igts2024

Ikaga Goes To School 2024

Ikaga Goes To School 3 hadir kembali…

Apa sajakah kegiatannya….?

  • Sharing dan Character Building untuk 432 Siswa Kelas X
  • Talk Show “Set Your Goal and Quality Now” untuk 420 Siswa Kelas XII
  • Training Teacher as Coach untuk 75 Guru

Ini adalah kontribusi IKAGA untuk menyambut Indonesia Emas 2045

Ayo hadiri dan meriahkan kegiatan ini…..!!!!

Ketua IKAGA
Bronto Sutopo

#ikatanalumniganesha

#bersinergimembangunbangsa

loker-research-ai

Peluang Karir : Masa Research

Embark on a journey with us https://lnkd.in/gPrkcdkq

9 available positions :

1. Mobile Engineer – entry level

2. Network Engineer – entry level

3. Finance & Acc officer – senior level

4. Frontend Engineer – entry level

5. CV Engineer – entry level

6. Product Manager – entry level

7. NLP Engineer – entry level

8. Mining Geologists – entry level

9. UI / UX Designer – entry level

Please visit our website for the details requirements for every positions and send your update CV to herlina@joinmasa.ai with subject: Name – Position apply

SELAMAT PAGI BIDADARI (88 – TAMAT)

Karya Tien Kumalasari

Ya kan?” Pardi, suami Lisa mengulangi perkataannya, ketika melihat Lisa terdiam.

“Belajar dari masa lalu aku,” kata Lisa pelan.

“Maksudnya?”

“Dulu aku bukan wanita baik-baik. Jadi ketika ada sebuah kejadian, dan aku ada didalam kejadian itu, maka dia langsung menuduh aku melakukan hal buruk. Sama seperti dulu.”

“Nah, sekarang kamu mengerti.”

“Ya, aku mengerti.”

“Bersikap dan berbuatlah baik, karena perilaku seorang ibu yang sedang hamil, akan berimbas kepada bayi yang dikandungnya.”

“Benarkah? Kamu kan belum pernah punya istri sebelum ini?”

“Belajar dari petuah orang tua. Banyak aku mendengarnya, lalu sekarang aku katakan ini kepada istriku.”

“Baiklah.”

“Kamu mengerti?”

“Ya, aku mengerti.”

Sekarang kamu harus banyak istirahat, seperti apa kata dokternya, demi kebaikan bayi kamu. Dan tidak usah ikut berjualan, karena aku sudah sembuh dan aku bisa melakukannya sendiri.”

“Baiklah.”

“Dan berjanjilah, kalau pada suatu hari dia datang lagi dan meminta maaf, kamu harus menrimanya dengan baik.”

Lisa mengangguk dan tersenyum. Ini adalah dunianya sekarang, dunia yang penuh perjuangan hidup dengan berdagang balon, tapi menciptakan sebuah ketenangan karena adanya kasih sayang yang tulus diantara mereka. Lalu Lisa sadar, bahwa kebahagiaan bukanlah karena harta, bukanlah karena nafsu yang terpenuhi, tapi karena ketulusan sebuah cinta.


Ketika sampai kembali di rumah sakit, dilihatnya pak Broto bersama bu Broto sudah ada di sana. Mereka tampak senang karena Murni baik-baik saja.

“Jaga istri kamu dengan baik, Restu,” pesan bu Broto.

“Kalau perlu biarlah istirahat di rumah sakit dulu sampai kandungannya benar-benar kuat. Gilang akan ada yang menjaganya, kamu tidak usah khawatir,” sambung pak Broto.

“Iya Pak.”

“Jangan sampai saya menyusahkan semua orang,” sambung Murni yang masih berbaring, sedangkan Gilang duduk di sampingnya. Tampaknya heran melihat ibunya tiduran di tempat asing, dan didatangi beberapa orang.

“Tidak ada yang susah Mur. Kami semua susah kalau kamu bertindak semaumu, tidak menurut kata suami kamu, ataupun dokter yang menangani kamu,” kata bu Broto.

“Iya Bu. Tapi saya ingin segera bisa melihat putri bu Wulan.”

“Tuh, kan. Kamu belum boleh ke mana-mana. Harus sabar sampai dokter menyatakan kamu sehat dan kuat,” kata Restu menegur istrinya.

“Iya, aku kan hanya bilang ingin.”

“Nanti kalau kamu sudah kuat, pasti akan bisa menjenguknya. Sabar Mur,” sambung yu Sarni.”

“Iya Mbok, aku tahu.”

“Mas Restu sudah ketemu Lisa?”

“Sudah,” kata Restu, lesu.

“Kok wajahnya seram, begitu,” tukas Murni.

“Kesel aku sama dia.”

“Kenapa? Mas sudah minta maaf kan?”

“Aku sudah minta, tapi dia cuek sama aku, menoleh saja tidak. Dia malah pergi sama suaminya.”

“Mas tidak mengejarnya?”

“Memangnya apa, pakai kejar-kejaran segala.”

“Kok Mas marah sih?”

“Tentu saja aku marah, aku sudah minta maaf, tadi dia acuh saja.”

“Pasti dia juga masih kesal sama Mas. Lain kali aku yang akan menemui dia dan meminta maaf.”

“Tuh, ingat ya Mur, bukan sekarang, tapi besok-besok,” yu Sarni mengingatkan lagi.

“Iya, Murni mengerti.”


Murni sudah boleh pulang, kandungannya sudah dipandang kuat, tapi masih dengan banyak pesan dari dokter yang harus dijalani, demi keselamatan janin di dalam kandungannya.

‘Mas, aku mau menemui Lisa.”

“Kamu jangan macam-macam Mur, tidak dimaafkan yang sudah, yang penting aku sudah meminta maaf.”
“Aku harus ketemu dia, supaya tidak ada ganjalan di hati kita masing-masing. Aku minta di mana alamatnya, biar aku naik taksi saja.”

“Tidak boleh. Kalau kamu mau pergi juga, biar aku antarkan kamu.”

“Mas tidak ke bengkel?”

“Mengantarkan kamu dulu, baru ke bengkel. Aku mana tega membiarkan kamu jalan sendiri.”

“Baiklah, terima kasih ya Mas.”


Lisa hanya menyiapkan makan pagi dari nasi bungkus yang dibeli suaminya. Ia melarang Lisa memasak, takut terjadi apa-apa atas kandungannya.

Lisa yang biasanya bertindak semaunya, sekarang begitu penurut dan patuh pada sang suami, yang selalu mengingatkan demi kesehetannya sendiri dan bayi yang dikandungnya.

Setelah sarapan, Pardi pun pergi untuk menjajakan dagangannya. Akhir-akhir ini dagangan Pasrdi sangat laris.

“Hati-hati di rumah, dan ingat pesan aku, jangan mengerjakan apapun yang berat, apalagi mengangkat-angkat,” katanya sambil mencium perut sang istri.

“Iya, kamu juga harus hati-hati,” jawab Lisa sambil mengelus kepala suaminya.

Lisa segera menutup pintu rumahnya, begitu suaminya pergi. Ia harus hati-hati,” jawab Lisa sambil mengelus kepala suaminya.

Lisa segera menutup pintu rumahnya, begitu suaminya pergi. Ia harus banyak beristirahat. Bukan saja dokter yang mengatakannya, tapi juga sang suami yang terus menerus mengingatkannya.

Tapi belum lama dia merebahkan tubuhnya, terdengar ketukan fdi pintu rumahnya. Lisa bangkit perlahan. Lalu dengan langkah berat menuju ke arah depan, kemudian membuka pintu rumahnya. Ia terkejut melihat Murni berdiri di depan pintu sambil tersenyum.

“Murni?”

Murni memeluk Lisa erat.

“Lisa, aku bawakan kamu makanan sehat, banyak sayur dan buah-buahan,” kata Murni sambil meletakkan bungkusan besar di atas kursi terdekat dengan pintu masuk. Tadi suaminya meletakkannya di pintu, dan enggan masuk, khawatir Lisa masih tidak mau menerimanya.

“Banyak sekali bawaannya, apa tidak berat?”

“Tadi mas Restu yang membawakannya.”

“Terima kasih banyak.”

“Aku datang untuk meminta maaf, atas kelakuan mas Restu beberapa waktu yang lalu,” kata Murni sambil duduk.

“Oh, iya. Tidak apa-apa, aku sudah memaafkannya. Lipakanlah.”

“Terima kasih Lisa, aku datang hanya untuk itu. Dan aku tidak bisa lama, karena dokter melarangku banyak bergerak.”

“Ya ampun, itu sama dengan aku.”

“Mas Restu sudah mengatakannya. Dia tahu waktu ingin menemui kamu di rumah sakit. Kamu mau memaafkannya?”

“Tentu saja aku memaafkannya. Waktu itu aku terbawa emosi karena kesal. Akhirnya aku bisa menerimanya. Tidak salah kalau Restu bersikap begitu.”

“Baiklah, aku langsung pulang ya Lis, kapan-kapan aku akan datang menengok kamu lagi. Hati-hati menjaga kandungan kamu.”

“Kamu juga, Murni.”


Bayi Wulan sudah beberapa hari ini boleh dibawa pulang. Tubuhnya sudah semakin besar dan kuat. Menurut dokter, bayi itu sehat. Rio memberinya nama Fitria Bidari. Wulan sangat senang. Ia sekarang bisa menyusui bayinya di rumah, tidak harus bolak balik ke rumah sakit. Setiap hari bu Broto menengoknya, bersama Gilang, yang sangat senang melihat adik bayinya.

“Bagaimana keadaan Murni Bu?” tanya Wulan.

“Sudah baik, tapi suaminya melarangnya banyak beraktifitas.”

“Itu benar. Kapan-kapan Wulan ingin menengoknya.”

“Kalau kamu mau ke sana, bilang sama ibu, biar ibu menjaga bayimu. Tapi sebenarnya Murni ingin melihat anakmu juga sih.”

“Fitria sudah berumur tiga bulan, boleh dong dibawa jalan-jalan ke rumah ibu Murni.”

“Oh begitu? Boleh saja, tapi dengar, ada mobil masuk, seperti suara mobil Restu,” kata bu Broto.

“Iya benar, baru dibicarakan sudah datang orangnya.”

“Wulan, ada mas Restu dan Murni,” teriak Rio dari arah depan. Dia baru mau berangkat ke kantor.

Wulan menggendong bayinya keluar, menyambut kedatangan kedua tamunya.

Murni mendekat dengan wajah cerah, langsung mendekati Wulan yang sedang menggendong bayinya.

“Selamat pagi bidadari,” pekik Murni dengan gembira.

Dan bahagia itu telah sampai diujungnya, ketika segala lekuk liku kehidupan telah dilaluinya, sebagai ujian sebelum cita dan cinta telah sampai di ujungnya.

TAMAT

SELAMAT PAGI BIDADARI (87)

Karya Tien Kumalasari

Restu mengendarai mobilnya, menuju ke rumah sakit terdekat, barangkali ia bisa menemukan Lisa di sana. Ketika ia masuk, ia melihat Rio dan ayah serta ibunya. Apa benar Lisa dibawa ke rumah sakit ini?

“Restu? Kamu sudah datang, apa Murni sudah ada yang menunggu?” tanya bu Broto.

“Yu Sarni sudah datang, lalu saya meninggalkannya.”

“Ia membawa barang-barang yang diperlukan istri dan anak kamu?”

“Iya, sudah dibawa semuanya.”

“Kamu sedang mencari siapa, kok melongok-longok,” tanya pak Broto.

“Apa Lisa dibawa kemari ya?” gumamnya sambil matanya mencari-cari.

“Kamu menyebut nama siapa? Lisa? Bukan dia itu perempuan jahat yang nuyaris merusak rumah tangga kamu? Aku heran sama kamu Restu, semua yang kamu alami tidak kamu jadikan sebagai pelajaran untuk hidup kamu. Sekarang kamu masih mencari-carinya,” omel bu Broto kesal.

“Sebentar Bu, ibu jangan marah dulu. Dia sedang hamil.”

“Hamil?” pekik pak Broto hampir bersamaan dengan istrinya, sedangkan Rio langsung menatap tajam Restu.

“Kamu malah membuatnya hamil?” geram bu Broto.

“Apa yang kamu lakukan Restu? Istri kamu sendiri sedang hamil dan nuyaris celaka, kamu malah menghamili perempuan jahat itu?” tanya pak Broto dengan marah.

“Sabar Pak, Bu, bukan Restu yang menghamili dia.”

“Lalu kenapa kamu masih mau mengurusnya?”

“Dia sudah punya suami, jadi ya hamil karena suaminya dong Bu, kok jadi Ibu sama Bapak marah sama Restu?”

“Lha dia mau hamil sama siapa, kenapa kamu peduli? Ingat Restu, dia akan menjadi racun dalam rumah tangga kamu selamanya, kalau kamu masih berhubungan sama dia,” omel pak Broto.

“Nggak kasihan sama istrinya,” sambung bu Broto.

Restu menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia bingung harus memulai dari mana supaya kedua orang tuanya tidak menuduhnya yang bukan-bukan.

“Kamu bingung menjawabnya bukan?” hardik pak Broto lagi.

“Sabar Pak, begini lho, Restu mau menemui Lisa, karena Restu mau minta maaf.”

“Lha kok minta maaf segala. Yang salah dia, kenapa kamu yang minta maaf?”

“Ceritanya tuh begini. Tadi, Lisa main ke rumah, untuk menemui Gilang.”

“Mengapa kamu ijinkan dia datang ke rumah kamu?”

“Baiklah, begini. Restu memang belum sempat menceritakan semuanya dari awal, karena semula menganggap itu tak perlu. Sebenarnya Restu dan Murni pernah bertemu Lisa, yang sekarang jadi penjual balon.”

“Penjual balon?” pekik pak Broto dan istrinya, bahkan Roi juga ikut mendengarkannya walau tanpa komentar.

“Ia akhirnya menyadari kesalahannya, karena semua kegagalan dan mencapai keinginannya. Ia hidup terlunta-lunta, kemudian nyaris mati kelaparan atau apa, dan ditemukan oleh seorang penjual balon. Akhirnya Lisa menikah dengan penjual balon itu, dan akhirnya hamil.”

“Baiklah, lalu apa peduli kamu sampai mencarinya lagi? Kamu jangan cari gara-gara Restu.”

“Tidak Pak. Dengar dulu penjelasan Restu.”

Kemudian Restu menceritakan tentang kedatangan Lisa ke rumah, hanya untuk membawakan balon untuk Gilang, dan terjadilah peristiwa Murni terjatuh yang kemudian Lisa yang menolongnya membawa ke rumah sakit.

“Restu mencarinya untuk meminta maaf, karena saat melihat Lisa di rumah sakit dan sedang menunggui Murni, Restu menuduhnya berbuat jahat, dan berkata kasar sama dia. Tak tahunya dia lah yang menolong Murni.”

“Lalu kenapa kamu mencarinya di sini?”

“Restu mencari ke rumahnya, tetangganya mengatakan bahwa Lisa dibawa ke rumah sakit karena kandungannya bermasalah atau apa, semua belum jelas. Rumah Lisa dan suaminya tak jauh dari sini, makanya Restu mencarinya ke sini.”

“O, gitu ya? Kalau periksa kandungan ya pastinya di poli kandungan,” kata pak Broto.

Sementara itu perawat sudah mendorong Wulan ke kamar rawat, lalu Rio bersama pak Broto dan bu Broto mengikutinya.

“Restu mau mencari Lisa dulu, supaya tidak menjadi ganjalan. Murni juga menginginkan Restu segera menemuinya dan meminta maaf.”

“Baiklah, kamu ke ruang rawanya Wulan dulu, baru nanti menjenguk istri kamu,” kata bu Broto.


Ketika Restu sampai di poli kandungan, keadaan sekitar sudah sepi pasien. Hanya ada seorang laki-laki muda sedang duduk menunggu. Restu mendekat dan duduk disampingnya. Ia berharap ada perawat keluar dari ruangan, sehingga dia bisa menanyakan apakah ada pasien bernama Lisa.

“Menunggu siapa mas?” Tanya Restu berbasa basi.

“Istri saya sedang diperiksa”

“Mau melahirkan?”

“Baru menginjak lima bulan, tapi entah tadi kemana pulangnya berjalan kaki, lalu sampai dirumah mengatakan kalau perutnya sakit, lalu saya membawanya kemari”

“O, mungkin kecapekan berjalan” kata Restu sok tau.

“Bapak mau apa, disini kan poli kandungan?”

“Saya mencari teman saya, mungkin periksa kemari”

Sementara itu dari ruang periksa, perawat memanggil laki-laki yang duduk disamping Restu.

“Bapak suami Bu Lisa? Dokter sudah siap bertemu”

Restu terkejut, tidak mengira kalau laki-laki yang duduk disampingnya adalah suami Lisa. Ia ingin mengatakan sesuatu tapi laki-laki itu sudah masuk kedalam ruangan.

Akhirnya Restu memilih untuk menunggu
.Agak lama menunggu dan diseling telpon istrinya apa sudah bertemu Lisa.
Sampai akhirnya Lisa dan suaminya keluar dari ruangan..Sang suami menggandeng istrinya dengan sayang. Sementara Lisa merebahkan kepalanya dipundak suaminya Mereka berjalan sangat hati-hati.

“Lusa…” Sapa Restu sambil mendekat.

“Lho…Bapak tadi mencari siapa?”

“Lisa ini mas”

Lisa menatap Restu dengan tatapan tak suka

“Mau apa lagi kamu?”

“Lisa, aku datang untuk meminta maaf”

“Memangnya ada apa ini?” Tanya suami Lisa

“Tidak apa-apa, ayo kita pulang” kata Lisa sambil melangkah meninggalkan Restu.

“Lisa aku sungguh tidak tau, aku salah menilai kamu, aku mencarimu untuk meminta maaf”

Tapi Lisa tak menggubrisnya, ia terus melangkah pergi

Restu merasa kesal dan membiarkannya, kemudian menuju kearah mobilnya. Ketika mobilnya melintas, dilihatnya Lisa dan suaminya masih berdiri didepan gerbang rumah sakit. Restu memberhentikan mobilnya.

“Mari saya antarkan” kata Restu.
.
Tapi Lisa menarik suaminya agar menjauh. Restu tak mungkin untuk memaksanya

Sementara itu Lisa dan suaminya lalu berhenti, setelah tak lagi melihat mobil Restu.
.
“Ada apa sebenarnya?” tanya sang suami.

Aku marah sama dia, aku berbuat baik menolong istrinya, tapi dia menuduhku berbuat jahat. Makanya sku mengacuhkannya, kesal aku”.

“Tapi kan dia datang untuk meminta maaf?”

“Aku masih marah”

“Jangan begitu, kamu sedang hamil, kalau kamu suka marah nanti anakmu akan menjadi orang galak lho”

“Benarkah?”

“Perilaku seorang ibu akan merasuk kedalam jiwa bayi yang dikandungnya”

Lisa diam, ia benar-benar tunduk kepada suami yang sangat menyayangi dan mencintai nya dengan tulus. Ini berbeda dengan setiap lelaki yang dekat dengannya di masa lalu yang menyayangi hanya karena nafsu semata. Satu hal yang membuat Lisa merasa hidupnya berbeda.

“Dia marah sama kamu tadi mungkin ada alasannya”

Lisa terdiam


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 88

SELAMAT PAGI BIDADARI (86)

Karya Tien Kumalasari

Pak Broto dan bu Broto bergantian memeluk Rio, lebur menjadi satu dalam kebahagiaan. Rio kemudian mengajak Pak Broto dan Bu Broto duduk menunggu, karena Wulan belum bisa ditemui, walau keinginan bertemu dengan sang istri sudah sangat menghentak-hentak dadanya.

“Sabar Roy, kamu nanti pasti juga akan bisa segera menemui istri kamu,” kata pak Broto yangmelihat Roy tampak gelisah.

“Ini kebetulan juga Murni ada di rumah sakit, tapi aku sudah lega, Restu bilang Murni baik-baik saja, hanya saja harus dirawat beberapa waktu lamanya, sampai keadaan membaik,” kata bu Broto.

“Ya, nanti setelah kita bertemu Wulan, kita segera menemui Murni di rumah sakit.”

“Bagaimana dengan Sarni, dia pasti juga gelisah memikirkan anaknya.”

“Ibu telpon Sarni saja, suruh naik taksi ke rumah sakit, dimana Murni dirawat, sambil membawakan baju ganti, siapa tahu Murni membutuhkan. Jangan lupa juga baju ganti untuk Gilang, dan susu, dan apa lah semua kebutuhan Gilang, soalnya sudah lama dia di rumah sakit. Mungkin juga haus dan lapar. Restu kan belum bisa meninggalkannya karena Murni sendirian.”

“Iya ya, kalau begitu biar ibu telpon Sarni dulu.”


“Bagaimana keadaanmu?” tanya Restu sambil menggendong Gilang yang sedang tidur.

“Aku baik-baik saja. Rasa nyeri sudah hilang. Hanya sedikit kaku, karena tak bisa bergerak.”

“Bukan tak bisa, memang tak boleh banyak bergerak. Kamu harus sabar Mur, demi bayi kamu, juga diri kamu sendiri.”

“Iya, aku tahu. Karena panik aku tak hati-hati.”

“Sebenarnya panik karena apa? Hanya mendengar dering telpon, mengapa panik?”

“Waktu itu Lisa kan datang dengan membawakan balon-balon untuk Gilang. Aku masuk ke rumah untuk mengambilkan uang. Tiba-tiba aku panik karena tak melihat Gilang di teras, lalu aku bergegas keluar, dan merasa lega karena melihat Gilang sedang lari-lari mengejar balon yang tertiup angin. Aku mendengar dering telpon sejak aku masuk ke rumah untuk mengambil uang, tapi belum sempat mengangkatnya karena rasa panik tadi. Kemudian aku tergesa masuk untuk mengangkat ponsel, tapi kurang hati-hati, tersandung mainan Gilang yang masih terserak di lantai, sehingga aku terjatuh. Untunglah ada Lisa yang dengan cepat memanggil taksi untuk membawaku ke rumah sakit.”

Restu bernapas lega. Ia merasa berdosa telah memarahi Lisa sehingga tampaknya Lisa sangat marah.

“Jangan lupa nanti Mas temui Lisa dan minta maaf.”

“Iya, nanti aku akan mencarinya. Habis rumahnya juga belum tahu.”

“Dia kan menjual balon di dekat pasar itu, nanti Mas bisa mencarinya di sekitar sana.”

“Baiklah, Sekarang aku telpon yu Sarni dulu, kita minta dia datang kemari sambil membawa baju-ganti untuk kamu ya.”

“Iya Mas, simbok pasti cemas karena belum melihat keadaanku.”

Tapi ketika Restu menelpon, yu Sarni ternyata sudah dalam perjalanan ke rumah sakit.

“Ini tadi bu Broto menelpon, menyuruh yu Sarni ke rumah sakit sambil membawa baju ganti untuk Murni, dan juga untuk Gilang.”

“Syukurlah. Yu Sarni sempat membawakan susu untuk Gilang? Atau makanan, barangkali?”

“Susu Gilang masih ada yang di rumah bu Broto, sudah yu Sarni bawa, dan makanan kaleng saja yang ada. Belum sempat membuat bubur.”

“Ya sudah tidak apa-apa Yu, segera datang. Ini Gilang sedang tidur.”


Yu Sarni segera memeluk Murni dan menangis. Tangisan lega karena Murni ternyata baik-baik saja.

“Lain kali harus hati-hati, ingat kamu sedang mengandung anak kamu.”

“Iya Mbok. Habisnya Murni jalan tergesa-gesa.”

“Yu, tidurkan Gilang di situ, kan ada tempat tidur untuk penunggu, jaga Murni dan Gilang, saya mau pergi dulu.”

“Iya Pak Restu.”

“Aku sampai belum bertanya pada mas Rio, bagaimana operasinya Wulan.”

“Tadi bu Broto sudah menelpon, katanya bayinya sudah lahir, dan keadaan mereka baik-baik saja.”

“Ah, syukurlah, aku ikut senang mendengarnya.”

“Cuma saja belum boleh dijenguk, menunggu selesai ditangani. Itu sebabnya pak Broto sama bu Broto belum bisa ke sini, katanya kalau sudah bertemu bu Wulan baru mau datang kemari.”

“Ya sudah, yang penting semuanya baik2 saja. Sekarang aku pergi dulu ya Yu”

“Ya Mas, hati-hati”


Restu sudah sampai ditempat, dimana dia dan Murni melihat Lisa ditempat itu. Tapi lama sekali Restu mencari, ia tak melihat penjual balon disana

“Apa dia langsung pulang dan tidak berjualan ya? Lalu kemana aku harus mencarinya?”

Restu mondar mandir disekitar tempat itu, dan akhirnya karena tak tahan dia nekat bertanya kepada seseorang. Iya penjual buah yang mangkal ditempat itu.

“Numpang tanya Bu, yang biasanya jualan balon ditempat ini kok gak nampak ya?”

“O, yang istrinya cantik itu?”

“Iya, Bu”

“Nggaktau kenapa hari ini dia tidak jualan. Kalau suaminya memang sedang sakit. Tapi mungkin dia tidak jualan menggantikan suaminya karena dia sedang hamil” Kata penjual buah panjang lebar.

“Tahukah ibu dimana rumahnya?”

“Rumahnya masuk gang sempit itu, coba tanya kesana mungkin ada tetangganya yang tau”

“O, gang sempit didepan itu ya Bu?”

“Iya benar, kalu persisnya saya tidak tau karena belum pernah kesana”

“Baiklah Bu, terimakasih banyak” kata Restu kemudian bergegas memasuki gang yang ditunjuk penjual buah itu.

Restu melangkah sambil menoleh ke kiri dan ke kanan. Gang itu sepi, ada rumah2 petak yang pintunya sebagian besar tertutup. Barangkali disian dan menjelang sore ini mereka masih pada bekerja Restu sudah berjalan hampir sampai diujung gang, ketika melihat anak kecil lewat.

“Dik…dik…tolong tanya, rumah penjual balon dimana ya?”

“O, yang istrinya cantik?”

Restu heran kok yang terkenal adalah kecantikannya sih.Penjual buah tadi juga berkata seperti yang dikatakan anak kecil ini

“Iya dik, istrinya cantik”

“Rumahnya yang tertutup itu, mungkin ada didalam karena suaminya sakit”.

“O, yang diujung itu ya dik?”

Anak itu mengangguk, Restu memberinya uang sepuluh ribu, lalu anak itu mengucapkan terimakasih kemudian berlari menjauh

Restu mendekati rumah yang ditunjuk anak itu, lalu mengetuk pintu.

Tok…tok…tok….

“Permisi…”

“Assalamu’alaikum….”

Tak ada jawaban. Restu mengintip kedalam rumah melalui sela2 pintu rumah yang renggang. Tapi tak ada siapapun yang tampak.

Restu memutari rumah melalui samping.barangkali penghuninya ada di belakang. Ia melihat pintu bagian belakang juga terkunci.

Restu merasa putus asa sambil berjanji dalam hati untuk kembali lagi keesokan harinya.Ia membalikkan tubuhnya dan bermaksud pulang. Ia juga bermaksud menjenguk Wulan karena kebetulan tempat ini tak jauh dari Rumah Sakit tempat Wulan melahirkan.

Tapi sebelum sampai di pagar, seseorang menyapanya

“Bapak mencari penjual balon?”

“Iya, tapi rumahnya sepi” jawab Restu.

“Belum lama mereka pergi, istri penjual balon itu sakit”

“Yang sakit istrinya apa penjual balon?”

“Penjual balon memang sudah beberapahari sakit. Tapi tadi mengantarkan istrinya ke rumah sakit karena kandungannya bermasalah”


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 87

SELAMAT PAGI BIDADARI (85)

Karya Tien Kumalasari

Murni melongok ke depan, Gilang tak kelihatan, hati Murni tinggal seiris, Ia setengah berlari ke arah depan. Lalu dia melihat Gilang sedang mengejak balon-balon yang berlarian karena tertiup angin. Terengah Murni karena hati yang khawatir berbaur dengan langkahnya yang setengah berlari. Lalu dia merasa lega setelah melihat Gilang baik-baik saja. Sekarang dia bergegas menghampiri ponsel yang sejak tadi berdering. Tapi malang baginya, kakinya tersandung mainan Gilang yang terserak di lantai, sehingga diapun terjatuh, sebelum sem[at meraih ponselnuya.

“Adduuh,” rintihnya.

Lisa yang mendengar suara keras seperti benda jatuh segera berlari masuk. Ia sangat terkejut melihat Murni terjatuh dan merintih kesakitan.

“Murni, kamu kenapa?”

“Aku … tersandung … itu . Adduh…”

“Ya ampun, kamu berdarah. Bagaimana ini? Aku panggil taksi saja, langsung ke rumah sakit ya?” kata Lisa tanpa menunggu persetujuan Murni yang masih kesakitan, langsung memesan taksi.

“Bagaimana Gilang?”

“Biar aku gendong, ayo, kamu bisa bangun? Aku sudah memanggil taksi. Ayo, pelan-pelan.”

Murni bangkit sambil memegangi perutnya. Lisa memapahnya sambil menggendong Gilang. Ia segera menaikkan Murni ke atas mobil, lalu ia lari menutup pintu, dan segera neik ke atas taksi. Ia lupa membawa ponsel Murni, yang sebenarnya waktu Murni jatuh masih berdering-dering.

“Tolong … hubungi mas Restu …” pesan Murni pelan.

“Baik, aduh … tapi ponsel kamu ketinggalan. Sudah, diam dulu, yang penting kamu mendapat pertolongan.”

“Kamu … tidak punya … nomornya?”

“Sayang sekali aku sudah menghapus semuanya. Sudah, nanti kalau kamu sudah ditangani, aku cari suami kamu, yang penting ke rumah sakit dulu.”

“Murni diam, merintih pelan. Lisa sangat khawatir ketika melihat darah mengalir di kaki Murni. Ia segera turun dan meminta petugas segera membawa Murni ke ruang UGD.

Gilang merengek melihat ibunya dibawa ke dalam, tapi Lisa dengan lembut bisa menenangkannya. Sangat mengherankan, Lisa memang sangat berubah. Ia bisa menjadi ibu yang lembut, dan bisa menenangkan bocah yang sedang rewel.

Sekarang Lisa bingung, bagaimana ceranya menghubungi Restu, karena dia tak lagi punya nomor kontaknya.


Restu sudah menyerahkan baju-baju yang dibawanya, lalu merasa panik ketika menelpon Murni tak segera dijawab. Berkali-kali ditelpon, ada nada panggil, tapi tak ada yang mengangkatnya. Karena khawatir, Restu pamit pulang.

“Bu, Restu pulang dulu sebentar. Restu telpon Murni kok nggak diangkat,” kata Restu kepada ibunya.

“Mungkin lagi di depan, menyuapi anaknya atau apa,” kata bu Broto.

“Ya, mudah-mudahan tak apa-apa,” kata Restu sambil berlalu.

Dan ia memang benar-benar panik, ketika masuk ke rumah yang tidak dikunci, lalu melihat ponselnya tergeletak di meja. Restu bertambah panik ketika melihat bercah darah di dekat meja itu.

“Apa yang terjadi? Murni, dimana kamu? Gilang bagaimana?”

Restu menggaruk-garuk kepalanya, bingung karena tak tahu harus melakukan apa.”

“Murniiii ! Gilaaaaang!” Apa yang terjadi?”

Karena bingung, Restu menelpon yu Sarni, yang malah bertambah bingung karena Murni sama sekali tidak datang ke rumah.

“Apa yang terjadi? Kemana Murni?”

“Memangnya mas Restu bertengkar lagi sama dia?”

“Tidak, aku ke rumah sakit karena Wulan mau melahirkan, aku menelpon Murni tapi tidak diangkat, begitu sampai di rumah, mereka tak ada. Ada bercak darah di sana.”

“Di mana?” yu Sarni bertambah panik.

“Didekat meja. Ya sudah, yu Sarni tenang saja. Apa Murni sakit terus ke rumah sakit ya? Tapi rumah sakit mana?”

“Kalau memang karena dia sakit, pasti ke rumah sakit terdekat.”

“Baiklah, aku ke sana,” kata Restu sambil menutup ponselnya.

Restu bergegas ke rumah sakit, seperti saran yu Sarni. Begitu memasuki rumah sakit, ia melihat Lisa, bersama Gilang. Kemarahannya memuncak.

“Apa yang kamu lakukan?” hardiknya sambil merebut Gilang dari dekapan Lisa.

“Kenapa kamu marah-marah? Aku justru menolong istri kamu!”

“Mengapa kamu ada di sana, dan apa yang terjadi?”

“Istri kamu terjatuh, aku sedang ada di sana. Lalu aku melihat Murni mengeluarkan darah, sehingga karena panik aku membawanya kemari. Masih mau marah, mau menyalahkan aku?” sergah Lisa yang merasa kesal.
“Di mana sekarang?”

“Tanya pada petugas, aku mau pergi,” kata Lisa sambil beranjak pergi.

Restu menatap punggung Lisa yang beranjak pergi, hanya sekilas, kemudian dia menghampiri petugas.

“Bagaimana istri saya? Ada apa?”

“Istri Bapak sudah ditangani. Untung segera dibawa ke rumah sakit, terlambat sedikit saja, Bapak akan kehilangan bayi Bapak.”

Restu pucat pasi.

“Bolehkah saya menemuinya?”

Sebentar, sedang ditangani, Tapi barangkali istri Bapak harus istirahat total dalam jangka waktu yang agak lama, sekarang sudah diberikan penguat kandungan,” kata petugas yang ternyata adalah dokter kandungan.

“Baiklah, lakukan yang terbaik untuk istri saya.”

Restu menemui istrinya ketika petugas sedang menyiapkan kamar inap untuk Murni.

“Murni, kamu kenapa?”

“Aku kurang hati-hati, terjatuh. Untunglah ada Lisa yang menolong aku segera membawa kemari.”

“Ya Tuhan, aku tadi memarahinya. Mengira dia membuat masalah lagi.”

“Tidak. Dia datang membawakan bola-bola untuk Gilang, lalu aku masuk ke dalam ketika mendengar ponselku berdering, aku kurang hati-hati dan terjatuh.”

Restu menghela napas penuh sesal, karena telah mencurigai Lisa dan membentak-bentaknya.

“Nanti carilah dia, dan minta maaf. Dia sudah menyelamatkan janin yang ada di perutku ini. Dia menyelamatkan anak kamu, Mas.”

“Iya, nanti aku akan mencarinya. Sekarang aku baru ingat, di halaman banyak balon bertebaran, aku hanya berpikir bahwa kamu membelikan Gilang banyak balon untuk Gilang.”

Perawat telah menyiapkan brankar untuk Murni, Restu mengikutinya sampai ke kamarnya. Ia belum sempat masuk ketika ponselnya berdering. Dari ibunya.

“Restu, Sarni menelpon ibu dengan sangat panik. Katanya Murni menghilang, dan kamu melihat darah di lantai? Apa yang terjadi?”

“Nanti saya akan mengabari yu Sarni. Murni baik-baik saja. Tadi terjatuh dan sempat perdarahan, untunglah segera dilarikan ke rumah sakit. Sekarang dia harus dirawat, dan istirahat total untuk beberapa waktu, sampai janinnya kuat.”

“Ya Tuhan, ada-ada saja. Ini aku juga sedang menunggu. Semoga Wulan baik-baik saja.”

“Ya Bu, saya kabari yu Sarni dulu supaya tidak panik.”

“Ya, kabari dia. Kasihan di rumah sendirian, ketakutan.”


Rio yang mondar mandir di depan ruang operasi, akhirnya mendengar suara tangisan melengking dari dalam sana. Berdebar dia mendekatkan telinganya ke arah pintu, dan hampir terjatuh ketika perawat membukanya dari dalam.

“Uups, maaf Pak.”

“Aah, saya yang minta maaf.”

“Bagaimana keadaan istri dan anak saya?”

“Alhamdulillah, mereka baik-baik saja.”

Rio melonjak kegirangan.

Ia mengusap wajahnya, matanya berbinar, mulutnya berkomat-kamit mengucapkan syukur. Pak Broto yang sudah sampai di rumah sakit, mendekati bersama istrinya.

“Bagaimana?”

“Rio punya dua bidadari di rumah Pak,” katanya dengan suara bergetar bahagia.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 86

SELAMAT PAGI BIDADARI (84)

Karya Tien Kumalasari

Bu Broto meggedor pintu sangat keras, kekhawatirannya memuncak. Ia mendorong sekuatnya, tapi tak berhasil. Karena bingung dia menelpon Rio.

Saat itu Rio baru saja duduk di kursi kerjanya, terkejut ketika melihat bu Broto menelponnya.

“Ya Bu?”

“Rio, cepat pulang, aku ada di rumah kamu.”

“Memangnya ada apa?”

“Pintu rumah terkunci, aku mendengar rintihan istri kamu dari dalam, aku tak bisa membuka pintunya.”

“Baik, baik … saya pulang sekarang,” jawab Rio sambil melangkah bergegas keluar dari ruang kerjanya, langsung mengambil mobil dan melarikan mobilnya, pulang.

Begitu sampaidi halaman, dilihatnya bu Broto masih berdiri di depan pintu sambil menggedor-gedornya.

Rio melompat turun, langsung membuka pintu rumahnya, karena masing-masing dari penghuni rumah itu membawa kunci.

“Cepat Rio, ibu takut sekali,” kata bu Broto sambil mengikuti Rio masuk.

Rio sangat terkejut, melihat istrinya merintih di ranjang, dan tampak kasur basah oleh pecahnya ketuban.

“Aduh Wulan, mengapa tidak mengabari aku, kita harus segera ke rumah sakit.”

Rio mebgfgendong Wulan dan bergegas keluar. Memasukkan istrinya ke mobil. Bu broto mengunci kembali pintunya dan ikut masuk ke dalam mobil.

“Itu ketuban sudah pecah, jangan sampai terlambat Rio,” kata bu Broto cemas.

Rio menelpon rumah sakit, dan mohon disiapkan brankar saat dia sampai di sana. Beruntung jalanan tidak begitu macet. Dan begitu mobil Rio berhenti, brankar sudah tersedia. Wulan dilarikannya ke kamar bersalin.

Setelah memarkir mobilnya, Rio duduk di samping bu Broto, di kursi tunggu. Wajah mereka tampak gelisah.

Ketika perawat keluar, Rio menghambur mendekati.

“Ibu Wulan harus dioperasi, ketuban sudah pecah, untung segera dibawa kemari.”

“Baik, lakukan yang terbaik untuk istri saya,” kata Rio yang mengikuti perawat untuk menanda tangani persetujuan operasi.


Bu Broto tampak pucat pasi karena khawatir. Rio menepuk tangannya, berharap bu Broto bisa lebih tenang.

“Apa ibu dan bayinya tak apa-apa?”

“Mohon doa Bu, dokter sedang berupaya menyelamatkan keduanya.”

“Harusnya dia sudah merasa, bahwa itu pertanda akan melahirkan.”

“Benar Bu, ketika saya mau berangkat, dia masih bilang bahwa dia tak apa-apa. Sebetulnya saya sudah berjanji akan segera pulang dan membawanya ke rumah sakit. Malah saya baru saja datang, ibu sudah menelpon. Heran, dia tidak merasa kesakitan, hanya terasa kenceng-kenceng, begitu.”

“Semoga mereka baik-baik saja.”

“Aamiin.”

Bu Broto segera menelpon suaminya, mengabarkan bahwa dia sedang ada di rumah sakit.

“Wulan melahirkan?”

“Sedang di operasi. Ketuban pecah di rumah tadi, untung aku segera datang, lalu aku menelpon Rio.”

“Baiklah, aku selesaikan dulu pekerjaanku, aku segera menyusul. Kabari kalau ada apa-apa.”

“Baik. Aku sama Rio sedang menunggu.”


Murni terkejut ketika suaminya menelpon, mengabari tentang Wulan yang sedang ada di rumah sakit.

“Sudah melahirkan?”

“Baru saja mas Rio menelpon, katanya masih dioperasi.”

“Dioperasi? Memangnya kenapa?”

“Ketuban pecah saat masih di rumah. Mas Rio minta tolong agar kamu membawakan baju ganti, punya kamu tidak apa-apa, karena tadi tidak sempat membawa apapun. Aku akan pulang mengambilnya, lalu membawanya ke rumah sakit.”

“Baiklah, untung ada baju-baju aku yang belum pernah aku pakai, akan aku siapkan,” kata Murni yang segera menyiapkan apa yang dibutuhkan.

“Semoga lancar semuanya, dan baik-baik saja,” gumam Murni.

Gilang sedang bermain, lalu mendekati ibunya yang sedangmemasukkan baju-baju ke dalam sebuah tas.

“Gilang, apa kamu mengira kalau kita mau jalan-jalan?” kata Murni sambil meraih Gilang lalu dipangkunya. Rupanya Gilang mengira ibunya mau mengajaknya jalan-jalan.

“Ini baju-baju untuk tante Wulan. Gilang mau punya adik dari tante Wulan, dan ini, yang ada di dalam perut ibu ini, juga adik Gilang. Tapi belum saatnya lahir. Kamu sabar ya,” kata Murni, seakarn mengerti kalau ada yang ingin ditanyakan Gilang.

Tak lama kemudian Restu datang. Murni segera membawa tas nya ke depan, supaya tidak kelamaan.

“Sudah siap semuanya?”

Melihat ayahnya datang, Gilang melonjak-lonjak, minta digendong.

Restu meraihnya dan menggendongnya.

“Maaf Gilang, bapak harus segera mengantarkan baju-baju untuk tante Wulan. Gilang di rumah dulu sama ibu, ya.”

“Sebenarnya aku ingin ikut,” kata Murni.

“Jangan. Tidak baik ke rumah sakit membawa anak kecil. Aku akan segera mengabari kalau sudah lahir. Sekarang aku berangkat dulu ya,” kata Restu sambil mengulurkan Gilang kepada ibunya.

“Hati-hati, tidak usah ngebut.”

Gilang merengek, tapi Murni segera memeluk dan menghiburnya. Ia melambaikan tangan ketika Restu berlalu dengan mobilnya.

“Sabar ya, bapak baru mengantarkan baju tante Wulan. Ayuk, kita tungguin beritanya, sambil makan ya sayang,” bujuk Murni sambil masuk ke dalam rumah.


Murni masih menyuapi Gilang di pagi hari itu, ketika tiba-tiba terdengar suara bel tamu. Murni melongok keluar, dan betapa terkejutnya ketika melihat Lisa ada diluar. Murni tak segera membukakan pintu. Ada perasaan was-was menghantuinya, sementara dia hanya berdua dengan Gilang.

“Mau apa dia datang kemari? Aku kira dia benar-benar sudah sadar. Tapi kenapa datang lagi kemari? Apa dia berniat buruk?”

Murni ingin menelpon suaminya tapi diurungkannya.

“Tapi kan dia harus segera sampai di rumah sakit. Pasti saat ini masih dijalan.”

Sementara bel tamu terus berdering. Murni bingung harus melakukan apa. Dia masih merasa takut, ketika ingat bahwa Lisa bisa melakukan apa saja di setiap keinginannya. Beberapa hari yang lalu sudah bilang bahwa dia bertobat, tapi apa dia harus percaya begitu saja? Bagaimana kalau …

Tiba-tiba ponsel Murni berdering.

“Ya Tuhan, dari Lisa, kok dia masih menyimpan nomor kontakku sih,” gelisah Murni sambil menggenggam ponselnya.

“Gimana enaknya, diangkat nggak ya.”

Tapi sebelum Murni mengangkatnya, Lisa mengirim pesan singkat.

“Murni, apa kamu takut melihat aku yang datang? Bukankah aku sudah bilang bahwa aku sudah bertobat? Aku datang bukan dengan maksud buruk. Aku membawa banyak balon untuk Gilang. Aku suka anak itu, ganteng dan lucu. Aku berharap, kelak anakku juga ganteng seperti Gilang. Ijinkan aku menemui Gilang.”

Murni menghela napas panjang. Kemudian digendongnya Gilang ke arah depan, sambil membawa mangkuk kecil berisi makanan Gilang.

Ia membuka pintunya perlahan, lalu melihat di bawah teras, beberapa balon terikat menjadi satu, dengan warna-warna indah.

Gilang segera berteriak, dan merosot turun.

“Maaf, aku sedang menyuapi Gilang di belakang,” kata Murni yang tadi benar-benar mencurigai kedatangan Lisa.

“Aku mengerti kalau kamu takut. Aku hanya datang untuk Gilang,” katanya sambil mencium Gilang dengan gemas.

“Maaf.”

Murni menatap Lisa, walau masih cantik, tapi dengan penampilan berbeda. Baju sederhana, tanpa polesan make up seperti biasanya. Tampaknya dia benar-benar bertobat.

“Tidak apa-apa. Ya, Gilang. Gilang sebenarnya mengenal aku, karena aku pernah menjadi pengasuhnya, walau dengan penampilan berbeda.”

“Iya, benar. Terima kasih telah membawakan balon-balon untuk Gilang.”

Murni masuk ke dalam rumah untuk mengambil uang yang akan diberikan untuk Lisa, tapi kemudian ponselnya berdering. Murni bingung, karena sebenarnya masih ada rasa was-was meninggalkan Gilang di luar bersama Lisa.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 85

SELAMAT PAGI BIDADARI (83)

Karya Tien Kumalasari

“Benarkah yang kita saksikan?” gumam Restu ketika dalam perjalanan pulang.

“Itu benar, dia jualan balon. Mengapa ya memilih jualan balon? Mengapa tidak melamar pekerjaan yang penghasilannya pasti.”

“Karena suaminya tukang jualan balon. Ini sulit dimengerti. Lisa yang terbiasa hidup bergelimang kesenangan, tiba-tiba menjadi istri penjual balon.”

“Iya juga sih, tapi kan penjual balon itu yang menyelamatkan nyawanya ketika dia berniat bunuh diri.”

“Sampai sebegitunya.”

“Dia merasa gagal dalam mencapai keinginannya. Salah langkah sih.”

“Benar, salah langkah. Dia merasa bahwa kecantikannya bisa dipergunakan untuk meruntuhkan hati siapapun, untuk kemudian diperas hartanya, lalu dibuang ketika mangsanya tak lagi punya harta,” kata Restu sambil membayangkan bahwa dirinya pernah menjadi korbannya.

“Tapi sama Mas, cintanya cinta mati.”

“Kok bisa?”

“Buktinya, Mas yang tidak begitu kaya, masih dikejarnya. Jadi dia tidak semata mengejar harta, tapi juga cinta.”

“Ada-ada saja.”

“Itu kan bukti nyata. Hanya saja dia tidak berhasil, lalu entah bagaimana, dia bisa berada di kota kecil dimana aku melarikan diri. Bisa jadi dia juga berusaha merayu pak Warso, tapi tak berhasil. Pak Warto bukan pengejar perempuan, walau hartanya banyak.”

“Siapa pak Warso? O, yang akan mencadi calon suami kamu itu?” ledek Restu.

“Aku tidak bersungguh-sungguh. Hanya ingin agar Mas pergi menjauhi aku.”

“Begitu besarnya rasa benci kamu sama aku?”

“Benci dan sakit, membayangkan apa yang Mas lakukan.”

“Melakukan apa? Kamu kan bisa melihat, ketika pintu itu terbuka, aku masih berpakaian lengkap. Lalu apa yang kamu pikirkan, kemudian kamu anggap bahwa semua itu benar.”

“Iya, siapa orangnya yang tidak panas melihat seperti itu.”

“O, panas ya? Itu berarti kamu benar-benar cinta sama aku.”

“Memangnya Mas kira aku main-main? Mas barangkali yang main-main dengan perasaan.”

Restu tertawa, diraihnya sebelah tangan Murni dan digenggamnya erat.”

“Aku sungguh-sungguh mencintai kamu, Murni.”

“Benarkah?”

“Tentu saja benar, kalau tidak, mengapa aku harus mencari kamu, menyusul kamu, merayu kamu, bahkan pernah kamu buat panas hati aku karena kamu bilang bahwa kamu sudah punya calon suami.”

Sekarang Murni tertawa.

“Pak Warso itu orang baik. Dia sangat perhatian sama aku.”

“Tuh, kan … kamu ingin membuat aku cemburu?”

“Memang dia baik. Kata bu Trisni, dia menyuruh Trimo membantu di tokonya sepulang sekolah. Jadi Trimo bisa membantu menambah penghasilan ibunya.”

“Benarkah? Trimo kan masih kecil?”

“Trimo itu pintar, katanya cuma bungkus-bungkus gula, beras, menakar minyak, gitu. Tapi dia bisa, katanya … pak Warso sangat menyayangi dia.”

“Aku kurang memperhatikan kamu, sehingga aku tidak banyak tahu tentang Trimo. Padahal ibunya selalu menjadi tumpuan keluh kesahmu.”

“Entahlah, pertama kali aku menemui orang lain yang sangat perhatian sama aku, ya Trimo dan ibunya itu.”

Akhirnya mereka sampai di rumah, dan Gilang tertidur pulas sambil memeluk balon yang diberikan Lisa. Restu menidurkannya perlahan, lalu meletakkan balon-balon itu di sampingnya.


Murni mulai bersih-bersih rumah yang lama ditinggalkannya. Tidak begitu kotor sih, karena setiap dua haru sekali Restu pulang untuk bersih-bersih. Tapi Murni perlu menata kembali apa yang kurang sempurna, karena seorang lelaki kurang mengerti tentang tata letak, apa lagi peralatan dapur.

“Murni, kamu jangan terus memforsir tenaga kamu. Biarkan saja dulu, besok aku bantu bersih-bersih. Ingat, kamu baru saja merasa sehat.

“Iya, cuma menata letak peralatan dapur ini. Besok aku akan mulai memasak.”

“Bagaimana kalau untuk sementara kita langganan rantangan saja? Hanya aku sama kamu yang makan, tidak harus masak, apa lagi kamu harus menjaga Gilang yang sudah banyak geraknya setelah bisa tertatih berjalan.”

“Iya, terserah Mas saja. Sebetulnya sih kangen masak-masak. Tapi benar, harus ingat Gilang juga.”

“Itulah, mulai besok hubungi catering terbaik, agar bisa mengirimkan makanan apa yang kamu perlukan. Sambil pelan-pelan cari pembantu, atau lebih baik perawat saja, yang pastinya lebih mengerti cara merawat anak, asal bukan yang pakai topeng,” kata Restu sambil tertawa.

“Baiklah, mana yang terbaik, aku menurut saja.”

“Nah, gitu dong, istri yang baik harus menurut apa kata suami. Ya kan?”

Murni mengangguk senang. Dalam hati ia berharap agar kebahagiaan mereka akan selalu terjaga.


Pagi itu Wulan sedang merasa malas sekali. Dia menelpon pak Broto, minta ijin untuk tidak ke kantor karena badannya merasa tidak enak.

“Kamu sakit, Wulan?” tanya pak Broto.

“Sebenarnya nggak sakit, cuma kok rasanya malas, gitu ya Pak. Ini Rio baru mau berangkat, sedianya saya mau bareng, kok rasanya berat.”

“Ya sudah, istirahat saja dulu, biar nanti bapak yang mengurus semuanya.”

“Terima kasih Pak.”

“Bagaimana Bapak?”

“Nggak apa-apa, bapak bisa mengatasi semua. Aku kok tiba-tiba merasa berat banget. Jadi aku ingin istirahat dulu ya Rio?”

“Aku ke kantos sebentar, nanti aku segera pulang lalu mengantarkan kamu ke dokter.”

“Nggak usah Rio, aku nggak apa-apa. Hanya terasa berat sama keringatan terus, habis hawanya panas begini.”

“Kata dokter, kamu sudah saatnya melahirkan, jangan-jangan kamu mau melahirkan.”

“Nggak ah, belum, katanya kalau mau melahirkan itu sakit sekali. Ini nggak sakit. Biasa kalau terasa kenceng-kenceng begini. Sudah kamu berangkat saja, ini sudah siang lhoh.”

“Ya sudah, kalau bisa aku segera pulang, tapi kalau ada apa-apa, atau kamu merasa yang nggak biasa, segera kabari aku. Jangan menyepelekan suasana badan yang menurutmu nggak enak. Pasti ada apa-apa.”

“Jangan dibesar-besarin lah, sudah, berangkat sana.”

Rio bergegas menuju ke arah mobilnya, karema memang sudah saatnya berangkat, tapi sebelum mobil itu berlalu, Rio masih melongok dari jendela mobilnya, berpesan sekali lagi agar kalau ada apa-apa segera mengabari.

Wulan hanya melambaikan tangan dengan menebarkan senyuman.

Begitu suaminya pergi, Wulan segera masuk ke dalam rumah, dan ingin berbaring sebentar di ranjang. Tiba-tiba perutnya terasa mengeras dan kencang-kencang. Wulan mengelusnya pelan, sampai kemudian rasa kencang itu reda.

Wulan masih merasa tak apa—apa, sampai kemudian rasa kencang itu terasa lagi.


“Wulan tadi menelpon Bapak?” tanya bu Broto ketika suaminya mau berangkat ke kantor.

“Iya, katanya agak nggak enak badan.”

“Nggak enak bagaimana? Flu atau bagaimana?”

“Dia bilang tidak, hanya badannya terasa berat, gitu.”

“Jangan-jangan dia mau melahirkan.”

“Masa sih? Memangnya sudah waktunya?”

“Ya sudah Pak, sudah sembilan bulan lebih.”

“Waduh, kalau begitu ada baiknya Ibu ke sana. Dia kan tidak tahu bagaimana rasanya kalau mau melahirkan?”

“Baiklah, ibu ke sana sekarang.”

“Ibu segera ganti baju saja, bareng aku, nanti aku turunkan di rumahnya.”

“Oh, iya. Baiklah, Bapak tunggu sebentar,” kata bu Broto sambil bergegas ke dalam. Ketika keluar dari kamar, ia segera menuju ke arah depan sambil berteriak memanggil yu Sarni.

“Ni, tutup pintunya, aku pergi bareng sama bapak.”


Bu Broto turun dari mobil suaminya di halaman rumah Wulan. Pak Broto langsung memacu mobilnya ke kantor.

Ketika menaiki teras, bu Broto tak bisa membuka pintu karena terkunci dari dalam. Bu Broto segera memencet bel tamu. Tapi tak ada jawaban. Bu Broto melongok ke arah dalam, melalui korden yang sedikit tersingkap. Lampu di ruang tengah menyala, dan ada suara televisi.

Bu Broto mengetuk pintu keras, tapi tak ada jawaban.

“Wulan! Wulan! Apa kamu di dalam?”

Tiba-tiba terdengar rintihan, sayup, hampir tak terdengar.

Bu Broto terkesiap.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 84

SELAMAT PAGI BIDADARI (82)

Karya Tien Kumalasari

Restu langsung membalikkan tubuhnya, keluar dari kamar Murni. Ada rasa sakit mendengar apa yang dikatakan Murni. Kemudian dia duduk di sofa di ruang tengah, dan termenung. Walau kembali ternyata Murni belum bisa memaafkan sepenuhnya.

“Restu, katanya mau menemui istri kamu?”

“Dia belum bisa menerima Restu Bu, Restu diusirnya,” gerutunya dengan wajah muram.

Bu Broto kemudian beranjak memasuki kamar Murni. Dilihatnya Murni masih terbaring pucat.

“Murni, mengapa kamu mengusir suami kamu? Bukankah kamu sudah memaafkannya dan menganggap masalah itu tak pernah ada?”

“Saya juga heran, begitu mas Restu mendekat, perut saya mual dan mau muntah lagi.”

“O, jadi bukan karena kamu masih marah sama dia?”

“Tidak Bu, setelah semuanya jelas, Murni tidak akan marah lagi. Hanya saja, entah kenapa, begitu mas Restu mendekat, saya merasa mual lagi.”

“Berarti itu karena kamu ngidam Mur. Ya sudah, tuh, suami kamu sakit hati karena kamu mengusirnya. Dikiranya kamu masih marah sama dia.”

“Tidak Bu, tolong bilang bahwa saya sama sekali tidak marah lagi. Saya justru harus minta maaf karena saya salah paham, sampai meninggalkannya.”

“Baiklah, akan aku sampaikan,” kata bu Broto sambil keluar dari kamar.

Bu Broto mendekati Restu yang masih termenung di ruang tengah.

“Restu, Murni bukannya marah sama kamu.”

“Lalu ….”

“Bawaan orang ngidam memang macam-macam. Dia mual begitu kamu mendekatinya, bahkan mau muntah.”

“Padahal Restu sudah bau wangi.”

“Justru aroma wangi, aroma gurih makanan, itu yang membuat mual.”

“Benarkah? Kalau begitu Restu akan mencoba mendekat dengan baju yang tidak terkena parfum.”

“Coba saja, tapi pelan-pelan. Orang ngidam terkadang aneh.”


Dan beberapa hari berikutnya, Murni sudah bisa menerima suaminya. Mungkin karena obat baru yang didapat dari dokter setelah Restu membawanya ke dokter kandungan, yang dulu menangani kelahiran Gilang. Tapi benar kata orang tua, bahwa wanita yang sedang ngidam tidak begitu terpengaruh oleh obat yang diminumnya. Rasa mual, muntah, mungkin berkurang, tapi tetap saja rasa itu ada.

Restu yang mulai mengerti, menanganinya dengan sabar. Barangkali ngidam yang dirasakan Murni saat mengandung Gilang, berbeda dengan yang dirasakannya sekarang. Ibunya juga berkata bahwa setiap mengandung, wanita hamil memiliki bawaan yang berbeda.


Tiga bulan sudah berlalu, Murni sudah tidak merasa mual, apalagi muntah. Ia merasa tidak enak karena merepotkan di rumah mertuanya, karenanya dia minta ijin agar boleh pulang ke rumahnya sendiri.

“Mengapa begitu Mur, di sini ada yang membantu mengasuh Gilang, sedangkan di rumah, kamu tidak punya pembantu,” kata bu Broto.

“Tapi saya merasa nyaman tinggal di rumah sendiri Bu, sekarang kan sudah tidak mual lagi, bisa melakukan apa saja.

“Baiklah, tapi ada baiknya kamu mencari pembantu atau perawat untuk Gilang, supaya ada yang membantu kamu. Kamu kan sedang hamil muda.”

“Baiklah, nanti saya bicarakan dengan mas Restu.”

“Asal jangan keliru memilih pembantu, nanti terjadi lagi peristiwa yang membuat kacau semuanya.”

“Iya Bu, pengalaman adalah guru yang terbaik.”


Sore hari itu Restu membawa anak dan istrinya pulang, walau dilepas oleh keluarga Broto, termasuk yu Sarni, dengan berat hati.

Ditengah jalan, mereka berhenti untuk membeli keperluan Gilang, termasuk susu, pampers dan sebagainya.

Keduanya turun memasuki sebuah toko, membeli semua keperluan. Ketika sedang memesan barang-barang kebutuhan, keduanya tak sadar Gilang tertatih berjalan ke sana-kemari.

Lalu keduanya sadar ketika sudah selesai mendapatkan barang-barangnya.

Murni berteriak panik, lari ke arah depan toko, mengikuti Restu yang sudah melompat ke depan terlebih dulu, sambil berteriak memanggil.

“Gilang … Gilaaang …”

Mereka sudah diluar toko, menoleh kesana-kemari, lalu terkejut melihat Gilang dalam gendongan seorang wanita cantik yang tampak lusuh. Gilang tertawa-tawa sambil membawa sebuah balon berwarna merah.

“Lisa?” Restu berteriak dan berlari mendekat.

“Itu anakku!” hardiknya sambil menatap penuh ancaman.

“Ya Tuhan, perempuan itu lagi?” pekik Murni khawatir.

“Gilang, sini!” kata Restu sambil mengacungkan kedua tangannya. Gilang tertawa-tawa, dan Lisa dengan tersenyum menyerahkan Gilang.

“Aku tidak akan mengambil anakmu. Dia jalan-jalan keluar, dan mendekati balon dagangan aku,” kata Lisa.

Murni menatap sebuah pikulan, dimana bermacam-macam balon tertata di sana. Seakan tak percaya ketika Lisa mengatakan bahwa balon itu dagangannya.

“Kamu jualan balon?”

“Aku meraih sesuatu yang tak pernah tergenggam oleh tanganku. Aku gagal mencapai langit. Terlalu tinggi barangkali. Lalu aku pasrah. Tak inginkan apapun, kecuali sedikit penghasilan untuk menyambung hidupku,” katanya pilu.

Restu menatap Lisa dengan pandangan datar. Tapi Murni menatapnya iba.

“Mengapa jualan balon?”

“Murni, aku minta maaf telah membuat rumah tangga kamu nyaris berantakan. Nyatanya kamu menemukan kebahagiaan kamu kembali. Kalian orang baik. Aku sedang menghajar diriku sendiri, untuk merasakan hidup penuh perjuangan. Semoga semuanya akan berakhir baik.”

“Bukankah kamu bisa kembali bekerja di toko, misalnya?” tanya Restu yang juga merasa kasihan mendengarnya.

“Tidak, biarlah begini. Aku tak ingin yang muluk-muluk lagi. Dan ini sebenarnya bukan dagangan aku, tapi dagangan suamiku.”

“Kamu sudah bersuami?”

“Aku kacau dalam kegagalan meraih keinginanku. Ditengah jalan aku nyaris pingsan karena kelaparan, karena memang aku berniat untuk bunuh diri.”

Murni membelalakkan matanya.

“Bunuh diri?”

“Lalu seorang penjual balon menolong aku, membawanya ke rumahnya yang sederhana, lalu mengambilku sebagai istri. Sekarang aku sedang mengandung anaknya.”

Murni menatap ke arah perut Lisa yang membuncit, tampaknya sepantaran dengan kandungannya sendiri.

“Berapa bulan?” tanya Murni.

“Baru menginjak tiga bulan.”

Murni dan Restu menarik napas lega. Apa yang dialami dan dilakoni Lisa adalah sebuah bentuk penyesalan, yang mirip dengan hidup Restu sendiri.

“Dimana suami kamu?”

“Suami aku sedang sakit, itu sebabnya aku menggantikannya berjualan. Tidak apa-apa. Sekali lagi maafkanlah aku,” kata Lisa sambil mengambilkan lagi sebuah balon untuk Gilang, yang menerimanya dengan melonjak-lonjak gembira.

Murni mengambil dua lembar uang ratusan ribu, diberikannya kepada Lisa.

“Ini apa, aku memberi untuk bekas momongan aku, tidak menjual,” sergah Lisa sambil mengulurkan uangnya lagi, tapi Murni menghindarinya.

“Terima saja, bukan karena balon itu, tapi hanya ingin membantu,” kata Murni sambil menjauh, mendekati mobil suaminya.

Lisa menatapnya dengan linangan air mata. Sebuah penyesalan melintas, tapi Lisa menyadari bahwa dia sudah capek mengejar impiannya. Akhirnya dia mengerti, bahwa kebahagiaan itu akan terasa ketika seseorang bisa menerima apa adanya. Nyatanya disamping Pardi, suaminya, Lisa merasa bahagia. Apalagi ketika di rahimnya tumbuh janin, buah cinta mereka.

“Semoga anak kamu lahir dengan lancar, selamat tak kurang suatu apa,” kata Restu yang kemudian menyusul langkah istrinya.

Lisa mengelus perutnya yang membuncit. Ia bersyukur diberi kekuatan untuk membantu suaminya bekerja.

“Anakku luar biasa. Tidak rewel dan membuat aku kuat,” bisik Lisa.

Ketika deru mobil Restu menjauh, Lisa menatapnya sendu. Sungguh dia menyesali semua yang pernah dilakukannya. Tapi sesal itu kemudian membuatnya hidup lebih tenang, walau hidup sangat sederhana.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 83

SELAMAT PAGI BIDADARI (81)

Karya Tien Kumalasari

Pak Warso masih menyendok makanannya. Ia meminta Trimo agar melanjutkannya, jangan terganggu dengan perkataan sang karyawan toko.

“Makan saja terus, habiskan dan kalau perlu nambah,” katanya kepada Trimo.

“Eh ya, siapa dia?” tanya pak Warso kepada karyawannya.

“Saya tidak menanyakannya, sepertinya pernah datang kemari.”

“Masih muda?”

“Tidak begitu tua,” jawab sang karyawan.

“Saya masih makan, kalau mau suruh dia menunggu. Kalau tidak mau, durung datang lain kali saja,” lanjut pak Warso yang sudah bisa mengira-ira siapa tamunya.

“Baik, akan saya sampaikan,” kata karyawannya sambil berlalu.

Pak Warso melanjutkan makan yang tinggal beberapa suap.

“Mau tambah Mo, jangan malu-malu. Makanan sebanyak ini hanya untuk aku, dan aku hanya sendirian. Nanti aku suruh bungkus sisanya, biar kamu bawa pulang.”

“Sudah Pak, ini sudah cukup.”

“Itu kan kamu. Bagaimana dengan ibumu?”

“Ibu juga pasti sudah masak.”

“Ibumu capek, bangun menjelang pagi, menggoreng dagangan. Pasti letih. Sekali-sekali biar dia tidak usah masak, jadi bawakan semua sisa lauk ini nanti ke rumah.”

“Ibu pasti marah.”

“Lhoh, dikasih rejeki kok marah?”

“Marah sama saya Pak, dikira saya merepotkan.”

Pak Warso tertawa.

“Nanti kalau ibu kamu marah, kamu bilang saja, suruh marah sama pak Warso, begitu. Jadi biar dia datang kemari dan marah-marah sama aku.”

Trimo tersenyum. Ia merasa, banyak orang baik yang dikenalnya. Bu Murni, pak Warso. Orang-orang yang belum lama dikenalnya, tapi melakukan hal baik terhadap keluarganya.

“Sudah, selesaikan makannya. Kalau mau nambah, nambah saja.”

“Sudah kenyang Pak.”

“Bener, sudah kenyang?”

“Sungguh pak.”

“Yuuu, kemari kamu,” pak Warso memanggil pembantunya.

“Ya Pak.”

“Aku sudah selesai, bungkus semua makanan ini, lalu bawa ke depan, aku menunggu di depan,” perintahnya.

“Baiklah.”

Pak Warso mengajak Trimo ke depan. Ia melihat seorang wanita duduk di depan toko. Ia mengenal dia sebagai Lisa, yang begitu nekat ingin mendekatinya. Mau apa lagi dia?

Walau begitu pak Warso keluar.

“Ada apa ya?”

“Tolonglah saya.”

“Tolong apa?”

“Beri saya pekerjaan di sini.”

“Oh, maaf ya, karyawan saya sudah banyak, jadi tidak butuh pegawai lagi.”

“Toko ini begitu ramai, apa tidak butuh tambahan karyawan?”

“Mengapa kamu ikut mengatur usaha saya? Mohon maaf, pergilah dan jangan mengganggu lagi.”

“Ini … bukankah wanita jahat itu?” tiba-tiba Trimo mendekat karena merasa pernah mengenalnya.

“Hei, anak kecil, jangan ikut campur.” Hardik Lisa.

“Kamu kenal dia Mo?”

“Ini wanita jahat yang pernah hampir menghajar bu Murni.”

“Di mana?”

“Ketika bu Murni ke pasar, kata bu Murni setiap hari dia menemui dan memaki-maki tanpa sebab. Yang terakhir, ketika bu Murni berani sama dia, dia akan menghajarnya, tapi saya kebetulan melihatnya.”

“Kamu tidak tahu apa-apa. Perempuan bernama Murni itu merebut kekasih aku.”

“Sudah, jangan didengarkan, ayo masuk ke dalam,” kata pak Warso yang sangat tidak suka pada Lisa.

“Bagaimana mas?” teriak Lisa yang kemudian memanggilnya ‘mas’.

“Tidak, pergilah dan jangan datang kemari lagi.”

Pak Warso segera tahu, bahwa Lisa memang wanita jahat yang beaksud merusak rumah tangga Murni, karena Trimo juga pernah menyaksikan aksi jahatnya.

Lamunan dan angan-angan tentang Murni perlahan sirna, mengingat tak ada gunanya lagi dia berharap.

Sekarang dia punya karyawan kecil yang menarik hatinya, karena dia pintar dan berbicara layaknya orang dewasa.


“Apa ini?” teriak bu Trisni ketika melihat Trimo membawa banyak makanan.

“Pak Warso yang memberi nih Bu.”

“Kenapa kamu mau? Nggak sungkan, dibawain makanan segini banyak?”

“Trimo sudah menolak, tapi pak Warso memaksa, katanya, kalau ibu marah, suruh marah sama pak Warso, gitu.”

“Ya ampuun, ini makanan enak-enak semua, ada daging, ada ayam, sayurnya juga enak. Ibu bisa tidak masak selama tiga hari atau lebih.”

“Ini rejeki kan Bu?”

“Benar, tapi bagaimana asal mulanya kamu tiba-tiba dibawain makanan begini banyak?”

“Ketika Trimo datang, langsung dipanggil oleh pak Warso. Katanya dia sedang lapar, maka Trimo diajaknya makan. Sungkan banget Bu, mejanya bagus, kursinya bagus, piringnya bagus, makanannya enak-enak.”

“Kamu kok ya mau saja. Pasti kamu lapar karena pulang sekolah langsung ke sana, jadi lupa rasa malu, ya kan?” ledek ibunya.

“Ya enggak Bu, Trimo sudah menolak, tapi Trimo ditarik sama pak Warso, langsung disuruh duduk, terus diambilkan nasinya, lauknya. Gimana cara menolak? Trimo sungguh sungkan. Sudah begitu, pembantunya disuruh membungkus semua lauk, diberikannya sama Trimo.”

“Ini banyak sekali. Nanti disimpan di kulkas dulu, karena ibu sudah terlanjur memasak. Untunglah pak Warso juga memberikan kulkas itu untuk kita.”

“Iya Bu, pak Warso orang baik. Apa benar, tadinya mau jadi suami bu Murni?”

“Maunya begitu, dikira pak Warso bu Murni itu janda. Kan bu Murni sudah punya suami?”

“Kasihan bu Murni itu ya Bu, disiksa sama suaminya.”

“Hush! Siapa bilang bu Murni disiksa sama suaminya? Bu Murni itu pergi dari rumah karena sedang marahan saja. Biasa, kadang-kadang selisih paham itu ada. Tapi sekarang sudah dijemput keluarganya, dan mereka akan baik-baik saja,” kata bu Trisni yang tidak mau menceritakan keadaan sebenarnya, mengingat Trimo masih anak-anak yang pastinya tidak akan bisa mengerti.

“Berarti bu Murni sekarang sudah bersama keluarganya dan tidak marahan lagi ya?”

“Ya tidak. Semoga dalam perjalanan, bu Murni tidak mual atau muntah-muntah lagi.”

“Aamiin. Kapan-kapan Trimo mau main ke sana lagi.”

“Iya, itu gampang. Sekarang ceritakan, tadi kamu dipanggil pak Warso mau disuruh ngapain?”

“Kalau pulang sekolah, setelah mengambil uang di warung-warung, Trimo disuruh ngebantuin di tokonya pak Warso.”

“Kamu bersedia?”

“Cuma ngebantu bungkus-bungkus gula, beras, menakar minyak, gitu saja kok. Memang sih, Trimo belum pernah, tapi Trimo harus belajar, dan harus bisa.”

“Baiklah kalau kamu sanggup, asalkan jangan mengganggu sekolah kamu.”

“Nggak Bu, Trimo tidak akan melupakan sekolah Trimo.”

“Bagus Nak, ya sudah, sekarang kamu cuci kaki tangan dulu dan ganti pakaian kamu, biar ibu cuci sekalian.”

Trimo berlari ke belakang, tanpa disuruh dua kali.


Murni masih lemas. Perutnya mual, dan di sepanjang perjalanan harus berhenti dua kali karena muntah-muntah. Itu sebabnya, bu Broto meminta agar Murni tinggal dulu di rumah keluarga Broto, supaya Gilang ada yang membantu mengurusnya.

“Kalau begitu Restu harus tinggal di sini dong, masa masih harus berpisah pula sama anak istri?” protes Restu.

Bu Broto tertawa.

“Iya, ibu mengerti, tapi jangan mengganggu istri kamu dulu, dia sedang ngidam dan bawaannya mual muntah.”

“Nanti akan Restu bawa ke dokter saja Bu.”

“Tapi tadi Sarni bilang, dia sudah membawa obat-obat dari sana.”

“Nanti akan saya tanyakan sama Murni, apa obatnya cocok.”

“Biasanya, orang ngidam itu tidak bisa disembuhkan dengan hanya minum obat-obatan. Nanti setelah tiga atau empat bulan, tanpa obatpun rasa mual atau muntahnya akan hilang dengan sendirinya.”

“Benarkah?”

“Ya benar, yang ngomong sudah pernah mengalami kok.”

Restu tersenyum, kemudian menuju ke kamar, dimana Murni masih berbaring lemas.

“Murni, mau muntah?”

“Tidak lagi. Tapi jangan dekat-dekat Murni.”

“Kenapa? Aku kan suami kamu?”

“Aku ingin muntah lagi kalau kamu mendekat, jadi menjauhlah.”

Restu cemberut seketika. Ia merasa sang istri belum mau memaafkannya.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 82