SELAMAT PAGI BIDADARI (33)

Karya Tien Kumalasari

Murni baru saja pulang dari bekerja. Dengan perut semakin besar, ia menjadi semakin gampang merasa lelah. Ia sedang rebahan di ranjang, ketika ibunya menelpon.

“Simbok?”

“Ya Mur, ini simbok. Sedang apa kamu?”

“Sedang rebahan di kamar Mbok.”

“Sebetulnya simbok pengin itu lho Mur, kalau telponan, bisa kelihatan wajahnya itu lho, jadi simbok bisa melihat wajah kamu.”

“O, iya Mbok, sebetulnya bisa, tapi kan ponsel simbok itu jadul. Jadi nggak bisa dibuat vidio call, besok, kapan-kapan, Murni belikan Simbok ponsel yang bisa untuk video call ya.”

“Benar ya Mur.”

“Iya, sekarang ini, yang penting bisa ngomong, biarpun berjauhan. Dan yang penting juga, Simbok sehat. Ya kan?”

“Iya, kamu juga harus sehat lho Mur, dan jangan terlalu capek.”

“Iya Mbok. Bagaimana kabar pak Broto dan bu Broto?”

“Waduh Mur, bu Broto tadi dibawa ke rumah sakit.”

“Lhoh, sakit apa ?”

“Ceritanya panjang Mur. Tadi itu, pagi-pagi sekali pak Restu datang.”

Murni langsung merasa mual mendengar nama Restu disebut. Tapi dia harus mendengar simboknya bicara, agar simboknya tidak curiga.

“Masih pagi sekali, gerbang masih digembok. Simbok keluar lebih dulu mendengar gerbang diketuk-ketuk, ternyata yang datang pak Restu. Ya ampun Mur, simbok kabet banget. Tiba-tiba pak Restu merangkul simbok sambil menangis, dan bilang minta maaf berkali-kali. Simbok jadi bingung, kenapa dia minta maaf sama simbok.”

“Lalu dia bilang apa lagi?” Murni terpaksa menyahut, khawatir kalau simboknya mencurigai sesuatu.

“Dia terus meminta maaf, lalu simbok bertanya, ada apa minta maag=f sama yu Sarni?”

“Dia jawab apa?” potong Murni lagi.

Dia belum menjawab, tapi pak Broto sudah berteriak memanggil.”

Murni bernapas lega. Memang tampaknya simboknya tidak tahu apa-apa tentang kejadian itu.

Lalu yu Sarni bercerita tentang kemarahan bu Broto yang entah karena apa, lalu tiba-tiba sakit danpak Broto membawanya ke rumah sakit. Mungkin karena pak Restu tidak bermaksud pulang ke rumah.

“O, ya ampun. Murni jadi sedih. Ingin melihat bu Broto.”

“Ya, sudah Mur, nanti simbok kabari kalau ada apa-apa. Kamu harus jaga diri baik-baik ya.”

“Ya. Simbok juga ya.”

Murni meletakkan ponselnya dan menghela napas lega. Siapa suruh dia berbohong sama simboknya. Bukankah demi menutupi kebohongan yang satu maka dia harus berbohong lagi dan lagi? Ini terasa sangat melelahkan.

Usia kandungan sudah lima bulan, dan dia merasa sehat-sehat saja. Ia mengelus perutnya perlahan, dan rasa sayangnya kepada bayi yang dikandungnya bertambah besar. Tiba-tiba ia teringat kata Wulan, bahwa bayi yang kelak dilahirkannya akan menjadi anak Wulan. Murni terus mengelus perutnya, lalu air matanya menitik tiba-tiba. Bayi ini darah dagingnya. Ketika dia ingin melenyapkannya, adalah dosa. Bagaimana kalau dia kemudian menyerahkannya kepada orang lain? Rasa sesal menggayuti hatinya. Ia mendekap perutnya erat.

“Tidak, ini bayiku, hat=rus aku yang merawatnya. Tetaplah aku yang menjadi ibunya, gumamnya pelan.

Dan perubahan perasaan itu membuatnya tak rela melepaskannya kelak.

Lalu dia teringat kata simboknya ketika menelpon tadi, bahwa Restu meminta maaf kepadanya, serta nyaris mengatakan sebabnya, kalau saja pak Broto tidak memanggilnya. Pasti Restu akan mengulanginya, apalagi beberapa hari yang lalu ia bertemu Restu, dan kemudian Restu seperti ingin mengejarnya. Meremang bulu kuduk Murni membayangkan bertemu dengan Restu. Ingatan akan malam yang menyakitkan itu, membuat rasa bencinya tak akan bisa terobati selamanya.

“Apa yang harus aku lakukan?”

Murni sangat gelisah, dan keinginan untuk melepaskan lelah justru membuatnya kelelahan. Lelah lahir dan juga batinnya.


