Karya Tien Kumalasari
Murni masih menatap tajam wanita itu, ada api memercik di matanya. Murni tahu, dia hanya anak pembantu, tapi bukan berarti dia harus menerima penghinaan apapun yang diterimanya.
“Hei, mengapa menatap aku seperti itu? Rupanya kamu sudah merasa bangga bisa menjadi istri kekasihku?” tiba-tiba wanita itu mulai menyerangnya.
Murni mengangkat kepalanya dan tersenyum sinis, walau tatapan matanya tak berubah, tajam dan menyala.
“Bisa menjadi istri memang membuat aku bangga. Bagaimana dengan menjadi kekasih tanpa dinikahi? Bukankah itu rendah dan memalukan? Tapi rupanya kamu memang tak tahu malu.” jawabnya dengan berani.
“Kamu merebutnya dari aku.”
“Benarkah? Kalau aku berhasil merebutnya, berarti aku lebih hebat dari kamu! Sadari itu!” kata Murni yang kemudian langsung membalikkan tubuhnya dan menjauhi wanita itu, yang memang adalah Lisa.
Lisa terkejut.
“Perempuan udik itu tiba-tiba berani menentang dan menghina aku,” geramnya.
Hati Lisa tiba-tiba terasa panas. Bergegas dia mengejar Murni, dan tiba-tiba sudah berada di hadapannya.
Murni mengerutkan dahinya.
“Mau apa lagi kamu?”
“Dengar, aku tidak terima kamu menghina aku!” hardiknya.
“Aku tidak menghina, kamu memang hina!” balas Murni sengit.
Tiba-tiba Lisa mengangkat tangannya, diayunkannya ke wajah Murni. Tapi tangan itu berhenti terayun, karena sepasang tangan kecil menarik tubuhnya.
“Heiii. Apa ini?” teriak Lisa sambil membalikkan tubuhnya, lalu melihat seorang anak laki-laki menatapnya marah.
“Siapa kamu, gembel?”
“Trimo?!” teriak Murni senang.
“O, ini anakmu? Rupanya kamu seorang janda yang berhasil memikat kekasihku?”
“Aku bukan anaknya. Kamu wanita jahat, berani menyakiti wanita yang sedang hamil,” pekik Trimo dengan berani.
“Ee, kurangajar benar. Perempuan ini telah merebut kekasihku!”
“Trimo, sini, jangan di dengarkan kata-kata perempuan mabuk itu, ayo ikut aku.”
Trimo menurut, bergegas mendekati Murni, kemudian membalikkan lagi tubuhnya dan pergi.
Lisa ingin mengejar, tapi beberapa orang menghadangnya.
“Jangan membuat keributan di sini Mbak, Mbak ini cantik, tapi kok kasar sekali kepada perempuan yang sedang hamil.”
Lisa mendengus kesal. Ia sangat membenci wanita yang sudah dinikahi Restu, karena dia berharap kembali kepadanya, dan Restu menolaknya. Tapi dia tak bisa berbuat banyak, karena banyak orang menghadangnya, dan Murni sudah hilang bersama laki-laki kecil itu, entah kemana.
“Aku akan terus menghantui kamu,” ancamnya sambil berlalu.
Murni belanja ala kadarnya, karena ingin segera mengajak Trimo pulang ke rumahnya.
Ia meletakkan belanjaan di dapur, lalu menemui Trimo yang duduk di tangga teras.
“Heii, kenapa duduk disitu?” tegur Murni sambil membawa segelas jus jambu diletakkan di meja teras.
“Biar di sini saja Bu.”
“Jangan, sini, di depanku sini, kamu belum cerita apa-apa, kenapa bisa sampai ke mari.”
Trimo menurut. Ia berdiri lalu duduk di kursi teras dengan ragu.
“Duduklah. Kenapa kamu ini?”
“Takut kursinya kotor.”
“Ya ampun Trimo, mengapa kamu bilang begitu?”
“Ini rumah bu Murni?”
“Bukan, ini rumah pak Restu.”
“Siapa pak Restu?”
“Suami … suami aku.”
“Ooh,” kata Trimo sambil mengamati sekelilingnya.
“Minumlah, lalu ceritakan kenapa kamu sampai ke mari.”
“Saya ingin bertemu Ibu, lalu pergi ke rumah dimana saya datang kesana sebanyak dua kali. Lalu diberi tahu alamat Ibu, tapi rumah itu kosong, saya mencoba mencari, barangkali Ibu sedang ke pasar, ternyata benar.”
“Ya ampun, kamu berjalan jauh sekali, bagaimana bisa menemukan alamat rumah ini?”
“Saya terus bertanya-tanya. Tapi ada ibu-ibu yang memberi saya ancar-ancar juga.”
“Anak pintar. Sekarang minum dulu, setelah kamu cerita, kita akan makan pagi bersama-sama,” kata Murni.
“Saya hanya ingin ketemu Ibu. Tapi tidak membawa gorengan, karena habis terjual.”
Murni tertawa.
