SELAMAT PAGI BIDADARI (84)

Karya Tien Kumalasari

Bu Broto meggedor pintu sangat keras, kekhawatirannya memuncak. Ia mendorong sekuatnya, tapi tak berhasil. Karena bingung dia menelpon Rio.

Saat itu Rio baru saja duduk di kursi kerjanya, terkejut ketika melihat bu Broto menelponnya.

“Ya Bu?”

“Rio, cepat pulang, aku ada di rumah kamu.”

“Memangnya ada apa?”

“Pintu rumah terkunci, aku mendengar rintihan istri kamu dari dalam, aku tak bisa membuka pintunya.”

“Baik, baik … saya pulang sekarang,” jawab Rio sambil melangkah bergegas keluar dari ruang kerjanya, langsung mengambil mobil dan melarikan mobilnya, pulang.

Begitu sampaidi halaman, dilihatnya bu Broto masih berdiri di depan pintu sambil menggedor-gedornya.

Rio melompat turun, langsung membuka pintu rumahnya, karena masing-masing dari penghuni rumah itu membawa kunci.

“Cepat Rio, ibu takut sekali,” kata bu Broto sambil mengikuti Rio masuk.

Rio sangat terkejut, melihat istrinya merintih di ranjang, dan tampak kasur basah oleh pecahnya ketuban.

“Aduh Wulan, mengapa tidak mengabari aku, kita harus segera ke rumah sakit.”

Rio mebgfgendong Wulan dan bergegas keluar. Memasukkan istrinya ke mobil. Bu broto mengunci kembali pintunya dan ikut masuk ke dalam mobil.

“Itu ketuban sudah pecah, jangan sampai terlambat Rio,” kata bu Broto cemas.

Rio menelpon rumah sakit, dan mohon disiapkan brankar saat dia sampai di sana. Beruntung jalanan tidak begitu macet. Dan begitu mobil Rio berhenti, brankar sudah tersedia. Wulan dilarikannya ke kamar bersalin.

Setelah memarkir mobilnya, Rio duduk di samping bu Broto, di kursi tunggu. Wajah mereka tampak gelisah.

Ketika perawat keluar, Rio menghambur mendekati.

“Ibu Wulan harus dioperasi, ketuban sudah pecah, untung segera dibawa kemari.”

“Baik, lakukan yang terbaik untuk istri saya,” kata Rio yang mengikuti perawat untuk menanda tangani persetujuan operasi.


Bu Broto tampak pucat pasi karena khawatir. Rio menepuk tangannya, berharap bu Broto bisa lebih tenang.

“Apa ibu dan bayinya tak apa-apa?”

“Mohon doa Bu, dokter sedang berupaya menyelamatkan keduanya.”

“Harusnya dia sudah merasa, bahwa itu pertanda akan melahirkan.”

“Benar Bu, ketika saya mau berangkat, dia masih bilang bahwa dia tak apa-apa. Sebetulnya saya sudah berjanji akan segera pulang dan membawanya ke rumah sakit. Malah saya baru saja datang, ibu sudah menelpon. Heran, dia tidak merasa kesakitan, hanya terasa kenceng-kenceng, begitu.”

“Semoga mereka baik-baik saja.”

“Aamiin.”

Bu Broto segera menelpon suaminya, mengabarkan bahwa dia sedang ada di rumah sakit.

“Wulan melahirkan?”

“Sedang di operasi. Ketuban pecah di rumah tadi, untung aku segera datang, lalu aku menelpon Rio.”

“Baiklah, aku selesaikan dulu pekerjaanku, aku segera menyusul. Kabari kalau ada apa-apa.”

“Baik. Aku sama Rio sedang menunggu.”


Murni terkejut ketika suaminya menelpon, mengabari tentang Wulan yang sedang ada di rumah sakit.

“Sudah melahirkan?”

“Baru saja mas Rio menelpon, katanya masih dioperasi.”

“Dioperasi? Memangnya kenapa?”

“Ketuban pecah saat masih di rumah. Mas Rio minta tolong agar kamu membawakan baju ganti, punya kamu tidak apa-apa, karena tadi tidak sempat membawa apapun. Aku akan pulang mengambilnya, lalu membawanya ke rumah sakit.”

“Baiklah, untung ada baju-baju aku yang belum pernah aku pakai, akan aku siapkan,” kata Murni yang segera menyiapkan apa yang dibutuhkan.

“Semoga lancar semuanya, dan baik-baik saja,” gumam Murni.

Gilang sedang bermain, lalu mendekati ibunya yang sedangmemasukkan baju-baju ke dalam sebuah tas.

“Gilang, apa kamu mengira kalau kita mau jalan-jalan?” kata Murni sambil meraih Gilang lalu dipangkunya. Rupanya Gilang mengira ibunya mau mengajaknya jalan-jalan.

“Ini baju-baju untuk tante Wulan. Gilang mau punya adik dari tante Wulan, dan ini, yang ada di dalam perut ibu ini, juga adik Gilang. Tapi belum saatnya lahir. Kamu sabar ya,” kata Murni, seakarn mengerti kalau ada yang ingin ditanyakan Gilang.

Tak lama kemudian Restu datang. Murni segera membawa tas nya ke depan, supaya tidak kelamaan.

“Sudah siap semuanya?”

Melihat ayahnya datang, Gilang melonjak-lonjak, minta digendong.

Restu meraihnya dan menggendongnya.

“Maaf Gilang, bapak harus segera mengantarkan baju-baju untuk tante Wulan. Gilang di rumah dulu sama ibu, ya.”

“Sebenarnya aku ingin ikut,” kata Murni.

“Jangan. Tidak baik ke rumah sakit membawa anak kecil. Aku akan segera mengabari kalau sudah lahir. Sekarang aku berangkat dulu ya,” kata Restu sambil mengulurkan Gilang kepada ibunya.

“Hati-hati, tidak usah ngebut.”

Gilang merengek, tapi Murni segera memeluk dan menghiburnya. Ia melambaikan tangan ketika Restu berlalu dengan mobilnya.

“Sabar ya, bapak baru mengantarkan baju tante Wulan. Ayuk, kita tungguin beritanya, sambil makan ya sayang,” bujuk Murni sambil masuk ke dalam rumah.


Murni masih menyuapi Gilang di pagi hari itu, ketika tiba-tiba terdengar suara bel tamu. Murni melongok keluar, dan betapa terkejutnya ketika melihat Lisa ada diluar. Murni tak segera membukakan pintu. Ada perasaan was-was menghantuinya, sementara dia hanya berdua dengan Gilang.

“Mau apa dia datang kemari? Aku kira dia benar-benar sudah sadar. Tapi kenapa datang lagi kemari? Apa dia berniat buruk?”

Murni ingin menelpon suaminya tapi diurungkannya.

“Tapi kan dia harus segera sampai di rumah sakit. Pasti saat ini masih dijalan.”

Sementara bel tamu terus berdering. Murni bingung harus melakukan apa. Dia masih merasa takut, ketika ingat bahwa Lisa bisa melakukan apa saja di setiap keinginannya. Beberapa hari yang lalu sudah bilang bahwa dia bertobat, tapi apa dia harus percaya begitu saja? Bagaimana kalau …

Tiba-tiba ponsel Murni berdering.

“Ya Tuhan, dari Lisa, kok dia masih menyimpan nomor kontakku sih,” gelisah Murni sambil menggenggam ponselnya.

“Gimana enaknya, diangkat nggak ya.”

Tapi sebelum Murni mengangkatnya, Lisa mengirim pesan singkat.

“Murni, apa kamu takut melihat aku yang datang? Bukankah aku sudah bilang bahwa aku sudah bertobat? Aku datang bukan dengan maksud buruk. Aku membawa banyak balon untuk Gilang. Aku suka anak itu, ganteng dan lucu. Aku berharap, kelak anakku juga ganteng seperti Gilang. Ijinkan aku menemui Gilang.”

Murni menghela napas panjang. Kemudian digendongnya Gilang ke arah depan, sambil membawa mangkuk kecil berisi makanan Gilang.

Ia membuka pintunya perlahan, lalu melihat di bawah teras, beberapa balon terikat menjadi satu, dengan warna-warna indah.

Gilang segera berteriak, dan merosot turun.

“Maaf, aku sedang menyuapi Gilang di belakang,” kata Murni yang tadi benar-benar mencurigai kedatangan Lisa.

“Aku mengerti kalau kamu takut. Aku hanya datang untuk Gilang,” katanya sambil mencium Gilang dengan gemas.

“Maaf.”

Murni menatap Lisa, walau masih cantik, tapi dengan penampilan berbeda. Baju sederhana, tanpa polesan make up seperti biasanya. Tampaknya dia benar-benar bertobat.

“Tidak apa-apa. Ya, Gilang. Gilang sebenarnya mengenal aku, karena aku pernah menjadi pengasuhnya, walau dengan penampilan berbeda.”

“Iya, benar. Terima kasih telah membawakan balon-balon untuk Gilang.”

Murni masuk ke dalam rumah untuk mengambil uang yang akan diberikan untuk Lisa, tapi kemudian ponselnya berdering. Murni bingung, karena sebenarnya masih ada rasa was-was meninggalkan Gilang di luar bersama Lisa.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 85

SELAMAT PAGI BIDADARI (83)

Karya Tien Kumalasari

“Benarkah yang kita saksikan?” gumam Restu ketika dalam perjalanan pulang.

“Itu benar, dia jualan balon. Mengapa ya memilih jualan balon? Mengapa tidak melamar pekerjaan yang penghasilannya pasti.”

“Karena suaminya tukang jualan balon. Ini sulit dimengerti. Lisa yang terbiasa hidup bergelimang kesenangan, tiba-tiba menjadi istri penjual balon.”

“Iya juga sih, tapi kan penjual balon itu yang menyelamatkan nyawanya ketika dia berniat bunuh diri.”

“Sampai sebegitunya.”

“Dia merasa gagal dalam mencapai keinginannya. Salah langkah sih.”

“Benar, salah langkah. Dia merasa bahwa kecantikannya bisa dipergunakan untuk meruntuhkan hati siapapun, untuk kemudian diperas hartanya, lalu dibuang ketika mangsanya tak lagi punya harta,” kata Restu sambil membayangkan bahwa dirinya pernah menjadi korbannya.

“Tapi sama Mas, cintanya cinta mati.”

“Kok bisa?”

“Buktinya, Mas yang tidak begitu kaya, masih dikejarnya. Jadi dia tidak semata mengejar harta, tapi juga cinta.”

“Ada-ada saja.”

“Itu kan bukti nyata. Hanya saja dia tidak berhasil, lalu entah bagaimana, dia bisa berada di kota kecil dimana aku melarikan diri. Bisa jadi dia juga berusaha merayu pak Warso, tapi tak berhasil. Pak Warto bukan pengejar perempuan, walau hartanya banyak.”

“Siapa pak Warso? O, yang akan mencadi calon suami kamu itu?” ledek Restu.

“Aku tidak bersungguh-sungguh. Hanya ingin agar Mas pergi menjauhi aku.”

“Begitu besarnya rasa benci kamu sama aku?”

“Benci dan sakit, membayangkan apa yang Mas lakukan.”

“Melakukan apa? Kamu kan bisa melihat, ketika pintu itu terbuka, aku masih berpakaian lengkap. Lalu apa yang kamu pikirkan, kemudian kamu anggap bahwa semua itu benar.”

“Iya, siapa orangnya yang tidak panas melihat seperti itu.”

