SELAMAT PAGI BIDADARI (74)

Karya Tien Kumalasari

Murni langsung masuk ke kamar, tubuhnya terasa lemas. Bu Trini menggosok perut dan punggung Murni dengan minyak kayu putih, agar Murni merasa lebih nyaman.

“Aduh, terima kasih bu Trisni, entah mengapa, tiba-tiba saya merasa mual.”

“Bu Murni kecapekan. Hampir seharian bu Murni bekerja.”

“Tapi saya kan harus memenuhi kebutuhan Gilang.”

“Bagaimana kalau bekerja paruh waktu saja, sehingga bu Murni tidak terlalu capek.”

“Besok saya akan coba bicara sama pak Warso, apa diperbolehkan kalau saya hanya bekerja setengah hari saja.”

“Seharusnya bisa. Kekuatan orang itu tidak sama, ada yang kuat bekerja seharian, ada yang tidak. Kalau bu Murni jatuh sakit, Gilang pasti juga akan terpengaruh. Nanti bu Murni sendiri yang merasakan susah.”

“Coba minyak putihnya Bu, rasanya saya ingin mencium baunya terus menerus.”

Bu Trisni menyerahkan botol kecil berisi minyak kayu putih itu kepada Murni, yang lalu menciumnya sambil memejamkan mata.

“Bu Murni istirahat saja dulu, saya akan mencari Trimo, sudah sore kok belum masuk ke rumah juga,” kata bu Trisni sambil keluar dari kamar.

Murni masih terbaring sambil menyedot aroma minyak kayu putih dari botol yang digenggamnya.

“Aneh sekali, benarkah karena terlalu capek maka aku menjadi lemas dan mual? Biasanya juga tidak begini. Bekerja hampir satu bulan, mengapa baru sekarang merasakan capek?” gumamnya lemah.

Sementara itu bu Trisni beranjak ke depan. Dilihatnya Trimo mendudukkan Gilang di atas sebuah sepeda roda tiga, membuat bu Trisni heran.

“Darimana asalnya sepeda itu Mo?”

“Ini Bu, dikasih tetangga sebelah, katanya punya anaknya, sudah tidak dipakai karena anaknya sudah besar.”

“Oh, begitu ya. Sudah bilang terima kasih?”

“Sudah dong Bu.”

“Baiklah, sekarang ajak Gilang masuk ke rumah, sudah hampir maghrib.”

Trimo menarik sepeda roda tiga dimana Gilang duduk diatasnya, dibawanya ke dalam rumah.”

Bu Trisni baru mau masuk kembali ke dalam, ketika tiba-tiba dilihatnya sebuah mobil berhenti di depan rumah.

Bu Trisni menunggu, lalu melihat Restu turun dari mobil.

“Pak Restu? Aduh, aku harus jawab apa ya? Tampaknya bu Murni masih enggan pulang,” kata bu Trisni dalam hati.

“Selamat sore Bu Trisni… “ sapa Restu yang sudah pernah mengenal bu Trisni, tapi lupa siapa namanya. Ketika itu bu Trisni dan Trimo sedang menengok Gilang ketika masih ada di rumah sakit, Restu tidak sempat menanyakan namanya karena saat itu ada bu Thomas di sana. Baru ketika menanyakan Trimo ke seseorang yang kebetulan mengenal Trimo, dia tahu nama ibunya Trimo.

“Ini kan pak Restu?”

“Iya Bu.”

“Kok tumben jalan sampai ke mari?”

“Bu, saya sedang mencari istri saya.”

“Oh ….”

“Dia pergi dengan membawa Gilang. Dia datang kemari?”

Bu Trisni menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Saya tidak tahu pak.”

“Jadi dia tidak datang kemari?”

Bu Trisni kembali menggelengkan kepalanya.

“Baiklah, kalau begitu saya permisi.”

“Tidak … singgah dulu Pak?” kata bu Trisni dengan sedikit ragu, karena kalau tamunya mau, akan sulit menyembunyikan Murni dan Gilang.

“Terima kasih Bu, saya baru mau mencari ke tempat lain.”

Bu Trisni hanya mengangguk. Dia bersyukur Restu tak mau singgah. Dia juga tidak ingin bertanya lebih banyak, takut Restu terlalu lama berada di depan rumahnya. Bagaimana kalau sewaktu-waktu Gilang berteriak atau menangis, lalu Restu mendengarnya?

Bu Trisni merasa lega ketika mobil yang dikendarai Restu sudah berlalu.


Gilang berada di kamar bersama ibunya yang mengeloninya sambil memberikan ASI. Itu sebabnya Gilang tidak bersuara yang bisa menimbulkan kecurigaan kalau sampai Restu mendengarnya.

Murni sudah merasa lebih enak, tapi botol minyak kayu putih itu masih tetap digenggamnya.

“Bu, barusan ada pak Restu datang kemari,” kata bu Trisni begitu masuk ke dalam kamar.

Murni terkejut, sampai Gilang menangis karena minum ASI nya terputus ketika ibunya bangkit tiba-tiba.

Setelahj mendiamkannya dengan mengangkat dan memangkunya, Murni menatap bu Trisni dengan pandangan khawatir.

“Masih di sini?”

“Tidak. Dia hanya menanyakan apa bu Murni ada di sini atau tidak. Saya jawab tidak, lalu dia pergi. Apa saya salah? Saya tadi bingung harus menjawab apa.”

“Tidak salah, sudah betul bu Trisni mengatakan tidak.”

“Tapi apakah bu Murni yakin tidak akan kembali lagi pada pak Restu? Dia tampak kurus dan tidak rapi seperti biasanya. Rambutnya hampir gondrong tak terurus.”

“Begitu sakit hati saya Bu. Susah untuk mempercayai dia lagi. Kalau saya mengalah terus, mendiamkan dan memaafkannya, hati saya yang akan rusak,” kata Murni pilu.

“Siapa tahu dia akan berubah.”

“Ternyata tidak. Dia tak akan berubah. Disamping saya, dan kepada perempuan cacat, dia tega melakukannya.”

Bu Trisni menghela napas. Setengah hatinya menyayangkan kejadian itu, setengahnya lagi bisa memahami mengapa Murni bersikap keras seperti itu.

“Baiklah. Lalu apa yang akan bu Murni lakukan?”

“Saya akan menggugat cerai.”

“Bu Murni yakin?”

“Sangat yakin. Itu jalan terbaik untuk hidup saya. Kalau proses cerai itu selesai, baru saya akan pulang ke kampung saya, mengais kebutuhan hidup saya dan Gilang.”

Bu Trisni hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Kalau dirinya yang mengalami kejadian seperti itu, barangkali dia juga akan melakukannya.


“Bagaimana? Ternyata tidak ada di rumah Trimo kan?”

“Tidak ada Mas, tapi aku tidak percaya.”

“Maksud mas Restu, wanita ibunya Trimo itu bohong?”

“Namanya bu Trisni. Itu kata tetangganya yang kita datangi sebelumnya, dan tahu siapa dan dimana rumah Trimo. Dulu saat ketemu aku tidak bertanya namanya, atau kalau barangkali Murni pernah mengatakannya, aku lupa. Yang ke ingat hanya Trimo.”

“Jadi dia bohong?”

“Sepertinya dia menyembunyikan sesuatu. Dia tidak bertanya banyak, yang harusnya kan ingin tahu, kenapa pergi dan sebagainya, tapi dia hanya bilang bahwa Murni tidak ada di rumahnya. Titik. Itu terasa agak aneh buat aku.”

“Mengapa mas Restu tidak masuk ke rumahnya saja langsung.”

“Nggak enak, aku.”

“Lalu bagaimana?”

“Mas Rio pulang saja dulu, saya akan tetap di sini.”

“Tetap di sini? Menginap di rumah bu … siapa tadi …?”

“Bu Trisni? Tidak … cari penginapan agak keluar dari dusun ini, pasti ada.”

“Tahu begitu tadi bawa mobil mas Restu juga.”

“Tidak apa-apa, jangan pikirkan saya. Saya akan terus mencari keberadaan Murni dan Gilang,” kata Restu dengan mata berkaca-kaca, membuat Rio terharu melihat Restu yang ternyata sangat mencintai keluarganya.

“Baiklah, saya turunkan Mas Restu di sebuah hotel, besok saya urus mobil Mas Restu, agar ada orang yang membawanya ke sana.”

“Baiklah, terima kasih banyak, Mas Rio.”


Pagi hari itu, Murni bangun dengan kepala sangat pusing. Tubuhnya juga terasa lemas. Ia bahkan merasa kembali mual dan ingin muntah.

“Lebih baik bu Murni tidak usah bekerja dulu hari ini. Nanti setelah selesai menggoreng, saya antarkan bu Murni ke puskesmas.”

“Tapi saya harus minta ijin dulu kan.”

“Bu Murni bisa telpon pak Warso, tidak usah datang.”

“Baiklah, saya akan menelpon saja, saya merasa benar-benar lemas.”

“Apa? Kamu sakit?” kata pak Warso ketika Murni mengatakan alasannya untuk tidak masuk bekerja.

“Iya pak. Dari semalam badan saya nggak enak, sekarang sangat lemas dan pusing. Jadi mohon maaf ya Pak, hari ini saya minta ijin untuk tidak masuk dulu.”

“Kalau begitu kamu harus ke dokter.”

“Iya, nanti bu Trisni mau mengantarkan ke puskesmas.”

“Tidak nanti. Sekarang saja aku antarkan kamu ke dokter langganan aku.”

“Tidak usah Pak, merepotkan saja.”

“Jangan membantah.” Tegas kata pak Warso, yang segera menutup pembicaraannya.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 75

SELAMAT PAGI BIDADARI (73)

Karya Tien Kumalasari

“Mas Rio gimana sih, hanya mengikuti sampai di sini, bagaimana bisa tahu ke mana arah tujuan Murni?”

“Menurut aku, mereka ke luar kota.”

“Luar kota yang mana? Ke kiri bisa, lanjut terus juga bisa.”

“Nah, mari kita cari dia. Tadi aku sendirian, tidak berani memutuskan sendiri. Itu sebabnya aku mengajak mas Restu.”

“Kalau terus, berarti tujuannya ke rumah Trimo.”

“Trimo? Anak kecil yang dulu pernah mengamen, lalu ketika Murni lari saat belum menikah juga ke rumahnya?”

“Ya. Dia. Aku pernah mencari sampai ke kampungnya Trimo, malah ketemu Trimo di jalan, tapi Trimo bilang bahwa Murni tidak ada di rumah dia.”

“Dan mas Restu percaya?”

“Masa sih, dia berbohong?”

“Murni lari dari rumah, enggan kembali. Kalau dia berada di suatu tempat, kemungkinan besar dia meminta semua penghuni rumah untuk menutupi keberadaannya. Ya kan?”

“Maksudnya, waktu itu Trimo berbohong?”

“Mungkin tidak, tapi kemungkinan besar … ya.”

“Kalau begitu kita ke rumah Trimo saja. Langsng ke rumahnya.”

“Mas Restu sudah tahu rumahnya?”

“Ketemu Restu di dekat pasar, pasti rumahnya ada di sekitar sana. Orang kampung pasti bisa menjawab kalau kita bertanya tentang rumah orang sekampungnya.”

“Bagus kalau begitu. Kita lanjut ke kampung Trimo.”

“Semoga kita berhasil.”

“Aamiin.”

Restu membawa mobil Rio, karena dia lah yang tahu di mana letak kampung Trimo. Informasi yang diterima dari Rio, sangat membesarkan hatinya.

“Nanti kalau ketemu, saya mohon mas Restu lah yang mengatakan kejadian sebenarnya di malam itu. Kalau aku yang bicara, dia tak akan percaya.”

“Iya, siap. Yang penting ketemu dulu, ya kan?”


Pak Warso menyerahkan catatan barang-barang kepada bagian gudang, lalu duduk santai di toko bagian depan. Ia sedang berpikir, kapan akan melamar Murni. Kelihatannya Murni tidak menolak setiap kali dia menyuruh apapun. Tapi hal itu dibantah sendiri oleh pak Warso.

“Iya lah, tidak menolak di suruh apapun, dia kan karyawan aku, mana berani dia membantah? Berarti itu bukan ukuran bahwa dia juga suka sama aku. Susah ya, seorang wanita muda, jatuh cinta kepada laki-laki setengah tua seperti aku? Tapi aku kan masih gagah, dan kuat. Lagi pula aku juga tampan. Ketika aku masih muda, banyak gadis tergila-gila sama aku. Benar kan? Jadi walau aku sudah setengah tua, pasti sisa-sisa ketampanan itu masih ada. Masa sih, Murni akan menolaknya? Lagi pula kalau dia mau sama aku, hidupnya akan berkecukupan. Hanya saja aku belum pernah bertanya, kapan dia menjadi janda, apakah saat ini sudah siap menikah lagi? Kemana suaminya, bercerai atau meninggal? Wah, ternyata informasi tentang Murni kurang lengkap aku terima. Aku hanya menerima karena dia cantik dan tampak pintar. Dia mengatakan hanya sebagai seorang janda dengan satu anak. Titik, aku belum pernah bertanya lebih lanjut. Besok aku akan menanyakannya,” kata pak Warso dalam hati, sambil melihat karyawannya melayani para pembeli.

Toko pak Warso memang tak pernah sepi pembeli, tapi ia menutup tokonya sebelum maghrib. Tidak ada sift karyawan, semua bekerja dari pagi sampai tutup, dengan mendapatkan makan sehari dua kali. Saat istirahat, dan saat sebelum pulang.

Tiba-tiba pak Warso melihat sebuah mobil yang dikenalinya siang tadi. Mobil bagus yang semula dkira mengikutinya.

“Kok ternyata dia sampai kemari? Apa dia yang mengikuti aku tadi? Tapi namanya mobil kan bukan cuma milik seseorang. Banyak mobil sama, baik merk maupun warnanya.” Gumam pak Warso pelan.

Pengemudi mobil itu turun, dan ternyata hanya membeli sekotak air minum. Tapi tidak, bukan hanya membeli, dia seperti menanyakan sesuatu. Pak Warso berdiri mendekat, menguping apa yang ditanyakannya.

“Trimo? Dia pedagang di pasar?” tanya salah seorang karyawannya. Rupanya laki-laki tampan itu bertanya rumah seseorang bernama Trimo.

“Bukan. Trimo itu masih anak-anak.”

“Oh, masih anak-anak ya? Aduh, saya minta maaf. Kalau anak kecil saya tidak tahu. Siapa nama orang tuanya?” tanya karyawannya lagi.

“Wah, siapa ya nama orang tuanya? Anaknya masih berumur enam atau tujuh tahunan begitu sih,” laki-laki itu kembali ke mobil.

“Mas Rio tahu nama orang tua Trimo?”

“Waduh, nggak tahu aku.”

Laki-laki yang adalah Restu itu kembali ke toko dan mengatakan bahwa mereka tidak tahu nama orang tuanya.

“Wah, kalau begitu saya tidak tahu Pak. Mohon maaf.”

“Ya sudah, baiklah, terima kasih ya Mbak,” jawab Restu sambil membawa kotak minuman yang tadi dibelinya, ke arah mobil.

Mobil itu berlalu.

“Menanyakan alamat anak kecil, mana aku tahu?” karyawan itu bergumam.

Tapi rupanya pak Warso sebenarnya tahu siapa yang dimaksud. Murni sering beli makanan untuk buah tangan orang di rumah, antara lain yang namanya Trimo. Bukan sekali dua kali Murni beli sesuatu untuk Trimo.

“Siapa sebenarnya laki-laki itu? Suaminya? Bekas suaminya? Saudaranya? Aku ingat, yang memasang iklan kehilangan di koran itu keluarga Subroto namanya. Dia mengaku orang tuanya. Lalu siapa laki-laki tadi? Kalau begitu barangkali benar, yang mengikuti aku siang tadi adalah memang keluarganya Murni, nyatanya sekarang sampai di sini. Rupanya mereka memang mencari keberadaan Murni. Mudah-mudahan tidak ketemu,” gumam pak Warso dalam hati.


Gilang sudah mandi, dan bermain bersama Trimo di depan rumah. Murni sedang berbincang dengan bu Trisni dengan santai, karena hari itu Murni boleh pulang lebih awal setelah ikut belanja pak Warso ke kota.

Murni sudah mulai menyetok ASI dalam botol-botol yang sudah dibelinya bersama pak Warso saat mereka belanja. Memang benar, dengan demikian Murni bisa bekerja lebih tenang, karena Gilang tidak akan kekurangan ASI.

“Mulai besok, saya mungkin hanya akan pulang siang saat istirahat, lalu baru bisa pulang sebelum maghrib.”

“Oh ya? Tidak apa-apa Bu, saya kan banyak nganggurnya. Setelah mengirim dagangan, tinggal bermain sama Gilang.”

“Sebenarnya saya sungkan, selalu merepotkan bu Trisni.”

“Tidak apa-apa Bu, jangan dipikirkan. Anggap saja kita adalah keluarga, jadi jangan ada rasa sungkan itu lagi di hati bu Murni. Suka dan duka akan kita pikul bersama.”

“Saya harus berterima kasih karena bertemu dengan orang sebaik bu Trisni dan Trimo.”

“Bukankah saya yang harus berterima kasih Bu? Karena Bu Murni saya bisa punya penghasilan cukup, dan Trimo bisa sekolah sesuai keinginannya.”

“Hanya karena saya ada sedikit sisa Bu.”

“Kalau begitu jangan pernah sungkan. Saya akan dengan senang hati melakukan apapun untuk bu Murni. Trimo juga sangat senang mendapat adik yang gendut dan lucu.”

Murni tersenyum.

“Kok bau masakan ya Bu, ibu masak ya?”

“Iya, aduh, hampir lupa, saya masak sup ayam, karena Gilang suka, sebentar saya matikan kompornya,” kata bu Trisni Sambil beranjak ke dapur.

Tiba-tiba Murni merasa aneh. Mencium bau masakan yang gurih dan lezat, membuat perutnya tiba-tiba mual.

“Aduh, kenapa aku ini ya?”

Rasa mual itu semakin menjadi, membuat Murni kemudian lari ke belakang rumah.

Bu Trisni yang ada di dapur terkejut melihat Murni berlari-lari, lalu tak lama kemudian ia mendengar suara Murni muntah-muntah.

“Aduh, itu bu Murni kenapa? Pasti kecapekan setelah ikut pak Warso pergi ke kota,” katanya sambil mengikuti ke arah kamar mandi. Diliatnya Murni keluar dari sana dengan wajah pucat dan napas terengah-engah.

“Kenapa Bu? Masuk angin ya? Sebentar saya ambilkan minyak kayu putih.”


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 74

SELAMAT PAGI BIDADARI (72)

Karya Tien Kumalasari

“Kok Murni bersama seorang laki-laki asing? Apa mataku salah? Sepertinya nggak mungkin ah. Tapi masa sih mataku salah? Biar aku ikuti saja mobil itu. Hm, mobil box, yang sepertinya membawa banyak barang. Benarkah Murni? Tapi aku kok penasaran, pengin ngikutin.”

Pengendara mobil itu Rio. Yang sedang dalam perjalanan kembali ke kantornya. Tapi karena penasaran, dia mengikuti mobil pak Warso yang sedang bersama Murni.

“Pengendara pick up itu sudah tidak muda lagi, tapi mengendarai mobilnya kenceng banget sih. Semakin penasaran aku,” gumam Rio yang terus mengejarnya.

Pak Warso memang melajukan kendaraannya, karena Murni mengatakan bahwa dia harus segera pulang karena anaknya pasti menunggu minum ASI di saat menjelang sore seperti itu.

Jalanan menjelang sore itu sangat ramai, Rio tidak bisa mendekati mobil pak Warso, tapi ia terus mengawasinya. Di sebuah perempatan, tiba-tiba lampu merah menyala. Rio memukul kemudi mobilnya dengan kesal, karena mobil pak Warso sudah melaju.

“Waduh. Bagaimana ini? Lalu lintas sedang ramai sih. Tapi dia belok ke kiri, semoga setelah lampu hijau aku masih bisa melihatnya,” gumam Rio sambil terus memukul-mukul kemudinya.

Begitu lampu hijau menyala, Rio ingin menginjak gas sekuat tenaga, tapi dia tidak bisa melakukannya, karena mobilnya tidak berhenti di baris paling depan. Harus menunggu dua tiga mobil di depannya, baru;lah Rio membelokkan mobilnya ke arah kiri.

Rio melongok ke arah depan, tapi sia-sia. Pick up yang dikejarnya tak lagi tampak. Rio tetap memacu mobilnya, tapi ada beberapa belokan yang membuatnya bingung. Dengan putus asa akhirnya Rio kembali, menuju kantor, dengan perasaan kecewa.


Murni heran, ketika sejak tadi pak Warso selalu mengawasi spion sambil melongok, seperti ada yang dilihatnya.

“Ada apa Pak?”

“Seperti ada yang mengikuti kita, tadi.”

“Mengikuti kita? Siapa?”

“Nggak tahu aku, mobilnya bagus.”

Murni terkejut. Jangan-jangan ada yang mengenalinya.

“Apa sekarang masih mengikuti ?”

“Sepertinya tidak. Tadi terpisah di lampu merah, lalu kita terus melaju. Sekarang sudah tidak kelihatan lagi.”

“Oh …”

Murni bernapas lega. Tapi hal itu membuat hatinya was-was. Jangan-jangan ada yang mengetahui dirinya bersama pak Warso, lalu mengikutinya.

“Kamu kelihatan khawatir sih?”

“Ah, tidak Pak. Khawatir kalau yang mengikuti itu orang jahat,” jawab Murni sekenanya.

Pak Warso tertawa.

“Tidak usah khawatir. Hari masih siang, penjahar mana berani mati mengikuti kita? Didaerah kita selalu aman.”

“Tapi kan itu tadi di kota?”

“Nyatanya tidak mengikuti lagi kok. Mungkin hanya kebetulan saja tujuannya searah dengan kita. Jadi kamu tidak usah khawatir.”

Murni diam. Walau begitu timbul pikiran yang macam-macam, mengingat dirinya kan memang sedang lari dan menghindari rumah.

“Jangan-jangan mas Restu. Tapi pak Warso tadi bilang kalau mobilnya bagus. Mobil mas Restu kan hanya mobil lama yang dibelinya di counter mobil bekas,” kata batin Murni.

“Kita hampir sampai Mur. Aku antarkan kamu langsung ke rumah saja, kan kamu ditunggu anak kamu, jadi kamu tidak usah kembali lagi ke toko.”

“Baiklah Pak, terima kasih banyak.”

“Besok masuk agak pagi, karena kamu harus menyetok barang-barang yang baru datang. Sore ini biar yang lain mencicilnya.”

“Baik Pak.”

Murni turun dari mobil, di sambut Gilang yang sedang digendong bu Trisni.

“Mengapa anak ibu minta gendong?” tanya Murni sambil membuka kedua tangannya, berusaha menggendong Gilang, tapi bu Trisni mencegahnya.

“Sebaiknya bu Murni cuci kaki tangan dulu, lalu berganti pakaian, sebelum menggendong Gilang.”

“Oh iya, maaf. Biasanya juga begitu, kok ini lupa. Habis sudah kangen berat sama Giang, katanya langsung berlalu.”

Ketika kemudian duduk sambil memberikan ASI anaknya, ia melihat ada kulkas di ruang depan.

“Ini kulkas yang baru siang tadi dikirim dari toko,” kata bu Trisni ketika melihat Murni menatap kulkas itu.

“Oh, jadi pak Warso benar-benar memberikan kulkas ini,” gumam Murni.

“Ini tidak baru, tapi masih sangat bagus,” kata bu Trisni.

“Iya Bu, memang bekas, tapi karena tidak dipakai, lalu diberikan sama Murni.”

“Diberikan? Saya kira bu Murni beli,” kata bu Trisni heran.

“Mana saya punya uang cukup untuk membeli kulkas bu, itu karena pak Warso meminta, katanya supaya saya tidak kepikiran Galang, saya bisa menyimpan ASI di freezer, jadi kalau sewaktu-waktu Gilang butuh, tinggal dihangatkan.”

“O, begitu ya?”

“Soalnya di toko saya punya pekerjaan banyak, kadang tidak bisa pulang tepat waktu, jadi mulai sekarang saya akan menyetok ASI untuk Gilang. Kalau bu Trisni mau menyimpan buah atau sayur, juga bisa kan?”

“Iya BU, enak sekali kalau ada kulkas. Saya tidak pernah bermimpi akan bisa memiliki kulkas seperti ini. Semua karena bu Murni.”

“Tadinya saya menolak, tapi pak Warso memaksa. Mungkin pak Warso tak ingin pekerjaan saya terganggu karena masih harus memikirkan Gilang.”

“Mungkin juga begitu Bu, syukurlah.”

“Soal tagihan listrik, nanti pak Warso yang akan membayarnya.”

“Hm, alangkah baik hati pak Warso itu ya Bu, tapi sebagai sahabat, saya perlu mengingatkan ibu, bahwa bu Murni harus berhati-hati.”

“Maksudnya apa ya Bu?”

“Kalau kebaikan itu tulus, baiklah. Tapi kalau kebaikan itu mengharapkan pamrih, kita akan susah menolaknya.”

Murni diam. Kalau pak Warso punya pamrih, pamrih apa? Dia tak punya apa-apa. Hanya wanita miskin yang mengais rejeki atas kebaikan pak Warso.

“Bu Murni belum paham maksud saya? Bu Murni harus ingat, pak Warso itu seorang duda. Masih gagah, dan tentulah masih punya keinginan untuk menikah lagi. Lebih-lebih dia kan kaya. Hartanya berlimpah. Dan bu Murni itu masih muda, dan cantik manis. Siapa tahu …”

Murni terkejut. Hal itu tak pernah dipikirkannya. Sejauh ini, sikap pak Warso biasa saja. Tak ada pandangan yang aneh, atau sikap yang menunjukkan bahwa dia tertarik pada dirinya. Kebaikan yang diterimanya, dianggapnya hanya sebagai kebaikan, titik. Tak ada kelanjutannya, dan Murni berharap untuk itu.

“Tapi saya sama sekali tidak menuduh lho Bu, saya hanya minta agar bu Murni berhati-hati.”

Murni mengangguk.

“Baiklah Bu, saya mengerti, dan saya akan berhati-hati. Bagaimanapun status saya kan masih seorang istri.”

“Bagus kalau bu Murni mengerti. Saya hanya berharap, semua baik-baik saja.”

“Terima kasih atas perhatiannya ya Bu.”


Sore itu Rio mampir ke bengkel, langsung naik ke lantai atas, dimana biasanya Restu menghabiskan waktunya di sana, setelah istrinya pergi dari rumah.

Ketika dia memasuki kamar, dilihatnya Restu sedang melamun. Rio merasa trenyuh melihat keadaan Restu. Ia tampak kurus, kumal tak terawat, atau memang enggan merawat dirinya semenjak istrinya tak ada.

Restu terkejut, ketika Rio tiba-tiba muncul di hadapannya.

“Mas Rio?”

“Mas Restu lagi ngapain?”

“Nggak ngapa-ngapain. Nggak tahu harus berbuat apa. Hidup saya ini juga untuk siapa. Saya bingung.”

“Mas Restu, perkataan seperti itu menunjukkan bahwa mas Restu putus asa.”

“Saya tak punya gairah hidup lagi. Apapun yang saya lakukan, salah. Tak ada benarnya.”

“Tidak, mengapa begitu? Murni pergi karena salah paham, mas Restu harus memahaminya.”

“Tapi kalau saya tidak bisa menemukan Murni? Bagaimana caranya mengatakan semua kebenaran?”

“Saya siang tadi melihat Murni.”

Restu terbelalak. Menatap Rio dengan mata berbinar.”

“Di mana dia?”

“Kita harus mencarinya.”

“Mas Rio bilang melihatnya, gimana sih,” kata Restu kecewa.

“Saya melihatnya, dia sedang bersama seorang laki-laki setengah tua, mengendarai mobil pick up.”

“Di mana?”

“Ayo kita mencarinya.”


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 73

SELAMAT PAGI BIDADARI (71)

Karya Tien Kumalasari

Hari itu Murni pulang dengan membawa susu untuk Gilang, dan cemilan untuk keluarga bu Trisni. Setiap seminggu sekali dia belanja, terutama untuk keperluan anaknya. Ia juga membantu keluarga Trisni dengan membeli beras dan kebutuhan dapur lainnya.

Bu Trisni sudah menegurnya, tapi Murni tetap melakukannya.

“Bu, mengapa Ibu selalu belanja untuk saya juga? Bukankah Ibu itu bekerja, demi memenuhi kebutuhan Gilang? Jadi menurut saya, Ibu beli saja untuk keperluan Gilang. Misalnya susu, bubur, dan lain-lain. Saya sudah merasa cukup. Nggak enak justru membebani bu Murni,” kata bu Trisni.

“Tidak, siapa yang membebani? Saya punya rejeki cukup kok, jadi tidak apa-apa, sedikit berbagi.”

“Tapi yang utama adalah keperluan Gilang.”

“Iya Bu, saya tahu. Ini kan tidak seberapa. Pak Warso sangat baik, selalu memberi tip untuk saya. Katanya karena pekerjaan saya baik.”

“Benarkah?”

“Pak Warso sangat baik kepada semua karyawannya. Tentu saja termasuk saya. Teman-teman saya juga bilang begitu.”

“Tapi bu Murni harus hati-hati lho.”

“Memangnya kenapa Bu?”

“Pak Warso itu seorang duda.”

Murni tertawa mendengar perkataan bu Trisni.

“Bu Trisni ada-ada saja. Memangnya kenapa kalau dia seorang duda? Dia baik bukan hanya kepada saya kok. Kepada karyawan lain juga begitu.”

“Ee, saya tuh kan hanya mengingatkan. Karyawan lain kan kebanyakan laki-laki, yang perempuan hanya orang desa seperti saya. Sedangkan bu Murni ini masih muda dan cantik lho.”

Murni kembali tertawa.

“Bu Trisni, saya itu juga orang desa lho. Saya di kota kan kebetulan saja, karena simbok saya bekerja di kota.”

Tiba-tiba tanpa sengaja menyebut simboknya, Murni jadi sedih. Ia terpaksa meninggalkan orang-orang yang mengasihinya, seperti simboknya sendiri, keluarga Broto, dan keluarga Rio.

“Lho, bu Murni kok tiba-tiba jadi muram?”

“Saya teringat simbok. Hampir sebulan saya meninggalkannya.”

“Ya sudah, jangan diingat-ingat lagi. Pada suatu hari nanti pasti ada kesempatan bagi Bu Murni untuk bertemu.”

“Iya. Sedang saya pikirkan bagaimana caranya.”

Tiba-tiba Trimo datang dari luar rumah, sambil menggendong Gilang.

“Trimo, kamu ajak ke mana adik kamu?” tanya Murni.

“Di luar, melihat sapi lewat,” kata Trimo riang.

“Kamu kalau mengajak Gilang harus hati-hati. Jangan dibawa ke tempat yang panas, nanti kulitnya yang bersih jadi hitam seperti kulit kamu,” seloroh bu Trini.

“Enggak kok Bu, hanya duduk di bawah pohon jambu itu. Lalu ada sapi lewat, Gilang berteriak-teriak senang.”

“Ya sudah, berikan sama bu Murni, saatnya minum Asi kan. Kamu mandi sana, ini sudah sore,” kata ibunya.

Murni menerima Gilang yang masih tertawa-tawa, lalu dibawanya ke kamar untuk diberinya ASI.


Tapi sebenarnya perlakuan pak Warso terhadap Murni memang berbeda. Benar, pak Warso baik kepada semua karyawan, sering memberi tip bagi mereka yang bekerja dengan baik, tapi kepada Murni tetap tidak sama. Murni selalu mendapat lebih. Itu sebabnya Murni selalu bisa belanja untuk keperluan keluarga bu Trisni juga.

Hari itu Murni sedang mencatat semua barang yang sudah menipis, agar pak Warso bisa belanja untuk mencukupi kebutuhan toko.

Tiba-tiba pak Warso mendekat dan melihat-lihat pekerjaannya.

“Sudah selesai Mur?”

“Belum Pak, kurang sedikit.”

“Nanti aku belanja nya sama kamu ya Mur?”

“Kok sama saya, Pardi kemana?” tanya Murni. Pardi adalah karyawan di bagian gudang.

“Dia tidak masuk hari ini. Lagipula supaya kamu tahu tempatnya belanja murah, sehingga kalau aku tidak bisa berangkat, kamu bisa melakukannya.”

“Oh, begitu ya? Tapi ini barangnya berat-berat semua. Beras, minyak .. sabun ….”

“Bukan kamu yang harus mengangkut Mur, kamu hanya membaca kebutuhan kita saja. Mereka yang akan memasukkannya ke dalam mobil.

“Baiklah kalau begitu, saya selesaikan dulu catatannya ya Pak.”

“Ya, bagus. Selesaikan saja. Jangan sampai ada yang terlewat, soalnya tempatnya belanja tuh jauh.”

“Di kota ya Pak?”

“Iya, kalau tidak ke sana, kita tidak bisa menjual murah.”

“Iya Pak, saya mengerti.”

“Ya sudah, selesaikan saja dulu, aku mau mengambil uang yang akan dibawa.”

“Baik Pak.”

Murni melanjutkan pekerjaannya, tapi dalam hati dia berpikir, lama kah belanja ke kota? Bagaimana kalau Gilang menangis karena biasanya di jam istirahat dia pulang untuk memberikan ASI.

Ketika ia selesai dan pak Warso mendekati, hal itu terpaksa diutarakannya, karena dia bekerja itu yang utama adalah untuk anaknya.

“Pak, apakah nanti kita akan lama?”

“Memangnya kenapa Mur?”

“Mm … maaf, kan saya setiap jam istirahat harus pulang untuk memberikan ASI anak saya.”

“Oh begitu ya? Sebenarnya hal itu kan bisa diatasi. Kamu bisa menyimpan stok ASI kamu, sehingga kalau dia rewel bisa langsung bisa diberikan tanpa menunggu kamu pulang.”

“Tapi stok ASI kan harus di simpan di dalam kulkas Pak? Mana saya punya? Lagian saya cuma menumpang di rumah sahabat saya.”

“Mur, di rumahku ada kulkas dobel, nanti yang satu bisa kamu bawa pulang. Biar besok kalau Pardi masuk mengantarkannya.”

“Tidak Pak. Mana mungkin? Kulkas kan harus makan listrik? Saya bisa memberatkan yang punya rumah Pak. Tidak usah saja.”

“Nanti aku bantu bayar listriknya.”

“Aduh, jangan Pak, saya orang baru di sini, bagaimana mungkin bisa menerima kebaikan Bapak yang sedemikian besar?”

“Kamu bekerja kan untuk anak kamu. Kalau anak kamu terbengkalai, misalnya karena di sini baru banyak pekerjaan, atau kamu harus lembur, kan kasihan?”

“Tapi ….”

“Tidak usah tapi-tapi, besok biar Pardi mngirimkannya ke rumah teman kamu itu, listriknya aku yang bayar.

Murni diam membisu. Ini luar biasa, dia ingin menolaknya, tapi pak Warso memaksanya.

“Ini nanti kamu pulang saja dulu, aku antar, kamu berikan ASI anak kamu, lalu kita berangkat sekalian,” kata pak Warso lagi.

“Tidak Pak, kalau boleh pulang dulu, saya pulang dulu saja, masa Bapak harus menunggui saya,” sergah Murni.

“Tidak apa-apa, untuk menyingkat waktu, daripada nanti kamu kepikiran.”

Tak ada yang bisa dilakukan Murni, kecuali menurut apa kata pak Warso.


Hari itu belanjaan memang sangat banyak. Tapi Murni hanya memberikan catatannya saja, sekaligus menambahkan barangkali ada barang yang kosong atau kurang. Pak Warso sangat senang Murni begitu cepat menguasai pekerjaannya. Semakin mantap hatinya, untuk mengambil istri Murni. Dia cantik, pintar, kurang apalagi? Kalaupun dia punya anak bayi, apa salahnya? Tidak apa-apa ikut mencukupi kebutuhan Murni. Tapi hal itu belum ingin dikatakannya sekarang. Harus ada pendekatan, dan harus ada perlakuannya yang akan dinilai baik oleh Murni, sehingga dia tidak keberatan untuk menerima seorang duda seperti dirinya. Biar duda kan aku keren, begitu pikir pak Warso.

Mereka pulang saat hari menjelang sore, karena pak Warso juga mengajaknya mampir untuk makan siang di sebuah restoran. Ada persaan tak enak ketika makan berdua, sementara dia hanya karyawan sedangkan pak Warso adalah majikan. Tapi pak Warso tampak sangat menikmati makan siangnya bersama wanita yang sangat menarik hatinya ini.

Ketika dalam perjalanan pulang itu, sepasang mata dari dalam mobil menatap mereka. Mobil pak Warso adalah pick up terbuka, dimana kaca depan mobil tidak ditutup, sehingga jelas siapa yang duduk di dalamnya.

“Apakah itu Murni?” desisnya.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 72

SELAMAT PAGI BIDADARI (70)

Karya Tien Kumalasari

Agak lama Restu mengitari dusun itu, tapi bingung, bagaimana menemukan rumah Trimo? Hari sudah sore, dan Restu mulai putus asa. Dicobanya lagi menelpon istrinya, tapi ponsel itu tidak aktif. Ya, sejak meninggalkan rumah, ponsel itu sudah tidak aktif. Restu terpekur di sebuah jalan, tak tahu harus melakukan apa. Tiba-tiba dilihatnya seorang anak laki-laki menjinjing belanjaan. Restu terkejut. Ia menatap anak laki-laki itu dan hampir bersorak.

Ia turun dari mobil dan menghadangnya.

“Kamu Trimo bukan?”

Anak itu memang Trimo. Dan dia ingat, siapa laki-laki ganteng yang menyapanya.

“Benar kan? Kamu Trimo? Yang menengok Gilang saat di rumah sakit?”

Trimo mengangguk.

“Apa bu Murni ada di rumah kamu?”

Trimo terpaku. Ia tidak tahu apa masalahnya, karena Murni tidak mengatakan apa-apa sama dia. Tapi bahwa Murni pergi dari rumah, membawa wajah sembab penuh duka, diyakininya bahwa ada masalah dalam rumah tangganya. Ia tak suka berbohong, tapi ia tidak tahu, apakah Murni suka kalau dia mengatakan yang sebenarnya atau tidak. Tapi mengingat kesedihan Murni, tampaknya dia memang lebih baik berbohong. Bukan karena dia jahat, tapi dia harus melindungi bu Murni. Kalau dia lari dari suaminya, berarti suaminya berbuat yang tidak baik.

“Hei, aku sedang bertanya sama kamu.”

“Eh, apa? Saya tidak mendengarnya.”

“Apa bu Murni ada di rumah kamu?”

Trimo menggelengkan kepalanya, lalu meletakkan bungkusan belanjaannya di tanah, karena memang belanjaan itu berat.

“Tidak?”

“Mengapa bu Murni ada di rumah saya?”

“Entahlah, barangkali dia ada di rumah kamu,” Restu enggan mengatakan bahwa istrinya lari dari rumah. Dihadapannya adalah anak kecil, ia yakin dia tak akan mengerti apa yang dikatakannya.

“Jadi tidak ada ya?”

Trimo mengangkat kedua bahunya, kemudian memungut lagi barang belanjaannya.

“Saya permisi,” katanya kemudian berlalu.

Restu menghela napas kecewa. Jadi Murni tidak kesini. Pastinya begitu, karena Murni tak mau berada di tempat yang Restu mengetahuinya. Di kampungnya, atau di kampung Trimo. Tak mungkin dia ke sana, pikir Restu.

Perlahan dia menjalankan mobilnya, berlalu.

“Kemana kamu Murni? Ketahuilah, aku tidak mengkhianati kamu. Aku mencintai kamu, Lisa bukan apa-apa bagiku. Dimana kamu berada?” gumamnya sedih sambil menjalankan mobilnya, pelan.


Terengah Trimo memasuki rumahnya, lalu langsung meletakkan belanjaan di meja dapur. Bu Trisni yang sedang berbincang dengan Murni terkejut.

“Ada apa? Kamu seperti dikejar harimau saja,” tegur ibunya.

“Saya bertemu pak Restu,” katanya sambil masih terengah-engah.

“Kamu?” Murni terbelalak.

“Iya.”

“Di mana?”

“Di dekat pasar.”

“Kamu bilang kalau aku ada di sini?” tanya Murni khawatir.

“Tidak. Saya tidak berani. Tapi kalau bu Murni ingin agar pak Restu datang kemari, bisa menelponnya. Dia pasti belum jauh.”

“Ya Tuhan.” Murni menghempaskan napasnya kasar.

“Cepat Ibu menelponnya, dia belum jauh,” kata Trimo khawatir, kalau kebohongan yang dilakukannya ternyata salah.

“Tidak. Biarkan saja.”

“Saya tidak salah ya, mengatakan kalau bu Murni tidak ada di sini?”

“Tidak Mo, kamu benar. Saat ini aku sedang suka berada di tempat ini. Bersamamu,” kata Murni sambil tersenyum.

Trimo tidak mengerti semua akar permasalahan yang dihadapi Murni. Barangkali karena dianggap masih kecil, jadi tidak dilibatkan dalam pembicaraan antara Murni dan ibunya. Tapi dia senang, Gilang ada di rumahnya. Gilang si kecil imut yang ganteng dan murah senyum, selalu lucu setiap gerak dan ulahnya.

“Apa Gilang masih tidur?” tanyanya sambil melongok ke dalam kamar.

:Ssst, Trimo, dia baru saja tidur. Kamu jangan mengganggunya.”

“Pengin gendong dia,” rengek Trimo seperti anak kecil menginginkan mainan.

“Yaah, kan masih tidur. Sudah. Kamu itu kan baru datang dan belum mandi. Mandi dulu sana. Nanti begitu kamu selesai, Gilang pasti sudah bangun,” kata ibunya.

“Baiklah.” Kata Trimo riang.

Murni tersenyum melihat ulah Trimo.

“Bu Trisni, saya tidak ingin menyusahkan ibu lebih lama,” kata Murni setelah Trimo pergi ke kamar mandi yang terletak di belakang rumah.

“Apa maksud bu Murni? Mau pulang?”

“Tidak, saya tidak ingin pulang. Tapi saya tidak bisa menyusahkan bu Trisni.”

“Lalu apa yang akan bu Murni lakukan?”

“Saya akan bekerja. Apa saja, adakah rumah kecil untuk saya menyewanya?”

“Mengapa bu Murni harus mencari rumah untuk menyewa? Bu Murni bisa tetap berada di sini. Saat bu Murni bekerja, saya akan menjaga Gilang,”

“Tapi kan saya jadi menyusahkan bu Trisni.”

“Siapa bilang bu Murni menyusahkan? Bagi kami, bu Murni bukan orang lain. Kalau bu Murni belum ingin pulang, tetaplah di sini saja.”

Murni tampak terharu, menatap bu Trisni dengan linangan air mata.

“Jangan dipikirkan lagi. Tapi bu Murni mau bekerja di mana? Tidak mungkin bu Murni akan berjualan seperti saya. Ini sangat berat.”

“Saya akan mencarinya. Mungkin di toko, atau warung. Mulai besok saya akan berusaha mencarinya.”

“Baiklah, terserah bu Murni saja. Yang penting bu Murni tidak usah pergi dari sini. Coba bayangkan kalau bu Murni menyewa rumah sendiri. Kalau bu Murni bekerja, Gilang sama siapa? Tidak mudah mencari pembantu di sini. Dan kalaupun ada, penghasilan bu Murni akan berukarng untuk membayarnya, bukan?”

Murni mengangguk. Apa yang dikatakan bu Trisni memang benar.

“Baiklah kalau begitu. Besok siang saya akan mencoba mencari pekerjaan.”


Sementara itu bu Broto dan terlebih-lebih yu Sarni yang menangis tak henti-hentinya mendengar bahwa sebenarnya Murni pergi dari rumah bersama Gilang.

Setiap hari Restu pergi mencari. Dibantu Rio, dia sudah melaporkan kepergian Murni kepada polisi, dan semua bergerak mencari keberadaannya.

Dua hari, tiga hari, akhirnya Murni di terima bekerja sebagai pelayan toko. Murni hanya lulusan SMA. Menjadi pelayan toko sudah lumayan baginya, untuk menyambung hidup.

Toko tempat Murni bekerja, adalah sebuah toko kelontong yang ramai dikunjungi pelanggan, karena dagangannya lengkap dan harganya juga lebih murah daripada toko lainnya. Murni juga diijinkan untuk setiap istirahat pulang, untuk memberikan ASI bagi Gilang. Gilang sudah bisa makan bubur, sehingga tidak begitu banyak membutuhkan ASI. Bu Trisni ikut merawat Gilang dengan kasih sayang. Ia membuatkan bubur, menyuapkannya, setiap siang setelah selesai menggoreng dagangan, sementara kalau pagi, Murni sendiri melakukannya sebelum berangkat bekerja.

Pemilik warung itu seorang duda setengah tua, yang anak-anaknya sudah berkeluarga dan tinggal di kota. Ia hanya ditemani pembantu-pembantu yang bekerja di tokonya, setiap pagi sampai sore. Itu cukup bagi pak Warso, pemilik toko itu.

Melihat Murni yang cekatan dalam bekerja, dan bisa membantu administrasi toko dengan baik, pak Warso sangat senang. Dengan adanya Murni, pekerjaannya jadi lebih ringan.

Lama-kelamaan, timbullah rasa suka di hati pak Warso. Dia belum tua benar, dan dia merasa masih gagah dan pantas beristri lagi.

Itu sebabnya, ia selalu memberi tip setiap kali Murni mau pulang. Murni selalu menolaknya, tapi pak Warso selalu memaksa.

Pada suatu hari, pak Warso membaca di sebuah koran, bahwa Murni sedang dicari suaminya. Pak Warso terkejut, sekaligus sangat khawatir. Dia segera merobek koran itu dan membuangnya ke tempat sampah.


Besok lagi ya…

Bersambung ke Jilid 71

SELAMAT PAGI BIDADARI (69)

Karya Tien Kumalasari

Bu Trisni merasa trenyuh melihat Murni berurai air mata.

“Ya sudah, bu Murni tidak usah cerita sekarang, barangkali membutuhkan waktu untuk tenang sebelum bisa bicara. Sekarang saya tata dulu kamar untuk bu Murni, tapi bagaimana ya, si kecil Gilang kasihan kalau alas tidurnya keras.”

“Saya bawa kasur lipat kecil Bu, bisa untuk tidur Gilang,” kata Murni.

“Baiklah kalau begitu, saya bersihkan dulu saja kamarnya.”

“Saya terus menerus merepotkan bu Trini.”

“Tidak, jangan memikirkan hal itu. Bu Murni bagi saya bukan orang lain. Tunggu sebentar, saya siapkan kamar, lalu bu Murni harus sarapan. Tidak usah tergesa-gesa mengatakan apapun, atau boleh kok tidak usah cerita apapun, kalau memang bu Murni tidak ingin mengatakannya.”

“Nanti akan saya ceritakan semuanya Bu.”

“Baiklah,” kata bu Trisni sambil memasuki kamar Trimo, untuk disiapkannya menjadi kamar Murni dan anaknya.

Murni masih menyusui Gilang, yang kembali terlelap. Badan Gilang sudah hangat setelah sejak pagi buta dipangku ibunya tidur di luar rumah. Biarpun dibungkus selimut tebal, tapi udara dingin masih juga terasa.

Air mata Murni merebak, mengingat apa yang terjadi semalam. Ia tidak tahu harus pergi ke mana, tapi yang jelas dia tak ingin kembali kepada Restu. Sifat buruknya tak akan bisa hilang selama hidupnya, dan selama itu pula, kalau diteruskan, akan selalu menyiksa batinnya. Pergi adalah jalan terbaik, agar hidupnya merasa tenang.


Tapi bu Broto bingung, ketika sampai siang harinya, Restu dan Murni belum juga bisa dihubungi.

Pak Broto yang akan segera berangkat ke kantor hanya bisa menghibur istrinya, dengan mengatakan pasti mereka lupa ngecas ponselnya.

Bu Broto yang tidak terima terus saja mencoba menghubungi.

Yu Sarni yang melihat kegelisahan majikannya, ikut gelisah karenanya.

“Mungkin mereka pergi Bu, barangkali jalan-jalan, atau apa,” kata yu Sarni.

“Masalah jalan-jalan atau tidak, itu kan harusnya bisa menjawab telpon.

“Kalau ponsel di dalam tas, sering kali tidak terdengar lho Bu.”

“Tapi kok perasaanku nggak enak. Ayo kita ke sana saja Ni.”

“Tapi saya kan sedang memasak, nanti kalau bapak pulang makan siang, belum ada makanan, bagaimana?”

“Gampang Ni, bisa beli lauk di jalan, yang penting aku harus ketemu Gilang. Biasanya kalau pagi pasti video call, lalu tertawa-tertawa lucu, begitu. Ini tadi sama sekali tidak.”

“Sudah saya simpan dulu bahan-bahannya, lalu ganti baju ya Bu.”

“Cepat, kalau sudah, aku mau memanggil taksi.”

“Baik, Bu”

Tapi sesampai di rumah Restu, bu Broto mendapati rumah itu kosong.

“Tuh kan Bu, mereka bepergian. Mungkin belanja.”

“Tapi kok ya nggak mau mengangkat panggilan telpon itu lho. Membuat aku kesal saja.”

Bu Broto langsung menelpon Wulan.

“Ya Bu,” jawab Wulan dari seberang.

“Kamu di kantor?”

“Tidak Bu, hari ini jadwal periksa kandungan pagi, jadi Wulan tidak ke kantor. Apa bapak menanyakan saya?”

“Tidak, aku tuh di rumah Restu.”

“Tuh, seneng dong bu, sudah bisa bercanda sama Gilang.”

“Bercanda bagaimana? Ditelpon dari pagi nggak bisa, disambangi ke rumah, rumahnya kosong.”

“Dari pagi tadi, ibu belum bisa nyambung?”

“Iya. Ada apa ya, perasaanku kok nggak enak.”

“Lho, ibu bilang rumahnya kosong, berarti mereka bepergian. Mungkin belanja, atau apa.”

“Mungkin juga. Tapi kok ponselnya juga mati. Aku hanya pengin dengar suara mereka saja, sampai sekarang belum bisa.”

“Ibu sabar dong, nanti kalau mereka pulang, pasti menghubungi ibu.”

“Baiklah, aku mau pulang saja kalau begitu.”

“Iya Bu, sebaiknya Ibu pulang. Ini mas Rio juga mau mengantar Wulan ke dokter.”

“Iya Wulan, biasanya semakin tua usia kandungan, harus semakin sering periksa. Semoga kandunganmu baik-baik saja. Ibu bahagia sekali, bakal punya dua cucu, nih.”

“Iya Bu, doakan ya Bu.”

“Pasti Wulan, ya sudah, ibu mau pulang saja dulu.”

“Ibu sendirian? Kalau mau menunggu sebentar, nanti setelah saya turun di rumah sakit, biar Rio nyamperin Ibu.”

“Nggak usah, kok repot amat. Ibu sama Sarni, bisa naik taksi. Mau belanja saja sekalian, kalau begitu.”

“Oh, baiklah kalau begitu, Ibu hati-hati ya.”

Tapi baru saja Wulan meletakkan ponselnya, tiba-tiba Restu muncul, dengan wajah kusut. Wulan menatapnya heran. Ia pun segera berteriak memanggil suaminya.

“Rio, ada mas Restu nih.”

Rio muncul ketika Restu menginjakkan kakinya di teras.

“Mas Restu?” sapa Rio heran ketika menatap wajah Restu yang kusut, dan rambut awut-awutan.

“Barusan ibu telpon, menanyakan mas Restu, kok di telpon nggak ada tanggapan.”

“Mas Restu sendirian?”

“Mana Murni dan Gilang?”

Setumpuk pertanyaan bertubi-tubi memasuki telinganya, belum satupun yang dijawab.

Restu duduk di kursi teras. Matanya berkaca-kaca.

“Apa yang terjadi?” tanya Rio.

“Murni pergi,” jawabnya singkat sambil mengusap wajahnya dengan ke dua tangan.

“Pergi?” Rio dan Wulan berteriak bersamaan.

Restu menganggukkan kepalanya.

“Ada apa sebenarnya?”

Wulan beranjak ke belakang, mengambilkan Restu segelas minuman hangat. Sejak tadi, belum setegukpun air membasahi kerongkongannya. Itu sebabnya, begitu Wulan keluar dan meletakkan segelas kopi susu hangat, Restu segera meneguknya.

Rio dan Wulan menatapnya iba. Ingin rasanya mengambil sisir untuk menyisir rambut Restu yang acak-acakan.

“Murni pergi membawa Gilang,” ucapnya lagi setelah meneguk habis minumannya.

“Kalian bertengkar?”

“Gara-gara Murni menerima pembantu baru, bernama Marsih.”

“Dia mencuri?” tanya Rio tiba-tiba.

“Dia penjahat.”

“Apa yang dilakukannya?”

“Dia menyamar menjadi wanita cacat, lalu selalu mengenakan penutup muka. Tapi dia sebenarnya Lisa.”

Lisa?” Rio dan Wulan kembali berteriak.

“Cacat itu hanya buatan dia, untuk menutupi wajah aslinya.”

“Lalu ngapain dia pura-pura jadi pembantu?” tanya Wulan.

Lalu Restu menceritakan semuanya, sehingga Murni marah dan nekat pergi membawa Gilang, membuatnya kacau seperti kehilangan pegangan.

“Ya Tuhan … dia masih mengejar mas Restu?”

“Bukankah dia sudah menggaet laki-laki bernama Thomas, yang istrinya kemudian mengembalikan gelang kamu itu?” kata Rio kepada istrinya.

“Ya, bukankah dia sudah bersama Thomas? Bahkan kabarnya dia membayar agar Lisa diperingan hukumannya?”

“Ternyata Thomas setelah diceraikan istrinya lalu tidak punya apa-apa.”

“Itu sebabnya dia mengejar mas Restu lagi?”

“Kemana aku harus mencari Murni?”

“Saya kira Murni pulang ke kampungnya.”

“Saya sudah menelpon salah satu keluarganya yang saya kenal. Katanya Murni tidak pulang ke kampung.”

“Waduh, bagaimana nanti bicara sama ibu ya. Ibu pasti kaget mendengar peristiwa ini.”

“Ya sudah, mas Restu tenang saja dulu, saya akan menyuruh orang untuk mencari keberadaan Murni. Sekarang barangkali Murni berada ke suatu tempat yang mas Restu tidak menduganya.”


Restu berada di bengkel, tapi tidak menunggui para pekerjanya. Ia lebih merenung di lantai atas, di kamarnya.

Tiba-tiba Restu teringat saat Murni menghilang ketika sedang mengandung.

“Trimo. Pasti Murni ada di rumah Trimo.”

Restu segera berkemas. Setitik harapan membuatnya kemudian pergi mandi dan berpakaian dan berdandan lebih rapi.

“Mengapa tidak dari tadi aku memikirkan ini? Pasti di rumah Trimo. Kemana lagi? Tapi di mana rumah Trimo? Murni pernah mengatakan nama desanya, tapi nama kampungnya dia tidak begitu memperhatikannya.”

Restu turun ke bawah, berpamit kepada para bawahannya lalu mengendarai mobilnya. Walau belum jelas tempatnya, dia harus mencarinya.


Besok lagi ya…

Bersambung ke Jilid 70

SELAMAT PAGI BIDADARI (68)

Karya Tien Kumalasari

Kembali kepada Restu. Sifat buruknya tak akan bisa hilang selama hidupnya, dan selama itu pula, kalau diteruskan, akan selalu menyiksa batinnya. Pergi adalah jalan terbaik, agar hidupnya merasa tenang.


Tapi bu Broto bingung, ketika sampai siang harinya, Restu dan Murni belum juga bisa dihubungi.

Pak Broto yang akan segera berangkat ke kantor hanya bisa menghibur istrinya, dengan mengatakan pasti mereka lupa ngecas ponselnya.

Bu Broto yang tidak terima terus saja mencoba menghubungi.

Yu Sarni yang melihat kegelisahan majikannya, ikut gelisah karenanya.

“Mungkin mereka pergi Bu, barangkali jalan-jalan, atau apa,” kata yu Sarni.

“Masalah jalan-jalan atau tidak itu kan harusnya bisa menjawab telpon. :”

“Kalau ponsel di dalam tas, sering kali tidak terdengar lho Bu.”

“Tapi kok perasaanku nggak enak. Ayo kita ke sana saja Ni.”

“Tapi saya kan sedang memasak, nanti kalau bapak pulang makan siang, belum ada makanan, bagaimana?”

“Gampang NI, bisa beli lauk di jalan, yang penting aku harus ketemu Gilang. Biasanya kalau pagi pasti viveo call, lalu tertawa-tertawa lucu, begitu. Ini tadi sama sekali tidak.”

“Ya sudah, saya simpan dulu bahan-bahannya, lalu ganti baju ya Bu.”

“Cepat, kalau sudah, aku mau memanggil taksi.”

“Baik, Bu”

Tapi sesampai di rumah Restu, bu Broto mendapati rumah itu kosong.

“Tuh kan Bu, mereka bepergian. Mungkin belanja.”

“Tapi kok ya nggak mau mengangkat panggilan telpon itu lho. Membuat aku kesal saja.”

Bu Broto langsung menelpon Wulan.

“Ya Bu,” jawab Wulan dari seberang.

“Kamu di kantor?”

“Tidak Bu, hari ini jadwal periksa kandungan pagi, jadi Wulan tidak ke kantor. Apa bapak menanyakan saya?”

“Tidak, aku tuh di rumah Restu.”

“Tuh, seneng dong bu, sudah bisa bercanda sama Gilang.”

“Bercanda bagaimana? Ditelpon dari pagi nggak bisa, disambangi ke rumah, rumahnya kosong.”

“Dari pagi tadi, ibu belum bisa nyambung?”

“Iya. Ada apa ya, perasaanku kok nggak enak.”

“Lho, ibu bilang rumahnya kosong, berarti mereka bepergian. Mungkin belanja, atau apa.”

“Mungkin juga. Tapi kok ponselnya juga mati. Aku hanya pengin dengar suara mereka saja, sampai sekarang belum bisa.”

“Ibu sabar dong, nanti kalau mereka pulang, pasti menghubungi ibu.”

“Baiklah, aku mau pulang saja kalau begitu.”

“Iya Bu, sebaiknya Ibu pulang. Ini mas Rio juga mau mengantar Wulan ke dokter.”

“Iya Wulan, biasanya semakin tua usia kandungan, harus semakin sering periksa. Semoga kandunganmu baik-baik saja. Ibu bahagia sekali, bakal punya dua cucu, nih.”

“Iya Bu, doakan ya Bu.”

“Pasti Wulan, ya sudah, ibu mau pulang saja dulu.”

“Ibu sendirian? Kalau mau menunggu sebentar, nanti setelah saya turun di rumah sakit, biar Rio nyamperin Ibu.”

“Nggak usah, kok repot amat. Ibu sama Sarni, bisa naik taksi. Mau belanja saja sekalian, kalau begitu.”

“Oh, baiklah kalau begitu, Ibu hati-hati ya.”

Tapi baru saja Wulan meletakkan ponselnya, tiba-tiba Restu muncul, dengan wajah kusut. Wulan menatapnya heran. Ia pun segera berteriak memanggil suaminya.

“Rio, ada mas Restu nih.”

Rio muncul ketika Restu menginjakkan kakinya di teras.

“Mas Restu?” sapa Rio heran ketika menatap wajah Restu yang kusut, dan rambut awut-awutan.

“Barusan ibu telpon, menanyakan mas Restu, kok di telpon nggak ada tanggapan.”
“Mas Restu sendirian?”

“Mana Murni dan Gilang?”

“Setumpuk pertanyaan bertubi-tubi memasuki telinganya, belum satupun yang dijawab. Restu duduk di kursi teras. Matanya berkaca-kaca.

“Apa yang terjadi?” tanya Rio.

“Murni pergi,” jawabnya singkat sambil mengusap wajahnya dengan ke dua tangan,

“Pergi?” Rio dan Wulan berteriak bersamaan.

Restu menganggukkan kepalanya.

“Ada apa sebenarnya?”

Wulan beranjak ke belakang, mengambilkan Restu segelas minuman hangat. Sejak tadi, belum setegukpun air membasahi kerongkongannya. Itu sebabnya, begitu Wulan keluar dan meletakkan segelas kopi susu hangat, Restu segera meneguknya.

Rio dan Wulan menatapnya iba. Ingin rasanya mengambil sisir untuk menyisir rambut Restu yang acak-acakan.

“Murni pergi membawa Gilang,” ucapnya lagi setelah meneguk habis minumannya.

“Kalian bertengkar?”

“Gara-gara Murni menerima pembantu baru, bernama Marsih.”

“Dia mencuri?” tanya Rio tiba-tiba.

“Dia penjahat.”

“Apa yang dilakukannya?”

“Dia menyamar menjadi wanita cacat, lalu selalu mengenakan penutup muka. Tapi dia sebenarnya Lisa.”

“Lisa?” Rio dan Wulan kembali berteriak.

“Cacat itu hanya buatan dia, untuk menutupi wajah aslinya.”

“Lalu ngapain dia pura-pura jadi pembantu?” tanya Wulan.

Lalu Restu menceritakan semuanya, sehingga Murni marah dan nekat pergi membawa Gilang, membuatnya kacau seperti kehilangan pegangan.

“Ya Tuhan … dia masih mengejar mas Restu?”

“Bukankah dia sudah menggaet laki-laki bernama Thomas, yang istrinya kemudian mengembalikan gelang kamu itu?” kata Rio kepada istrinya.

“Ya, bukankah dia sudah bersama Thomas? Bahkan kabarnya dia membayar agar Lisa diperingan hukumannya?”

“Ternyata Thomas setelah diceraikan istrinya lalu tidak punya apa-apa.”

“Itu sebabnya dia mengejar mas Restu lagi?”

“Kemana aku harus mencari Murni?”

“Saya kira Murni pulang ke kampungnya.”

“Saya sudah menelpon salah satu keluarganya yang saya kenal. Katanya Murni tidak pulang ke kampung.”

“Waduh, bagaimana nanti bicara sama ibu ya. Ibu pasti kaget mendengar peristiwa ini.”

“Ya sudah, mas Restu tenang saja dulu, saya akan menyuruh orang untuk mencari keberadaan Murni. Sekarang barangkali Murni berada ke suatu tempat yang mas Retsu tidak menduganya.”


Restu berada di bengkel, tapi tidak menunggui para pekerjanya. Ia lebih merenung di lantai atas, di kamarnya.

Tiba-tiba Restu teringat saat Murni menghilang ketika sedang mengandung.

“Trimo. Pasti Murni ada di rumah Trimo.”

Restu segera berkemas. Setitik harapan membuatnya kemudian pergi mandi dan berpakaian dan berdandan lebih rapi.

“Mengapa tidak dari tadi aku memikirkan ini? Pasti di rumah Trimo. Kemana lagi? Tapi di mana rumah Trimo? Murni pernah mengatakan nama desanya, tapi nama kampungnya dia tidak begitu memperhatikannya.”

Restu turun ke bawah, berpamit kepada para bawahannya lalu mengendarai mobilnya. Walau belum jelas tempatnya, dia harus mencarinya.


Besok lagi ya…

Bersambung ke Jilid 69

SELAMAT PAGI BIDADARI (67)

Karya Tien Kumalasari

Begitu Restu masuk, Lisa kemudian melompat ke arah pintu, lalu menguncinya dari dalam, lalu melemparkan kuncinya entah kemana. Restu sangat terkejut.

“Restu …” Lisa menyebut namanya lembut, sambil mendekat dan berusaha merangkul.

“Lisa? Jadi kamu yang selama ini menyamar menjadi pembantu di rumah ini?”

“Restu, kamu harus tahu. Ini adalah pengorbanan aku, demi rasa cintaku sama kamu yang tak pernah putus.”

“Perempuan murahan !! Enyah sekarang juga kamu dari rumah ini!”

“Restu, kamu jangan begitu. Apa kamu melupakan saat-saat indah ketika kita bersama? Aku tak bisa melupakannya Restu, aku cinta mati sama kamu.”

“Enyah kamu! Perempuan murahan. Aku tidak sudi lagi melihat tampangmu. Segera enyah sebelum istriku bangun.”

“Memangnya kenapa kalau istri kamu bangun? Dia harus tahu diri. Bukankah dia hanya pembantu?”

Kemarahan Restu tak tertahankan lagi mendengar istrinya dihina. Sebuah ayunan tangan mengenai pipinya dengan keras.

Plaaaakkk!

“Augh! Restu, apa yang kamu lakukan? Lihatlah tubuhku, kamu melupakannya?”

Restu berusaha membuka pintu dan kabur, tapi Lisa mendekapnya dari belakang, lalu terdengar suara baju terkoyak. Lisa mengoyak baju bagian depannya.

“Apa yang kamu lakukan? Buka pintunya. Aku tidak sudi menatap wajahmu. Kamu menjijikkan!”

“Restu, kamu bilang apa? Menjijikkan? Kamu melupakan saat-saat itu.”

“Kamu benar-benar menjijikkan. Aku bukan Restu yang dulu. Aku hanya mencintai istriku.”

“Restu, aku rela menjadi kekasih gelapmu, percayalah bahwa istri kamu tak akan pernah tahu tentang hubungan kita.”

Sekali lagi Restu menampar wajah Lisa, dan kali ini Lisa menjerit.

“Toloooong !! Toloooong saya …!”

Restu terkejut mendengar teriakan itu. Begitu keras, dan pasti Murni mendengarnya.

Dan Murni benar-benar terbangun mendengar teriakan itu. Ia meraba ke samping, tak melihat suaminya di sisinya. Ia sangat terkejut, jangan-jangan sang suami mendapat celaka.

“Siapa berteriak itu?” Murni berjingkat keluar kamar, takut Gilang terbangun.

“Toloooomng, dia memaksa akuuu. Tolooonglah buu..”

Restu sangat terkejut. Rupanya karena ditolak, Lisa justru ingin menuduhnya melakukan hal tak senonoh dengannya.

“Jangan lakukaaan, tolooong.” Tangis Lisa terdengar memilukan.

Restu dengan segera mendobrak pintu, lalu melompat keluar.

Murni tentu saja sangat terkejut.

“Mas Restu, apa yang kamu lakukan?”

“Perempuan murahan ini …,”

“Tolong Bu, pak Restu mau memperkosa saya … lihat saya …”

Murni melihat baju Lisa terkoyak.

“Jangan percaya dia. Dia perempuan murahan! Lihat, dia bukan Marsih!” Restu berusaya menarik topeng Lisa yang sudah dikenakan, tapi Murni justru menghalanginya.

“Tolong saya Bu, saya sedang tidur … tiba-tiba dia_”

“Pembohong! Perempuan rendahan!! Dia bukan Marsih! Dia Lisa yang ingin merusak rumah tangga kita Murni.”

Murni bungkam. Apa yang dilihatnya, dirasa tak membutuhkan keterangan apapun lagi. Suaminya telah merobek baju Marsih, membuat Marsih berteriak. Hati Murni hancur berkeping-keping. Kepercayaan yang sudah ditanamkan dalam-dalam ke dasar hatinya, berderai tinggal puing-puing tajam yang menusuk-nusuk sanubarinya. Restu belum berubah. Restu membohongi dia. Bahkan sama perempuan cacat, dia tega melakukannya.

Murni membalikkan tubuhnya, masuk ke dalam kamar.

Restu memburunya, setelah menoleh sejenak ke arah Lisa.

“Minggat kamu dari rumah ini sekarang juga, atau aku bunuh kamu!” ancamnya bengis.
Lisa tertawa penuh kemenangan.

“Itu akibatnya karena kamu menolak aku. Kalau aku tidak bisa mendapatkan kamu lagi, maka tak akan ada perempuan lain bisa memiliki kamu.”

Restu tak peduli pada Lisa yang kemudian berkemas. Ada senyum puas karena yakin bahwa rumah tangga Restu pasti akan berantakan.

Restu masuk ke dalam kamar, dan melihat Murni mengemasi baju-bajunya, dimasukkannya ke dalam kopor, sambil menangis sesenggukan.

“Murni, jangan percaya. Dia itu perempuan jahat. Dia memfitnah aku.”

Murni tak menjawab. Baginya, apa yang dilihatnya sudah cukup memberikan jawaban Ia terus memasukkan baju-bajunya, kemudian beralih ke baju-baju Gilang.

“Ya Tuhan, Murni … jangan pergi. Percayalah bahwa aku tak melakukan apa-apa. Percayalah Murni. Aku masuk ke kamarnya karena mendengar dia berteriak, ternyata dia menjebakku. Dia sebenarnya Lisa, dia bukan perempuan cacat Murni, dia ingin merusak rumah tangga kita. Percayalah Murni, jangan pergi.”

Murni diam membisu. Perilaku buruk Restu sudah diketahuinya. Bahwa kemudian dia percaya, adalah karena sikap dan perhatian yang ditunjukkan kepadanya, terlebih kepada anaknya, sangat meluluhkan hatinya. Tapi ternyata Restu adalah Restu, yang tak bisa melihat perempuan, bahkan perempuan cacat sekalipun. Hati Murni sangatlah sakit. Tekatnya sudah bulat. Ia harus pergi, dan tak akan pernah kembali lagi.

Murni sudah selesai memasukkan baju-bajunya sendiri dan baju anaknya, Kemudian diambilnya baju hangat Gilang, dikenakannya. Gilang merengek karena tidurnya terganggu, tapi Murni segera mengayunnya dalam gendongan, lalu Gilang kembali terlelap.

“Murni, jangan pegi, aku tak bisa berpisah dengan anakku, dan juga dengan dirimu,” Restu memohon, bahkan dengan suara bergetar menahan tangis.

Murni meraih ponselnya, memanggil taksi, kemudian sambil menggendong Gilang dengan selendang, sebelah tangannya menyeret kopor berisi pakaian mereka.

Restu memegangi kakinya.

“Tolong percayalah. Aku tidak melakukan apa-apa.”

Murni bergeming. Hatinya sudah menjadi sekeras batu. Rasa iba yang sekilas mengusiknya, segera dikibaskannya. Ia juga menahan air matanya kembali turun. Restu terus memegangi kakinya.

“Tolong lepaskan,” suara Murni bergetar.

“Jangan pergi Murni, aku tak bersalah. Aku tak melakukan apa-apa Murni. Percayalah.”

“Tolong lepaskan. Tak usah berpura-pura lagi.”

“Murni, aku mencintai kamu. Jangan pergi Murni, tolong dengarkan aku.“

Klakson taksi dari arah depan terdengar. Murni menghentakkan kakinya.

“Lepaskan!” kali ini suara Murni sangat keras, terdengar seperti bentakan. Restu terkejut, dan melepaskan pegangannya. Murni melangkah keluar dengan setengah berlari. Terdengar tangis Gilang karena terkejut mendengar suara keras ibunya. Tapi Murni terus membawanya keluar. Gilang masih menangis saat Murni masuk ke dalam taksi.

Restu berlari ke arah garasi, bermaksud mengejarnya. Tapi begitu keluar, dia bingung. Ia tahu taksi itu bergerak ke arah kiri, tapi sekian puluh meter dari pagar rumahnya adalah perempatan.

“Kemana dia? Mungkinkah pulang ke rumah ibu?” bisik Restu putus asa. Ia melarikan mobilnya ke arah rumah orang tuanya, tapi sesampai disana ia melihat pagar rumah masih ddigembok dari dalam. Berarti tak ada yang masuk. Restu ingin masuk dan sesambat kepada orang tuanya, tapi tak sampai hati. Ini sudah lewat tengah malam.

Akhirnya Restu kembali ke rumah dengan perasaan hancur.

Betapa terkejutnya hati Restu, begitu memasuki rumah, dia melihat Lisa masih disana.

“Perempuan murahan! Mengapa belum juga minggat dari sini?”

“Restu, kamu harus tahu bahwa aku masih sangat mencintai kamu. Aku rela menjadi kekasih gelapmu.”

“Minggaaaat! Atau aku bunuh kamu!!”

“Kamu tega Restu? Kamu melupakan masa-masa indah kita?”

Tak tahan, Restu menyeret tubuh Lisa, kemudian melemparkannya keluar, berikut tas yang sudah sejak tadi ada di dekatnya, karena Restu memang melihat tadi Lisa sudah berkemas.

“Restu, kamu benar-benar tega?”

“Kalau kamu tidak segera minggat, aku akan berteriak maling, agar kamu digebugin orang sekampung.”

Restu menutup pintu rumahnya, masuk ke dalam kamar, lalu duduk bersimpuh bersandar pada pintu, dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Dari sela-sela jari tangannya, butiran-butiran air mata menerobos dan mengaliri punggung tangannya.


Besok lagi ya…

Bersambung ke Jilid 68

SELAMAT PAGI BIDADARI (66)

Karya Tien Kumalasari

Marsih memasuki kamarnya dengan perasaan kecewa. Laki-laki majikannya, sangat digilainya. Dia akan berusaha mendapatkannya, apapun caranya.

Bukan menjadi pembantu tujuannya datang ke rumah itu. Dia adalah Lisa. Dulu menjadi kekasih Restu dan membuat Restu kehilangan segalanya. Keluarga, orang tua, istri yang baik, kedudukan, bahkan harta.

Restu sadar ketika Lisa ternyata menjauhinya saat dia tak memiliki apa-apa. Lelaki yang lebih kaya selalu menarik baginya. Thomas, lelaki itu, ternyata juga tak memiliki apa-apa setelah istrinya menceraikannya. Lisa pun kabur dari Thomas, dan kembali mengejar Restu. Kali ini bukan karena kekayaannya, tapi karena dia memang tergila-gila pada ketampanan Restu.

Begitu keluar dari penjara setelah menabrak Murni dengan sengaja, ia segea mencari akal agar bisa masuk ke dalam rumah tangga Restu.

Ia mengira Restu masih menggilainya, dan dia akan mulai lagi menggodanya.

Tapi dia kesal ketika tadi Restu mengusirnya agar menjauh, saat dia mulai melancarkan aksinya. Oh ya, Lisa alias Marsih baru sadar, bahwa dia sedang menyamar dengan menambal wajahnya seperti memiliki bekas luka yang tentu saja tidak menarik.

“Aku bodoh benar. Wajahku kan sama sekali tidak menarik. Walau tanpa busana sekalipun, dia tetap saja akan jijik melihatku,” gumamnya sambil tersenyum aneh.

Marsih melepaskan penyamaran wajahnya, lalu berdiri di depan kaca, berputar=putar sambil mengurai senyuman manis.

“Aku masih menawan. Tak mungkin Restu menolak aku,” gumamnya.

Setelah puas memandangi wajahnya, dikenakannya lagi topeng menyamarannya. Ia takut kalau tiba-tiba Murni datang bersama suaminya, dan dia lupa mengenakan topengnya.

Lalu ia membaringkan tubuhnya di ranjang, membayangkan Restu ada disampingnya.


Ketika itu keluarga pak Broto sedang bercanda dengan Gilang. Anak kecil berumur 9 bulanan itu memang sedang lucu-lucunya. Apalagi yu Sarni dan bu Broto yang bergantian menggendongnya.

“Kamu sebaiknya menginap di sini dulu Mur, lihat, ke dua nenek itu seakan tak mau lepas dengan cucunya,” kata pak Broto sambil tersenyum.

“Tapi saya tidak bilang sama ms Restu kalau mau menginap, Pak.”

“Kan bisa telpon. Dia tak akan marah kalau kamu ada di sini.”

“Biar aku saja yang menelpon Restu, awas saja kalau dia tidak mengijinkan,” kata bu Broto sambil mengangkat ponselnya untuk menghubungi Restu.

“ Ya bu,” jawab Restu dari seberang.

“Hari ini, kamu tidak usah menjemput istri dan anakmu.”

“Lhoh, memangnya kenapa Bu?”

“Kami ingin, agar Gilang dan ibunya menginap di rumah. Sehari atau dua hari, begitu.”

“Tapi ini saya sedang dalam perjalanan menjemput tuh Bu.”

“Kamu sudah pulang dari bengkel?”

“Sudah. Saya pikir Murni dan Gilang sudah pulang, ternyata belum. Jadi begitu sampai, Restu segera berangkat menjemput.”

“Tidak bisa Restu, kami semua sedang seneng-senengnya bercanda sama Gilang. Jadi kamu tidak boleh menjemputnya,” kata bu Broto tandas.

“Waduh, kalau begitu biar saya sampai ke situ dulu Bu, masa sih tawar menawar di jalan,” kata Restu sambil tertawa.

“Baiklah, terserah kamu saja.”

“Bagaimana?” tanya pak Broto setelah sang istri meletakkan ponselnya.

“Restu sudah dalam perjalanan kemari.”

“Maksudnya mau menjemput?”

“Iya, tapi ibu sudah bilang bahwa Gilang akan menginap di sini, tidak bisa tidak,” kata bu Broto sambil kembali mengambil Gilang dari pangkuan yu Sarni.

Pak Broto hanya tertawa.

“Kalau dia mau menjemput, biar Murni saja yang dijemput, Gilang tidak usah,” sambung bu Broto sambil menciumi Gilang.

Semuanya tertawa mendengar perkataan bu Broto.

“Masa sih, Gilang ada di sini, sementara ibunya pulang? Kamu yang mau memberi dia ASI?” kata pak Broto meledek istrinya.

“Iya juga ya, berarti ibu dan anak harus menginap di sini. Aku kan hanya minta sehari saja, ya kan Mur?”

Murni tertawa.

“Iya Bu, tidak apa-apa saya dan Gilang menginap di sini,” katanya.

“Lhah aku sama siapa?” tiba-tiba Restu sudah muncul dan berdiri di tengah pintu depan.

“Tuh, yang punya sudah datang,” kata pak Broto sambil tertawa.

“Mas, kami akan menginap di sini malam ini,” kata Murni kepada suaminya.

“Tidak bisa,” kata Restu sambil menggelendot ke bahu istrinya.

“Kok gitu sih Mas, nenek-neneknya pada kangen tuh.”
“Kalau kalian mau menginap di sini, aku juga mau menginap dong,” kata Restu sambil tertawa.

“Nah, itu solusi terbaik. Nanti Gilang tidur sama aku.”

“Ibu gimana sih, nanti kalau malam-malam bangun minta ASI bagaimana?” tegur suaminya.

Bu Broto tertawa.

“Iya, nggak apa-apa tidur sama ibunya. Tapi besok pulangnya sore ya, nggak boleh pagi-pagi. Biar ibumu masak enak untuk kalian,” kata bu Broto mengalah.

“Nah, gitu dong.”


Restu dan anak istrinya tidur di rumah keluarga Broto. Marsih menunggu dengan kecewa. Sampai larut malam dia masih terjaga, dan sudah mempersiapkan segala sesuatunya untuk bisa merayu Restu.

“Kenapa mereka tidak pulang sih? Katanya Murni dijemput sore tadi, sekarang sudah tengah malam, belum pada pulang juga. Apa sebaiknya aku menelpon ya? Siapa tahu mereka akan pulang malam. Aku sudah tak tahan lagi nih,” gumam Marsih sambil meraih ponselnya.

Ia menghubungi Murni.

“Ya Mbak Marsih, ada apa?”

“Ibu tidak pulang?”

“Oh iya, maaf Mbak, aku lupa memberi tahu, kami malam ini menginap di rumah ibu, jadi Mbak Marsih nggak usah menunggu.”

“Waduh.”

“Kenapa waduh?”

“Itu Bu, tahu begitu, dari tadi saya sudah mengunci pintunya.”

“Iya Mbak, maaf ya. Kunci saja sekarang. Kami baru akan pulang besok sore, setelah mas Restu pulang dari bekerja.”

Marsih menutup ponselnya tanpa permisi. Ia benar-benar kecewa berat. Keinginan untuk bisa merayu Restu sudah memenuhi dadanya. Ia yakin Restu masih akan menyukainya.

“Tidak apa-apa kalau hanya untuk bersenang-senang saja. Sekarang keinginanku hanya bisa selalu bersamanya. Biarlah ada istrinya, biarlah aku tidak diguyur harta, yang penting aku cinta,” gumamnya sambil mengunci semua pintu.


“Sudah lama aku tidak tidur di kamar ini,” gumam Restu sebelum tidur.

“Oh ya? Jadi ini dulu kamar mas Restu?”

“Kamar aku.”

“Bersama bu Wulan?”

“Tidak. Kami tidak pernah tidur sekamar. Ini kamar aku sendiri.”

“Jahat ya, suami istri tidak mau tidur se kamar.”

“Sudah, itu kan masa lalu. Kamu harus tahu, dulu kami menikah tidak didasari saling cinta.”

“Kasihan bu Wulan.”

“Sekarang Wulan sudah bersama kekasih hatinya. Bahkan sudah hampir punya anak juga, ya kan? Jadi lupakanlah masa lalu. Sekarang, milikku hanya kamu, dan juga Gilang.”

Murni tersenyum. Ada kehangatan meresap dalam hatinya, ketika melewati malam-malam indah berdua. Bukankah Gilang tidur di ranjang kecil dan tidak menjadi satu dengan ranjangnya? Restu menyukainya, karena dia sudah menginginkan agar Gilang memiliki seorang adik. Toh tidak berbeda, bersenang-senang di sini, ataupun di rumah mereka sendiri.7


Hari itu Marsih bekerja sangat rajin. Rumah bersih, dan siap melayani majikan mereka kalau pulang nanti. Dia tidak perlu memasak, karena setiap hari Murni sendiri yang melakukannya. Pekerjaannya hanya mengasuh Gilang. Kalau Gilang tidur, dia juga ikutan tidur. Itu sebabnya hari itu dia sangat puas tidur. Lagi pula nanti malam akan ada rencana indah, yang akan dihabiskannya sepanjang malam, seperti dulu mereka sering melakukannya.

Mereka pulang membawa makanan dari rumah keluarga Broto. Mereka makan malam berdua, dan Marsih menidurkan Gilang.

Hanya sebentar mereka bersantai setelah makan, kemudian segera masuk ke kamar tidur. Marsih juga langsung menuju kamarnya. Biasanya lewat tengah malam, Restu terbangun untuk sekedar mengambil air minum. Hal itu sudah selalu dilakukannya, dan Marsih sudah sangat hapal dengan kebiasaan itu.

Malam itu Marsih membuka pintu setengahnya. Tempelan topeng menjijikkan sudah dilepas. Dia berdandan secantik mungkin, dan mengenakan pakaian yang sangat seronok.

Waktu yang ditunggu akhirnya tiba. Terdengar langkah dari arah kamar Restu, menuju ruang makan, dan itu sangat dekat dengan kamarnya.

Restu membuka kulkas dan meneguk segelas air dingin. Tapi sebelum dia kembali ke kamar, terdengarlah sebuah jeritan kecil dari arah kamar Marsih. Karena khawatir, Restu bergegas menuju ke arah kamar itu, dan betapa terkejutnya, melihat Lisa berdiri disamping ranjang sambil memegang perutnya yang sedikit terbuka.

“Lisa?”


Besok lagi ya…

Bersambung ke Jilid 67

SELAMAT PAGI BIDADARI (65)

Karya Tien Kumalasari

“Bu, tolonglah saya. Saya datang jauh-jauh dari kampung, kerana kehidupan saya yang serba kekurangan. Saya ingin mencari nafkah bu, sebagai pembantu rumah tangga juga tidak apa-apa.”

Murni menatap wanita di depannya, ada luka di wajahnya, sehingga menutupi kecantikannya. Seandainya cacat itu tidak ada, dia adalah wanita yang cukup cantik. Walau dia bilang serba kekurangan, tapi baju yang dipakainya, bersih dan rapi.

“Baju ini, dikasih dari tetangga, dimana saya menjadi tukang cuci bajunya,” kata wanita itu, yang merasa bahwa Murni tampak mencurigai bajunya yang bersih, sementara dia bilang hidup kekurangan.”

“Kasihanilah saya, Bu,” katanya meng iba,

“Begini mbak, sebenarnya kalau pekerjaan rumah tangga, saya masih bisa mengatasinya. Cuma saja saya butuh pengasuk untuk anak saya.”

“Mengasuh anak ganteng ini? Saya biasa momong anak tetangga, saya pasti bisa, Bu.”

“Benarkah?”

Tapi Gilang yang menatap wajah wanita itu, seperti ketakutan. Barangkali bekas luka itu tampak menakutkan.

“Bu, bolehkah seandainya saya diterima, saya selalu memakai cadar setiap hari? Saya merasa, putra ibu ketakutan melihat saya. Lagi pula saya juga kurang percaya diri kalau bekerja tanpa menutup wajah saya. Di kampung saya juga selalu bekerja sambil memakai cadar.”

“Baiklah. Tapi saya akan mencoba mbak selama sebulan dulu. Saya juga belum bilang suami saya kalau mau menerima pembantu sih. Nanti kalau saya cocok, dan mbak juga cocok, pastinya, maka boleh diteruskan. Kami bukan orang kaya yang bisa menggaji mbak dengan pantas, barangkali Mbak akan kecewa.”

“Tidak Bu, gaji bukan masalah, yang penting saya mendapat tempat tinggal, dan sekedar mendapatkan sesuap nasi.”

“Nama Mbak siapa?”

“Saya Marsih Bu.”

“Baiklah, Mbak Marsih, di sini keluarga pak Restu, saya istrinya, dan ini Gilang, anak saya.”

Murni memperkenalkan keluarganya. Gilang masih ragu-ragu ketika Marsih ingin menggendongnya. Lalu Marsih segera mengambil cadar dari dalam tasnya, lalu dipakainya.

“Biarkan seterusnya saya memakai ini, ya Bu.”

“Baiklah, terserah Mbak Marsih saja.”

Murni yang kemudian menelpon Restu, dengan tanpa berpikir panjang, langsung menyetujuinya, karena Restu memang ingin agar istrinya mencari pembantu, untuk meringankan bebannya.

Ia juga tak peduli, ketika melihat pembantu barunya adalah seorang wanita cacat. Restu cukup senang, karena Gilang mulai terbiasa dengan Marsih, dan tidak rewel saat bersamanya.

Restu juga tak henti-hentinya menggoda Murni, bahwa karena sudah ada pembantu, maka mereka siap mencetak adik baru bagi Gilang.


Murni sedang bersantai di ruang tengah, sedangkan Gilang asyik bermain mobil-mobilan bersama Marsih.

“Mbak Marsih, sebenarnya luka di wajah Mbak itu karena apa? Sampai parah begitu?” tanya Murni.

“Saya jatuh Bu.”

“Jatuh di mana?”

“Waktu sedang naik sepeda, lalu tidak melihat ada batu besar. Sepeda saya terguling, saya terluka karena wajah saya terkena batu runcing sehingga luka parah.”

“Waduh, pasti sakit sekali itu.”

“Iya Bu, berbulan-bulan lukanya baru sembuh, setelah sembuh saya jadi cacat begini.”

“Padahal sebenarnya Mbak itu cantik lhoh.”

Marsih tersenyum, tapi tentu saja Murni tidak melihat senyum itu karena wajahnya yang selalu tertutup cadar.

“Dulu saya memang cantik. Banyak laki-laki tergila-gila sama saya. Tapi setelah saya cacat, tidak ada yang mau mendekati saya.”

“Kasihan sekali Mbak.”

“Nggak apa-apa Bu, memang sudah menjadi nasib saya seperti ini. Sekarang saya bahagia, karena menemukan keluarga baik seperti bu Murni.”

“Semoga Mbak kerasan terus dengan gaji yang tidak begitu besar ini, ya.”

“Tentu saja saya kerasan, Bu. Apalagi Gilang sangat lucu dan menggemaskan. Dia bisa menjadi penghibur bagi saya.”

“Syukurlah. Saya juga senang, dengan adanya Mbak Marsih, saya punya teman berbincang saat suami saya tidak ada di rumah.”

“Suami bu Murni tampak sangat menyayangi keluarganya.”

“Tentu saja Mbak. Itulah yang membuat hidup kami terasa lengkap. Saling mengasihi, dan sudah mendapat karunia seorang anak laki-laki ganteng ini,” kata Murni sambil tersenyum cerah.

Marsih tampak mengangguk. Tak kelihatan apakah dia tersenyum, ataukah tidak. Karena kecuali dia sedang menunduk, wajahnya juga hampir seluruhnya tertutup cadar.

“Saat ini kami sedang berharap, agar Gilang segera punya adik. Mas Restu sangat mengharapkan itu,” lanjut Murni dengan tersenyum malu-malu.

Marsih terdiam, ia terus mengajak Gilang bermain, seperti tak mendengar apa yang dikatakan majikannya.

Tiba-tiba terdengar dering ponsel dari arah kamar Marsih.

“Bu, saya menerima telpon dulu di kamar.”

“Baiklah,” kata Murni.

Marsih bergegas ke kamar, lalu menguncinya dari dalam. Wajahnya muram ketika melihat siapa yang menelpon.

“Hallo, ada apa? Aku kan sudah bilang, jangan menelpon lagi, jangan menghubungi aku lagi. Kenapa nekat?”

“Mengapa kamu pergi, padahal aku sudah mengeluarkan banyak uang untuk meringankan hukuman kamu?”

“Aku tidak mau lagi sama kamu. Ternyata kamu tidak lagi punya harta yang bisa membuat kita bersenang-senang.”

“Tapi aku mencintai kamu. Sungguh.”

“Makan tuh cinta. Aku tidak peduli.”

“Bagaimana dengan bayi yang kamu kandung? Menurut perhitungan, kamu pasti sudah melahirkan.”

“Bayi apa? Aku bohong tentang kehamilan itu.”

“Apa? Bohong bagaimana?”

“Siapa yang hamil? Kamu kira aku perempuan bodoh yang mau menanggung beban kehamilan sehingga menghambat keinginan aku untuk bersenang-senang?”

“Ternyata kamu perempuan murahan. Menyesal aku tergila-gila sama kamu, sehingga mengesampingkan istriku yang baik dan kaya raya.”

“Salah kamu sendiri,” jawab Marsih lalu tertawa mengejek.

“Kamu di mana?”

“Tak akan aku katakan, dan sekali lagi, jangan menghubungi aku lagi.”

Marsih menutup ponselnya, sekaligus mematikannya. Ia membetulkan cadarnya, kemudian beranjak keluar.

“Dari keluarga kamu ya Mbak?”

“Iya. Butuh uang. Tapi kan saya belum mendapat gaji?”

“Butuhnya berapa? Nanti aku beri saja dulu, nggak apa-apa Mbak, kan sudah ada setengah bulan Mbak Marsih bekerja di sini.”

“Tidak usah Bu, nanti saja gampang,” kata Marsih yang kemudian bermain-main lagi bersama Gilang.


Hari itu Marsih sedang bersih-bersi rumah. Murni ada di rumah keluarga Broto, karena mereka, dan tentu saja yu Sarni sudah sangat kangen sama Gilang.

Tiba-tiba terdengar mobil Restu memasuki halaman.

Marsih bergegas ke belakang untuk membuat minuman, seperti yang selalu diajarkan Murni setiap hari.

Ia meletakkan secangkir kopi di meja di ruang tengah.

Restu agak heran, karena Marsih mengenakan baju berkerah rendah, sehingga saat menyajikan kopi itu, ia seperti memamerkan sesuatu yang seharusnya tak terlihat. Restu adalah seorang lelaki. Lepas dari wajah Marsih yang kata Murni sangat menakutkan, tapi pemandangan itu tak luput dari perhatiannya.

Seperti mendapat angin, Marsih berlama-lama membungkukkan badannya. Tiba-tiba Restu sadar bahwa Marsih melakukan hal yang tidak semestinya.

“Sudah, tinggalkan saja cangkirnya, dan pergilah,” katanya sedikit kasar, karena kesal. Kesal kepada pembantu tak tahu malu itu, dan juga kesal pada dirinya yang hampir saja tergoda. Entah bagaimana, Restu tiba-tiba teringat Lisa. Begitulah dulu cara Lisa menggodanya.

“Setan alas. Mengapa Murni menerima pembantu seperti itu? Setelah sebulan, aku akan minta agar dia memecatnya,” geramnya dalam hati. Dan karena itu pula dia enggan menyentuh kopi di depannya. Ia memilih keluar untuk menjemput istrinya.


Besok lagi ya…

Bersambung ke Jilid 66