SELAMAT PAGI BIDADARI (40)

Karya Tien Kumalasari

Yu Sarni ingin menunggu saja di bawah, tapi bu Broto menarik lengannya, memintanya ikut ke atas.

Mereka memasuki kamar Restu, dan duduk di kursi, tapi yu Dsarni memilih bersipuh di karpet.

“Yu, jangan begitu, duduklah di sini,” kata Restu ramah.

Tapi yu Sarni menggelengkan kepalanya.

“Tidak Pak Restu, yu Sarni di sini saja,” tolaknya.

Karena tidak mau dipaksa, akhirnya Restu dan bu Broto membiarkannya.

“Restu, kecuali ingin mengirimi kamu dan anak buah kamu makanan, ibu juga mau bicara. Barangkali Sarni juga ingin bicara. Bagaimana Ni, kamu ingin mengatakan apa sama Restu?”

“Apa sih Bu, rasanya tidak ada yang ingin saya katakan. Saya hanya merasa senang karena pak Restu sudah kembali ke rumah, dalam artian sudah mendapat tempat di keluarganya pak Broto kembali, dan merintis sebuah usaha sendiri. Sudah, itu saja.”

“Iya Yu, aku sudah mengerti kalau aku salah dalam melangkah. Tapi Allah Yang Maha Suci dan Maha Agung telah menunjukkan jalan terbaik untuk aku, sehingga aku segera menyadari kesalahan itu, dan semoga aku bisa menjalani hidup aku dengan baik.”

“Aamiin, saya ikut mendoakan untuk Pak Restu.”

“Saya ingin mengatakan sesuatu pada yu Sarni,” kata Restu yang tampak ragu, karena tampaknya yu Sarni belum mengetahui tentang apa yang terjadi dengan Murni yang telah dinodainya.

“Ada apa Pak Restu?”

“Saya minta yu Sarni bisa memaafkan aku,” katanya lirih sambil menundukkan wajahnya.

“Nah, itu yang selalu yu Sarni pikirkan. Mengapa pak Restu sejak ketemu untuk pertama kali, setelah kepergian pak Restu dari rumah, pak Restu merangkul yu Sarni sambil menangis dan meminta maaf. Mas Restu kan tidak salah sama yu Sarni, dan meminta maaf kepada bapak sama ibu, itu sudah cukup, setelah tentunya memohon ampun kepada Allah yang Maha Kuasa.”

Tiba-tiba Restu turun dari kursinya, dan duduk bersimpuh didepan yu Sarni, membuat yu Sarni terheran-heran.

“Ada apa Pak Restu?”

“Aku mohon, yu Sarni mau memaafkan aku,” kali ini ada air mata lagi, menetes mengaliri pipi Restu, sementara bu Broto hanya menyandarkan tubuhnya, menatap langit-langit kamar, sambil berdebar-debar, menunggu reaksi yu Sarni setelah Restu berterus terang.

“Ada apa, pak Restu ini. Pak Restu kan tidak bersalah sama yu Sarni?”

“Dosaku sangat besar yu, sangat besar. Barngkali susah dimaafkan.”

“Ada apa ta Pak Restu ini? Katakan ada apa?” kata yu Sarni bingung melihat sikap Restu.

“Barangkali selama ini yu Sarni belum tahu, karena memang kasus itu sengaja ditutupi, terutama atas permintaan yang bersangkutan,” suara Restu agak bergetar.

“Ini ada apa sih Bu,” yu Sarni menatap bu Broto, yang sama sekali tidak memandang ke arah mereka.

Bu Broto tak menjawab, lalu yu Sarni memegang pundak Restu.

“Pak Restu, tolong katakan, ada apa?”

Pundah Restu terguncang, oleh tangis yang tak bisa ditahannya.

“Katakan Pak Restu, jangan membuat yu Sarni bingung,

“Yu, maaf ya Yu, sungguh aku ini orang yang berdosa.”

“Katakan ada apa?” napas yu Sarni terasa sesak, menahan keingin tahuan yang membuatnya penasaran, sedangkan Restu tidak segera mengatakannya. Nada suaranya semakin meninggi.

“Yu, aku … telah … menodai Murni …” bergetar suara Restu saat mengatakannya, membuat yu Sarni terbelalak.

“Apa maksudnya menodai? Apaaa?” kata yu Sarni keras.

“Aku memperkosa Murni,” akhirnya kata itu terlontar dari mulur Restu.

“Apa? Mas Restu melakukannya? Mengapa? Lalu bagaimana? Mas Restu membiarkannya dan tidak peduli karena Murni hanya anak seorang pembantu? Bagaimana ini, di mana Murni? Apa dan bagaimana sekarang diaaa?” sekarang yu Sarni yang terguguk sambil menyandarkan tubuhnya di tembok. Restu mendekat dan merangkulnya.

“Yu, aku akan bertanggung jawab. Aku akan menikahi Murni Yu, apalagi Murni sedang mengandung anakku.”
“Apa? Mengandung? Jadi anak kecil tadi itu, yang mengatakan bertemu wanita mengandung, adalah Murni? Iya kan Bu? Mengapa semua diam saja? Dan tidak mau mengatakan pada saya, si miskin dan rendah ini ?” tangis yu Sarni semakin menjadi
Restu masih merangkulnya erat.

“Yu, tenanglah yu.:

“Kenapa ada peristiwa sebesar ini, aku … sebagai ibunya … malah tidak diberi tahu? Buta, tidak mengerti apa-apa?”

“Yu, maafkan kami semua, ini adalah keinginan Murni Yu.”

“Benar Ni, Murni yang tidak ingin kamu mengetahuinya, jadi kami tidak berani mengatakan apa-apa sama kamu Ni,” kata bu Broto yang ikutan duduk di bawah, di depan Sarni.

“Ya Tuhan … ya Tuhan … ada masalah sebesar ini dan aku sampai tidak tahu.” Yu Sarni meraung-raung.

“Yu, sudah Yu, saya akan bertanggung jawab. Saya akan menikahi Murni.”

“Berkali-kali Restu berusaha mendekati Murni, ingin menikahinya, tapi Murni selalu menolak, Ni, bantulah membujuk anakmu. Restu hanya ingin bertanggung jawab. Jangan sampai bayi itu terlahir tanpa ayah,” bujuk bu Broto.

Tiba-tiba yu Sarni berdiri.

“Dimana sekarang Murni berada? Anak itu tidak tahu apa arti dan gunanya orang tua. Dia menyelekan aku sebagi ibunya, dia tidak menghargai aku,” kata yu Sarni masih emosional.

“Baiklah yu, tunggu sebentar, akan aku antar yu Sarni menemui Murni,” kata Restu yang kemudian mengambil ponsel dan menelpon taksi on line.


Pak Broto yang datang ke rumah Wulan dan bermaksud mendengarkan lagi yang dilantunkan Rio, sangat kecewa melihat Rio tampak tak bersemangat.

“Mengapa Rio? Apa gitar kamu rusak? Apa kamu sudah tidak bisa lagi menyanyi?” tanya pak Broto kesal karena Rio tidak segera mengambil gitarnya.

Wulan dan Rio saling pandang, kemudian Wulan mengatakan apa yang baru saja terjadi, tentang seorang anak kecil yang melihat seorang wanita hamil di rumah itu, dan yu Sarni mendengarnya.

“Apa kalian tidak berterus terang saja mengatakan, bahwa itu adalah Murni?”

“Kami masih khawatir Murni tidak akan bisa menerimanya, Pak.”

“Ini kelakuan bodoh. Sarni itu ibunya, sudah sejak lama aku memperingatkan, bahwa menyimpan sesuatu itu akan tidak baik dikemudian hari. Bau busuk lama-lama pasti akan tercium juga.”

“Benar Pak, tindakan menutupi rahasia itu dari yu Sarni adalah tidak benar. Sekarang pasti yu Sarni terus akan bertanya0tanya, dan saat dia tahu, dia pasti akan marah sekali,” sambung Rio.

“Kamu sudah mengabari Murni?”

“Wulan sudah menelponnya dan menceritakan semuanya. Semoga dia segera bisa menerima kejadian yang menimpanya, dan bersedia apabila mas Restu ingin menikahinya.”

“Itu jalan terbaik, aku memuji ketegasan Restu untuk menikahi Murni.”

“Tapi Murni keras kepala pak. Entah apa nanti yang akan dilakukannya setelah Wulan mengatakan semuanya.”

“Biarlah aku yang bicara sama Murni, telpon dia sekarang, Wulan.”

“Biaiklah Pak.”

“Tapi ini waktunya Murni sudah kembali ke kantor, lebih baik telpon ke kantor saja, soalnya Murni belum tentu bisa mendengar panggilan telpon kalau di kantor,” kata Rio.

Murni segera menelpon ke kantor, tapi alangkah terkejutnya Wulan, ketika mendaoat jawaban bahwa Murni tidak balik ke kantor siang ini.

“Apa? Tidak balik ke kantor? Apa dia sakit?” tanya Wulan.

“Tidak ada keterangan dia sakit atau punya kepentingan Bu,” jawab operator telpon di kantor itu.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 41

Tags: No tags

One Response

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *