Karya Tien Kumalasari
Rio baru saja pulang dari kantor, dan heran melihat Wulan tampak termenung seperti memikirkan sesuatu yang berat.
“Ada apa?”
“Aku tak yakin dia mau menemuinya.”
“Apa? Dan siapa?”
“Murni.”
“Memangnya kenapa?”
“Rasanya tak mungkin dia mau menemui mas Restu.”
“Dia kan bermaksud baik, ingin bertanggung jawab, pastinya dia mau dong.”
“Aku tidak yakin. Tadi pagi ketika aku menelpon dia, dan mengatakan bahwa mas Restu akan bertemu dia, maka dia tidak menunjukkan respon apapun. Tapi dia segera menghentikan pembicaraan.”
“Kamu mengatakan kalau “mas Restu akan bertanggung jawab?”
“Tidak, baru mengatakan bahwa mas Restu ingin bertemu. Dia sangat membencinya.”
“Bukankah lebih baik kalau Restu menikahinya, sehingga anaknya lahir bukan tanpa ayah.”
Murni membenci mas Restu karena kelakuannya. Itu sangat menyakitkan, dan susah menghentikan kebencian itu,
Rio menghela napas berat. Lalu ia duduk di depan istrinya.
“Hal terbaik yang harus dilakukan ialah mas Retu menikahi Murni, dengan demikian aib itu akan tertutupi.”
“Benar.”
“Temuilah Murni, dan ajak dia bicara. Aku yakin dia mau mendengarkannya.”
“Rio, masalah perasaan tidak cukup diajak bicara. Maksudku, kalau saja Murni mau bertemu mas Restu, kemudian mas Restu juga bisa meluluhkan hatinya, barangkali hal terbaik itu bisa dilaksanakan.
“Karena susah mempertemukan, sebaiknya kamu aja dulu dia bicara. Atau tiba-tiba kamu datang bersama mas Restu.
“Wah, jangan-jangan dia malah lari.”
“Ya sudah, yang terbaik adalah mengajaknya bicara terlebih dulu. Katakan bahwa yang terbaik adalah menerima permintaan maaf mas Restu, dan menerimanya apabila dia menikahinya.
“Nanti aku mau ke sana, mengantarkan dia periksa ke dokter.”
“Baiklah kalau begitu, ajak dia bicara, dia pasti mau mendengar kalau kamu yang bicara.”
Tapi ketika Wulan datang ke mes dimana Murni tinggal, ia tak menemukan Murni.
Murni bertanya kepada teman disamping kamarnya, tapi tak seorangpun tahu kemana Murni pergi.
“Mungkinkah dia sudah berangkat ke dokter?” gumamnya sambil keluar dari mes itu.
“Padahal biasanya belum buka juga dokternya di jam segini,” gumamnya lagi.
Lalu Wulan menelponnya, tapi tak tersambung. Ponselnya mati.
“Ada apa ini?”
Wulan segera menyusulnya ke dokter, tapi dia juga tak menemukan Wulan di sana. Tempat prakter dokter itu pun masih tertutup. Belum ada seorangpun pasien yang datang.
Wulan masuk dan duduk di kursi tunggu, barangkali Murni memang belum datang. Ia mengambil nomor antrian, supaya kalau Murni datang, dia bisa diperiksa awal. Lalu Wulan mencoba menelpon lagi, tetap saja tak tersambung.
“Aku kok merasa aneh. Ada apa anak ini,”
Setengah jam lebih Wulan menunggu, beberapa pasien sudah pada datang. Wulan mengutak atik ponselnya, mengabari sang suami bahwa dia tidak bisa ketemu Murni, dan saat ini sedang menunggu di tempat praktek dokter.
Pasien pertama, yang seharusnya adalah giliran Murni, sudah dimasuki pasien lain. Wulan mulai gelisah. Tak pernah Murni melewatkan jadwal periksa kandungan.
Wulan berdiri, lalu melangkah keluar ruang tunggu, tak ada tanda-tanda Murni datang. Wulan berjalan ke arah jalan, keluar dari halaman.
Tiba-tiba Wulan melihat sebuah bayangan, yang bersembunyi dibalik sebuah mobil. Bergegas Wulan menghampiri. Bayangan itu berlari menghindar. Wulan segera tahu, bahwa itu adalah Murni.
“Murni!!” Wulan berteriak.
Wulan mengitari mobil itu, tapi Murni menghindar, dan berlari.
“Murni! Ada apa kamu ini??!!”
Murni berlari menjauh, membuat Wulan ketakutan. Dengan perut besar dan berlari.
“Ya Tuhan Murni, jangan lariii!!”
Dan itu benar, Murni terjatuh.
“Auhhhh!” jeritnya.
Wulan memburu ke arah Murni terjatuh.
“Ada apa kamu ini?”
Wulan membantu Murni bangun.
“Kamu sedang hamil. Mengapa lari-lari begitu?”
Tertatih Murni bangun.
