itu kemudian mengibaskannya.

“Bu, sudah dong marahnya.”

Bu Broto tetap memalingkan wajahnya.

“Nanti bapak akan mencari Restu, dan membawanya ke hadapan ibu.”

Bu Broto diam, bahkan kemudian memejamkan mata, pura-pura tidur. Kalau saja sebelah tangannya tidak terikat dengan jarum infus, pasti dia sudah kabur meninggalkan sang suami.

Pak Broto menghela napas, tapi kemudian meletakkan tangannya di pembaringan. Bu Broto yang merasa ada yang mengganjal di sampingnya, kemudian menggeser sedikit letak tidurnya.

“Bapak, ibu kenapa?” teriakan Wulan membuat pak Broto terkejut. Tapi Bu Broto tetap tak mau membuka matanya.

“Kamu kok bisa datang kemari, bersama Rio pula?” tanya pak Broto heran.

Sopir kantor mengabari Wulan, lalu Wulan menelpon Rio.

“Ibu sakit apa?” tanya Rio sambil memegang tangan bu Broto.

“Gara-gara Restu,” kata pak Broto singkat, kemudian berdiri lalu duduk di sofa.

Rio dan Wulan saling pandang, kemudian mengikuti pak Broto, duduk di sofa, setelah merasa bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan karena bu Broto tampak tertidur.

Pak Broto menceritakan semuanya, sejak kedatangan Rio, apa yang dikatakan Rio dan apa yang dia katakan, kemudian membuat bu Broto marah, seharian tidak keluar dari kamar dan jatuh sakit.

“Sampai sekarang, ibu masih sangat marah pada bapak, bahkan saat bapak berjanji akan mencarikan Restu serta memanggilnya agar kembali ke rumah.”

Rio dan Wulan saling pandang. Mereka, tentu saja sudah tahu akan keadaan Restu dan apa yang dilakukannya. Mereka senang akhirnya Restu datang dan meminta maaf.

Mereka yakin bahwa Restu benar-benar bertobat.

“Bapak akan mencari Restu agar mendapat maaf dari ibumu,” kata pak Broto sambil berdiri.

“Pak, kemana Bapak akan mencarinya?”

“Kemana saja, dan bapak tak akan pulang sebelum menemukan Restu,” katanya sambil melanjutkan langkahnya ke arah pintu.

“Tunggu Pak,” seru Rio.

Pak Broto menoleh kepada Rio, tapi tidak mengehentikan langkahnya.

Rio mengejarnya.

“Biar saya mengantarkan Bapak,” kata Rio sambil membukakan pintu untuk pak Broto.

Wulan tersenyum, dan menghela napas lega. Saat itulah Bu Broto membuka matanya, lalu memanggil Wulan.

“Wulan …”

Wulan bangkit dan bergegas menghampiri bu Broto.

“Bagaimana keadaan ibu?”

“Ibu baik-baik saja. Suruh dokter melepas infus ini, ibu mau pulang.”

“Jangan dulu Bu, kesehatan ibu sedang diamati oleh dokter. Kalau ternyata ibu baik-baik saja, pasti ibu boleh pulang.”

“Kemana bapakmu?”

“Bapak pergi mencari mas Restu. Tadi bilang, tidak akan kembali tanpa membawa mas Restu.”

“Ooh,”

“Bapak sangat sedih, karena Ibu marah sama bapak.”

Bu Broto tak menjawab.

“Bapakmu tidak menyayangi Restu.”

“Tidak, Ibu salah. Bapak juga menyayangi mas Restu seperti Ibu menyayanginya. Hanya cara bapak yang berbeda. Bapak hanya berpura-pura bersikap dingin. Tapi sesungguhnya bapak bahagia ketika mas Restu datang untuk meminta maaf.”

“Bapakmu bohong. Dia membiarkan Restu pergi.”

“Tidak Bu, bapak mengatakannya dengan sungguh-sungguh. Bapak membiarkan mas Restu pergi, karena mas Restu yang tidak atau belum ingin pulang.”

“Tapi ibu ingin Restu pulang. Berbulan-bulan dia pergi, seperti apa kehidupan dia. Apakah dia bisa makan cukup? Bisa memiliki pakaian yang pantas? Punya tempat untuk berteduh kalau hujan dan panas?” kata bu Broto pilu, dan air matanya kembali merebak.

“Percayalah Bu, mas Restu akan baik-baik saja. Dia berani pergi karena dia sudah menemukan kehidupannya yang nyaman, dan tidak ingin lagi menyusahkan orang tuanya.”

“Wulan, kamu jangan sok tahu ya. Bagaimana dia bisa menemukan hidup nyaman? Jauh dari orang tua, terlunta-lunta.”

“Mas Restu bukan anak kecil. Ibu tahu … ayam saja mengerti bagaimana cara mencari makan, mengapa manusia tidak?”

“Restu terbiasa hidup enak.”

“Dia sudah belajar bagaimana hidup yang sesungguhnya. Itu tadi juga yang dikatakan bapak.”

“Ibu belum merasa puas kalau belum mendengar semuanya dari Restu. Dia harusnya bercerita tentang keadaannya. Bukannya langsung pergi.”

“Mas Restu mungkin masih merasa bersalah Bu, belum saatnya ber-akrab-akrab dengan orang tuanya. Pasti rasa khawatir masih akan dimarahi itu tetap ada.”

Bu Broto mengusap air matanya. Wulan mengelus lengannya dengan kasih sayang.

“Ibu jangan sedih ya, bapak akan membawa Restu kepada Ibu, tapi kalau nanti mas Restu masih ingin pergi, Ibu jangan menghalanginya. Barangkali mas Restu lebih suka melakukan sesuatu tanpa bantuan orang tuanya. Walau susah, pasti akan dijalaninya.”

“Bagaimana dia bisa, tanpa bantuan orang tuanya?”

“Allah itu Maha Pengasih. Ketika mas Restu bertobat, maka dikirimkanlah tangan-tangan mulia untuk mengentaskannya dari papa dan derita yang disandangnya.”

“Benarkah?”

“Bukankah Ibu juga percaya akan Kebesaran Allah Yang Maha Pengasih?”

Bu Broto mengangguk. Ia seperti anak kecil yang mendapat petuah dari orang tuanya.

“Bagaimana kalau bapakmu tidak menemukan Restu? Dia tidak akan pulang dong,” kata bu Broto sedih.

Wulan tersenyum.

“Ternyata Ibu juga mencintai bapak, dan bapak juga sangat mencintai Ibu.”

“Tentu saja Wulan, sepasang suami istri harus saling mencintai.”

“Kalau begitu mengapa Ibu marah-marah sama bapak, hayooo,” ledek Wulan.

Bu Broto tersenyum tipis. Nyatanya mendengar suaminya tak akan kembali, dia juga merasa sedih.

‘***

Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 32

Tags: No tags

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *