SELAMAT PAGI BIDADARI (42)

Karya Tien Kumalasari

Murni sangat terkejut, ia menoleh ke arah anak kecil yang memanggilnya.

“Trimo ?”

“Kok ibu ada di sini?”

“Aku … lapar,” katanya agak bingung untuk menjawabnya, tapi jawaban ‘lapar’ adalah tepat, karena dia memang baru saja selesai makan.

“Ibu mau ke mana?” tanya Trimo yang belum tahu siapa nama orang yang telah membantunya.

Murni tak bisa menjawab, bingung mau mengatakan apa.

“Rumah saya dekat dari sini. Ibu mau mampir?” lanjut Trimo karena Murni tak segera menjawab pertanyaannya.

Murni tersenyum, ia senang karena memang tak tahu kemana ia harus pergi.

“Baiklah.”

“Saya ambil uang gorengan yang saya titipkan di sini dulu, kelihatannya sudah habis,” kata Trimo yang kemudian menuju ke arah belakang warung.

Trimo menarik kopor yang tadi dibawa Murni.

“Saya tidak tahu nama Ibu,” kata Trimo.

“Panggil aku bu Murni.”

“Oh, Bu Murni? Saya baru tahu. Ketika saya mengembalikan rantang, saya tidak bisa menyebut nama Bu Murni, hanya mengatakan bahwa yang memberi saya makanan adalah seorang wanita hamil.”

Murni sudah mendengar dari Wulan tentang kedatangan Trimo, dan itulah sebabnya dia kabur. Ia tak berani menghadapi ibunya yang entah bagaimana perasaannya setelah mengetahui peristiwa yang menimpanya, sehingga dia hamil.

“Nanti saya kenalkan dengan ibu saya,” kata Trimo lagi.

“Ibumu sudah sembuh?”

“Sudah. Ibu senang, sekarang bisa jualan gorengan, lalu saya titipkan di warung-warung.”

“Oh ya? Banyak laku?”

“Selalu habis terjual Bu, saya bisa menabung, besok bisa mendaftarkan sekolah. Terima kasih ya Bu.”

“Senang mendengarnya.”

“Ibu sangat berterima kasih karena bu Murni membantu kami. Sekarang ibu tidak usah menunggu orang memintanya untuk bersih-bersih rumah, atau mencuci di rumah tetangga. Ibu setiap hari membuat gorengan. Ada pisang, ada bakwan, ada sosis. Pokoknya banyak, setiap hari saya berkeliling ke warung-warung. Kalau pagi mengantarkan dagangan, siang atau sorenya mengambil uangnya, atau kalau ada sisa yang tidak terjual. Tapi jarang sekali sisa,” celoteh Trimo, membuat Murni senang, apa yang dilakukannya tak sia-sia.

Murni mengelap keringat di keningnya, karena perjalanan yang agak jauh membuatnya lelah dan berkeringat.

“Itu rumah saya Bu, kecil,” kata Trimo sambil menunjuk ke arah sebuah rumah sederhana beberapa meter di hadapannya.

Trimo menarik tangan Murni ketika mereka sudah di depan rumah itu.

“Ibu … ibu … ada bu Murni !” teriak Trimo sambil mengajak Murni langsung masuk.

Seorang wanita seumur simboknya keluar dari dalam rumah. Rambutnya yang sudah separuh memutih, di gelung kecil. Wajahnya kehitaman, tapi dulunya pasti seorang gadis yang manis dan rupawan.

Ia menatap wanita hamil yang digandeng Trimo.

“Ini ,,,, “

“Ini namanya bu Murni, yang memberi makanan dan uang untuk kita Bu.”

Murni mengulurkan tangannya, disambut dengan hangat oleh ibunya Trimo.

“Ini? Yang memberi makanan dan uang?”

Murni tersenyum.

“Iya Bu, Trimo bertemu ketika bu Murni sedang makan,” kata Trimo.

“Oh, silakan duduk … maaf, ini kursi tua, maaf,” kata ibunya.

Murni duduk sambil tersenyum. Merasa lega karena penatnya terobati dengan bisa duduk di kursi itu, walaupun hanya kursi tua yang sudah kusam.

“Saya Trisni, ibunya Trimo,” katanya sambil menemani duduk.

“Maaf, saya mengganggu.”

“Tidak, tidak … sama sekali tidak. Trimo … buatkan minum untuk bu Murni ya,” teriak bu Trisni kemudian, kepada Trimo yang sudah berada di arah belakang.

“Ya Bu. Uang dari warung Trimo letakkan di kamar Ibu,” teriak Trimo.

Bu Trisni hanya tersenyum.

“Ibu mau ke mana? Kelihatannya mau bepergian jauh,” kata bu Trisni sambil menatap ke arah kopor yang diletakkan Trimo di dekat pintu.

Murni tak menjawab, bingung mau mengatakan apa, karena sesungguhnya dia tak punya tujuan tertentu.
Trimo keluar sambil membawa segelas teh, diletakkan di meja.

“Trimo masih kecil, tapi pintar ya,” puji Murni.

“Kami dari kecil hidup serba kekurangan, Trimo banyak belajar untuk bisa melakukan semuanya sendiri, bahkan dia juga bisa menanak nasi, dan sekedar membuat lauk. Yang mudah-mudah saja sih, misalnya menggoreng, membuat mie instan,” kata bu Trisni sambil tertawa kecil.

“Hebat sekali.”

“Bu, tadi Trimo belum jadi membeli beras, mau beli sekarang ya,” kata Trimo setelah meletakkan gelasnya.

“Oh, iya, sama beli saja beberapa butir telur, dan kecap,” perintah bu Trisni.

Trimo mengangguk, lalu bergegas keluar.

“Beginilah kami Bu, terpaksa Trimo belum bisa masuk sekolah karena keadaan. Tapi berkat bu Murni, Trimo sudah bisa menabung. Katanya mau segera masuk sekolah tahun depan.”

“Syukurlah Bu, senang saya mendengarnya.”

“Kalau saja Trimo punya ayah ….” Gumam bu Trisni seperti kepada dirinya sendiri.

“Kemana ayahnya?”

“Tidak punya ayah,” kata bu Trisni pelan.

Murni menatap mata bu Trisni, tampak genangan air mata di sana.”

“Saya hamil karena sebuah pergaulan yang terlarang. Saya dan pacar tergoda oleh godaan setan, lalu semuanya terjadi. Saya hamil setelahnya, tapi dia kemudian melarikan diri, tak mau bertanggung jawab. Saya hancur, lalu kabur dari rumah, dan tinggal disini, sampai Trimo lahir, dan saya besarkan dia seorang diri.”

Murni tak berkomentar, tiba-tiba terasa ada sembilu mengiris hatinya. Dia juga mengalaminya, walau tidak sama kejadiannya. Perlahan dia mengelus perutnya yang membuncit.

“Saya bekerja seadanya, dan hidup berkekurangan. Untunglah bu Murni kemudian menolong kami,” kata bu Trisni sambil mengusap air matanya.

Murni meraih gelas minumnya, lalu meneguknya seteguk.

“Maaf, kok saya jadi cerita yang macam-macam, bukankah itu aib? Maaf ya bu,” kata bu Trisni, sambil mencoba tersenyum.

“Tidak apa-apa Bu, saya bisa mengerti. Semoga nanti bu Trisni dan Trimo akan menemukan kehidupan yang lebih baik.”

“Aamiin, terima kasih Bu.”

Murni meneguk lagi minumannya.”

“Tapi bu Murni tadi belum menjawab, sebenarnya mau kemana? Kok ya bisa, kebetulan lewat di kampung ini, sehingga saya bisa bertemu dengan seorang penolong hidup saya.”

“Sesungguhnya saya hanya perantara. Yang menolong adalah Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Bu.”

“Iya benar, saya juga selalu berterima kasih setiap sujud saya.”

“Sesungguhnya saya tak tahu akan pergi ke mana,” akhirnya kata Murni.

“Bu Murni kabur dari suami?”

“Tidak, nasib kita hampir sama. Saya kabur karena takut orang tua, karena hamil tanpa dia mengetahuinya,” kata Murni lirih.

“Oh, Bu Murni belum menikah?”

Murni menggeleng.

“Pacar bu Murni kabur juga?”

Murni kembali menggeleng, membuat bu Trini heran.

“Saya korban perkosaan,” lalu air mata Murni pun luruh.

“Ya Tuhan,” bu Trisni menutup mulutnya, terkejut.

“Saya pergi karena tak berani menghadapi ibu saya. Saya bingung tak tahu harus kemana,” lirihnya.

“Harusnya dicari si pemerkosa itu, suruh bertanggung jawab. Kalau tidak mau, laporkan pada polisi, Bu,” geram bu Trisni.

Murni tertegun. Pemerkosa itu bukan tak mau bertanggung jawab, dirinyalah yang tak sudi menatap wajahnya sedikitpun.

“Lihatlah saya Bu. Nasib kita hampir sama, tapi jangan sampai anak yang ibu kandung tak punya ayah. Saya sedih setiap kali Trimo bertanya siapa ayahnya. Bagaimanapun dia berhak tahu, tapi saya tidak tahu di mana ayahnya berada,” kata bu Trisni sendu.

Murni tertegun, kembali mengelus perutnya.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 43

Tags: No tags

One Response

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *