Karya Tien Kumalasari
Ya kan?” Pardi, suami Lisa mengulangi perkataannya, ketika melihat Lisa terdiam.
“Belajar dari masa lalu aku,” kata Lisa pelan.
“Maksudnya?”
“Dulu aku bukan wanita baik-baik. Jadi ketika ada sebuah kejadian, dan aku ada didalam kejadian itu, maka dia langsung menuduh aku melakukan hal buruk. Sama seperti dulu.”
“Nah, sekarang kamu mengerti.”
“Ya, aku mengerti.”
“Bersikap dan berbuatlah baik, karena perilaku seorang ibu yang sedang hamil, akan berimbas kepada bayi yang dikandungnya.”
“Benarkah? Kamu kan belum pernah punya istri sebelum ini?”
“Belajar dari petuah orang tua. Banyak aku mendengarnya, lalu sekarang aku katakan ini kepada istriku.”
“Baiklah.”
“Kamu mengerti?”
“Ya, aku mengerti.”
Sekarang kamu harus banyak istirahat, seperti apa kata dokternya, demi kebaikan bayi kamu. Dan tidak usah ikut berjualan, karena aku sudah sembuh dan aku bisa melakukannya sendiri.”
“Baiklah.”
“Dan berjanjilah, kalau pada suatu hari dia datang lagi dan meminta maaf, kamu harus menrimanya dengan baik.”
Lisa mengangguk dan tersenyum. Ini adalah dunianya sekarang, dunia yang penuh perjuangan hidup dengan berdagang balon, tapi menciptakan sebuah ketenangan karena adanya kasih sayang yang tulus diantara mereka. Lalu Lisa sadar, bahwa kebahagiaan bukanlah karena harta, bukanlah karena nafsu yang terpenuhi, tapi karena ketulusan sebuah cinta.
Ketika sampai kembali di rumah sakit, dilihatnya pak Broto bersama bu Broto sudah ada di sana. Mereka tampak senang karena Murni baik-baik saja.
“Jaga istri kamu dengan baik, Restu,” pesan bu Broto.
“Kalau perlu biarlah istirahat di rumah sakit dulu sampai kandungannya benar-benar kuat. Gilang akan ada yang menjaganya, kamu tidak usah khawatir,” sambung pak Broto.
“Iya Pak.”
“Jangan sampai saya menyusahkan semua orang,” sambung Murni yang masih berbaring, sedangkan Gilang duduk di sampingnya. Tampaknya heran melihat ibunya tiduran di tempat asing, dan didatangi beberapa orang.
“Tidak ada yang susah Mur. Kami semua susah kalau kamu bertindak semaumu, tidak menurut kata suami kamu, ataupun dokter yang menangani kamu,” kata bu Broto.
“Iya Bu. Tapi saya ingin segera bisa melihat putri bu Wulan.”
“Tuh, kan. Kamu belum boleh ke mana-mana. Harus sabar sampai dokter menyatakan kamu sehat dan kuat,” kata Restu menegur istrinya.
“Iya, aku kan hanya bilang ingin.”
“Nanti kalau kamu sudah kuat, pasti akan bisa menjenguknya. Sabar Mur,” sambung yu Sarni.”
“Iya Mbok, aku tahu.”
“Mas Restu sudah ketemu Lisa?”
“Sudah,” kata Restu, lesu.
“Kok wajahnya seram, begitu,” tukas Murni.
“Kesel aku sama dia.”
“Kenapa? Mas sudah minta maaf kan?”
“Aku sudah minta, tapi dia cuek sama aku, menoleh saja tidak. Dia malah pergi sama suaminya.”
“Mas tidak mengejarnya?”
“Memangnya apa, pakai kejar-kejaran segala.”
“Kok Mas marah sih?”
“Tentu saja aku marah, aku sudah minta maaf, tadi dia acuh saja.”
“Pasti dia juga masih kesal sama Mas. Lain kali aku yang akan menemui dia dan meminta maaf.”
“Tuh, ingat ya Mur, bukan sekarang, tapi besok-besok,” yu Sarni mengingatkan lagi.
“Iya, Murni mengerti.”
Murni sudah boleh pulang, kandungannya sudah dipandang kuat, tapi masih dengan banyak pesan dari dokter yang harus dijalani, demi keselamatan janin di dalam kandungannya.
‘Mas, aku mau menemui Lisa.”
“Kamu jangan macam-macam Mur, tidak dimaafkan yang sudah, yang penting aku sudah meminta maaf.”
“Aku harus ketemu dia, supaya tidak ada ganjalan di hati kita masing-masing. Aku minta di mana alamatnya, biar aku naik taksi saja.”
“Tidak boleh. Kalau kamu mau pergi juga, biar aku antarkan kamu.”
“Mas tidak ke bengkel?”
“Mengantarkan kamu dulu, baru ke bengkel. Aku mana tega membiarkan kamu jalan sendiri.”
