SELAMAT PAGI BIDADARI (80)

Karya Tien Kumalasari

Murni segera menghambur ke pelukan yu Sarni, sang simbok yang lama ditinggalkannya. Ia tersedu di pundaknya. Yu Sarni mengelus punggungnya pelan.

“Maafkan Murni Mbok …” isaknya.

“Kenapa kamu kabur-kaburan sih nduk. Nggak bagus seorang istri kabur-kaburan begitu,” tegur yu Sarni.

“Maafkan Murni …”

Bu Trisni yang keluar dari dapur segera mempersilakan tamu-tamunya duduk di kursinya yang sederhana. Mereka adalah Rio, Wulan dan yu Sarni.

Yu Sarni segera menggandeng anaknya, untuk duduk di sebelahnya.

“Saya menyusahkan banyak orang. Pak Rio, bu Wulan, maafkan saya.”

“Apa sebenarnya yang terjadi Murni?” tanya Wulan lembut.

“Mengapa bu Wulan bertanya? Pasti mas Restu sudah mengakui semuanya.”

“Kamu dijebak oleh perasaan cemburu kamu, karena tingkah seorang wanita jahat seperti Lisa. Dia bisa melakukan apa saja.”

“Mengapa semua orang membela mas Restu?”

“Orang yang pernah menempuh jalan salah, pada suatu saat akan kembali menyusuri jalan yang benar. Tidak selama hidup dia dituduh sebagai penjahat,” kata Rio menimpali.

Yang harus kamu ingat adalah bahwa Lisa itu wanita yang tidak punya moral, yang tidak tahu malu, dan yang jelas bahwa dia bisa melakukan apa saja demi mewujudkan keinginannya. Dia merayu mas Restu, tidak berhasil, maka dia berusaha merusak rumah tangga kalian. Dan dia berhasil,” lanjut Wulan.

Murni terdiam. Dia berfikir, mengapa semua orang membela Restu. Dan uraian kata-kata yang didengar dari mulut Rio dan Wulan, mulai meresap di hatinya.

“Mengapa mas Restu tidak ikut kemari dan menjelaskan semuanya sendiri?”

“Menurutmu kamu akan bisa menerimanya setelah apa yang dikatakannya kamu tepiskan dengan marah? Kamu juga mengatakan sudah punya calon suami baru. Apa itu pantas?” omel yu Sarni.

Murni menundukkan wajahnya.

“Banyak orang memberi tahu, dan kamu hanya mempercayai perasaan kamu sendiri. Perasaan yang panas karena terbakar api, sehingga menghilangkan akal sehatmu,” lanjut yu Sarni.

Murni terisak, menyandarkan kepalanya di bahu simbok. Lalu tiba-tiba Murni lari ke kamar mandi di arah belakang rumah. Yu Sarni mengikuti.

Saat itu bu Trisni keluar dengan membawa beberapa gelas teh hangat.

“Bu Murni masih sering muntah-muntah,” katanya sambil meletakkan gelas-gelas di meja.

“Syukurlah. Gilang akan punya adik,” celetuk Wulan.

“Silakan diminum. Mohon maaf ya Pak, Bu, hanya seperti ini rumahnya, dan suguhannya juga.”

“Tidak apa-apa Bu, rumahnya sederhana, tapi bersih dan rapi. Pantas Murni betah berada di sini,” kata Wulan sambil meraih minumannya.

“Mohon maaf, silakan di minum,” kata bu Trisni sambil beranjak ke belakang.

“Iya Bu, terima kasih banyak,” kata Rio yang kemudian juga meraih minuman yang dihidangkan.

Murni sudah kembali dengan dituntun yu Sarni.

“Murni, secara singkat saja, sekarang aku ingin membawa kamu pulang. Mas Restu dan Gilang sudah menunggu. Apa kamu masih akan berpegang pada keyakinan kamu bahwa mas Restu melakukan hal buruk itu bersama Lisa yang menyamar menjadi pembantu kamu?” tanya Wulan.

“Saya harus bagaimana?” kata Murni yang masih merasa lemas.

“Kamu harus pulang,” tegas kata yu Sarni.

“Di sini kamu menyusahkan orang lain. Jangan bandel dan jangan menurutkan kata hati kamu yang tersesat. Apalagi kamu sedang mengandung,” lanjut yu Sarni.

“Bu Murni tidak merepotkan atau menyusahkan kami, Trimo senang punya adik baru, dan saya juga senang mendapatkan saudara baru yang baik, dan justru banyak membantu keluarga kami. Namun begitu, saya menyarankan bu Murni untuk pulang, karena seorang istri punya kewajiban melayani suami dan merawat anak. Kalau ada perselisihan dan salah paham, harus diselesaikan dengan kepala dingin,” kata bu Trisni yang sudah ikut duduk bersama tamu-tamunya.

“Tuh, bu Trisni benar. Apa yang ingin kamu katakan lagi?”

“Baiklah, saya mau pulang,” kata Murni pada akhirnya, yang disambut gembira oleh semuanya.


Sementara itu pak Warso melamun di tokonya. Bagaimanapun dia sudah terlanjur jatuh cinta pada Murni. Tapi kenyataan yang ada, bahwa Murni ternyata masih punya suami, membuat semua angannya jatuh berderai. Pupus semua harapan untuk bisa bersanding dengan wanita cantik dan pintar bernama Murni.

“Pak, uang kecil di kasir habis,” kata salah seorang pegawainya.

Pak Warso bergeming. Ingatan akan gagalnya sebuah impian, membuatnya selalu melamun.

“Pak, di kasir, uang kecil habis,” ulang sang karyawan. Barulah pak Warso terkejut.

“Oh, apa … uang kecil ya? Sebentar, lihat di meja, aku sudah menyiapkan, tapi lupa memberikannya sama kamu.”

“Baik, akan saya ambil Pak,” kata karyawan itu, kemudian berlalu.

Pak Warso masih termangu, ia bahkan belum makan sejak pagi. Ketika salah seorang pembantu rumah tangganya menyusul ke toko, pak Warso baru ingat bahwa dia belum menyentuh sarapan yang disiapkan oleh mereka.

“Bapak kok belum makan sejak pagi, saya kira Bapak pergi.”

“Aduh, sampai lupa. Ini jam berapa?”

“Sudah jam satu siang. Bahkan lebih.”