Wulan masih menunggui bu Broto yang tampak tidak tenang. Ia memejamkan matanya dan berusaha tidur, tapi sebentar kemudian terjaga.

“Kenapa Bu?”

“Bapakmu belum kembali?”

“Belum Bu.”

Bu Broto tampak gelisah. Raut mukanya menjadi pucat tak bersemangat.

“Bapakmu kan bilang, kalau belum menemukan Restu tidak akan pulang?”

“Iya Bu, itu benar.”

“Bagaimana kalau sampai berhari-hari kemudian ternyata memang tidak bisa menemukan?”

“Ibu tenang saja. Bapak pasti bisa menemukan kok,” hibur Wulan.

“Kamu jangan menganggap enteng masalah ini Wulan. Bapakmu itu, kalau ngomong, selalu ditepatinya. Kalau dia bilang tidak akan pulang sebelum menemukan Restu, pasti dia benar-benar tak akan pulang.”

“Bagaimana kalau Ibu menelpon bapak?”

“Aduh, masa aku harus menelpon?”

“Memangnya kenapa? Ibu minta saja pada bapak, agar cepat pulang, bertemu mas Restu atau tidak, begitu,” goda Wulan yang tampak tenang, karena dia yakin bahwa mereka pasti bisa menemukan Restu karena Rio tahu dimana Restu berada.

“Nggak mau aku.”

“Kok nggak mau? Bukankah Ibu berharap bapak segera pulang?”

“Malu aku,” kata bu Broto sambil memalingkan wajahnya.”

“Kok malu sih Bu, menelpon suami sendiri kok malu,”

“Seharian aku memarahinya, kalau tiba-tiba aku menelpon, ya malu-lah.”

Wulan tertawa, agak keras tawanya, karena benar-benar geli melihat sikap bu Broto.

“Ibu ada-ada saja. Kalau memang Ibu merindukan bapak, Ibu minta agar bapak pulang saja dong.”

“Nggak mau,” bu Broto cemberut, Wulan bertambah geli.

Ketika itulah terdengar ketukan di pintu, lalu Rio masuk. Hanya Rio. Bu Broto tampak menunggu, tapi memang hanya Rio yang masuk.

“Mana bapak?” tanya bu Broto kepada Rio.

“Bapak?”

“Apa bapakmu tidak mau pulang? Apa Rio tidak ketemu sehingga bapakmu tidak mau pulang?” tanya bu Broto dengan wajah cemas.

Rio mendekati bu Broto, dan memegangi lengannya sambil tersenyum.

“Rio, tolong bilang sama Bapak, besok bisa berangkat mencari lagi, tapi sebaiknya sekarang pulang dulu.”

“Ibu kangen ya sama bapak?” entah siapa yang menyuruh, tiba-tiba Rio kompak mengganggu bu Broto.

“Rio, kamu ini bilang apa? Ya iya lah ibu kangen, bapakmu itu kan suami ibu,” kesal bu Broto.

Tiba-tiba pak Broto muncul.

“Benar, Ibu kangen sama bapak Sudah nggak marah lagi?”

Nah, kok kompak semua nih, gangguin bu Broto.

Bu Broto memalingkan wajahnya, menyembunyikan rasa lega melihat suaminya pulang.

“Bu, bapak senang lho, ibu tidak marah lagi sama bapak. Kok wajahnya menghadap ke sana sih. Jangan bilang ibu masih marah ya, kan ibu bilang kangen tadi,” goda pak Broto sambil berjalan memutar, sehingga bisa menatap wajah bu Broto.

“Jangan senang dulu ya, pokoknya Bapak harus bisa membawa Restu kemari,” ketus bu Broto.

“Bagaimana kalau tidak ketemu, bapak nggak boleh pulang ya. Memang itu keinginan bapak kok.”

Tiba-tiba bu Broto meraih tangan suaminya, menggenggamnya erat.

“Maafkan ibu ya,” katanya lirih, menahan malu.

Rio dan Wulan saling pandang, menahan tawa melihat kemesraan sepasang suami istri yang sudah tidak lagi muda. Mereka pasangan serasi yang selalu menampakkan kasih sayang di setiap harinya. Itu sebabnya Wulan agak heran ketika melihat ibunya sangat marah kepada suaminya. Dan ternyata mereka memang tak bisa menyembunyikan kasih sayang yang selalu terjaga.

“Kalau benar Ibu memaafkan bapak, bapak akan memberi ibu hadiah.”

“Hadiah apa? Ibu tidak suka hadiah lagu, suara bapak tuh sudah nggak merdu, sember, jelek.”

Pak Broto tertawa.

“Baiklah, bukan lagu, ada yang lain kok. Pejamkan dulu mata ibu.”

Seperti anak kecil, bu Broto juga memejamkan matanya.

“Awas ya, jangan dulu di buka, sebelum bapak memintanya.”


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 34

Tags: No tags

One Response

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *