Karya Tien Kumalasari
Kembali kepada Restu. Sifat buruknya tak akan bisa hilang selama hidupnya, dan selama itu pula, kalau diteruskan, akan selalu menyiksa batinnya. Pergi adalah jalan terbaik, agar hidupnya merasa tenang.
Tapi bu Broto bingung, ketika sampai siang harinya, Restu dan Murni belum juga bisa dihubungi.
Pak Broto yang akan segera berangkat ke kantor hanya bisa menghibur istrinya, dengan mengatakan pasti mereka lupa ngecas ponselnya.
Bu Broto yang tidak terima terus saja mencoba menghubungi.
Yu Sarni yang melihat kegelisahan majikannya, ikut gelisah karenanya.
“Mungkin mereka pergi Bu, barangkali jalan-jalan, atau apa,” kata yu Sarni.
“Masalah jalan-jalan atau tidak itu kan harusnya bisa menjawab telpon. :”
“Kalau ponsel di dalam tas, sering kali tidak terdengar lho Bu.”
“Tapi kok perasaanku nggak enak. Ayo kita ke sana saja Ni.”
“Tapi saya kan sedang memasak, nanti kalau bapak pulang makan siang, belum ada makanan, bagaimana?”
“Gampang NI, bisa beli lauk di jalan, yang penting aku harus ketemu Gilang. Biasanya kalau pagi pasti viveo call, lalu tertawa-tertawa lucu, begitu. Ini tadi sama sekali tidak.”
“Ya sudah, saya simpan dulu bahan-bahannya, lalu ganti baju ya Bu.”
“Cepat, kalau sudah, aku mau memanggil taksi.”
“Baik, Bu”
Tapi sesampai di rumah Restu, bu Broto mendapati rumah itu kosong.
“Tuh kan Bu, mereka bepergian. Mungkin belanja.”
“Tapi kok ya nggak mau mengangkat panggilan telpon itu lho. Membuat aku kesal saja.”
Bu Broto langsung menelpon Wulan.
“Ya Bu,” jawab Wulan dari seberang.
“Kamu di kantor?”
“Tidak Bu, hari ini jadwal periksa kandungan pagi, jadi Wulan tidak ke kantor. Apa bapak menanyakan saya?”
“Tidak, aku tuh di rumah Restu.”
“Tuh, seneng dong bu, sudah bisa bercanda sama Gilang.”
“Bercanda bagaimana? Ditelpon dari pagi nggak bisa, disambangi ke rumah, rumahnya kosong.”
“Dari pagi tadi, ibu belum bisa nyambung?”
“Iya. Ada apa ya, perasaanku kok nggak enak.”
“Lho, ibu bilang rumahnya kosong, berarti mereka bepergian. Mungkin belanja, atau apa.”
“Mungkin juga. Tapi kok ponselnya juga mati. Aku hanya pengin dengar suara mereka saja, sampai sekarang belum bisa.”
“Ibu sabar dong, nanti kalau mereka pulang, pasti menghubungi ibu.”
“Baiklah, aku mau pulang saja kalau begitu.”
“Iya Bu, sebaiknya Ibu pulang. Ini mas Rio juga mau mengantar Wulan ke dokter.”
“Iya Wulan, biasanya semakin tua usia kandungan, harus semakin sering periksa. Semoga kandunganmu baik-baik saja. Ibu bahagia sekali, bakal punya dua cucu, nih.”
“Iya Bu, doakan ya Bu.”
“Pasti Wulan, ya sudah, ibu mau pulang saja dulu.”
“Ibu sendirian? Kalau mau menunggu sebentar, nanti setelah saya turun di rumah sakit, biar Rio nyamperin Ibu.”
“Nggak usah, kok repot amat. Ibu sama Sarni, bisa naik taksi. Mau belanja saja sekalian, kalau begitu.”
“Oh, baiklah kalau begitu, Ibu hati-hati ya.”
Tapi baru saja Wulan meletakkan ponselnya, tiba-tiba Restu muncul, dengan wajah kusut. Wulan menatapnya heran. Ia pun segera berteriak memanggil suaminya.
“Rio, ada mas Restu nih.”
Rio muncul ketika Restu menginjakkan kakinya di teras.
“Mas Restu?” sapa Rio heran ketika menatap wajah Restu yang kusut, dan rambut awut-awutan.
“Barusan ibu telpon, menanyakan mas Restu, kok di telpon nggak ada tanggapan.”
“Mas Restu sendirian?”
“Mana Murni dan Gilang?”
“Setumpuk pertanyaan bertubi-tubi memasuki telinganya, belum satupun yang dijawab. Restu duduk di kursi teras. Matanya berkaca-kaca.
“Apa yang terjadi?” tanya Rio.
“Murni pergi,” jawabnya singkat sambil mengusap wajahnya dengan ke dua tangan,
“Pergi?” Rio dan Wulan berteriak bersamaan.
Restu menganggukkan kepalanya.
“Ada apa sebenarnya?”
Wulan beranjak ke belakang, mengambilkan Restu segelas minuman hangat. Sejak tadi, belum setegukpun air membasahi kerongkongannya. Itu sebabnya, begitu Wulan keluar dan meletakkan segelas kopi susu hangat, Restu segera meneguknya.
Rio dan Wulan menatapnya iba. Ingin rasanya mengambil sisir untuk menyisir rambut Restu yang acak-acakan.
“Murni pergi membawa Gilang,” ucapnya lagi setelah meneguk habis minumannya.
“Kalian bertengkar?”
“Gara-gara Murni menerima pembantu baru, bernama Marsih.”
“Dia mencuri?” tanya Rio tiba-tiba.
“Dia penjahat.”
“Apa yang dilakukannya?”
“Dia menyamar menjadi wanita cacat, lalu selalu mengenakan penutup muka. Tapi dia sebenarnya Lisa.”
“Lisa?” Rio dan Wulan kembali berteriak.
“Cacat itu hanya buatan dia, untuk menutupi wajah aslinya.”
“Lalu ngapain dia pura-pura jadi pembantu?” tanya Wulan.
Lalu Restu menceritakan semuanya, sehingga Murni marah dan nekat pergi membawa Gilang, membuatnya kacau seperti kehilangan pegangan.
“Ya Tuhan … dia masih mengejar mas Restu?”
“Bukankah dia sudah menggaet laki-laki bernama Thomas, yang istrinya kemudian mengembalikan gelang kamu itu?” kata Rio kepada istrinya.
“Ya, bukankah dia sudah bersama Thomas? Bahkan kabarnya dia membayar agar Lisa diperingan hukumannya?”
“Ternyata Thomas setelah diceraikan istrinya lalu tidak punya apa-apa.”
“Itu sebabnya dia mengejar mas Restu lagi?”
“Kemana aku harus mencari Murni?”
“Saya kira Murni pulang ke kampungnya.”
“Saya sudah menelpon salah satu keluarganya yang saya kenal. Katanya Murni tidak pulang ke kampung.”
“Waduh, bagaimana nanti bicara sama ibu ya. Ibu pasti kaget mendengar peristiwa ini.”
“Ya sudah, mas Restu tenang saja dulu, saya akan menyuruh orang untuk mencari keberadaan Murni. Sekarang barangkali Murni berada ke suatu tempat yang mas Retsu tidak menduganya.”
Restu berada di bengkel, tapi tidak menunggui para pekerjanya. Ia lebih merenung di lantai atas, di kamarnya.
Tiba-tiba Restu teringat saat Murni menghilang ketika sedang mengandung.
“Trimo. Pasti Murni ada di rumah Trimo.”
Restu segera berkemas. Setitik harapan membuatnya kemudian pergi mandi dan berpakaian dan berdandan lebih rapi.
“Mengapa tidak dari tadi aku memikirkan ini? Pasti di rumah Trimo. Kemana lagi? Tapi di mana rumah Trimo? Murni pernah mengatakan nama desanya, tapi nama kampungnya dia tidak begitu memperhatikannya.”
Restu turun ke bawah, berpamit kepada para bawahannya lalu mengendarai mobilnya. Walau belum jelas tempatnya, dia harus mencarinya.
Besok lagi ya…
Bersambung ke Jilid 69
Leave A Comment