“Tidak apa-apa. Aku sudah pernah merasakan gorengan dagangan kamu, dan aku puas, enak dan legit.”
“Saya sudah membeli ponsel. Waktu itu saya tidak tahu caranya, lalu ibu membantu saya.”
“Bagus. Sekarang tidak dibawa?”
“Tidak. Tadi sambil mengantar dagangan, langsung ke sini.”
“Bagaimana kabar ibumu?”
“Baik, dan sehat. Terimakasih sudah memberi uang untuk biaya sekolah.”
“Tidak seberapa. Nanti kalau kurang, kabari aku ya Mo. Jangan sungkan.”
“Wanita jahat itu tadi siapa? Dia hampir memukul Bu Murni, untung saya bisa menahannya.”
“Aku juga tidak tahu. Sudah dua kali dia menemui aku dan mengata-ngatai aku dengan ucapan yang sangat kasar. Tadinya aku biarkan, tapi tadi aku melawan. Itu sebabnya dia marah dan ingin memukul aku.”
“Apa ketemunya juga di tempat sama Bu?”
“Iya. Nggak tahu, kenapa dia berkeliaran di sekitar pasar.”
“Mungkin dia memang menunggu ibu. Besok jangan belanja di sana lagi.”
“Iya, sedang aku pikirkan, tapi agak jauh sih. Nggak apa-apa juga, aku bisa naik becak. Atau kalau ada tukang sayur lewat aku juga bisa.”
“Iya Bu, supaya aman.”
Murni tertawa, berdiri sambil mengelus kepala Trimo.
“Kamu itu anak kecil, ngomongnya seperti orang dewasa saja,” kata Murni sambil beranjak ke dalam. Ia mengeluarkan nasi dan lauk sisa sarapan yang masih ada, kemudian memanggil Trimo.
“Aku kita makan Mo,”
Ajak Murni sambil menarik tangan Trimo.
“Nggak usah Bu.”
“Ayolah, jangan sungkan. Tadi ada gudeg sambel goreng sisa makan pagi, aku beli terlalu banyak.”
Trimo terpaksa menurut.
“Apa ibumu tahu, kamu datang kemari?”
“Tidak sih.”
“Gimana sih, pasti ibumu cemas dong. Ayo kabari sekarang. Kabari dulu baru makan,” kata Murni sambil mengambil ponselnya, sekaligus memutar nomor Trimo, karena Trimo pernah mencoba menelpon ketika membeli ponselnya.
“Bu, ini aku.”
“Ya ampun Mo, kamu di mana? Lama sekali belum pulang?” teriak bu Trisni yang sedang cemas menunggu anaknya.
“Aku di rumah bu Murni.”
“Apa? Kamu ke sana? Kenapa nggak bilang?”
“Tiba-tiba saja ingin ketemu.”
“Ya sudah, bagaimana keadaan bu Murni?”
“Baik, ini aku sedang dipaksa makan.”
“Ya ampuun, kamu kan sudah sarapan.”
“Lapar lagi,” seloroh Trimo.
“Ya sudah, hati-hati, sampaikan salam ibu untuk bu Murni ya. Nggak usah bicara, karena ibu sedang menggoreng ikan untuk makan siang, nanti gosong.”
“Iya Bu.”
Trimo menyerahkan ponselnya kepada Murni.
“Tuh, Ibumu cemas kan? Lain kali bilang, kalau mau ke mana-mana.”
“Iya.”
“Sekarang makanlah. Nanti kalau pulang jangan jalan kaki, naik angkot saja, aku beri uangnya.”
“Saya bawa uang sebenarnya.
“Tidak, itu kan uang dagangan? Sekarang makanlah. Lain kali kalau ke sini jangan jalan kaki. Banyak angkot menuju kemari kan?”
“Iya Bu.”
“Kamu mau nggak, sekolah di sini?”
“Nggak Bu, nanti ibu sendirian. Dan saya juga harus membantu ibu jualan.”
“Iya, kamu benar.”
Murni senang ketemu Trimo. Ia wanti-wanti berpesan agar tidak pulang jalan kaki, setelah memberinya sejumlah uang.
Ia memasak setelah Trimo pulang, itu sebabnya ia kesiangan. Saat mau mengirim makan siang ke bengkel, suaminya sudah pulang.
“Maaf, aku kesiangan,” kata Murni yang menyambut di tangga teras.
“Tidak apa-apa. Aku makan di rumah saja. Hei, ada sandal kecil disini, punya siapa?” pekik Restu ketika melihat sepasang sandal di bawah tangga.
Murni terkejut.
“Ya ampun, itu kan sandal Trimo. Kok bisa ketinggalan? Berarti tadi dia tidak memakai alas kaki dong. Kok bisa, dia itu.” teriak Murni.
“Siapa Trimo?” tanya Restu.
“Hanya anak kecil. Saya tidak mungkin selingkuh. Yang suka selingkuh kan laki-laki,” omel Murni bermaksud menyindir suaminya.
Sindiran itu membuat Restu terheran-heran.
Besok lagi ya.
Bersambung ke Jilid 54
Leave A Comment