Karya Tien Kumalasari
Kaki Murni tiba-tiba susah digerakkan, seperti ada yang menggantung dan terasa berat. Laki-laki ganteng bernama Restu itu demikian juga. Terpaku di tengah pintu, dan berat untuk melangkah. Separuh hatinya ingin menyambut kedatangan Murni, separuh hatinya khawatir kalau Murni kemudian ketakutan dan histeris. Tapi tak ada suara apapun dari mulut Murni, tak ada wajah ketakutan, kecuali keraguan untuk melangkah. Restu mencoba memberanikan diri untuk melangkah, setapak demi setapak, dengan dada penuh debaran. Ia semakin berani manakala Murni tak bereaksi atas langkahnya. Dua tapak lagi Restu akan sampai di hadapan Murni. Murni menatapnya tak berkedip.
“Murni, kamu datang?” sapanya lembut.
Kemana larinya serigala bertaring yang menakutkan? Kemana larinya mata beringas dan hasrat mencabik tubuhnya sehingga terkoyak-koyak berkeping-keping? Murni tak menemukannya. Ia bahkan membiarkan ketika Restu mengambil kopernya, dan menariknya mendekati rumah.
Murni melangkah pelan. Jantungnya berdebar kencang. Matanya mencari, di mana simboknya, maka laki-laki ganteng majikannya ini yang menyambutnya?
“Naik apa?” tanya Restu setelah memasuki rumah, dan meletakkan koper Murni disamping pintu kamar.
“Angkot,” jawabnya singkat sambil duduk. Matanya mencari-cari.
“Yu Sarni baru membeli makanan,” kata Restu tanpa ditanya. Ia mengerti dari mata Murni yang mencari-cari.
Murni menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Restu beranjak ke belakang, lalu keluar sambil membawa segelas air putih, diserahkannya kepada Murni.
Tiba-tiba Murni merasa bersalah, mengapa majikannya malah meladeninya? Ia tergesa menerima gelas itu dan meminta maaf.
“Maaf, mengapa melayani saya? Biar ss ..saya … mengambil sendiri,” katanya dengan tangan gemetar.
“Minumlah, kamu pasti lelah,” kata Restu sambil duduk di depannya, membuat Murni semakin gugup.
“Minumlah,” ulang Restu ketika melihat Murni masih memegang gelasnya.
Murni mengangguk, lalu meneguknya, hampir habis. Ia tampak kehausan.
“Lagi?” tanya Restu.
“Tidak … tidak, biar nanti sa.. saya ambil sendiri,” katanya segera, sambil meletakkan gelasnya.
Murni benar-benar merasa tak enak karena dilayani. Ia heran kepada dirinya, yang tiba-tiba mulai menghilangkan ingatan tentang malam menakutkan yang pernah dialaminya.
“Tidak pantas … ss .. saya dilayani,” ucapnya pelan.
“Karena aku tahu kamu lelah dan kehausan. Bukankah udara sangat panas?”
Murni mengangguk pelan.
“Kamu sehat?”
Murni kembali mengangguk.
Kemudian keduanya terdiam, tak tahu harus mengatakan apa. Restu bahkan berat mengatakan apa yang menjadi keinginannya. Terlalu tergesa-gesa. Biar yu Sarni saja mengatakannya, sementara Murni bisa menenangkan batinnya.
“Murni?” pekik simbok dari arah pintu mengejutkan mereka.
Murni berdiri, kemudian merangkul simboknya, sambil berurai air mata. Restu mengambil bungkusan plastik yang dibawa yu Sarni, meletakkannya di meja belakang. Ia tak ingin mengganggu pertemuan mengharukan antara ibu dan anak itu.
“Bagaimana keadaanmu? Kamu sehat? Kandunganmu baik-baik saja?” yu Sarni memberondongnya dengan pertanyaan-pertanyaan.
“Sehat Mbok, aku baik-baik saja.”
“Syukurlah,” kata simbok sambil menarik Murni duduk di kursi panjang, agar mereka bisa duduk berdampingan.
“Maafkan Murni Mbok,” isak nya.
“Sudah, simbok sudah memaafkan sebelum kamu memintanya. Yang penting kamu sehat dan baik-baik saja.”
Murni masih bergayut di dada simboknya, terisak pelan. Yu Sarni mengusapnya dengan ujung bajunya.
“Murni menyusahkan simbok, dan semua orang.”
“Tidak, lupakanlah. Seorang ibu kehilangan anaknya, wajah kalau sedih atau susah. Sekarang jangan memikirkan apa-apa lagi. Ayo kita makan, simbok sudah beli makanan untuk makan siang. Padahal ini sudah hampir sore, ayo nduk,” kata yu Sarni sambil menarik tangan anaknya. Murni menurut, dan ketika di dalam, ternyata Restu sudah duduk di sana, dan meletakkan bungkusan-bungkusan di atas piring.
“Pak Restu, mengapa pak Restu yang melayani kami,” tegur yu Sarni.
“Tidak apa-apa Yu, kan hanya mengambilkan piring.”
“Murni mau ke kamar mandi dulu, Mbok,” kata Murni yang kemudian beranjak ke belakang, menuju ke kamar mandi.
