Karya Tien Kumalasari
Murni langsung masuk ke kamar, tubuhnya terasa lemas. Bu Trini menggosok perut dan punggung Murni dengan minyak kayu putih, agar Murni merasa lebih nyaman.
“Aduh, terima kasih bu Trisni, entah mengapa, tiba-tiba saya merasa mual.”
“Bu Murni kecapekan. Hampir seharian bu Murni bekerja.”
“Tapi saya kan harus memenuhi kebutuhan Gilang.”
“Bagaimana kalau bekerja paruh waktu saja, sehingga bu Murni tidak terlalu capek.”
“Besok saya akan coba bicara sama pak Warso, apa diperbolehkan kalau saya hanya bekerja setengah hari saja.”
“Seharusnya bisa. Kekuatan orang itu tidak sama, ada yang kuat bekerja seharian, ada yang tidak. Kalau bu Murni jatuh sakit, Gilang pasti juga akan terpengaruh. Nanti bu Murni sendiri yang merasakan susah.”
“Coba minyak putihnya Bu, rasanya saya ingin mencium baunya terus menerus.”
Bu Trisni menyerahkan botol kecil berisi minyak kayu putih itu kepada Murni, yang lalu menciumnya sambil memejamkan mata.
“Bu Murni istirahat saja dulu, saya akan mencari Trimo, sudah sore kok belum masuk ke rumah juga,” kata bu Trisni sambil keluar dari kamar.
Murni masih terbaring sambil menyedot aroma minyak kayu putih dari botol yang digenggamnya.
“Aneh sekali, benarkah karena terlalu capek maka aku menjadi lemas dan mual? Biasanya juga tidak begini. Bekerja hampir satu bulan, mengapa baru sekarang merasakan capek?” gumamnya lemah.
Sementara itu bu Trisni beranjak ke depan. Dilihatnya Trimo mendudukkan Gilang di atas sebuah sepeda roda tiga, membuat bu Trisni heran.
“Darimana asalnya sepeda itu Mo?”
“Ini Bu, dikasih tetangga sebelah, katanya punya anaknya, sudah tidak dipakai karena anaknya sudah besar.”
“Oh, begitu ya. Sudah bilang terima kasih?”
“Sudah dong Bu.”
“Baiklah, sekarang ajak Gilang masuk ke rumah, sudah hampir maghrib.”
Trimo menarik sepeda roda tiga dimana Gilang duduk diatasnya, dibawanya ke dalam rumah.”
Bu Trisni baru mau masuk kembali ke dalam, ketika tiba-tiba dilihatnya sebuah mobil berhenti di depan rumah.
Bu Trisni menunggu, lalu melihat Restu turun dari mobil.
“Pak Restu? Aduh, aku harus jawab apa ya? Tampaknya bu Murni masih enggan pulang,” kata bu Trisni dalam hati.
“Selamat sore Bu Trisni… “ sapa Restu yang sudah pernah mengenal bu Trisni, tapi lupa siapa namanya. Ketika itu bu Trisni dan Trimo sedang menengok Gilang ketika masih ada di rumah sakit, Restu tidak sempat menanyakan namanya karena saat itu ada bu Thomas di sana. Baru ketika menanyakan Trimo ke seseorang yang kebetulan mengenal Trimo, dia tahu nama ibunya Trimo.
“Ini kan pak Restu?”
“Iya Bu.”
“Kok tumben jalan sampai ke mari?”
“Bu, saya sedang mencari istri saya.”
“Oh ….”
“Dia pergi dengan membawa Gilang. Dia datang kemari?”
Bu Trisni menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Saya tidak tahu pak.”
“Jadi dia tidak datang kemari?”
Bu Trisni kembali menggelengkan kepalanya.
“Baiklah, kalau begitu saya permisi.”
“Tidak … singgah dulu Pak?” kata bu Trisni dengan sedikit ragu, karena kalau tamunya mau, akan sulit menyembunyikan Murni dan Gilang.
“Terima kasih Bu, saya baru mau mencari ke tempat lain.”
Bu Trisni hanya mengangguk. Dia bersyukur Restu tak mau singgah. Dia juga tidak ingin bertanya lebih banyak, takut Restu terlalu lama berada di depan rumahnya. Bagaimana kalau sewaktu-waktu Gilang berteriak atau menangis, lalu Restu mendengarnya?
Bu Trisni merasa lega ketika mobil yang dikendarai Restu sudah berlalu.
Gilang berada di kamar bersama ibunya yang mengeloninya sambil memberikan ASI. Itu sebabnya Gilang tidak bersuara yang bisa menimbulkan kecurigaan kalau sampai Restu mendengarnya.
Murni sudah merasa lebih enak, tapi botol minyak kayu putih itu masih tetap digenggamnya.
“Bu, barusan ada pak Restu datang kemari,” kata bu Trisni begitu masuk ke dalam kamar.
Murni terkejut, sampai Gilang menangis karena minum ASI nya terputus ketika ibunya bangkit tiba-tiba.
Setelahj mendiamkannya dengan mengangkat dan memangkunya, Murni menatap bu Trisni dengan pandangan khawatir.
“Masih di sini?”
“Tidak. Dia hanya menanyakan apa bu Murni ada di sini atau tidak. Saya jawab tidak, lalu dia pergi. Apa saya salah? Saya tadi bingung harus menjawab apa.”
“Tidak salah, sudah betul bu Trisni mengatakan tidak.”
“Tapi apakah bu Murni yakin tidak akan kembali lagi pada pak Restu? Dia tampak kurus dan tidak rapi seperti biasanya. Rambutnya hampir gondrong tak terurus.”
“Begitu sakit hati saya Bu. Susah untuk mempercayai dia lagi. Kalau saya mengalah terus, mendiamkan dan memaafkannya, hati saya yang akan rusak,” kata Murni pilu.
“Siapa tahu dia akan berubah.”
“Ternyata tidak. Dia tak akan berubah. Disamping saya, dan kepada perempuan cacat, dia tega melakukannya.”
Bu Trisni menghela napas. Setengah hatinya menyayangkan kejadian itu, setengahnya lagi bisa memahami mengapa Murni bersikap keras seperti itu.
“Baiklah. Lalu apa yang akan bu Murni lakukan?”
“Saya akan menggugat cerai.”
“Bu Murni yakin?”
“Sangat yakin. Itu jalan terbaik untuk hidup saya. Kalau proses cerai itu selesai, baru saya akan pulang ke kampung saya, mengais kebutuhan hidup saya dan Gilang.”
Bu Trisni hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Kalau dirinya yang mengalami kejadian seperti itu, barangkali dia juga akan melakukannya.
“Bagaimana? Ternyata tidak ada di rumah Trimo kan?”
“Tidak ada Mas, tapi aku tidak percaya.”
“Maksud mas Restu, wanita ibunya Trimo itu bohong?”
“Namanya bu Trisni. Itu kata tetangganya yang kita datangi sebelumnya, dan tahu siapa dan dimana rumah Trimo. Dulu saat ketemu aku tidak bertanya namanya, atau kalau barangkali Murni pernah mengatakannya, aku lupa. Yang ke ingat hanya Trimo.”
“Jadi dia bohong?”
“Sepertinya dia menyembunyikan sesuatu. Dia tidak bertanya banyak, yang harusnya kan ingin tahu, kenapa pergi dan sebagainya, tapi dia hanya bilang bahwa Murni tidak ada di rumahnya. Titik. Itu terasa agak aneh buat aku.”
“Mengapa mas Restu tidak masuk ke rumahnya saja langsung.”
“Nggak enak, aku.”
“Lalu bagaimana?”
“Mas Rio pulang saja dulu, saya akan tetap di sini.”
“Tetap di sini? Menginap di rumah bu … siapa tadi …?”
“Bu Trisni? Tidak … cari penginapan agak keluar dari dusun ini, pasti ada.”
“Tahu begitu tadi bawa mobil mas Restu juga.”
“Tidak apa-apa, jangan pikirkan saya. Saya akan terus mencari keberadaan Murni dan Gilang,” kata Restu dengan mata berkaca-kaca, membuat Rio terharu melihat Restu yang ternyata sangat mencintai keluarganya.
“Baiklah, saya turunkan Mas Restu di sebuah hotel, besok saya urus mobil Mas Restu, agar ada orang yang membawanya ke sana.”
“Baiklah, terima kasih banyak, Mas Rio.”
Pagi hari itu, Murni bangun dengan kepala sangat pusing. Tubuhnya juga terasa lemas. Ia bahkan merasa kembali mual dan ingin muntah.
“Lebih baik bu Murni tidak usah bekerja dulu hari ini. Nanti setelah selesai menggoreng, saya antarkan bu Murni ke puskesmas.”
“Tapi saya harus minta ijin dulu kan.”
“Bu Murni bisa telpon pak Warso, tidak usah datang.”
“Baiklah, saya akan menelpon saja, saya merasa benar-benar lemas.”
“Apa? Kamu sakit?” kata pak Warso ketika Murni mengatakan alasannya untuk tidak masuk bekerja.
“Iya pak. Dari semalam badan saya nggak enak, sekarang sangat lemas dan pusing. Jadi mohon maaf ya Pak, hari ini saya minta ijin untuk tidak masuk dulu.”
“Kalau begitu kamu harus ke dokter.”
“Iya, nanti bu Trisni mau mengantarkan ke puskesmas.”
“Tidak nanti. Sekarang saja aku antarkan kamu ke dokter langganan aku.”
“Tidak usah Pak, merepotkan saja.”
“Jangan membantah.” Tegas kata pak Warso, yang segera menutup pembicaraannya.
Besok lagi ya.
Bersambung ke Jilid 75