“O, panas ya? Itu berarti kamu benar-benar cinta sama aku.”

“Memangnya Mas kira aku main-main? Mas barangkali yang main-main dengan perasaan.”

Restu tertawa, diraihnya sebelah tangan Murni dan digenggamnya erat.”

“Aku sungguh-sungguh mencintai kamu, Murni.”

“Benarkah?”

“Tentu saja benar, kalau tidak, mengapa aku harus mencari kamu, menyusul kamu, merayu kamu, bahkan pernah kamu buat panas hati aku karena kamu bilang bahwa kamu sudah punya calon suami.”

Sekarang Murni tertawa.

“Pak Warso itu orang baik. Dia sangat perhatian sama aku.”

“Tuh, kan … kamu ingin membuat aku cemburu?”

“Memang dia baik. Kata bu Trisni, dia menyuruh Trimo membantu di tokonya sepulang sekolah. Jadi Trimo bisa membantu menambah penghasilan ibunya.”

“Benarkah? Trimo kan masih kecil?”

“Trimo itu pintar, katanya cuma bungkus-bungkus gula, beras, menakar minyak, gitu. Tapi dia bisa, katanya … pak Warso sangat menyayangi dia.”

“Aku kurang memperhatikan kamu, sehingga aku tidak banyak tahu tentang Trimo. Padahal ibunya selalu menjadi tumpuan keluh kesahmu.”

“Entahlah, pertama kali aku menemui orang lain yang sangat perhatian sama aku, ya Trimo dan ibunya itu.”

Akhirnya mereka sampai di rumah, dan Gilang tertidur pulas sambil memeluk balon yang diberikan Lisa. Restu menidurkannya perlahan, lalu meletakkan balon-balon itu di sampingnya.


Murni mulai bersih-bersih rumah yang lama ditinggalkannya. Tidak begitu kotor sih, karena setiap dua haru sekali Restu pulang untuk bersih-bersih. Tapi Murni perlu menata kembali apa yang kurang sempurna, karena seorang lelaki kurang mengerti tentang tata letak, apa lagi peralatan dapur.

“Murni, kamu jangan terus memforsir tenaga kamu. Biarkan saja dulu, besok aku bantu bersih-bersih. Ingat, kamu baru saja merasa sehat.

“Iya, cuma menata letak peralatan dapur ini. Besok aku akan mulai memasak.”

“Bagaimana kalau untuk sementara kita langganan rantangan saja? Hanya aku sama kamu yang makan, tidak harus masak, apa lagi kamu harus menjaga Gilang yang sudah banyak geraknya setelah bisa tertatih berjalan.”

“Iya, terserah Mas saja. Sebetulnya sih kangen masak-masak. Tapi benar, harus ingat Gilang juga.”

“Itulah, mulai besok hubungi catering terbaik, agar bisa mengirimkan makanan apa yang kamu perlukan. Sambil pelan-pelan cari pembantu, atau lebih baik perawat saja, yang pastinya lebih mengerti cara merawat anak, asal bukan yang pakai topeng,” kata Restu sambil tertawa.

“Baiklah, mana yang terbaik, aku menurut saja.”

“Nah, gitu dong, istri yang baik harus menurut apa kata suami. Ya kan?”

Murni mengangguk senang. Dalam hati ia berharap agar kebahagiaan mereka akan selalu terjaga.


Pagi itu Wulan sedang merasa malas sekali. Dia menelpon pak Broto, minta ijin untuk tidak ke kantor karena badannya merasa tidak enak.

“Kamu sakit, Wulan?” tanya pak Broto.

“Sebenarnya nggak sakit, cuma kok rasanya malas, gitu ya Pak. Ini Rio baru mau berangkat, sedianya saya mau bareng, kok rasanya berat.”

“Ya sudah, istirahat saja dulu, biar nanti bapak yang mengurus semuanya.”

“Terima kasih Pak.”

“Bagaimana Bapak?”

“Nggak apa-apa, bapak bisa mengatasi semua. Aku kok tiba-tiba merasa berat banget. Jadi aku ingin istirahat dulu ya Rio?”

“Aku ke kantos sebentar, nanti aku segera pulang lalu mengantarkan kamu ke dokter.”

“Nggak usah Rio, aku nggak apa-apa. Hanya terasa berat sama keringatan terus, habis hawanya panas begini.”

“Kata dokter, kamu sudah saatnya melahirkan, jangan-jangan kamu mau melahirkan.”

“Nggak ah, belum, katanya kalau mau melahirkan itu sakit sekali. Ini nggak sakit. Biasa kalau terasa kenceng-kenceng begini. Sudah kamu berangkat saja, ini sudah siang lhoh.”

“Ya sudah, kalau bisa aku segera pulang, tapi kalau ada apa-apa, atau kamu merasa yang nggak biasa, segera kabari aku. Jangan menyepelekan suasana badan yang menurutmu nggak enak. Pasti ada apa-apa.”

“Jangan dibesar-besarin lah, sudah, berangkat sana.”

Rio bergegas menuju ke arah mobilnya, karema memang sudah saatnya berangkat, tapi sebelum mobil itu berlalu, Rio masih melongok dari jendela mobilnya, berpesan sekali lagi agar kalau ada apa-apa segera mengabari.

Wulan hanya melambaikan tangan dengan menebarkan senyuman.

Begitu suaminya pergi, Wulan segera masuk ke dalam rumah, dan ingin berbaring sebentar di ranjang. Tiba-tiba perutnya terasa mengeras dan kencang-kencang. Wulan mengelusnya pelan, sampai kemudian rasa kencang itu reda.

Wulan masih merasa tak apa—apa, sampai kemudian rasa kencang itu terasa lagi.


“Wulan tadi menelpon Bapak?” tanya bu Broto ketika suaminya mau berangkat ke kantor.

“Iya, katanya agak nggak enak badan.”

“Nggak enak bagaimana? Flu atau bagaimana?”

“Dia bilang tidak, hanya badannya terasa berat, gitu.”

“Jangan-jangan dia mau melahirkan.”

“Masa sih? Memangnya sudah waktunya?”

“Ya sudah Pak, sudah sembilan bulan lebih.”

“Waduh, kalau begitu ada baiknya Ibu ke sana. Dia kan tidak tahu bagaimana rasanya kalau mau melahirkan?”

“Baiklah, ibu ke sana sekarang.”

“Ibu segera ganti baju saja, bareng aku, nanti aku turunkan di rumahnya.”

“Oh, iya. Baiklah, Bapak tunggu sebentar,” kata bu Broto sambil bergegas ke dalam. Ketika keluar dari kamar, ia segera menuju ke arah depan sambil berteriak memanggil yu Sarni.

“Ni, tutup pintunya, aku pergi bareng sama bapak.”


Bu Broto turun dari mobil suaminya di halaman rumah Wulan. Pak Broto langsung memacu mobilnya ke kantor.

Ketika menaiki teras, bu Broto tak bisa membuka pintu karena terkunci dari dalam. Bu Broto segera memencet bel tamu. Tapi tak ada jawaban. Bu Broto melongok ke arah dalam, melalui korden yang sedikit tersingkap. Lampu di ruang tengah menyala, dan ada suara televisi.

Bu Broto mengetuk pintu keras, tapi tak ada jawaban.

“Wulan! Wulan! Apa kamu di dalam?”

Tiba-tiba terdengar rintihan, sayup, hampir tak terdengar.

Bu Broto terkesiap.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 84

SELAMAT PAGI BIDADARI (82)

Karya Tien Kumalasari

Restu langsung membalikkan tubuhnya, keluar dari kamar Murni. Ada rasa sakit mendengar apa yang dikatakan Murni. Kemudian dia duduk di sofa di ruang tengah, dan termenung. Walau kembali ternyata Murni belum bisa memaafkan sepenuhnya.

“Restu, katanya mau menemui istri kamu?”

“Dia belum bisa menerima Restu Bu, Restu diusirnya,” gerutunya dengan wajah muram.

Bu Broto kemudian beranjak memasuki kamar Murni. Dilihatnya Murni masih terbaring pucat.

“Murni, mengapa kamu mengusir suami kamu? Bukankah kamu sudah memaafkannya dan menganggap masalah itu tak pernah ada?”

“Saya juga heran, begitu mas Restu mendekat, perut saya mual dan mau muntah lagi.”

“O, jadi bukan karena kamu masih marah sama dia?”

“Tidak Bu, setelah semuanya jelas, Murni tidak akan marah lagi. Hanya saja, entah kenapa, begitu mas Restu mendekat, saya merasa mual lagi.”

“Berarti itu karena kamu ngidam Mur. Ya sudah, tuh, suami kamu sakit hati karena kamu mengusirnya. Dikiranya kamu masih marah sama dia.”

“Tidak Bu, tolong bilang bahwa saya sama sekali tidak marah lagi. Saya justru harus minta maaf karena saya salah paham, sampai meninggalkannya.”

“Baiklah, akan aku sampaikan,” kata bu Broto sambil keluar dari kamar.

Bu Broto mendekati Restu yang masih termenung di ruang tengah.

“Restu, Murni bukannya marah sama kamu.”

“Lalu ….”

“Bawaan orang ngidam memang macam-macam. Dia mual begitu kamu mendekatinya, bahkan mau muntah.”

“Padahal Restu sudah bau wangi.”

“Justru aroma wangi, aroma gurih makanan, itu yang membuat mual.”

“Benarkah? Kalau begitu Restu akan mencoba mendekat dengan baju yang tidak terkena parfum.”

“Coba saja, tapi pelan-pelan. Orang ngidam terkadang aneh.”


Dan beberapa hari berikutnya, Murni sudah bisa menerima suaminya. Mungkin karena obat baru yang didapat dari dokter setelah Restu membawanya ke dokter kandungan, yang dulu menangani kelahiran Gilang. Tapi benar kata orang tua, bahwa wanita yang sedang ngidam tidak begitu terpengaruh oleh obat yang diminumnya. Rasa mual, muntah, mungkin berkurang, tapi tetap saja rasa itu ada.

Restu yang mulai mengerti, menanganinya dengan sabar. Barangkali ngidam yang dirasakan Murni saat mengandung Gilang, berbeda dengan yang dirasakannya sekarang. Ibunya juga berkata bahwa setiap mengandung, wanita hamil memiliki bawaan yang berbeda.


Tiga bulan sudah berlalu, Murni sudah tidak merasa mual, apalagi muntah. Ia merasa tidak enak karena merepotkan di rumah mertuanya, karenanya dia minta ijin agar boleh pulang ke rumahnya sendiri.

“Mengapa begitu Mur, di sini ada yang membantu mengasuh Gilang, sedangkan di rumah, kamu tidak punya pembantu,” kata bu Broto.

“Tapi saya merasa nyaman tinggal di rumah sendiri Bu, sekarang kan sudah tidak mual lagi, bisa melakukan apa saja.

“Baiklah, tapi ada baiknya kamu mencari pembantu atau perawat untuk Gilang, supaya ada yang membantu kamu. Kamu kan sedang hamil muda.”

“Baiklah, nanti saya bicarakan dengan mas Restu.”

“Asal jangan keliru memilih pembantu, nanti terjadi lagi peristiwa yang membuat kacau semuanya.”

“Iya Bu, pengalaman adalah guru yang terbaik.”


Sore hari itu Restu membawa anak dan istrinya pulang, walau dilepas oleh keluarga Broto, termasuk yu Sarni, dengan berat hati.

Ditengah jalan, mereka berhenti untuk membeli keperluan Gilang, termasuk susu, pampers dan sebagainya.

Keduanya turun memasuki sebuah toko, membeli semua keperluan. Ketika sedang memesan barang-barang kebutuhan, keduanya tak sadar Gilang tertatih berjalan ke sana-kemari.

Lalu keduanya sadar ketika sudah selesai mendapatkan barang-barangnya.

Murni berteriak panik, lari ke arah depan toko, mengikuti Restu yang sudah melompat ke depan terlebih dulu, sambil berteriak memanggil.

“Gilang … Gilaaang …”

Mereka sudah diluar toko, menoleh kesana-kemari, lalu terkejut melihat Gilang dalam gendongan seorang wanita cantik yang tampak lusuh. Gilang tertawa-tawa sambil membawa sebuah balon berwarna merah.

“Lisa?” Restu berteriak dan berlari mendekat.

“Itu anakku!” hardiknya sambil menatap penuh ancaman.

“Ya Tuhan, perempuan itu lagi?” pekik Murni khawatir.

“Gilang, sini!” kata Restu sambil mengacungkan kedua tangannya. Gilang tertawa-tawa, dan Lisa dengan tersenyum menyerahkan Gilang.

“Aku tidak akan mengambil anakmu. Dia jalan-jalan keluar, dan mendekati balon dagangan aku,” kata Lisa.

Murni menatap sebuah pikulan, dimana bermacam-macam balon tertata di sana. Seakan tak percaya ketika Lisa mengatakan bahwa balon itu dagangannya.

“Kamu jualan balon?”

“Aku meraih sesuatu yang tak pernah tergenggam oleh tanganku. Aku gagal mencapai langit. Terlalu tinggi barangkali. Lalu aku pasrah. Tak inginkan apapun, kecuali sedikit penghasilan untuk menyambung hidupku,” katanya pilu.

Restu menatap Lisa dengan pandangan datar. Tapi Murni menatapnya iba.

“Mengapa jualan balon?”

“Murni, aku minta maaf telah membuat rumah tangga kamu nyaris berantakan. Nyatanya kamu menemukan kebahagiaan kamu kembali. Kalian orang baik. Aku sedang menghajar diriku sendiri, untuk merasakan hidup penuh perjuangan. Semoga semuanya akan berakhir baik.”

“Bukankah kamu bisa kembali bekerja di toko, misalnya?” tanya Restu yang juga merasa kasihan mendengarnya.

“Tidak, biarlah begini. Aku tak ingin yang muluk-muluk lagi. Dan ini sebenarnya bukan dagangan aku, tapi dagangan suamiku.”

“Kamu sudah bersuami?”

“Aku kacau dalam kegagalan meraih keinginanku. Ditengah jalan aku nyaris pingsan karena kelaparan, karena memang aku berniat untuk bunuh diri.”

Murni membelalakkan matanya.

“Bunuh diri?”

“Lalu seorang penjual balon menolong aku, membawanya ke rumahnya yang sederhana, lalu mengambilku sebagai istri. Sekarang aku sedang mengandung anaknya.”

Murni menatap ke arah perut Lisa yang membuncit, tampaknya sepantaran dengan kandungannya sendiri.

“Berapa bulan?” tanya Murni.

“Baru menginjak tiga bulan.”

Murni dan Restu menarik napas lega. Apa yang dialami dan dilakoni Lisa adalah sebuah bentuk penyesalan, yang mirip dengan hidup Restu sendiri.

“Dimana suami kamu?”

“Suami aku sedang sakit, itu sebabnya aku menggantikannya berjualan. Tidak apa-apa. Sekali lagi maafkanlah aku,” kata Lisa sambil mengambilkan lagi sebuah balon untuk Gilang, yang menerimanya dengan melonjak-lonjak gembira.

Murni mengambil dua lembar uang ratusan ribu, diberikannya kepada Lisa.

“Ini apa, aku memberi untuk bekas momongan aku, tidak menjual,” sergah Lisa sambil mengulurkan uangnya lagi, tapi Murni menghindarinya.

“Terima saja, bukan karena balon itu, tapi hanya ingin membantu,” kata Murni sambil menjauh, mendekati mobil suaminya.

Lisa menatapnya dengan linangan air mata. Sebuah penyesalan melintas, tapi Lisa menyadari bahwa dia sudah capek mengejar impiannya. Akhirnya dia mengerti, bahwa kebahagiaan itu akan terasa ketika seseorang bisa menerima apa adanya. Nyatanya disamping Pardi, suaminya, Lisa merasa bahagia. Apalagi ketika di rahimnya tumbuh janin, buah cinta mereka.

“Semoga anak kamu lahir dengan lancar, selamat tak kurang suatu apa,” kata Restu yang kemudian menyusul langkah istrinya.

Lisa mengelus perutnya yang membuncit. Ia bersyukur diberi kekuatan untuk membantu suaminya bekerja.

“Anakku luar biasa. Tidak rewel dan membuat aku kuat,” bisik Lisa.

Ketika deru mobil Restu menjauh, Lisa menatapnya sendu. Sungguh dia menyesali semua yang pernah dilakukannya. Tapi sesal itu kemudian membuatnya hidup lebih tenang, walau hidup sangat sederhana.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 83

SELAMAT PAGI BIDADARI (81)

Karya Tien Kumalasari

Pak Warso masih menyendok makanannya. Ia meminta Trimo agar melanjutkannya, jangan terganggu dengan perkataan sang karyawan toko.

“Makan saja terus, habiskan dan kalau perlu nambah,” katanya kepada Trimo.

“Eh ya, siapa dia?” tanya pak Warso kepada karyawannya.

“Saya tidak menanyakannya, sepertinya pernah datang kemari.”

“Masih muda?”

“Tidak begitu tua,” jawab sang karyawan.

“Saya masih makan, kalau mau suruh dia menunggu. Kalau tidak mau, durung datang lain kali saja,” lanjut pak Warso yang sudah bisa mengira-ira siapa tamunya.

“Baik, akan saya sampaikan,” kata karyawannya sambil berlalu.

Pak Warso melanjutkan makan yang tinggal beberapa suap.

“Mau tambah Mo, jangan malu-malu. Makanan sebanyak ini hanya untuk aku, dan aku hanya sendirian. Nanti aku suruh bungkus sisanya, biar kamu bawa pulang.”

“Sudah Pak, ini sudah cukup.”

“Itu kan kamu. Bagaimana dengan ibumu?”

“Ibu juga pasti sudah masak.”

“Ibumu capek, bangun menjelang pagi, menggoreng dagangan. Pasti letih. Sekali-sekali biar dia tidak usah masak, jadi bawakan semua sisa lauk ini nanti ke rumah.”

“Ibu pasti marah.”

“Lhoh, dikasih rejeki kok marah?”

“Marah sama saya Pak, dikira saya merepotkan.”

Pak Warso tertawa.

“Nanti kalau ibu kamu marah, kamu bilang saja, suruh marah sama pak Warso, begitu. Jadi biar dia datang kemari dan marah-marah sama aku.”

Trimo tersenyum. Ia merasa, banyak orang baik yang dikenalnya. Bu Murni, pak Warso. Orang-orang yang belum lama dikenalnya, tapi melakukan hal baik terhadap keluarganya.

“Sudah, selesaikan makannya. Kalau mau nambah, nambah saja.”

“Sudah kenyang Pak.”

“Bener, sudah kenyang?”

“Sungguh pak.”

“Yuuu, kemari kamu,” pak Warso memanggil pembantunya.

“Ya Pak.”

“Aku sudah selesai, bungkus semua makanan ini, lalu bawa ke depan, aku menunggu di depan,” perintahnya.

“Baiklah.”

Pak Warso mengajak Trimo ke depan. Ia melihat seorang wanita duduk di depan toko. Ia mengenal dia sebagai Lisa, yang begitu nekat ingin mendekatinya. Mau apa lagi dia?

Walau begitu pak Warso keluar.

“Ada apa ya?”

“Tolonglah saya.”

“Tolong apa?”

“Beri saya pekerjaan di sini.”

“Oh, maaf ya, karyawan saya sudah banyak, jadi tidak butuh pegawai lagi.”

“Toko ini begitu ramai, apa tidak butuh tambahan karyawan?”

“Mengapa kamu ikut mengatur usaha saya? Mohon maaf, pergilah dan jangan mengganggu lagi.”

“Ini … bukankah wanita jahat itu?” tiba-tiba Trimo mendekat karena merasa pernah mengenalnya.

“Hei, anak kecil, jangan ikut campur.” Hardik Lisa.

“Kamu kenal dia Mo?”

“Ini wanita jahat yang pernah hampir menghajar bu Murni.”

“Di mana?”

“Ketika bu Murni ke pasar, kata bu Murni setiap hari dia menemui dan memaki-maki tanpa sebab. Yang terakhir, ketika bu Murni berani sama dia, dia akan menghajarnya, tapi saya kebetulan melihatnya.”

“Kamu tidak tahu apa-apa. Perempuan bernama Murni itu merebut kekasih aku.”

“Sudah, jangan didengarkan, ayo masuk ke dalam,” kata pak Warso yang sangat tidak suka pada Lisa.

“Bagaimana mas?” teriak Lisa yang kemudian memanggilnya ‘mas’.

“Tidak, pergilah dan jangan datang kemari lagi.”

Pak Warso segera tahu, bahwa Lisa memang wanita jahat yang beaksud merusak rumah tangga Murni, karena Trimo juga pernah menyaksikan aksi jahatnya.

Lamunan dan angan-angan tentang Murni perlahan sirna, mengingat tak ada gunanya lagi dia berharap.

Sekarang dia punya karyawan kecil yang menarik hatinya, karena dia pintar dan berbicara layaknya orang dewasa.


“Apa ini?” teriak bu Trisni ketika melihat Trimo membawa banyak makanan.

“Pak Warso yang memberi nih Bu.”

“Kenapa kamu mau? Nggak sungkan, dibawain makanan segini banyak?”

“Trimo sudah menolak, tapi pak Warso memaksa, katanya, kalau ibu marah, suruh marah sama pak Warso, gitu.”

“Ya ampuun, ini makanan enak-enak semua, ada daging, ada ayam, sayurnya juga enak. Ibu bisa tidak masak selama tiga hari atau lebih.”

“Ini rejeki kan Bu?”

“Benar, tapi bagaimana asal mulanya kamu tiba-tiba dibawain makanan begini banyak?”

“Ketika Trimo datang, langsung dipanggil oleh pak Warso. Katanya dia sedang lapar, maka Trimo diajaknya makan. Sungkan banget Bu, mejanya bagus, kursinya bagus, piringnya bagus, makanannya enak-enak.”

“Kamu kok ya mau saja. Pasti kamu lapar karena pulang sekolah langsung ke sana, jadi lupa rasa malu, ya kan?” ledek ibunya.

“Ya enggak Bu, Trimo sudah menolak, tapi Trimo ditarik sama pak Warso, langsung disuruh duduk, terus diambilkan nasinya, lauknya. Gimana cara menolak? Trimo sungguh sungkan. Sudah begitu, pembantunya disuruh membungkus semua lauk, diberikannya sama Trimo.”

“Ini banyak sekali. Nanti disimpan di kulkas dulu, karena ibu sudah terlanjur memasak. Untunglah pak Warso juga memberikan kulkas itu untuk kita.”

“Iya Bu, pak Warso orang baik. Apa benar, tadinya mau jadi suami bu Murni?”

“Maunya begitu, dikira pak Warso bu Murni itu janda. Kan bu Murni sudah punya suami?”

“Kasihan bu Murni itu ya Bu, disiksa sama suaminya.”

“Hush! Siapa bilang bu Murni disiksa sama suaminya? Bu Murni itu pergi dari rumah karena sedang marahan saja. Biasa, kadang-kadang selisih paham itu ada. Tapi sekarang sudah dijemput keluarganya, dan mereka akan baik-baik saja,” kata bu Trisni yang tidak mau menceritakan keadaan sebenarnya, mengingat Trimo masih anak-anak yang pastinya tidak akan bisa mengerti.

“Berarti bu Murni sekarang sudah bersama keluarganya dan tidak marahan lagi ya?”

“Ya tidak. Semoga dalam perjalanan, bu Murni tidak mual atau muntah-muntah lagi.”

“Aamiin. Kapan-kapan Trimo mau main ke sana lagi.”

“Iya, itu gampang. Sekarang ceritakan, tadi kamu dipanggil pak Warso mau disuruh ngapain?”

“Kalau pulang sekolah, setelah mengambil uang di warung-warung, Trimo disuruh ngebantuin di tokonya pak Warso.”

“Kamu bersedia?”

“Cuma ngebantu bungkus-bungkus gula, beras, menakar minyak, gitu saja kok. Memang sih, Trimo belum pernah, tapi Trimo harus belajar, dan harus bisa.”

“Baiklah kalau kamu sanggup, asalkan jangan mengganggu sekolah kamu.”

“Nggak Bu, Trimo tidak akan melupakan sekolah Trimo.”

“Bagus Nak, ya sudah, sekarang kamu cuci kaki tangan dulu dan ganti pakaian kamu, biar ibu cuci sekalian.”

Trimo berlari ke belakang, tanpa disuruh dua kali.


Murni masih lemas. Perutnya mual, dan di sepanjang perjalanan harus berhenti dua kali karena muntah-muntah. Itu sebabnya, bu Broto meminta agar Murni tinggal dulu di rumah keluarga Broto, supaya Gilang ada yang membantu mengurusnya.

“Kalau begitu Restu harus tinggal di sini dong, masa masih harus berpisah pula sama anak istri?” protes Restu.

Bu Broto tertawa.

“Iya, ibu mengerti, tapi jangan mengganggu istri kamu dulu, dia sedang ngidam dan bawaannya mual muntah.”

“Nanti akan Restu bawa ke dokter saja Bu.”

“Tapi tadi Sarni bilang, dia sudah membawa obat-obat dari sana.”

“Nanti akan saya tanyakan sama Murni, apa obatnya cocok.”

“Biasanya, orang ngidam itu tidak bisa disembuhkan dengan hanya minum obat-obatan. Nanti setelah tiga atau empat bulan, tanpa obatpun rasa mual atau muntahnya akan hilang dengan sendirinya.”

“Benarkah?”

“Ya benar, yang ngomong sudah pernah mengalami kok.”

Restu tersenyum, kemudian menuju ke kamar, dimana Murni masih berbaring lemas.

“Murni, mau muntah?”

“Tidak lagi. Tapi jangan dekat-dekat Murni.”

“Kenapa? Aku kan suami kamu?”

“Aku ingin muntah lagi kalau kamu mendekat, jadi menjauhlah.”

Restu cemberut seketika. Ia merasa sang istri belum mau memaafkannya.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 82

SELAMAT PAGI BIDADARI (80)

Karya Tien Kumalasari

Murni segera menghambur ke pelukan yu Sarni, sang simbok yang lama ditinggalkannya. Ia tersedu di pundaknya. Yu Sarni mengelus punggungnya pelan.

“Maafkan Murni Mbok …” isaknya.

“Kenapa kamu kabur-kaburan sih nduk. Nggak bagus seorang istri kabur-kaburan begitu,” tegur yu Sarni.

“Maafkan Murni …”

Bu Trisni yang keluar dari dapur segera mempersilakan tamu-tamunya duduk di kursinya yang sederhana. Mereka adalah Rio, Wulan dan yu Sarni.

Yu Sarni segera menggandeng anaknya, untuk duduk di sebelahnya.

“Saya menyusahkan banyak orang. Pak Rio, bu Wulan, maafkan saya.”

“Apa sebenarnya yang terjadi Murni?” tanya Wulan lembut.

“Mengapa bu Wulan bertanya? Pasti mas Restu sudah mengakui semuanya.”

“Kamu dijebak oleh perasaan cemburu kamu, karena tingkah seorang wanita jahat seperti Lisa. Dia bisa melakukan apa saja.”

“Mengapa semua orang membela mas Restu?”

“Orang yang pernah menempuh jalan salah, pada suatu saat akan kembali menyusuri jalan yang benar. Tidak selama hidup dia dituduh sebagai penjahat,” kata Rio menimpali.

Yang harus kamu ingat adalah bahwa Lisa itu wanita yang tidak punya moral, yang tidak tahu malu, dan yang jelas bahwa dia bisa melakukan apa saja demi mewujudkan keinginannya. Dia merayu mas Restu, tidak berhasil, maka dia berusaha merusak rumah tangga kalian. Dan dia berhasil,” lanjut Wulan.

Murni terdiam. Dia berfikir, mengapa semua orang membela Restu. Dan uraian kata-kata yang didengar dari mulut Rio dan Wulan, mulai meresap di hatinya.

“Mengapa mas Restu tidak ikut kemari dan menjelaskan semuanya sendiri?”

“Menurutmu kamu akan bisa menerimanya setelah apa yang dikatakannya kamu tepiskan dengan marah? Kamu juga mengatakan sudah punya calon suami baru. Apa itu pantas?” omel yu Sarni.

Murni menundukkan wajahnya.

“Banyak orang memberi tahu, dan kamu hanya mempercayai perasaan kamu sendiri. Perasaan yang panas karena terbakar api, sehingga menghilangkan akal sehatmu,” lanjut yu Sarni.

Murni terisak, menyandarkan kepalanya di bahu simbok. Lalu tiba-tiba Murni lari ke kamar mandi di arah belakang rumah. Yu Sarni mengikuti.

Saat itu bu Trisni keluar dengan membawa beberapa gelas teh hangat.

“Bu Murni masih sering muntah-muntah,” katanya sambil meletakkan gelas-gelas di meja.

“Syukurlah. Gilang akan punya adik,” celetuk Wulan.

“Silakan diminum. Mohon maaf ya Pak, Bu, hanya seperti ini rumahnya, dan suguhannya juga.”

“Tidak apa-apa Bu, rumahnya sederhana, tapi bersih dan rapi. Pantas Murni betah berada di sini,” kata Wulan sambil meraih minumannya.

“Mohon maaf, silakan di minum,” kata bu Trisni sambil beranjak ke belakang.

“Iya Bu, terima kasih banyak,” kata Rio yang kemudian juga meraih minuman yang dihidangkan.

Murni sudah kembali dengan dituntun yu Sarni.

“Murni, secara singkat saja, sekarang aku ingin membawa kamu pulang. Mas Restu dan Gilang sudah menunggu. Apa kamu masih akan berpegang pada keyakinan kamu bahwa mas Restu melakukan hal buruk itu bersama Lisa yang menyamar menjadi pembantu kamu?” tanya Wulan.

“Saya harus bagaimana?” kata Murni yang masih merasa lemas.

“Kamu harus pulang,” tegas kata yu Sarni.

“Di sini kamu menyusahkan orang lain. Jangan bandel dan jangan menurutkan kata hati kamu yang tersesat. Apalagi kamu sedang mengandung,” lanjut yu Sarni.

“Bu Murni tidak merepotkan atau menyusahkan kami, Trimo senang punya adik baru, dan saya juga senang mendapatkan saudara baru yang baik, dan justru banyak membantu keluarga kami. Namun begitu, saya menyarankan bu Murni untuk pulang, karena seorang istri punya kewajiban melayani suami dan merawat anak. Kalau ada perselisihan dan salah paham, harus diselesaikan dengan kepala dingin,” kata bu Trisni yang sudah ikut duduk bersama tamu-tamunya.

“Tuh, bu Trisni benar. Apa yang ingin kamu katakan lagi?”

“Baiklah, saya mau pulang,” kata Murni pada akhirnya, yang disambut gembira oleh semuanya.


Sementara itu pak Warso melamun di tokonya. Bagaimanapun dia sudah terlanjur jatuh cinta pada Murni. Tapi kenyataan yang ada, bahwa Murni ternyata masih punya suami, membuat semua angannya jatuh berderai. Pupus semua harapan untuk bisa bersanding dengan wanita cantik dan pintar bernama Murni.

“Pak, uang kecil di kasir habis,” kata salah seorang pegawainya.

Pak Warso bergeming. Ingatan akan gagalnya sebuah impian, membuatnya selalu melamun.

“Pak, di kasir, uang kecil habis,” ulang sang karyawan. Barulah pak Warso terkejut.

“Oh, apa … uang kecil ya? Sebentar, lihat di meja, aku sudah menyiapkan, tapi lupa memberikannya sama kamu.”

“Baik, akan saya ambil Pak,” kata karyawan itu, kemudian berlalu.

Pak Warso masih termangu, ia bahkan belum makan sejak pagi. Ketika salah seorang pembantu rumah tangganya menyusul ke toko, pak Warso baru ingat bahwa dia belum menyentuh sarapan yang disiapkan oleh mereka.

“Bapak kok belum makan sejak pagi, saya kira Bapak pergi.”

“Aduh, sampai lupa. Ini jam berapa?”

“Sudah jam satu siang. Bahkan lebih.”

“Baiklah, aku pulang.”

Tapi sebelum beranjak, salah seorang pegawai memberi tahu, bahwa ada yang mencarinya. Pak Warso berhenti melangkah, menoleh ke arah depan toko. Seorang anak dengan masih memakai seragam sekolah, berdiri menunggu.

“Trimo ya?” teriak pak Warso.

Anak itu memang Trimo. Ketika pulang sekolah, ibunya memberi tahu, bahwa pak Warso menunggunya, karenanya belum sempat berganti pakaian, Trimo segera menuju ke tokonya.

Trimo mengangguk sopan, membuat pak Warso senang. Masih bocah, tapi mengerti sopan santun.

“Sini Mo, masuk sini,” panggil pak Warso.

Trimo melangkah masuk, melalui jalan yang ditunjukkan pak Warso.

“Kamu baru pulang sekolah?”

“Iya Pak, kata ibu, saya dipanggil Bapak.”

“Iya benar, nanti kita bicara. Tapi aku lapar. Kamu sudah makan?”

Trimo tunduk tersipu.

“Pasti belum kan? Ayo ikut aku, kita makan bersama.”

“Tidak Pak, terima kasih. Silakan Bapak makan, saya menunggu di sini,” kata Trimo sungkan.

“Tidak. Mengapa menunggu. Sama-sama lapar kan?”

“Saya nanti makan di rumah saja.”

“Tidak boleh, aku ingin bicara sama kamu, sambil makan. Ayo,” kata pak Warso yang kali ini menarik tangan Trimo, sehingga Trimo tak bisa menolak.


“Jadi kamu mau kan, sepulang sekolah membantu aku di toko?” kata pak Warso sambil memaksa Trimo agar mau makan semeja dengannya.

“Tapi saya harus mengambil sisa dagangan dan uang di beberapa warung.”

“Tidak apa-apa. Ambil dulu uang-uang itu, setelahnya kamu baru datang kemari.”

“Saya harus mengerjakan apa?”

“Banyak Mo, menakar gula di setiap plastik, menakar minyak-minyak, semuanya untuk diecerkan, supaya gampang menjualnya, dan masih banyak lagi. Apa itu berat untuk kamu? Nanti kamu akan dapat uang jajan.”

Trimo tunduk tersipu.

“Saya membantu, bukan karena uang. Dan kalau saya diberi, akan saya berikan ibu untuk kebutuhan di rumah dan bayar sekolah,” katanya sambil menundukkan muka.

“Anak baik, aku senang mendengarnya. Bagus, terserah untuk apa, tapi aku ingin tahu, apa kamu merasa berat dengan pekerjaan itu?”

“Saya akan melakukannya. Dan kalau belum bisa, saya akan belajar.”

“Bagus, berarti kamu sanggup. Kamu bisa mulai besok, dan atur oleh kamu sendiri, bagaimana kamu bisa mengambil uang kamu di warung-warung, lalu baru mulai bekerja membantu aku.”

Trimo mengangguk.

Tapi belum lama mereka berbincang, salah seorang pegawai menyusul ke rumah.

“Maaf Pak, ada seorang wanita mencari Bapak.”


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 81

SELAMAT PAGI BIDADARI (79)

Karya Tien Kumalasari

“Aku boleh numpang dong, masa sih nggak boleh, jangan pelit dong, pak tua ganteng,” kata Lisa tanpa malu.

Tapi kemudian pak Warso turun dari mobilnya, lalu memasuki garasi dan mengendarai mobil yang lain, sementara Lisa terkunci di dalam mobil. Lisa berteriak-teriak, tapi pak Warso tak peduli. Ia sudah langsung keluar dari halaman toko.

Lisa turun dari mobil setelah pak Warso pergi jauh dari rumah. Rasa kesal membuatnya kemudian membanting pintu mobil dengan sangat keras, membuat para karyawan toko yang sudah pada datang, kemudian menatapnya heran.

“Apa lihat-lihat?” hardiknya sambil pergi begitu saja.

“Siapa dia tuh?” tanya salah seorang karyawan.

“Nggak tahu, tiba-tiba masuk ke dalam mobil bapak, lalu bapak pergi dengan mobil yang lain.”

“Tampaknya bukan wanita baik-baik.”

“Barangkali simpanan bapak.”

“Hush! Mana mungkin? Kalau simpanan pasti langsung dibawa pergi, bukan ditinggalkan begitu saja.”

“Ya sudah, ayo … kerja … kerja, sudah ada pembeli tuh.”

Karyawan yang tiba-tiba mendapatkan bahan ngrumpi kemudian bubar, dan mengerjakan pekerjaan mereka masing-masing.

“Sebenarnya bapak pergi ke mana? Nggak ada uang kembalian di kasir nih, uangnya besar semua,” celetuk kasir saat membuka laci.

“Rupanya bapak lupa, karena terburu-buru.”

“Kemana sih, bapak?”

“Nggak tahu, mungkin ke rumah Murni.”

“Waduh, bisa lama kalau ke sana. Aku tukar uang kecil dulu di bank ya.”

“Ya sudah, buruan, repot kalau pembeli mulai ramai.”


Pak Warso mengetuk pintu rumah bu Trisni, bu Trisni yang sedang bebenah di dapur segera keluar. Murni ada di kamarnya.

“Permisi Bu.”

“Oh, Pak Warso, silakan masuk.”

“Bagaimana keadaan Murni?”

“Belum begitu baik. Baru saja dia muntah-muntah lagi.”

“Apa obatnya tidak diminum?”

“Diminum sih, tapi yang namanya hati sedang sedih, diberi obat juga tambah parah keadaannya.”

“Ada apa sebenarnya. Saya dulu menerima Murni begitu saja, dan keterangan yang saya terima bahwa dia adalah janda. Tidak tahunya kemarin ketemu yang namanya suami, dan membuat saya bingung.”

“Ceritanya agak rumit Pak,” kata bu Trisni ragu-ragu. Tapi kemudian bu Trisni bermaksud menceritakan semuanya, agar tak terjadi salah terima pada pak Warso yang menjadi majikan Murni.

“Rumitnya bagaimana? Kemarin di depan suaminya, dia bilang bahwa saya calon suaminya, saya benar-benar tidak mengerti.”

“Sebenarnya ada seorang perempuan jahat yang bermaksud merusak hubungan bu Murni dan suaminya yang namanya pak Restu.”

“Merusak bagaimana maksudnya?”

Lalu bu Trisni mengatakan kepada pak Warso, seperti yang dikatakan Restu kepadanya.

Pak Warso teringat wanita genit yang bernama Lisa. Dia kah pengganggu itu?

“Namanya Lisa?”

“Iya Pak, katanya bernama Lisa. Dia memang suka sama pak Restu, dan terus mengejarnya. Ketika sudah menikah dengan bu Murni, Lisa kemudian berusaha merusaknya dengan menyamar itu tadi.”

“Rupanya dia, wanita itu.”

“Pak Warso mengenal wanita jahat itu? Bahkan bu Murni tidak percaya ketika saya mengatakan apa yang dikatakan pak Restu. Dia cerita banyak saat bu Murni ada di rumah sakit. Itu sebabnya saya memberikan Gilang untuk dibawanya pulang.”

“Jadi Gilang dibawa oleh bapaknya?”

“Itulah yang membuat bu Murni semakin sedih.”

Pak Warso menghela napas berat. Ada rasa kecewa dihatinya, ketika mengetahui bahwa sebenarnya Murni pergi dari rumah karena salah sangka.

“Saya baru mengerti ceritanya,” keluh pak Warso.

“Iya Pak, kasihan bu Murni. Tapi sayangnya dia belum bisa mempercayai suaminya, karena melihat suaminya itu ada di dalam kamar Lisa yang menyamar sebagai pembantu, kemudian berteriak-teriak, pura-pura mau diperkosa.”

“Bu Trisni tahu, sebenarnya saya ingin mengambil Murni sebagai istri saya.”

“Oh, jadi benar?”

“Apanya yang benar?”

“Melihat perhatian pak Warso kepada bu Murni, saya mengira pak Warso punya maksud tertentu. Dan dugaan saya ternyata benar.”

“Iya Bu, tapi saya bukan laki-laki jahat. Saya bermaksud begitu, karena saya mengira Murni benar-benar janda.”


“Lalu sudah tahu tabiat kamu sebelumnya,” kata pak Broto yang setengah menyalahkan Restu.

“Restu kan sudah bertobat, Pak,” protes Restu.

“Benar, tapi tidak mudah melupakannya, apalagi kemudian ada yang mengacau dengan sandiwara yang sangat apik.”

“Ya sudah, aku suruh Sarni bersiap dulu, soalnya Rio akan berangkat pagi-pagi,” kata bu Broto.


Murni sebenarnya tidak tidur. Ia dengan jelas bisa mendengar pembicaraan bu Trisni dan pak Warso, karena rumah bu Trisni kan kecil, dan jarak dari kamar dan ruang tamu tidak begitu jauh. Murni terkejut mendengar pengakuan pak Warso yang sebenarnya ingin mengambilnya sebagai istri. Ia kemudian sadar, bahwa benar seperti dugaan bu Trisni, bahwa kebaikan pak Warso karena ada maksudnya.

Tapi kemudian Murni merasa lega, karena pak Warso bisa mengerti keadaannya.

Rasa mual yang dirasakannya sudah agak mereda. Murni berusaha bangkit, ketika bu Trisni menawarkannya makan pagi.

“Makanlah dulu Bu, bukankah perut ibu sekarang kosong?”

“Saya makan nasi saja, jangan diberi lauk Bu.”

“Bagaimana sih Bu, makan nasi tanpa lauk?”

“Saya mual kalau mencium aroma gurih, jadi lebih baik nasi saja,” kata Murni yang kemudian berusaha berdiri.

Tapi baru saja Murni melangkah keluar dari kamarnya, ia mendengar mobil berhenti di depan rumah. Murni membalikkan tubuhnya dan kembali berbaring.

“Pasti mas Restu datang lagi. Aku tidak akan mau pulang,” gumamnya sambil memejamkan mata, lalu berbaring membelakangi pintu.

“Murni.”

Murni terkejut, karena suara yang di dengarnya adalah suara perempuan.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 80

SELAMAT PAGI BIDADARI (78)

Karya Tien Kumalasari

Bu Trisni langsung panik, sementara ketika menjenguk ke luar, mobil pak Warso sudah tak lagi kelihatan, barangkali bisa minta tolong mengantar ke dokter lagi.

Bu Trisni dibantu Trimo mengangkat tubuh Murni yang lemas tak berdaya, membawanya duduk di kursi.

“Ambilkan teh hangat, Mo,” perintah bu Trisni.

Trimo segera berlari ke dapur, membuatkan teh untuk Murni, sementara Murni masih tampak lemas, tak mampu berkata-kata, tapi air mata meleleh dari sepasang mata indahnya.

“Bu, sabar ya Bu. Ibu harus ingat, Gilang bersama ayahnya, jadi tak ada yang perlu dikhawatirkan. Ya kan?”

“Tidak mau … tidak … mau …” bisiknya pelan.”

Trimo membawa gelas berisi teh hangat, diberikannya kepada Murni.

“Diminum dulu Bu,” kata Trimo.

Murni menerima gelasnya, lalu meneguknya beberapa teguk.

“Mengapa ibu berikan dia … mengapa?”

“Dia, pagi tadi datang kemari. Saya bilang bu Murni ke dokter. Entah bagaimana, dia bisa menemukan rumah sakit dimana bu Murni dirawat. Dia mengatakan bahwa bu Murni salah sangka. Pak Restu difitnah. Dia tidak melakukan apa-apa. Wanita itu yang tak tahu malu dan menjebaknya.”

“Dia bohong Bu, jangan percaya.”

“Bu Murni harus percaya, pak Restu mengatakannya dengan wajah sedih.”

“Dia itu pintar berbohong. Hati sebenarnya jahat.”

“Jadi bu Murni memilih percaya kepada wanita penggoda itu?”

“Saya belajar dari pengalaman mengenal dia Bu. Dia itu anak orang kaya yang hidupnya berantakan, karena mengejar kesenangan.”

“Bukankah bu Murni bilang bahwa dia telah bertobat?”

“Kenyataannya tidak.”

“Barangkali semua harus dipikirkan dengan kepala dingin bu, bukan dengan hati yang panas.”

“Bu Trini terkecoh oleh cara dia bicara.”

“Ya sudah, sekarang tenangkan hati Bu Murni dulu, nanti kita pikirkan apa yang seharusnya kita lakukan.”

Murni mengusap air matanya. Lalu dia mengambil ponselnya.

“Saya akan menelpon simbok.”

“Ya, silakan Bu, saya mau menata makan,” kata bu Trisni sambil beranjak ke belakang.

Begitu menelpon yu Sarni langsung mengangkat.

“Murni … owalah Mur, simbok bingung … kamu itu kemana saja, kok ilang-ilangan?”

“Iya Mbok, Murni memilih pergi, sudah nggak kuat lagi.”

“Lha nggak kuat itu kenapa?”

“Apa simbok juga sudah dibohongi oleh dia?”

“Dia siapa maksudmu? Pak Restu?”

“Siapa lagi yang tukang bohong?”

“Kamu itu jangan terburu napsu. Simbok sudah mendengar semuanya. Kamu itu salah sangka. Kamu dibohongi oleh bekas pembantu kamu yang bernama Marsih. Dia itu Lisa, perempuan jahat yang berpura-pura menjadi perempuan cacat dengan mengenakan topeng. Dia menjebak pak Restu untuk merusak rumah tangga kamu.”

“Simbok dibohongi oleh dia. Simbok seperti lupa bagaimana dia itu. Murni lebih baik pergi, Murni akan meminta cerai.”

“Murni!! Tidak bagus bicara seperti itu.” Sentak yu Sarni.

“Murni tidak kuat lagi Mbok, sekarang dia datang menemui Murni, lalu ketika Murni ada di rumah sakit, dia membawa lari Gilang.”

“Benarkah? Tapi masalah Gilang dibawa pak Restu belum sampai di rumah ini, beritanya.”

“Tolong Mbok, ambil kembali Gilang, Murni tak bisa berpisah dari dia,” tangis Murni.

“Kamu pulanglah kemari, dan bicara yang baik-baik.”

“Saat ini Murni sedang sakit Bu.”

“Sakit apa?”

“Sebenarnya … Murni hamil.”

“Alhamdulillah, ini berita menyenangkan. Simbok senang sekali. Bapak sama ibu Broto juga pasti bahagia. Cepat pulang Murni. Percayalah, semuanya akan baik-baik saja,” kata simbok yang suaranya berubah renyah karena gembira.

“Entahlah Mbok, badan Murni lemas. Ini berbeda dengan kehamilan saya yang pertama.”

“Apa kamu di rumah sakit?”

“Cuma sehari, karena tidak bisa lama-lama meninggalkan Gilang. Tak tahunya setelah pulang, Gilang sudah dibawa pergi,” sesal Murni.

“Simbok akan bilang pada ibu. Akan ada caranya untuk membawa kamu pulang kemari.”

“Tolong jangan pertemukan Murni dengan mas Restu.”

“Kamu jangan bicara yang tidak-tidak, kamu akan menyesalinya nanti,” pesan yu Sarni yang kemudian menutup pembicaraan itu.


Bu Broto sangat gembira mendengar bahwa Murni sudah hamil lagi. Ia segera menelpon Restu. Tapi baru saja bu Broto mengangkat ponselnya, Restu sudah muncul sambil menggendong Gilang.

Bu Broto berteriak senang, yu Sarni tergopoh-gopoh menyambut.

“Gilang, sayang … akhirnya kamu datang,” kata bu Broto yang kemudian menggendong Gilang, membawanya ke belakang diikuti yu Sarni.

“Apa yang terjadi?” kata pak Broto yang baru sekilas mendengar cerita tentang Murni.

“Murni ada di rumah sakit. Restu membawanya tanpa sepengetahuan Murni,” kata Restu sambil duduk di depan ayahnya.

“Baru saja Sarni bilang, istrimu hamil.”

“Iya, Restu mendengarnya dari bu Trisni, pemilik rumah dimana Murni tinggal bersama Gilang.”

“Bagaimana ini, rumah tangga baru saja dibina sudah kacau seperti ini.”

“Soalnya ada yang membuatnya Pak. Dia berharap supaya rumah tangga kami hancur. Murni tidak percaya lagi sama Restu. Restu juga sudah mengatakan kepada bu Trisni tentang apa yang terjadi sebenarnya, dengan harapan dia akan bisa meredakan amarah Murni. Tapi mengingat kekerasan hati Murni, Restu kurang yakin dia akan percaya, apalagi dia masih di rumah sakit.”

“Tadi menelpon Sarni, memang dia bilang bahwa tidak percaya sama kamu. Tapi dia sudah tidak di rumah sakit.”

“Berarti dia sudah tahu kalau Gilang Restu bawa pulang kemari.”

“Ya, dia bilang begitu.”

“Bagaimana cara menjemputnya? Dia tak akan mau mendenfarkan Restu. Harus ada penengah yang dipercayainya.”

“Yang bisa menangani masalah ini, hanya Rio dan Wulan. Tapi mengingat Wulan juga sedang hamil, entah bagaimana nanti, yang penting kabari dulu Rio atau Wulan.”

“Baiklah Pak, saya akan minta tolong mas Rio. Tapi barangkali belum bisa hari ini, karena ini sudah sore. Oh iya, mana yu Sarni?” teriaknya kemudian kepada yu Sarni.

Yu Sarni bergegas datang.

“Ini, pakaian Gilang, dan susu, berikut botolnya.”

“Baik, nanti saya yang akan mengurusnya. Murni sudah hamil lagi, sebaiknya Murni tidak memberi ASI lagi untuk Gilang,” kata yu Sarni, yang kemudian membawa barang-barang Gilang ke kamarnya.


Pagi-pagi sekali, pak Warso sudah keluar dari tokonya. Sudah ada karyawan yang membuka dan menata semuanya.

Pak Warso sudah menyiapkan mobilnya, bermaksud mengunjungi Murni, tapi tiba-tiba wanita yang mengaku bernama Lisa sudah berdiri di depan toko.

Pak Warso terkejut. Rupanya wanita itu memata-matai dirinya, sehingga tahu dimana harus menemuinya.

“Pak tua yang ganteng,” sapa Lisa sambil tersenyum genit.

“Ada apa Mbak datang kemari?” kata pak Warso dengan wajah kurang senang.

“Ya ampun Pak, semalam saya tidak bisa tidur karena memikirkan Bapak.”

Wajah pak Warso semakin muram. Wanita cantik yang hampir saja membuatnya terpikat itu sekarang membuatnya sebal, karena bicaranya yang tidak karuan. Pada dasarnya pak Warso bukan orang jahat. Dia menginginkan Murni karena Murni mengaku sudah janda. Hanya saja dia belum sempat mengutarakan maksudnya, sudah mendengar tentang kehamilannya, dan juga melihat suaminya datang menemuinya di rumah sakit.

Pak Warso langsung naik ke atas mobilnya, tapi tanpa diduga Lisa sudah naik dari sisi kemudi, dan duduk dengan santainya.

“Apa maksudnya ini?” hardik pak Warso.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 79

SELAMAT PAGI BIDADARI (77)

Karya Tien Kumalasari

Lisa terkejut, tapi dia masih tampak tersenyum.

“Sayang, kamu menyusul aku kemari? Baru semalam kita bersama, sudah kangen lagi?” kata Lisa tak kenal malu.

Mata Restu menyala, bagai memancarkan api. Ia mendekati Lisa sambil mengayunkan tangannya. Tapi Lisa berhasil menepisnya.

“Sayang, ada bekas istri kamu, nggak malu main peluk saja?”

“Wanita murahan!! Pergi kamu dari sini,” hardiknya.

“Baiklah, enakny aku menunggu di hotel saja, sayang?”

Restu melayangkan tangannya ke wajah Lisa, kali ini kena. Warna merah menjalar di bekas tamparan dan seluruh wajah Lisa. Tapi Lisa tetap tersenyum.

“Ya ampun, kamu kelainan ya? Harus menyakiti dulu sebelum melakukan? Tapi ini kan di rumah sakit?” kata Lisa sambil menyiratkan senyuman genit, kemudian keluar dari ruangan.

Restu sangat geram.

“Kok ada perempuan tak tahu malu seperti dia?” gumamnya sambil mendekati Murni. Tapi murni memejamkan matanya sambil memalingkan muka.

“Murni …” katanya lembut.

Murni benar-benar merasa muak. Belum hilang rasa terkejutnya ketika mengetahui bahwa Marsih adalah Lisa, kemudian Restu datang dan Lisa mengumbar kata-kata tak tahu malu di hadapannya. Bisa-bisanya ketemuan dengan Lisa di rumah sakit, dimana dirinya terbaring dan merasa badan tidak enak.

“Murni, jangan pedulikan apa yang dikatakannya. Dia itu wanita yang ingin merusak hubungan kita. Dia menjijikkan. Aku harap kamu bisa mengerti.”

Murni tak menjawab. Ia masih memalingkan wajahnya. Tak begitu mudah mempercayai yang punya perangai buruk di masa lalunya. Kemudian dia menyesal telah kembali mengandung anak Restu.

“Murni, aku sudah bertemu Gilang, dan_”

“Jangan sentuh dia,” sentak Murni yang kali ini mau tak mau bereaksi ketika Restu sudah bertemu Gilang. Pasti dia sudah menggendongnya, dan jangan-jangan Restu sudah membawanya pergi.

“Murni, dia anakku ….”

“Apa kamu membawanya pergi? Mana dia?” kata Murni dengan cemas.

“Tidak, aku tidak akan membawanya tanpa kamu. Kamu sakit apa? Ayo pulang saja, ada rumah sakit lebih baik di kota kita.”

Murni tak sedikitpun menatap Restu.

“Murni, aku bawakan baju-pengganti untuk kamu,” tiba-tiba pak Warso muncul dengan membawa bungkusan pakaian.

Murni menoleh.

“Oh ada tamu?” kata pak Warso setelah melihat Restu duduk di tepi pembaringan Murni.

“Saya Restu, baru datang. Saya adalah ….”

“Dia adalah calon suami aku,” kata Murni tiba-tiba.

Bukan hanya Restu yang terkejut, tapi pak Warso demikian pula.

“Apa? Kamu bilang, dia calon suami kamu? Bukankah kamu masih istriku??” Kata Restu keras, menahan kemarahan di hatinya.

“Terima kasih telah membawakan baju ganti untuk saya,” kata Murni sambil tersenyum kepada pak Warso. Yang diberi senyuman malah menjadi gugup dan gelagapan.

“Dia ini masih istriku. Bagaimana anda bisa menjadi calon suaminya?” kata Restu masih dengan nada tinggi.

“Kamu bakal bekas suami aku,” kata Murni tanpa belas.

“Murni !! Mengapa kamu melakukan ini?”

“Tanya kepada diri kamu sendiri, apa yang telah kamu lakukan.”

“Murni, kamu tidak mendengar apa yang aku katakan? Kamu tetap istri aku, aku tak akan menceraikan kamu atas sesuatu yang tidak jelas ini.”

“Terserah apa kata kamu,” kata Murni lagi.

Pak Warso diam dalam kebingungannya. Tak tahu harus berhata apa.

“Murni, aku datang untuk menjemput kamu.”

“Jangan mengharapkan sesuatu yang tak mungkin. Pulanglah, tapi jangan sekali-sekali menyentuh Gilang, apalagi membawanya pergi.”

Restu tak tahan lagi. Dia keluar dari ruangan dengan wajah merah menahan marah. Ia tak mengira Murni begitu cepat mendapatkan calon suami.


“Pak Waro, saya minta maaf,” kata Murni setelah Restu pergi.

Pak Warso diam, masih bingung memikirkannya, tapi juga berdebar mendengar Murni mengaku menjadi calon suaminya. Apakah itu benar?

“Saya telah lancang mengaku menjadi calon suami Bapak, saya hanya ingin memanasi hati dia saja.”

“Aku tidak mengerti. Jadi itu tadi suami kamu?”

“Saya akan segera menggugat cerai.”

“Tapi kamu sedang mengandung anaknya, bukan?”

“Saya tidak tahan lagi. Dia berselingkuh. Kelakuannya sangat menyakitkan saya, jadi lebih baik saya minta cerai.”

“Kamu sedang mengandung. Mana bisa minta cerai?”

“Akan ada waktu untuk menunggu sampai bayi ini lahir.”

“Baiklah, sekarang kamu istirahat saja dulu, jangan memikirkan yang berat-berat.”

“Saya mau pulang saja.”

“Murni, kamu masih diinfus, supaya kamu lebih kuat.”

“Saya harus segera pulang, saya khawatir dia membawa anak saya.”

“Tunggu aku menemui dokternya ya, kamu harus pulang dalam keadaan baik dan cukup kuat.”


Ketika pak Warso keluar dan mencari dokter yang menangani Murni, tiba-tiba Lisa menghadangnya tiba-tiba.

“Pak tua yang masih ganteng … “ sapanya sambil mengumbar senyuman paling manis yang dimilikinya. Ia merasa mendapatkan laki-laki yang akan dijadikan mangsanya.

“Bagaimana Anda bisa ada di sini?”

“Saya memang tinggal di kota ini. Kemarin ketika mau periksa ke dokter langganan, saya melihat Bapak dan juga Murni.”

“Anda mengenalnya?”

“Dia itu wanita yang telah merebut kekasih saya. Restu itu kekasih saya. Kami hampir menikah ketika Murni kemudian merebutnya dari saya.”

“Apa? Apa yang Anda katakan itu benar?”

“Masa saya bohong sih Pak, saya ini wanita yang teraniaya. Saya sudah menyerahkan semuanya kepada Restu, siap menjadi istrinya. Tapi Murni merusaknya. Apa benar dia menjadi istri Bapak?”

“Belum,” jawab pak Warso yang masih bingung.

“Oh, jadi masih calon? Jangan Pak, jangan lakukan sebelum terlambat. Dia itu tidak begitu cantik sih, tapi dia pintar membuat pria menjadi terpikat. Dengan pura-pura baik, pura-pura santun, lalu tiba-tiba dia bisa menerkam Bapak.”

Tiba-tiba pak Warso merasa tidak senang mendengar Lisa menjelek-jelekkan Murni. Cara dia mengumbar kejelekan orang lain kepada orang yang baru dikenalnya, menunjukkan bahwa dia bukan wanita baik-baik.

“Pak, oh ya, nama saya Lisa. Bapak pak Warso kan? Saya sudah tahu ketika periksa ke dokter tadi.”

“Bapak ditunggu dokter di ruangnya,” tiba-tiba seorang perawat mendekati dan memintanya mengikutinya.

Pak Warso membalikkan tubuhnya, tanpa melihat ke arah Lisa lagi, membuat Lisa merasa kesal. Tadi dia ingin mencegat Restu, tapi enggan melakukannya. Tadi dia sudah kena caci maki dan tamparannya. Dengan langkah gontai dia pergi, dan berjanji dalam hati, akan menemui pak Warso lagi.


Pak Warso sudah menemui dokternya, dan setelah memeriksa keadaan Murni, kemudian Murni diijinkannya pulang.

Murni tak sempat mengganti baju yang tadi dibawakan pak Warso, jadi dia membawanya kembali.

“Apa benar, kamu sudah merasa baik?” tanya pak Warso dalam perjalanan ke arah mobilnya.

“Saya merasa sangat baik. Saya harus segera pulang.”

“Tapi wajah kamu masih pucat.”

“Saya bisa beristirahat di rumah. Bukankah saya sudah mendapatkan obatnya?”

“Benar, tapi kamu harus istirahat dulu, tidak usah buru-buru bekerja, kalau kamu belum merasa kuat.”

“Iya Pak, terima kasih banyak. Saya sudah sangat merepotkan Bapak.”

“Tidak repot, kamu kan karyawan aku. Jadi aku harus menjaga kamu,” katanya sambil membukakan mobil untuk Murni.

Begitu sampai di rumah bu Trisni, Murni bergegas mencari keberadaan Gilang. Ia bertemu bu Trisni yang sedang berjalan ke arah depan, ketika mendengar mobil berhenti di depan rumah.

“Mana Gilang Bu, apa dia masih tidur?”

“Bu Murni, tadi pak Restu datang kemari.”

“Iya, saya sudah tahu, dia juga menemui saya di rumah sakit.”

“Tapi dia datang kembali, lalu Gilang dibawanya.”

Murni merasa lemas, dia jatuh terduduk di lantai.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 78

SELAMAT PAGI BIDADARI (76)

Karya Tien Kumalasari

Pak Warso melupakan wanita cantik yang tiba-tiba seperti menggodanya, kemudian setengah berlari menuju ke arah praktek dokter.

Ia langsung masuk ke ruang praktek, karena Murni sudah berada di dalam, entah siapa yang mengangkatnya.

“Kenapa dia dok?” tanyanya khawatir, sambil menatap ke arah Murni yang terbaring lemah, dengan mata terpejam.

“Ini istri pak Warso?”

“Dia kenapa?” lanjutnya.

“Ini bukan sakit berbahaya, tapi sakit yang membuat bahagia.” Kata sang dokter sambil tersenyum.

Pak Warso menatap Murni, tidak mengerti.

“Istri Pak Warso hamil sudah lima minggu.”

Bukan hanya pak Warso yang terkejut. Murni demikian juga. Ia yang masih lemah, langsung membuka matanya. Mulutnya ingin mengucapkan sesuatu, tapi bingung apa yang harus diucapkannya.

Tapi pak Warso segera bisa menenangkan hatinya. Baiklah, dia hamil, soalnya dia juga baru akan menanyakan padanya tentang status dan kehidupannya, sebelum kemudian dia melamarnya.

Pak Warso tersenyum.

“Keadaannya bagaimana?”

“Tidak apa-apa. Biasa, wanita hamil muda seringnya begitu. Pusing, mual, muntah. Tapi saya kan bukan ahlinya. Sebaiknya pak Warso membawa istri Bapak ke dokter kandungan untuk memastikannya, dan supaya ada penanganan lebih lanjut. Misalnya harus bagaimana, harus minum apa, begitu,” kata sang dokter.

“Oh, begitu ya. Baiklah, sekarang juga saya akan membawanya ke rumah sakit.”

“Baiklah. Bu Murni bisa bangun?”

Murni mengangguk. Walau badannya lemah, dia masih mampu bangun. Pak Warso memapahnya keluar, karena takut Murni terjatuh. Dalam melangkah ke arah mobil, pak Warso menyerahkan botol minyak kayu putih yang tadi dibelinya, setelah membuka segelnya.

Tanpa menjawab, Murni menerimanya, dan segera menciumi botol minyak itu sepuasnya.

Hati-hati pak Warso membantu Murni duduk.

“Kita akan langsung ke rumah sakit,” kata pak Warso.

“Maafkan … saya,” kata Murni terbata.

“Tenangkan dulu hati kamu, setelahnya, kamu baru boleh cerita. Yang penting kamu harus segera mendapat penanganan.”

“Tapi saya harus segera pulang. Gilang _”

“Bukankah masih ada stok ASI di kulkas? Jadi kamu tidak usah memikirkannya dulu.”

Murni diam. Dia merasa sangat lemas. Tak ada yang bisa dikatakan untuk membantahnya, walaupun dia merasa tak enak, karena ternyata dirinya hamil, dan dia belum pernah mengatakan apapun tentang statusnya kepada pak Warso, kecuali mengatakan bahwa dia seorang janda.


Bu Trisni sangat khawatir, karena Murni perginya sudah terlalu lama. Tapi ada yang membuatnya terhibur, bahwa Murni pergi bersama pak Warso, yang akan membawanya ke dokter langganan. Pasti rumah dokter itu berada diluar dusun ini.

Bu Trisni sedang menggendong Gilang di depan rumah, ketika tiba-tiba sebuah mobil berhenti. Bukan mobil yang kemarin, jadi bu Trisni tak mengira, bahwa itu adalah Restu.

Tapi bu Trisni terkejut, ketika yang muncul benar-benar Restu. Ia bergegas mendekatinya, dan langsung meminta Gilang dari gendongannya.

Bu Trisni sangat merasa tidak enak.

“Maaf Pak Restu, sungguh saya minta maaf. Saya berbohong, atas permintaan bu Murni. Bukan kemauan saya sendiri,” katanya takut-takut.

Restu asyik menciumi Gilang, yang barangkali karena ada ikatan darah, masih mengenali ayahnya yang hampir sebulan tidak bertemu. Ia tertawa-tawa dan menepuk-nepuk pipi ayahnya. Bu Trisni terharu melihatnya.

“Sesungguhnya saya difitnah. Murni pasti bercerita bahwa saya berselingkuh, tapi itu salah. Saya dijebak oleh wanita yang menyamar menjadi wanita cacat, pura-pura melamar menjadi pembantu di rumah saya.”

Lalu Restu mencetakan semuanya. Bahwa kemudian Murni melihatnya berada di dalam kamar, karena Lisa menguncinya dari dalam, kemudian berteriak mengatakan bahwa dirinya diperkosa.

Bu Trisni membelalakkan matanya setelah tahu kejadiannya.

“Di mana Murni?”

“Dia bekerja disebuah toko sembako. Tapi dia sakit, semalam muntah-muntah, lalu pak Warso, majikannya, pemilik toko itu, mengantarkannya ke dokter. Mungkin dibawa keluar dari dusun ini, dia kan punya langganan dokter sendiri.”

Setelah mendapat keterangan dari bu Trisni, dia menitipkan Gilang pada bu Trisni, lalu mendatangi toko pak Warso, dan menanyakan di mana alamat dokter langganan pak Warso. Ia bersyukur Rio mengantarkan mobilnya, sehingga dia bisa dengan mudah pergi kemanapun.


Pak Warso membawanya ke rumah sakit, dan Murni langsung diperiksa. Perkiraan dokter itu benar, Murni hamil. Tapi karena kondisinya lemas, maka Murni harus dirawat dulu selama satu atau dua hari.

“Tidak mau, saya pulang saja. Saya punya anak bayi,” tolak Murni ketika dokter memintanya dirawat.

“Tapi Ibu masih lemas. Baiklah, barangkali sehari saja, sampai nanti sore baru boleh pulang. Ibu harus diinfus, dan diberikan obat.”

“Murni, sebaiknya kamu menurut saja apa kata dokter. Itu yang terbaik untuk kandungan kamu, juga untuk kesehatan kamu.”

“Tapi bagaimana dengan anak saya?”

“Aku akan menelponnya, adakah nomor yang bisa dihubungi? “

Murni memberikan nomor kontak bu Trisni. Itu penting, supaya bu Trisni tidak merasa khawatir. Tapi aku juga mau menemui ibu Trisni dan mengatakan keadaan kamu dengan lebih jelas.”

Murni tak bisa menolaknya. Badannya memang terasa lemas, dan dia benar-benar tak berdaya. Dia tak mau kalau pak Warso kembali memapahnya saat dia memaksa pulang. Tidak enak dan tidak pantas, karena pak Warso bukan apa-apanya.

Pak Warso memesan kamar terbaik untuk Murni, yang walau Murni menolaknya, tapi pak Warso memaksanya.

Ketika pak Warso pulang, ia berpapasan dengan wanita yang tadi ditemuinya. Pak Warso heran, bagaimana wanita itu bisa berada di rumah sakit juga? Apakah dia mengikutinya?

“Rupanya Murni itu istri Bapak? Beruntung sekali dia. Lepas dari satu laki-laki, diterima oleh laki-laki lain,” kata wanita itu mengejek.

Pak Warso yang masih berada dalam keadaan bingung, tak memperhatikan wanita yang ternyata mengenal Murni. Ia langsung memasuki mobilnya dan memacunya pulang.

Wanita cantik itu tak terduga memasuki kamar rawat Murni, membuat Murni terkejut. Yang diingatnya adalah, wanita itu adalah yang pernah mengata-ngatainya saat dia belanja, dan yang pernah sengaja menabraknya sehingga harus berurusan dengan yang berwajib. Wanita itu memang Lisa. Tentu saja Murni tak mengenalinya sebagai Marsih, karena Lisa tak menggunakan cadar seperti ketika menjadi pembantu di rumahnya.

“Selamat bertemu kembali Murni,” sapa Lisa.

Murni terkejut, Lisa bisa berada di rumah sakit tempat dia dirawat.

“Ya ampun Murni, kamu itu pembantu yang sangat beruntung ya, diambil istri oleh majikan, setelah diselingkuhi, kamu mendapat duda tua yang kaya di tempat ini. Enaknyaaa,” ejeknya tanpa malu.

“Bukankah kamu dipenjara?”

“Oh iya, tentu saja. Aku dipenjara, Tapi mana aku kerasan di sana berlama-lama? Tidak dong, aku sudah bebas, dan dikota kecil ini aku sedang menyendiri, merenungi keberuntunganku. Kamu tahu, siapa yang ada di dalam rumah tangga kamu dan menjadi pembantu kamu? Aku, Murni. Aku menyamar menjadi wanita cacat dengan topeng di wajahku.”

Murni terbelalak. Jadi Marsih itu Lisa? Pantesan Restu mau sama dia, ternyata bekas kekasihnya. Begitulah Murni berpikir, dan rasa benci kepada Restu semakin mendalam.

“Dan saat ini, Restu bekas suami kamu juga ada di kota kecil ini. Bersamaku. Dia menyusulku sampai kemari. Ya ampuun, kok bisa kamu juga di sini sih? Baiklah, tak apa-apa, toh kamu sudah punya suami dan sudah hamil pula. Yaaah, cepet banget hamilnya. Baru berapa bulan kamu pisah sama Restu? Masa idah belum habis pula. Bisa kena masalah pula kamu nanti.”

Murni tak menjawab sepatah katapun.

Lisa masih petentang petenteng di dalam ruangan itu, ketika tiba-tiba Restu muncul di ruangan itu.

“Heii … apa yang kamu lakukan di sini?”


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 77

SELAMAT PAGI BIDADARI (75)

Karya Tien Kumalasari

Murni terdiam, agak ragu menerima tawaran pak Warso. Tapi dia tidak menawarkan, dia seperti memaksa. Ada perasaan tak enak dihati Murni. Mengapa tampaknya pak Warso memperlakukan lebih terhadap dirinya? Padahal dia karyawan baru, belum genap sebulan bekerja di tokonya.

“Kenapa Bu?”

“Pak Warso mau mengantarkan saya ke dokter.”

“Ya sudah, itu lebih bagus. Pak Warso orang berada, pasti punya langganan dokter yang bagus dan siap setiap saat, tidak usah ngantri seperti kalau periksa di puskesmas.

“Iya sih.”

“Tidak apa-apa Bu, biar Gilang sama saya. Pekerjaan saya kan sudah selesai.”

Ketika kemudian pak Warso datang, Murni terkejut. Pak Warso bukan membawa pick up seperti yang dipakainya belanja kemarin, tapi membawa mobil bagus.

Murni baru beranjak mengambil tasnya, pak Warso sudah turun duluan, mendekati Gilang yang sedang digendong bu Trisni.

“Ini Gilang ya?”

“Iya Pak,” jawab bu Trisni yang sedang menggendong Gilang di depan rumah.

“Ngganteng banget sih, dan tampak sehat.”

“Iya. Ayo Gilang, beri salam untuk pak Warso,” kata bu Trisni sambil mengacungkan tangan Gilang ke arah pak Warso. Pak Warso menerimanya dengan senyum ramah.

“Murni sudah siap?”

“Sudah Pak, maaf, Bapak jadi repot,” kata Murni yang keluar dari dalam rumah.

“Tidak repot. Kalau kamu sakit dan tidak bisa bekerja, aku yang repot kan?”

“Barangkali hanya masuk angin.”

“Ya sudah, apapun sakitnya, kamu harus segera diperiksa dokter,” kata pak Warso sambil membukakan pintu mobil untuk Murni.

Murni melambaikan tangannya, ketika mobil pak Warso bergerak menjauh.

Gilang menatap ke arah mobil itu pergi, seakan bertanya, siapa yang bersama ibuku.

Bu Trisni segera beranjak ke dalam. Ia merasa, sikap pak Warso sangat berlebihan. Ada rasa khawatir, kalau-kalau pak Warso punya maksud yang lain, seperti perkiraannya yang pernah diutarakannya pada Murni.

“Waduh, apa yang terjadi nanti ya, apakah bu Murni mau sama pak Warso yang sudah setengah tua? Tapi kan dia kaya. Kalau masalah kebutuhan hidup, bu Murni tak akan kekurangan, kalau mau sama pak Warso. Tapi bu Murni kan masih punya suami. Ya ampun, katanya dia mau minta cerai, apa gara-gara bu Murni mulai suka sama duda setengah tua itu?”


“Rio, kamu menelpon siapa?” tanya Wulan ketika mereka selesai makan pagi.

“Aku menyuruh orang untuk mengantarkan mobil mas Restu ke penginapan.”

“Nekat banget mas Restu, kenapa tidak langsung saja mendatangi rumah Trimo, kalau memang dia mencurigai bahwa Murni ada di sana?”

“Sungkan katanya, soalnya bu Trisni sudah terlanjur bilang bahwa Murni tidak ada di rumahnya.”

“Apa sih sebenarnya maksud Murni? Dari dulu suka kabur-kaburan,” gerutu Wulan kesal.

“Jangan terlalu menyalahkan Murni. Yang dia lihat adalah nyata. Perkara itu dibuat dengan hasil memuaskan oleh Lisa, memang itulah maksud Lisa. Barangkali sulit bagi Murni untuk mempercayai alasan apapun, karena ketahuan mas Restu ada di dalam kamar Lisa dan kamar itu terkunci dan Lisa telah membuat sedemikian rupa sehingga semua seperti nyata. Baju yang terkoyak, misalnya, itu bukti yang tidak bisa dipungkiri.

“Iya sih, tapi seharusnya Murni bisa mendengar apa yang dikatakan mas Restu.”

“Tampaknya susah, kecuali ada penengah, atau ada bukti bahwa Marsih adalah Lisa. Kemana sekarang dia? Apa kita harus menangkapnya supaya dia mau menerangkan semuanya pada Murni?”

Wulan menghela napas panjang. Banyak liku-liku kehidupan yang dijalani Murni.

“Semoga Murni dan mas Restu bisa melewati ujian ini.”

Rio mengangkat ponselnya ketika terdengar dering panggilan telpon.

“Ya … benar, itu kunci mobilnya, alamatnya sudah aku kirimkan sama kamu kan? Ya sudah, segera lakukan perintah aku. Baiklah.”

“Kunci mobilnya sudah didapat?” tanya Wulan ketika Rio selesai menelpon.

“Sudah. Karyawan bengkel tahu, kunci itu selalu ada di meja kamar mas Restu. Semoga dengan mobil itu mas Restu bisa bergerak lebih nyaman.”

“Ya sudah, kita berangkat ke kantor sekarang? Aku harus selalu ada di kantor, karena sejak Murni menghilang, bapak seperti kurang bersemangat, apalagi mengingat kondisi mas Restu yang semakin kurus, bagai tak terurus.”

“Baiklah, aku bisa mengerti. Apalagi ibu, juga yu Sarni.”

“Menurut aku, Murni memang agak kebangetan. Harusnya mengabari ibu atau yu Sarni bahwa dia dan anaknya baik-baik saja.”

“Ya sudah, bagaimanapun Murni juga sedang kacau, seperti merasa gagal dalam meraih kebahagiaannya. Nanti kalau keberadaan Murni sudah jelas, aku atau kamu harus menyusulnya. Murni tidak akan percaya pada apa yang dikatakan mas Restu. Susah untuk percaya, apalagi kalau mengingat masa lalu mas Restu yang begitu buruk.”

“Semoga semuanya baik-baik saja.”


Pak Warso dan Murni sudah ada di kamar tunggu dokternya. Ada satu pasien sebelumnya, jadi keduanya masih harus menunggu, sementara Murni kembali dilanda rasa lemas dan pusing. Ia mengesal tak membawa minyak kayu putih yang ada di kamarnya.

“Kenapa?”

“Pusing sekali. Apa Bapak membawa minyak kayu putih?”

“Minyak kayu putih? Waduh, di toko sebenarnya ada. Tapi aku tidak membawanya.”

“Saya sangat pusing, dan sekarang kembali mual.”

“Biar aku beli dulu, barangkali di warung dekat-dekat sini ada,” kata pak Warso sambil berdiri.

“Tidak usah Pak, nanti saja.”

“Jangan, biar aku beli dulu, tampaknya kamu sangat membutuhkan,” kata pak Warso sambil melangkah pergi, keluar dari ruang tunggu.

“Aduh, aku sangat merepotkan, padahal pastinya juga hanya karena masuk angin. Tapi sudah aku bawa tidur semalaman, kok ya masih juga rasa tidak enak ini,” keluh Murni.

“Ibu pusing ya?” tiba-tiba salah seorang pasien yang duduk di depannya bertanya.

“Iya Bu, sangat pusing, badan saya lemas, dan mual sekali perut saya.”

“Jangan-jangan ibu hamil,” kata si ibu tadi.

“Apa? Hamil?”

“Tanda-tandanya seperti orang hamil. Tapi nggak tahu juga, benar hamil atau hanya perkiraan saya.”

Murni mulai menghitung-hitung, kapan terakhir dia menstruasi.

“Ah ya, selama berada di rumah bu Trisni aku belum pernah mengalami. Tapi hamil? Masa sih?” katanya dalam hati.

Tiba-tiba, ingatan tentang kehamilan itu membuat perutnya seperti diaduk. Murni berlari ke arah kamar mandi dan seperti semalam, dia muntahkan semua isi perutnya.


Ternyata warung yang dimaksud, tempatnya agak jauh dari tempat praktek dokternya. Tapi pak Warso lega, bisa membawa minyak kayu putih yang dibutuhkan Murni. Ia segera bergegas kembali, karena merasa perginya terlalu lama.

“Murni pasti sudah tidak sabar. Kasihan juga dia. Aku jadi menyesal telah mengajaknya belanja seharian. Pasti lah dia sangat capek, apalagi kalau tidak biasa naik mobil. Mobilnya jelek pula. Habis, kan itu memang mobil untuk belanja,” gumam pak Warso disepanjang langkahnya.

“Pak … pak, dompetnya jatuh,” tiba-tiba sebuah teriakan terdengar dari belakangnya.

Pak Warso menoleh, dan memang dompetnya terjatuh. Rupanya karena tergesa-gesa, dia tidak memasukkan dompetnya ke dalam saku dengan sempurna.

“Terima kasih,” kata pak Warso kepada wanita yang menyapanya.

Wanita itu ternyata sangat cantik dan menawan. Pak Warso terpana ketika senyumannya seperti memaku dirinya sehingga tak mampu melangkah lagi.

Tiba-tiba sebuah teriakan lain terdengar, dari arah di mana dokter langganannya berpraktek.

“Paaak, Paaak, istri Bapak pingsan.”


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 76