Simbok duduk di depan Restu.
“Pak Restu sudah bicara sama Murni?”
Restu menggeleng.
“Tidak berani, nanti dia marah. Lebih baik yu Sarni saja.”
“Baiklah, nanti malam yu Sarni mau bicara, setelah dia beristirahat.”
Restu mengangguk setuju. Kemudian dia berdiri, menarik kursi setelah Murni kembali dari kamar mandi.
Murni tampak sungkan dilayani. Dia tidak lupa bahwa Restu adalah majikannya. Tapi Restu terus melayaninya.
“Ayo makanlah, kamu pasti lapar. Untunglah tadi simbok beli banyak, maksudnya sekalian untuk makan malam. Tapi karena kamu datang dan simbok tidak menduganya, ya nggak apa-apa, kita habiskan saja, nanti malam beli lagi.”
Sambil makan yu Sarni bercerita tentang keberadaannya di kampung bersama Restu, tanpa membawa baju dan bekal uang sepeserpun.
“Untunglah pak Rio membelikan baju ganti beberapa potong untuk pak Restu, dan pak Restu yang memberi simbok uang untuk makan dan minum. Simbok tidak masak apapun, pak Restu melarangnya, lagi pula hati simbok sedang tidak tenang, karena memikirkan kamu. Kalaupun masak pasti rasanya tidak enak,” celoteh yu Sarni.
Murni belum banyak bicara. Bahkan dia juga belum menceritakan kemana dia pergi dan pengalaman yang dilaluinya selama dua hari ini.
Wulan segera menyambut Rio sepulang dari kantor, karena ingin segera mengatakan apa yang di dengarnya dari yu Sarni yang belum lama menelponnya.
“Rio … dengar, ada berita bagus yang kamu harus mendengarnya segera,” kata Wulan sambil mengambil tas kerja Rio dari tangannya.
Mereka melangkah ke dalam, sebelah tangan Wulan menggandeng Rio, dan menariknya ke dalam dengan langkah bersemangat.
“Ada apa sih? Gembira amat,” tanya Rio heran.
“Baru saja yu Sarni menelpon.”
“Murni sudah pulang?”
“Yaa. Kamu pintar menebak.”
“Syukurlah. Mas Restu sudah bicara tentang keinginannya?”
“Belum, kata yu Sarni jangan tergesa-gesa. Dia akan bicara pelan-pelan nanti malam.”
“Syukurlah. Kemarin aku sempat mengomeli dia ketika dia kaget karena aku mentransfer gajinya.”
“Iya, kamu memang luar biasa. Transferan gaji itu memancing dia untuk menghubungi kamu kan Rio? Kalau tidak, betapa susahnya dia dihubungi,” kata Wulan sambil mengambilkan suaminya segelas jus jambu kesukaannya.
“Syukurlah.”
Rio meneguk jus yang diberikan istrinya, kemudian melepaskan sepatunya. Wulan berjongkok untuk membantunya.
“Kamu ke kantor hari ini?”
“Ya, aku juga belum lama pulang. Ada bapak juga di sana, dan pembicaraan kami hanya tentang Murni dan mas Restu saja. Bapak sangat prihatin, dan berharap Murni segera bisa kembali serta menerima Restu.”
“Kamu sudah mengabari bapak tentang kepulangan Murni?”
“Belum. Yu Sarni belum lama menelpon, lalu kamu pulang, jadi aku belum sempat mengabari bapak atau ibu.”
“Baiklah, kabari saja sekarang, sementara aku mau mandi. Apa kamu masak hari ini?”
“Maaf Rio, tidak. Hanya sisa nasi goreng tadi pagi, nggak enak dong, sudah dingin.”
“Nggak apa-apa, kita makan diluar saja, sekarang aku mau mandi dulu ya.”
“Baiklah, mandi cepat ya, biar wangi,” kata Wulan sambil meraih ponselnya untuk mengabari pak Broto tentang kepulangan Murni.
Hari sudah menjelang maghrib, bengkel Restu sudah mau tutup. Seorang yang diserahi tanggung jawab selama Restu pergi, sudah bersiap menutup bengkel, dibantu teman-temannya. Tiba-tiba seorang wanita cantik berpakaian seronok datang dengan tergesa-gesa.
“Tunggu, jangan tutup dulu,” katanya sambil turun dari taksi.
Petugas bengkel heran, karena taksi itu langsung pergi, dan tak ada tanda-tanda wanita itu akan memperbaiki mobilnya.
“Ada apa Mbak?”
“Apakah ini bengkel milik pak Restu?”
“Benar.”
“Bisakah saya ketemu? Saya sahabatnya dari jauh,” katanya.
“Maaf Mbak, pak Restu tidak ada di tempat.”
“Kemana dia?”
“Keluar kota.”
“Luar kota mana? Kapan dia kembali?”
“Kami tidak tahu Mbak, kemana, atau kembalinya kapan.”
“Baiklah, besok saja saya kembali” katanya sambil membalikkan tubuhnya dan berlalu.
Besok lagi ya.
Bersambung ke Jilid 49
[…] Bersambung ke Jilid 48 […]