“Baiklah, terima kasih ya Mas.”
Lisa hanya menyiapkan makan pagi dari nasi bungkus yang dibeli suaminya. Ia melarang Lisa memasak, takut terjadi apa-apa atas kandungannya.
Lisa yang biasanya bertindak semaunya, sekarang begitu penurut dan patuh pada sang suami, yang selalu mengingatkan demi kesehetannya sendiri dan bayi yang dikandungnya.
Setelah sarapan, Pardi pun pergi untuk menjajakan dagangannya. Akhir-akhir ini dagangan Pasrdi sangat laris.
“Hati-hati di rumah, dan ingat pesan aku, jangan mengerjakan apapun yang berat, apalagi mengangkat-angkat,” katanya sambil mencium perut sang istri.
“Iya, kamu juga harus hati-hati,” jawab Lisa sambil mengelus kepala suaminya.
Lisa segera menutup pintu rumahnya, begitu suaminya pergi. Ia harus hati-hati,” jawab Lisa sambil mengelus kepala suaminya.
Lisa segera menutup pintu rumahnya, begitu suaminya pergi. Ia harus banyak beristirahat. Bukan saja dokter yang mengatakannya, tapi juga sang suami yang terus menerus mengingatkannya.
Tapi belum lama dia merebahkan tubuhnya, terdengar ketukan fdi pintu rumahnya. Lisa bangkit perlahan. Lalu dengan langkah berat menuju ke arah depan, kemudian membuka pintu rumahnya. Ia terkejut melihat Murni berdiri di depan pintu sambil tersenyum.
“Murni?”
Murni memeluk Lisa erat.
“Lisa, aku bawakan kamu makanan sehat, banyak sayur dan buah-buahan,” kata Murni sambil meletakkan bungkusan besar di atas kursi terdekat dengan pintu masuk. Tadi suaminya meletakkannya di pintu, dan enggan masuk, khawatir Lisa masih tidak mau menerimanya.
“Banyak sekali bawaannya, apa tidak berat?”
“Tadi mas Restu yang membawakannya.”
“Terima kasih banyak.”
“Aku datang untuk meminta maaf, atas kelakuan mas Restu beberapa waktu yang lalu,” kata Murni sambil duduk.
“Oh, iya. Tidak apa-apa, aku sudah memaafkannya. Lipakanlah.”
“Terima kasih Lisa, aku datang hanya untuk itu. Dan aku tidak bisa lama, karena dokter melarangku banyak bergerak.”
“Ya ampun, itu sama dengan aku.”
“Mas Restu sudah mengatakannya. Dia tahu waktu ingin menemui kamu di rumah sakit. Kamu mau memaafkannya?”
“Tentu saja aku memaafkannya. Waktu itu aku terbawa emosi karena kesal. Akhirnya aku bisa menerimanya. Tidak salah kalau Restu bersikap begitu.”
“Baiklah, aku langsung pulang ya Lis, kapan-kapan aku akan datang menengok kamu lagi. Hati-hati menjaga kandungan kamu.”
“Kamu juga, Murni.”
Bayi Wulan sudah beberapa hari ini boleh dibawa pulang. Tubuhnya sudah semakin besar dan kuat. Menurut dokter, bayi itu sehat. Rio memberinya nama Fitria Bidari. Wulan sangat senang. Ia sekarang bisa menyusui bayinya di rumah, tidak harus bolak balik ke rumah sakit. Setiap hari bu Broto menengoknya, bersama Gilang, yang sangat senang melihat adik bayinya.
“Bagaimana keadaan Murni Bu?” tanya Wulan.
“Sudah baik, tapi suaminya melarangnya banyak beraktifitas.”
“Itu benar. Kapan-kapan Wulan ingin menengoknya.”
“Kalau kamu mau ke sana, bilang sama ibu, biar ibu menjaga bayimu. Tapi sebenarnya Murni ingin melihat anakmu juga sih.”
“Fitria sudah berumur tiga bulan, boleh dong dibawa jalan-jalan ke rumah ibu Murni.”
“Oh begitu? Boleh saja, tapi dengar, ada mobil masuk, seperti suara mobil Restu,” kata bu Broto.
“Iya benar, baru dibicarakan sudah datang orangnya.”
“Wulan, ada mas Restu dan Murni,” teriak Rio dari arah depan. Dia baru mau berangkat ke kantor.
Wulan menggendong bayinya keluar, menyambut kedatangan kedua tamunya.
Murni mendekat dengan wajah cerah, langsung mendekati Wulan yang sedang menggendong bayinya.
“Selamat pagi bidadari,” pekik Murni dengan gembira.
Dan bahagia itu telah sampai diujungnya, ketika segala lekuk liku kehidupan telah dilaluinya, sebagai ujian sebelum cita dan cinta telah sampai di ujungnya.
TAMAT
Leave A Comment