“Apa yang kamu lakukan? Mana yang sakit? Ayo periksa dulu, aku takut terjadi sesuatu pada kandunganmu.”
“Bu Wulan … sama … pak Restu?”
“Tidak, aku sendiri. Bagaimana perutmu?Sakit?”
“Tidak,” Murni terengah.
“Kita harus segera periksa. Kamu tadi sudah aku ambilkan nomor awal, sudah diambil ora lain. Ayo cepat, aku khawatir anak kamu, mengapa kamu bersikap seperti itu?”
“Saya … tidak mau ketemu dia.”
“Ya ampun Murni, jangan memikirkan diri kamu sendiri.”
Wulan segera minta agar Murni diijinkan masuk setelah pasien pertama karena sejatinya Murni ada di nomor awal. Apalagi dia habis jatuh.
Dan untunglah dokter mengatakan bahwa kandungan Murni baik-baik saja.
Walaupun begitu, ada luka di lutut dan telapak tangan Murni karena saat jatuh, kedua telapak tangan menahan tubuhnya, dan itu pula mungkin sebabnya, mengapa kandungannya baik-baik saja.
“Mengapa kamu melakukan semua itu Murni? Pakai acara sembunyi dan lari-lari segala?” tegur Wulan ketika mengantarkan Murni kembali ke mes.
“Sesungguhnya, saya ketakutan ketika bu Wulan mengatakan bahwa pak Restu akan menemui saya.”
“Murni, mengapa begitu? Kalaupun pak Restu datang, maka yang pertama kali dia hanya akan meminta maaf sama kamu. Apakah kamu tidak mau memberi dia maaf, sementara dia sudah bertobat?”
Murni diam.
“Saya maafkan dia, tapi saya merasa ngeri setiap kali membayangkan wajahnya, apalagi melihatnya. Tidak Bu, saya tidak mau melihatnya. Rasa sakit saya sungguh tidak terperi.”
“Berarti kamu tidak mau memaafkan dia?”
“Saya hanya tidak mau melihat wajah nya.”
“Murni, tidakkah terpikir oleh kamu bagaimana kalau anakmu lahir? Bukankah lebih baik dia terlahir sebagai anak sepasang suami istri dan bukan hanya seorang wanita?”
Murni terdiam. Dia bisa menerima apa yang dikatakan Wulan, tapi sungguh dia tak mau melihat wajah Restu. Kejadian itu sangat melukainya, melukai lahir dan batinnya. Ia seperti melihat hantu atau binatang buas yang dengan garang melahap tubuhnya, mengunyahnya sampai *. Semuanya sirna. Masa depannya, kesuciannya, harapan akan mencapai sesuatu yang entah apa. Tak ada yang tersisa.
“Murni,” sapa Wulan karena Murni diam beberapa saat lamanya.
“Tidaaak … tidak … jangan sampai saya melihat wajahnya.”
“Anak kamu butuh seorang ayah.”
“Bukan manusia ganas yang telah * habis kehidupan saya.”
“Kehidupan kamu belum habis Murni. Kamu tahu, kamu tidak sendiri. Ada anak kamu, walaupun nanti dia akan menjadi anakku, bukankah lebih baik dia merasa punya ayah, karena mas Restu memang ayahnya bukan?”
“Tolong, jangan sebut nama itu, tolong Bu, saya mau muntah.”
Dan Murni kemudian memang minta agar Wulan menghentikan mobilnya, karena Murni benar-benar pinta di pinggir jalan itu. Beruntung ada selokan, dimana Murni bisa memuntahkan semua isi perutnya.
Wulan sangat prihatin melihat keadaan Murni. Ia memijit-mijit tengkuk Murni, sampai gadis itu merasa tenang, kemudian mengajaknya naik kembali ke atas mobil.
Karena keadaan Murni yang tampak lemah itulah, maka Wulan bukan mengantarkannya kembali ke mes, tapi membawanya pulang.
“Murni, kamu di rumah saya dulu untuk sementara waktu ya, sampai kamu tenang kembali.”
“Bagaimana kalau simbok melihat saya?”
“Kamu ada di rumah aku, bukan di rumah bapak.”
Murni mengangguk. Entah mengapa, tubuhnya tiba-tiba terasa lemas, keringat dingin membasah. Wulan merasa kasihan kepadanya. Hanya bicara soal Restu, Murni menjadi seperti itu. Tampaknya memerlukan waktu panjang untuk meluluhkan hatinya.
Ketika sampai di rumah, Murni sudah terkulai lemah. Murni melihat Rio dan seseorang, sedang duduk di teras. Melihat Wulan datang, Murni berteriak.
“Rio, tolong Murni,” teriaknya.
Mendengar teriakan Wulan, laki-laki yang duduk bersama Rio tadi segera bangkut, dan setengah berlari mendekat. Ia adalah Restu.
Rio membuka pintu depan, dan melihat Murni terkulai tak berdaya. Dengan cekatan Restu merangkulnya dan membawanya masuk ke rumah.
Besok lagi ya.
Bersambung ke Jilid 36
Leave A Comment