“Baiklah, aku pulang.”

Tapi sebelum beranjak, salah seorang pegawai memberi tahu, bahwa ada yang mencarinya. Pak Warso berhenti melangkah, menoleh ke arah depan toko. Seorang anak dengan masih memakai seragam sekolah, berdiri menunggu.

“Trimo ya?” teriak pak Warso.

Anak itu memang Trimo. Ketika pulang sekolah, ibunya memberi tahu, bahwa pak Warso menunggunya, karenanya belum sempat berganti pakaian, Trimo segera menuju ke tokonya.

Trimo mengangguk sopan, membuat pak Warso senang. Masih bocah, tapi mengerti sopan santun.

“Sini Mo, masuk sini,” panggil pak Warso.

Trimo melangkah masuk, melalui jalan yang ditunjukkan pak Warso.

“Kamu baru pulang sekolah?”

“Iya Pak, kata ibu, saya dipanggil Bapak.”

“Iya benar, nanti kita bicara. Tapi aku lapar. Kamu sudah makan?”

Trimo tunduk tersipu.

“Pasti belum kan? Ayo ikut aku, kita makan bersama.”

“Tidak Pak, terima kasih. Silakan Bapak makan, saya menunggu di sini,” kata Trimo sungkan.

“Tidak. Mengapa menunggu. Sama-sama lapar kan?”

“Saya nanti makan di rumah saja.”

“Tidak boleh, aku ingin bicara sama kamu, sambil makan. Ayo,” kata pak Warso yang kali ini menarik tangan Trimo, sehingga Trimo tak bisa menolak.


“Jadi kamu mau kan, sepulang sekolah membantu aku di toko?” kata pak Warso sambil memaksa Trimo agar mau makan semeja dengannya.

“Tapi saya harus mengambil sisa dagangan dan uang di beberapa warung.”

“Tidak apa-apa. Ambil dulu uang-uang itu, setelahnya kamu baru datang kemari.”

“Saya harus mengerjakan apa?”

“Banyak Mo, menakar gula di setiap plastik, menakar minyak-minyak, semuanya untuk diecerkan, supaya gampang menjualnya, dan masih banyak lagi. Apa itu berat untuk kamu? Nanti kamu akan dapat uang jajan.”

Trimo tunduk tersipu.

“Saya membantu, bukan karena uang. Dan kalau saya diberi, akan saya berikan ibu untuk kebutuhan di rumah dan bayar sekolah,” katanya sambil menundukkan muka.

“Anak baik, aku senang mendengarnya. Bagus, terserah untuk apa, tapi aku ingin tahu, apa kamu merasa berat dengan pekerjaan itu?”

“Saya akan melakukannya. Dan kalau belum bisa, saya akan belajar.”

“Bagus, berarti kamu sanggup. Kamu bisa mulai besok, dan atur oleh kamu sendiri, bagaimana kamu bisa mengambil uang kamu di warung-warung, lalu baru mulai bekerja membantu aku.”

Trimo mengangguk.

Tapi belum lama mereka berbincang, salah seorang pegawai menyusul ke rumah.

“Maaf Pak, ada seorang wanita mencari Bapak.”


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 81

SELAMAT PAGI BIDADARI (79)

Karya Tien Kumalasari

“Aku boleh numpang dong, masa sih nggak boleh, jangan pelit dong, pak tua ganteng,” kata Lisa tanpa malu.

Tapi kemudian pak Warso turun dari mobilnya, lalu memasuki garasi dan mengendarai mobil yang lain, sementara Lisa terkunci di dalam mobil. Lisa berteriak-teriak, tapi pak Warso tak peduli. Ia sudah langsung keluar dari halaman toko.

Lisa turun dari mobil setelah pak Warso pergi jauh dari rumah. Rasa kesal membuatnya kemudian membanting pintu mobil dengan sangat keras, membuat para karyawan toko yang sudah pada datang, kemudian menatapnya heran.

“Apa lihat-lihat?” hardiknya sambil pergi begitu saja.

“Siapa dia tuh?” tanya salah seorang karyawan.

“Nggak tahu, tiba-tiba masuk ke dalam mobil bapak, lalu bapak pergi dengan mobil yang lain.”

“Tampaknya bukan wanita baik-baik.”

“Barangkali simpanan bapak.”

“Hush! Mana mungkin? Kalau simpanan pasti langsung dibawa pergi, bukan ditinggalkan begitu saja.”

“Ya sudah, ayo … kerja … kerja, sudah ada pembeli tuh.”

Karyawan yang tiba-tiba mendapatkan bahan ngrumpi kemudian bubar, dan mengerjakan pekerjaan mereka masing-masing.

“Sebenarnya bapak pergi ke mana? Nggak ada uang kembalian di kasir nih, uangnya besar semua,” celetuk kasir saat membuka laci.

“Rupanya bapak lupa, karena terburu-buru.”

“Kemana sih, bapak?”

“Nggak tahu, mungkin ke rumah Murni.”

“Waduh, bisa lama kalau ke sana. Aku tukar uang kecil dulu di bank ya.”

“Ya sudah, buruan, repot kalau pembeli mulai ramai.”


Pak Warso mengetuk pintu rumah bu Trisni, bu Trisni yang sedang bebenah di dapur segera keluar. Murni ada di kamarnya.

“Permisi Bu.”

“Oh, Pak Warso, silakan masuk.”

“Bagaimana keadaan Murni?”

“Belum begitu baik. Baru saja dia muntah-muntah lagi.”

“Apa obatnya tidak diminum?”

“Diminum sih, tapi yang namanya hati sedang sedih, diberi obat juga tambah parah keadaannya.”

“Ada apa sebenarnya. Saya dulu menerima Murni begitu saja, dan keterangan yang saya terima bahwa dia adalah janda. Tidak tahunya kemarin ketemu yang namanya suami, dan membuat saya bingung.”

“Ceritanya agak rumit Pak,” kata bu Trisni ragu-ragu. Tapi kemudian bu Trisni bermaksud menceritakan semuanya, agar tak terjadi salah terima pada pak Warso yang menjadi majikan Murni.

“Rumitnya bagaimana? Kemarin di depan suaminya, dia bilang bahwa saya calon suaminya, saya benar-benar tidak mengerti.”

“Sebenarnya ada seorang perempuan jahat yang bermaksud merusak hubungan bu Murni dan suaminya yang namanya pak Restu.”

“Merusak bagaimana maksudnya?”

Lalu bu Trisni mengatakan kepada pak Warso, seperti yang dikatakan Restu kepadanya.

Pak Warso teringat wanita genit yang bernama Lisa. Dia kah pengganggu itu?

“Namanya Lisa?”

“Iya Pak, katanya bernama Lisa. Dia memang suka sama pak Restu, dan terus mengejarnya. Ketika sudah menikah dengan bu Murni, Lisa kemudian berusaha merusaknya dengan menyamar itu tadi.”

“Rupanya dia, wanita itu.”

“Pak Warso mengenal wanita jahat itu? Bahkan bu Murni tidak percaya ketika saya mengatakan apa yang dikatakan pak Restu. Dia cerita banyak saat bu Murni ada di rumah sakit. Itu sebabnya saya memberikan Gilang untuk dibawanya pulang.”

“Jadi Gilang dibawa oleh bapaknya?”

“Itulah yang membuat bu Murni semakin sedih.”

Pak Warso menghela napas berat. Ada rasa kecewa dihatinya, ketika mengetahui bahwa sebenarnya Murni pergi dari rumah karena salah sangka.

“Saya baru mengerti ceritanya,” keluh pak Warso.

“Iya Pak, kasihan bu Murni. Tapi sayangnya dia belum bisa mempercayai suaminya, karena melihat suaminya itu ada di dalam kamar Lisa yang menyamar sebagai pembantu, kemudian berteriak-teriak, pura-pura mau diperkosa.”

“Bu Trisni tahu, sebenarnya saya ingin mengambil Murni sebagai istri saya.”

“Oh, jadi benar?”

“Apanya yang benar?”

“Melihat perhatian pak Warso kepada bu Murni, saya mengira pak Warso punya maksud tertentu. Dan dugaan saya ternyata benar.”

“Iya Bu, tapi saya bukan laki-laki jahat. Saya bermaksud begitu, karena saya mengira Murni benar-benar janda.”


“Lalu sudah tahu tabiat kamu sebelumnya,” kata pak Broto yang setengah menyalahkan Restu.

“Restu kan sudah bertobat, Pak,” protes Restu.

“Benar, tapi tidak mudah melupakannya, apalagi kemudian ada yang mengacau dengan sandiwara yang sangat apik.”

“Ya sudah, aku suruh Sarni bersiap dulu, soalnya Rio akan berangkat pagi-pagi,” kata bu Broto.


Murni sebenarnya tidak tidur. Ia dengan jelas bisa mendengar pembicaraan bu Trisni dan pak Warso, karena rumah bu Trisni kan kecil, dan jarak dari kamar dan ruang tamu tidak begitu jauh. Murni terkejut mendengar pengakuan pak Warso yang sebenarnya ingin mengambilnya sebagai istri. Ia kemudian sadar, bahwa benar seperti dugaan bu Trisni, bahwa kebaikan pak Warso karena ada maksudnya.

Tapi kemudian Murni merasa lega, karena pak Warso bisa mengerti keadaannya.

Rasa mual yang dirasakannya sudah agak mereda. Murni berusaha bangkit, ketika bu Trisni menawarkannya makan pagi.

“Makanlah dulu Bu, bukankah perut ibu sekarang kosong?”

“Saya makan nasi saja, jangan diberi lauk Bu.”

“Bagaimana sih Bu, makan nasi tanpa lauk?”

“Saya mual kalau mencium aroma gurih, jadi lebih baik nasi saja,” kata Murni yang kemudian berusaha berdiri.

Tapi baru saja Murni melangkah keluar dari kamarnya, ia mendengar mobil berhenti di depan rumah. Murni membalikkan tubuhnya dan kembali berbaring.

“Pasti mas Restu datang lagi. Aku tidak akan mau pulang,” gumamnya sambil memejamkan mata, lalu berbaring membelakangi pintu.

“Murni.”

Murni terkejut, karena suara yang di dengarnya adalah suara perempuan.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 80

SELAMAT PAGI BIDADARI (78)

Karya Tien Kumalasari

Bu Trisni langsung panik, sementara ketika menjenguk ke luar, mobil pak Warso sudah tak lagi kelihatan, barangkali bisa minta tolong mengantar ke dokter lagi.

Bu Trisni dibantu Trimo mengangkat tubuh Murni yang lemas tak berdaya, membawanya duduk di kursi.

“Ambilkan teh hangat, Mo,” perintah bu Trisni.

Trimo segera berlari ke dapur, membuatkan teh untuk Murni, sementara Murni masih tampak lemas, tak mampu berkata-kata, tapi air mata meleleh dari sepasang mata indahnya.

“Bu, sabar ya Bu. Ibu harus ingat, Gilang bersama ayahnya, jadi tak ada yang perlu dikhawatirkan. Ya kan?”

“Tidak mau … tidak … mau …” bisiknya pelan.”

Trimo membawa gelas berisi teh hangat, diberikannya kepada Murni.

“Diminum dulu Bu,” kata Trimo.

Murni menerima gelasnya, lalu meneguknya beberapa teguk.

“Mengapa ibu berikan dia … mengapa?”

“Dia, pagi tadi datang kemari. Saya bilang bu Murni ke dokter. Entah bagaimana, dia bisa menemukan rumah sakit dimana bu Murni dirawat. Dia mengatakan bahwa bu Murni salah sangka. Pak Restu difitnah. Dia tidak melakukan apa-apa. Wanita itu yang tak tahu malu dan menjebaknya.”

“Dia bohong Bu, jangan percaya.”

“Bu Murni harus percaya, pak Restu mengatakannya dengan wajah sedih.”

“Dia itu pintar berbohong. Hati sebenarnya jahat.”

“Jadi bu Murni memilih percaya kepada wanita penggoda itu?”

“Saya belajar dari pengalaman mengenal dia Bu. Dia itu anak orang kaya yang hidupnya berantakan, karena mengejar kesenangan.”

“Bukankah bu Murni bilang bahwa dia telah bertobat?”

“Kenyataannya tidak.”

“Barangkali semua harus dipikirkan dengan kepala dingin bu, bukan dengan hati yang panas.”

“Bu Trini terkecoh oleh cara dia bicara.”

“Ya sudah, sekarang tenangkan hati Bu Murni dulu, nanti kita pikirkan apa yang seharusnya kita lakukan.”

Murni mengusap air matanya. Lalu dia mengambil ponselnya.

“Saya akan menelpon simbok.”

“Ya, silakan Bu, saya mau menata makan,” kata bu Trisni sambil beranjak ke belakang.

Begitu menelpon yu Sarni langsung mengangkat.

“Murni … owalah Mur, simbok bingung … kamu itu kemana saja, kok ilang-ilangan?”

“Iya Mbok, Murni memilih pergi, sudah nggak kuat lagi.”

“Lha nggak kuat itu kenapa?”

“Apa simbok juga sudah dibohongi oleh dia?”

“Dia siapa maksudmu? Pak Restu?”

“Siapa lagi yang tukang bohong?”

“Kamu itu jangan terburu napsu. Simbok sudah mendengar semuanya. Kamu itu salah sangka. Kamu dibohongi oleh bekas pembantu kamu yang bernama Marsih. Dia itu Lisa, perempuan jahat yang berpura-pura menjadi perempuan cacat dengan mengenakan topeng. Dia menjebak pak Restu untuk merusak rumah tangga kamu.”

“Simbok dibohongi oleh dia. Simbok seperti lupa bagaimana dia itu. Murni lebih baik pergi, Murni akan meminta cerai.”

“Murni!! Tidak bagus bicara seperti itu.” Sentak yu Sarni.

“Murni tidak kuat lagi Mbok, sekarang dia datang menemui Murni, lalu ketika Murni ada di rumah sakit, dia membawa lari Gilang.”

“Benarkah? Tapi masalah Gilang dibawa pak Restu belum sampai di rumah ini, beritanya.”

“Tolong Mbok, ambil kembali Gilang, Murni tak bisa berpisah dari dia,” tangis Murni.

“Kamu pulanglah kemari, dan bicara yang baik-baik.”

“Saat ini Murni sedang sakit Bu.”

“Sakit apa?”

“Sebenarnya … Murni hamil.”

“Alhamdulillah, ini berita menyenangkan. Simbok senang sekali. Bapak sama ibu Broto juga pasti bahagia. Cepat pulang Murni. Percayalah, semuanya akan baik-baik saja,” kata simbok yang suaranya berubah renyah karena gembira.

“Entahlah Mbok, badan Murni lemas. Ini berbeda dengan kehamilan saya yang pertama.”

“Apa kamu di rumah sakit?”

“Cuma sehari, karena tidak bisa lama-lama meninggalkan Gilang. Tak tahunya setelah pulang, Gilang sudah dibawa pergi,” sesal Murni.

“Simbok akan bilang pada ibu. Akan ada caranya untuk membawa kamu pulang kemari.”

“Tolong jangan pertemukan Murni dengan mas Restu.”

“Kamu jangan bicara yang tidak-tidak, kamu akan menyesalinya nanti,” pesan yu Sarni yang kemudian menutup pembicaraan itu.


Bu Broto sangat gembira mendengar bahwa Murni sudah hamil lagi. Ia segera menelpon Restu. Tapi baru saja bu Broto mengangkat ponselnya, Restu sudah muncul sambil menggendong Gilang.

Bu Broto berteriak senang, yu Sarni tergopoh-gopoh menyambut.

“Gilang, sayang … akhirnya kamu datang,” kata bu Broto yang kemudian menggendong Gilang, membawanya ke belakang diikuti yu Sarni.

“Apa yang terjadi?” kata pak Broto yang baru sekilas mendengar cerita tentang Murni.

“Murni ada di rumah sakit. Restu membawanya tanpa sepengetahuan Murni,” kata Restu sambil duduk di depan ayahnya.

“Baru saja Sarni bilang, istrimu hamil.”

“Iya, Restu mendengarnya dari bu Trisni, pemilik rumah dimana Murni tinggal bersama Gilang.”

“Bagaimana ini, rumah tangga baru saja dibina sudah kacau seperti ini.”

“Soalnya ada yang membuatnya Pak. Dia berharap supaya rumah tangga kami hancur. Murni tidak percaya lagi sama Restu. Restu juga sudah mengatakan kepada bu Trisni tentang apa yang terjadi sebenarnya, dengan harapan dia akan bisa meredakan amarah Murni. Tapi mengingat kekerasan hati Murni, Restu kurang yakin dia akan percaya, apalagi dia masih di rumah sakit.”

“Tadi menelpon Sarni, memang dia bilang bahwa tidak percaya sama kamu. Tapi dia sudah tidak di rumah sakit.”

“Berarti dia sudah tahu kalau Gilang Restu bawa pulang kemari.”

“Ya, dia bilang begitu.”

“Bagaimana cara menjemputnya? Dia tak akan mau mendenfarkan Restu. Harus ada penengah yang dipercayainya.”

“Yang bisa menangani masalah ini, hanya Rio dan Wulan. Tapi mengingat Wulan juga sedang hamil, entah bagaimana nanti, yang penting kabari dulu Rio atau Wulan.”

“Baiklah Pak, saya akan minta tolong mas Rio. Tapi barangkali belum bisa hari ini, karena ini sudah sore. Oh iya, mana yu Sarni?” teriaknya kemudian kepada yu Sarni.

Yu Sarni bergegas datang.

“Ini, pakaian Gilang, dan susu, berikut botolnya.”

“Baik, nanti saya yang akan mengurusnya. Murni sudah hamil lagi, sebaiknya Murni tidak memberi ASI lagi untuk Gilang,” kata yu Sarni, yang kemudian membawa barang-barang Gilang ke kamarnya.


Pagi-pagi sekali, pak Warso sudah keluar dari tokonya. Sudah ada karyawan yang membuka dan menata semuanya.

Pak Warso sudah menyiapkan mobilnya, bermaksud mengunjungi Murni, tapi tiba-tiba wanita yang mengaku bernama Lisa sudah berdiri di depan toko.

Pak Warso terkejut. Rupanya wanita itu memata-matai dirinya, sehingga tahu dimana harus menemuinya.

“Pak tua yang ganteng,” sapa Lisa sambil tersenyum genit.

“Ada apa Mbak datang kemari?” kata pak Warso dengan wajah kurang senang.

“Ya ampun Pak, semalam saya tidak bisa tidur karena memikirkan Bapak.”

Wajah pak Warso semakin muram. Wanita cantik yang hampir saja membuatnya terpikat itu sekarang membuatnya sebal, karena bicaranya yang tidak karuan. Pada dasarnya pak Warso bukan orang jahat. Dia menginginkan Murni karena Murni mengaku sudah janda. Hanya saja dia belum sempat mengutarakan maksudnya, sudah mendengar tentang kehamilannya, dan juga melihat suaminya datang menemuinya di rumah sakit.

Pak Warso langsung naik ke atas mobilnya, tapi tanpa diduga Lisa sudah naik dari sisi kemudi, dan duduk dengan santainya.

“Apa maksudnya ini?” hardik pak Warso.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 79

SELAMAT PAGI BIDADARI (77)

Karya Tien Kumalasari

Lisa terkejut, tapi dia masih tampak tersenyum.

“Sayang, kamu menyusul aku kemari? Baru semalam kita bersama, sudah kangen lagi?” kata Lisa tak kenal malu.

Mata Restu menyala, bagai memancarkan api. Ia mendekati Lisa sambil mengayunkan tangannya. Tapi Lisa berhasil menepisnya.

“Sayang, ada bekas istri kamu, nggak malu main peluk saja?”

“Wanita murahan!! Pergi kamu dari sini,” hardiknya.

“Baiklah, enakny aku menunggu di hotel saja, sayang?”

Restu melayangkan tangannya ke wajah Lisa, kali ini kena. Warna merah menjalar di bekas tamparan dan seluruh wajah Lisa. Tapi Lisa tetap tersenyum.

“Ya ampun, kamu kelainan ya? Harus menyakiti dulu sebelum melakukan? Tapi ini kan di rumah sakit?” kata Lisa sambil menyiratkan senyuman genit, kemudian keluar dari ruangan.

Restu sangat geram.

“Kok ada perempuan tak tahu malu seperti dia?” gumamnya sambil mendekati Murni. Tapi murni memejamkan matanya sambil memalingkan muka.

“Murni …” katanya lembut.

Murni benar-benar merasa muak. Belum hilang rasa terkejutnya ketika mengetahui bahwa Marsih adalah Lisa, kemudian Restu datang dan Lisa mengumbar kata-kata tak tahu malu di hadapannya. Bisa-bisanya ketemuan dengan Lisa di rumah sakit, dimana dirinya terbaring dan merasa badan tidak enak.

“Murni, jangan pedulikan apa yang dikatakannya. Dia itu wanita yang ingin merusak hubungan kita. Dia menjijikkan. Aku harap kamu bisa mengerti.”

Murni tak menjawab. Ia masih memalingkan wajahnya. Tak begitu mudah mempercayai yang punya perangai buruk di masa lalunya. Kemudian dia menyesal telah kembali mengandung anak Restu.

“Murni, aku sudah bertemu Gilang, dan_”

“Jangan sentuh dia,” sentak Murni yang kali ini mau tak mau bereaksi ketika Restu sudah bertemu Gilang. Pasti dia sudah menggendongnya, dan jangan-jangan Restu sudah membawanya pergi.

“Murni, dia anakku ….”

“Apa kamu membawanya pergi? Mana dia?” kata Murni dengan cemas.

“Tidak, aku tidak akan membawanya tanpa kamu. Kamu sakit apa? Ayo pulang saja, ada rumah sakit lebih baik di kota kita.”

Murni tak sedikitpun menatap Restu.

“Murni, aku bawakan baju-pengganti untuk kamu,” tiba-tiba pak Warso muncul dengan membawa bungkusan pakaian.

Murni menoleh.

“Oh ada tamu?” kata pak Warso setelah melihat Restu duduk di tepi pembaringan Murni.

“Saya Restu, baru datang. Saya adalah ….”

“Dia adalah calon suami aku,” kata Murni tiba-tiba.

Bukan hanya Restu yang terkejut, tapi pak Warso demikian pula.

“Apa? Kamu bilang, dia calon suami kamu? Bukankah kamu masih istriku??” Kata Restu keras, menahan kemarahan di hatinya.

“Terima kasih telah membawakan baju ganti untuk saya,” kata Murni sambil tersenyum kepada pak Warso. Yang diberi senyuman malah menjadi gugup dan gelagapan.

“Dia ini masih istriku. Bagaimana anda bisa menjadi calon suaminya?” kata Restu masih dengan nada tinggi.

“Kamu bakal bekas suami aku,” kata Murni tanpa belas.

“Murni !! Mengapa kamu melakukan ini?”

“Tanya kepada diri kamu sendiri, apa yang telah kamu lakukan.”

“Murni, kamu tidak mendengar apa yang aku katakan? Kamu tetap istri aku, aku tak akan menceraikan kamu atas sesuatu yang tidak jelas ini.”

“Terserah apa kata kamu,” kata Murni lagi.

Pak Warso diam dalam kebingungannya. Tak tahu harus berhata apa.

“Murni, aku datang untuk menjemput kamu.”

“Jangan mengharapkan sesuatu yang tak mungkin. Pulanglah, tapi jangan sekali-sekali menyentuh Gilang, apalagi membawanya pergi.”

Restu tak tahan lagi. Dia keluar dari ruangan dengan wajah merah menahan marah. Ia tak mengira Murni begitu cepat mendapatkan calon suami.


“Pak Waro, saya minta maaf,” kata Murni setelah Restu pergi.

Pak Warso diam, masih bingung memikirkannya, tapi juga berdebar mendengar Murni mengaku menjadi calon suaminya. Apakah itu benar?

“Saya telah lancang mengaku menjadi calon suami Bapak, saya hanya ingin memanasi hati dia saja.”

“Aku tidak mengerti. Jadi itu tadi suami kamu?”

“Saya akan segera menggugat cerai.”

“Tapi kamu sedang mengandung anaknya, bukan?”

“Saya tidak tahan lagi. Dia berselingkuh. Kelakuannya sangat menyakitkan saya, jadi lebih baik saya minta cerai.”

“Kamu sedang mengandung. Mana bisa minta cerai?”

“Akan ada waktu untuk menunggu sampai bayi ini lahir.”

“Baiklah, sekarang kamu istirahat saja dulu, jangan memikirkan yang berat-berat.”

“Saya mau pulang saja.”

“Murni, kamu masih diinfus, supaya kamu lebih kuat.”

“Saya harus segera pulang, saya khawatir dia membawa anak saya.”

“Tunggu aku menemui dokternya ya, kamu harus pulang dalam keadaan baik dan cukup kuat.”


Ketika pak Warso keluar dan mencari dokter yang menangani Murni, tiba-tiba Lisa menghadangnya tiba-tiba.

“Pak tua yang masih ganteng … “ sapanya sambil mengumbar senyuman paling manis yang dimilikinya. Ia merasa mendapatkan laki-laki yang akan dijadikan mangsanya.

“Bagaimana Anda bisa ada di sini?”

“Saya memang tinggal di kota ini. Kemarin ketika mau periksa ke dokter langganan, saya melihat Bapak dan juga Murni.”

“Anda mengenalnya?”

“Dia itu wanita yang telah merebut kekasih saya. Restu itu kekasih saya. Kami hampir menikah ketika Murni kemudian merebutnya dari saya.”

“Apa? Apa yang Anda katakan itu benar?”

“Masa saya bohong sih Pak, saya ini wanita yang teraniaya. Saya sudah menyerahkan semuanya kepada Restu, siap menjadi istrinya. Tapi Murni merusaknya. Apa benar dia menjadi istri Bapak?”

“Belum,” jawab pak Warso yang masih bingung.

“Oh, jadi masih calon? Jangan Pak, jangan lakukan sebelum terlambat. Dia itu tidak begitu cantik sih, tapi dia pintar membuat pria menjadi terpikat. Dengan pura-pura baik, pura-pura santun, lalu tiba-tiba dia bisa menerkam Bapak.”

Tiba-tiba pak Warso merasa tidak senang mendengar Lisa menjelek-jelekkan Murni. Cara dia mengumbar kejelekan orang lain kepada orang yang baru dikenalnya, menunjukkan bahwa dia bukan wanita baik-baik.

“Pak, oh ya, nama saya Lisa. Bapak pak Warso kan? Saya sudah tahu ketika periksa ke dokter tadi.”

“Bapak ditunggu dokter di ruangnya,” tiba-tiba seorang perawat mendekati dan memintanya mengikutinya.

Pak Warso membalikkan tubuhnya, tanpa melihat ke arah Lisa lagi, membuat Lisa merasa kesal. Tadi dia ingin mencegat Restu, tapi enggan melakukannya. Tadi dia sudah kena caci maki dan tamparannya. Dengan langkah gontai dia pergi, dan berjanji dalam hati, akan menemui pak Warso lagi.


Pak Warso sudah menemui dokternya, dan setelah memeriksa keadaan Murni, kemudian Murni diijinkannya pulang.

Murni tak sempat mengganti baju yang tadi dibawakan pak Warso, jadi dia membawanya kembali.

“Apa benar, kamu sudah merasa baik?” tanya pak Warso dalam perjalanan ke arah mobilnya.

“Saya merasa sangat baik. Saya harus segera pulang.”

“Tapi wajah kamu masih pucat.”

“Saya bisa beristirahat di rumah. Bukankah saya sudah mendapatkan obatnya?”

“Benar, tapi kamu harus istirahat dulu, tidak usah buru-buru bekerja, kalau kamu belum merasa kuat.”

“Iya Pak, terima kasih banyak. Saya sudah sangat merepotkan Bapak.”

“Tidak repot, kamu kan karyawan aku. Jadi aku harus menjaga kamu,” katanya sambil membukakan mobil untuk Murni.

Begitu sampai di rumah bu Trisni, Murni bergegas mencari keberadaan Gilang. Ia bertemu bu Trisni yang sedang berjalan ke arah depan, ketika mendengar mobil berhenti di depan rumah.

“Mana Gilang Bu, apa dia masih tidur?”

“Bu Murni, tadi pak Restu datang kemari.”

“Iya, saya sudah tahu, dia juga menemui saya di rumah sakit.”

“Tapi dia datang kembali, lalu Gilang dibawanya.”

Murni merasa lemas, dia jatuh terduduk di lantai.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 78

SELAMAT PAGI BIDADARI (76)

Karya Tien Kumalasari

Pak Warso melupakan wanita cantik yang tiba-tiba seperti menggodanya, kemudian setengah berlari menuju ke arah praktek dokter.

Ia langsung masuk ke ruang praktek, karena Murni sudah berada di dalam, entah siapa yang mengangkatnya.

“Kenapa dia dok?” tanyanya khawatir, sambil menatap ke arah Murni yang terbaring lemah, dengan mata terpejam.

“Ini istri pak Warso?”

“Dia kenapa?” lanjutnya.

“Ini bukan sakit berbahaya, tapi sakit yang membuat bahagia.” Kata sang dokter sambil tersenyum.

Pak Warso menatap Murni, tidak mengerti.

“Istri Pak Warso hamil sudah lima minggu.”

Bukan hanya pak Warso yang terkejut. Murni demikian juga. Ia yang masih lemah, langsung membuka matanya. Mulutnya ingin mengucapkan sesuatu, tapi bingung apa yang harus diucapkannya.

Tapi pak Warso segera bisa menenangkan hatinya. Baiklah, dia hamil, soalnya dia juga baru akan menanyakan padanya tentang status dan kehidupannya, sebelum kemudian dia melamarnya.

Pak Warso tersenyum.

“Keadaannya bagaimana?”

“Tidak apa-apa. Biasa, wanita hamil muda seringnya begitu. Pusing, mual, muntah. Tapi saya kan bukan ahlinya. Sebaiknya pak Warso membawa istri Bapak ke dokter kandungan untuk memastikannya, dan supaya ada penanganan lebih lanjut. Misalnya harus bagaimana, harus minum apa, begitu,” kata sang dokter.

“Oh, begitu ya. Baiklah, sekarang juga saya akan membawanya ke rumah sakit.”

“Baiklah. Bu Murni bisa bangun?”

Murni mengangguk. Walau badannya lemah, dia masih mampu bangun. Pak Warso memapahnya keluar, karena takut Murni terjatuh. Dalam melangkah ke arah mobil, pak Warso menyerahkan botol minyak kayu putih yang tadi dibelinya, setelah membuka segelnya.

Tanpa menjawab, Murni menerimanya, dan segera menciumi botol minyak itu sepuasnya.

Hati-hati pak Warso membantu Murni duduk.

“Kita akan langsung ke rumah sakit,” kata pak Warso.

“Maafkan … saya,” kata Murni terbata.

“Tenangkan dulu hati kamu, setelahnya, kamu baru boleh cerita. Yang penting kamu harus segera mendapat penanganan.”

“Tapi saya harus segera pulang. Gilang _”

“Bukankah masih ada stok ASI di kulkas? Jadi kamu tidak usah memikirkannya dulu.”

Murni diam. Dia merasa sangat lemas. Tak ada yang bisa dikatakan untuk membantahnya, walaupun dia merasa tak enak, karena ternyata dirinya hamil, dan dia belum pernah mengatakan apapun tentang statusnya kepada pak Warso, kecuali mengatakan bahwa dia seorang janda.


Bu Trisni sangat khawatir, karena Murni perginya sudah terlalu lama. Tapi ada yang membuatnya terhibur, bahwa Murni pergi bersama pak Warso, yang akan membawanya ke dokter langganan. Pasti rumah dokter itu berada diluar dusun ini.

Bu Trisni sedang menggendong Gilang di depan rumah, ketika tiba-tiba sebuah mobil berhenti. Bukan mobil yang kemarin, jadi bu Trisni tak mengira, bahwa itu adalah Restu.

Tapi bu Trisni terkejut, ketika yang muncul benar-benar Restu. Ia bergegas mendekatinya, dan langsung meminta Gilang dari gendongannya.

Bu Trisni sangat merasa tidak enak.

“Maaf Pak Restu, sungguh saya minta maaf. Saya berbohong, atas permintaan bu Murni. Bukan kemauan saya sendiri,” katanya takut-takut.

Restu asyik menciumi Gilang, yang barangkali karena ada ikatan darah, masih mengenali ayahnya yang hampir sebulan tidak bertemu. Ia tertawa-tawa dan menepuk-nepuk pipi ayahnya. Bu Trisni terharu melihatnya.

“Sesungguhnya saya difitnah. Murni pasti bercerita bahwa saya berselingkuh, tapi itu salah. Saya dijebak oleh wanita yang menyamar menjadi wanita cacat, pura-pura melamar menjadi pembantu di rumah saya.”

Lalu Restu mencetakan semuanya. Bahwa kemudian Murni melihatnya berada di dalam kamar, karena Lisa menguncinya dari dalam, kemudian berteriak mengatakan bahwa dirinya diperkosa.

Bu Trisni membelalakkan matanya setelah tahu kejadiannya.

“Di mana Murni?”

“Dia bekerja disebuah toko sembako. Tapi dia sakit, semalam muntah-muntah, lalu pak Warso, majikannya, pemilik toko itu, mengantarkannya ke dokter. Mungkin dibawa keluar dari dusun ini, dia kan punya langganan dokter sendiri.”

Setelah mendapat keterangan dari bu Trisni, dia menitipkan Gilang pada bu Trisni, lalu mendatangi toko pak Warso, dan menanyakan di mana alamat dokter langganan pak Warso. Ia bersyukur Rio mengantarkan mobilnya, sehingga dia bisa dengan mudah pergi kemanapun.


Pak Warso membawanya ke rumah sakit, dan Murni langsung diperiksa. Perkiraan dokter itu benar, Murni hamil. Tapi karena kondisinya lemas, maka Murni harus dirawat dulu selama satu atau dua hari.

“Tidak mau, saya pulang saja. Saya punya anak bayi,” tolak Murni ketika dokter memintanya dirawat.

“Tapi Ibu masih lemas. Baiklah, barangkali sehari saja, sampai nanti sore baru boleh pulang. Ibu harus diinfus, dan diberikan obat.”

“Murni, sebaiknya kamu menurut saja apa kata dokter. Itu yang terbaik untuk kandungan kamu, juga untuk kesehatan kamu.”

“Tapi bagaimana dengan anak saya?”

“Aku akan menelponnya, adakah nomor yang bisa dihubungi? “

Murni memberikan nomor kontak bu Trisni. Itu penting, supaya bu Trisni tidak merasa khawatir. Tapi aku juga mau menemui ibu Trisni dan mengatakan keadaan kamu dengan lebih jelas.”

Murni tak bisa menolaknya. Badannya memang terasa lemas, dan dia benar-benar tak berdaya. Dia tak mau kalau pak Warso kembali memapahnya saat dia memaksa pulang. Tidak enak dan tidak pantas, karena pak Warso bukan apa-apanya.

Pak Warso memesan kamar terbaik untuk Murni, yang walau Murni menolaknya, tapi pak Warso memaksanya.

Ketika pak Warso pulang, ia berpapasan dengan wanita yang tadi ditemuinya. Pak Warso heran, bagaimana wanita itu bisa berada di rumah sakit juga? Apakah dia mengikutinya?

“Rupanya Murni itu istri Bapak? Beruntung sekali dia. Lepas dari satu laki-laki, diterima oleh laki-laki lain,” kata wanita itu mengejek.

Pak Warso yang masih berada dalam keadaan bingung, tak memperhatikan wanita yang ternyata mengenal Murni. Ia langsung memasuki mobilnya dan memacunya pulang.

Wanita cantik itu tak terduga memasuki kamar rawat Murni, membuat Murni terkejut. Yang diingatnya adalah, wanita itu adalah yang pernah mengata-ngatainya saat dia belanja, dan yang pernah sengaja menabraknya sehingga harus berurusan dengan yang berwajib. Wanita itu memang Lisa. Tentu saja Murni tak mengenalinya sebagai Marsih, karena Lisa tak menggunakan cadar seperti ketika menjadi pembantu di rumahnya.

“Selamat bertemu kembali Murni,” sapa Lisa.

Murni terkejut, Lisa bisa berada di rumah sakit tempat dia dirawat.

“Ya ampun Murni, kamu itu pembantu yang sangat beruntung ya, diambil istri oleh majikan, setelah diselingkuhi, kamu mendapat duda tua yang kaya di tempat ini. Enaknyaaa,” ejeknya tanpa malu.

“Bukankah kamu dipenjara?”

“Oh iya, tentu saja. Aku dipenjara, Tapi mana aku kerasan di sana berlama-lama? Tidak dong, aku sudah bebas, dan dikota kecil ini aku sedang menyendiri, merenungi keberuntunganku. Kamu tahu, siapa yang ada di dalam rumah tangga kamu dan menjadi pembantu kamu? Aku, Murni. Aku menyamar menjadi wanita cacat dengan topeng di wajahku.”

Murni terbelalak. Jadi Marsih itu Lisa? Pantesan Restu mau sama dia, ternyata bekas kekasihnya. Begitulah Murni berpikir, dan rasa benci kepada Restu semakin mendalam.

“Dan saat ini, Restu bekas suami kamu juga ada di kota kecil ini. Bersamaku. Dia menyusulku sampai kemari. Ya ampuun, kok bisa kamu juga di sini sih? Baiklah, tak apa-apa, toh kamu sudah punya suami dan sudah hamil pula. Yaaah, cepet banget hamilnya. Baru berapa bulan kamu pisah sama Restu? Masa idah belum habis pula. Bisa kena masalah pula kamu nanti.”

Murni tak menjawab sepatah katapun.

Lisa masih petentang petenteng di dalam ruangan itu, ketika tiba-tiba Restu muncul di ruangan itu.

“Heii … apa yang kamu lakukan di sini?”


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 77

SELAMAT PAGI BIDADARI (75)

Karya Tien Kumalasari

Murni terdiam, agak ragu menerima tawaran pak Warso. Tapi dia tidak menawarkan, dia seperti memaksa. Ada perasaan tak enak dihati Murni. Mengapa tampaknya pak Warso memperlakukan lebih terhadap dirinya? Padahal dia karyawan baru, belum genap sebulan bekerja di tokonya.

“Kenapa Bu?”

“Pak Warso mau mengantarkan saya ke dokter.”

“Ya sudah, itu lebih bagus. Pak Warso orang berada, pasti punya langganan dokter yang bagus dan siap setiap saat, tidak usah ngantri seperti kalau periksa di puskesmas.

“Iya sih.”

“Tidak apa-apa Bu, biar Gilang sama saya. Pekerjaan saya kan sudah selesai.”

Ketika kemudian pak Warso datang, Murni terkejut. Pak Warso bukan membawa pick up seperti yang dipakainya belanja kemarin, tapi membawa mobil bagus.

Murni baru beranjak mengambil tasnya, pak Warso sudah turun duluan, mendekati Gilang yang sedang digendong bu Trisni.

“Ini Gilang ya?”

“Iya Pak,” jawab bu Trisni yang sedang menggendong Gilang di depan rumah.

“Ngganteng banget sih, dan tampak sehat.”

“Iya. Ayo Gilang, beri salam untuk pak Warso,” kata bu Trisni sambil mengacungkan tangan Gilang ke arah pak Warso. Pak Warso menerimanya dengan senyum ramah.

“Murni sudah siap?”

“Sudah Pak, maaf, Bapak jadi repot,” kata Murni yang keluar dari dalam rumah.

“Tidak repot. Kalau kamu sakit dan tidak bisa bekerja, aku yang repot kan?”

“Barangkali hanya masuk angin.”

“Ya sudah, apapun sakitnya, kamu harus segera diperiksa dokter,” kata pak Warso sambil membukakan pintu mobil untuk Murni.

Murni melambaikan tangannya, ketika mobil pak Warso bergerak menjauh.

Gilang menatap ke arah mobil itu pergi, seakan bertanya, siapa yang bersama ibuku.

Bu Trisni segera beranjak ke dalam. Ia merasa, sikap pak Warso sangat berlebihan. Ada rasa khawatir, kalau-kalau pak Warso punya maksud yang lain, seperti perkiraannya yang pernah diutarakannya pada Murni.

“Waduh, apa yang terjadi nanti ya, apakah bu Murni mau sama pak Warso yang sudah setengah tua? Tapi kan dia kaya. Kalau masalah kebutuhan hidup, bu Murni tak akan kekurangan, kalau mau sama pak Warso. Tapi bu Murni kan masih punya suami. Ya ampun, katanya dia mau minta cerai, apa gara-gara bu Murni mulai suka sama duda setengah tua itu?”


“Rio, kamu menelpon siapa?” tanya Wulan ketika mereka selesai makan pagi.

“Aku menyuruh orang untuk mengantarkan mobil mas Restu ke penginapan.”

“Nekat banget mas Restu, kenapa tidak langsung saja mendatangi rumah Trimo, kalau memang dia mencurigai bahwa Murni ada di sana?”

“Sungkan katanya, soalnya bu Trisni sudah terlanjur bilang bahwa Murni tidak ada di rumahnya.”

“Apa sih sebenarnya maksud Murni? Dari dulu suka kabur-kaburan,” gerutu Wulan kesal.

“Jangan terlalu menyalahkan Murni. Yang dia lihat adalah nyata. Perkara itu dibuat dengan hasil memuaskan oleh Lisa, memang itulah maksud Lisa. Barangkali sulit bagi Murni untuk mempercayai alasan apapun, karena ketahuan mas Restu ada di dalam kamar Lisa dan kamar itu terkunci dan Lisa telah membuat sedemikian rupa sehingga semua seperti nyata. Baju yang terkoyak, misalnya, itu bukti yang tidak bisa dipungkiri.

“Iya sih, tapi seharusnya Murni bisa mendengar apa yang dikatakan mas Restu.”

“Tampaknya susah, kecuali ada penengah, atau ada bukti bahwa Marsih adalah Lisa. Kemana sekarang dia? Apa kita harus menangkapnya supaya dia mau menerangkan semuanya pada Murni?”

Wulan menghela napas panjang. Banyak liku-liku kehidupan yang dijalani Murni.

“Semoga Murni dan mas Restu bisa melewati ujian ini.”

Rio mengangkat ponselnya ketika terdengar dering panggilan telpon.

“Ya … benar, itu kunci mobilnya, alamatnya sudah aku kirimkan sama kamu kan? Ya sudah, segera lakukan perintah aku. Baiklah.”

“Kunci mobilnya sudah didapat?” tanya Wulan ketika Rio selesai menelpon.

“Sudah. Karyawan bengkel tahu, kunci itu selalu ada di meja kamar mas Restu. Semoga dengan mobil itu mas Restu bisa bergerak lebih nyaman.”

“Ya sudah, kita berangkat ke kantor sekarang? Aku harus selalu ada di kantor, karena sejak Murni menghilang, bapak seperti kurang bersemangat, apalagi mengingat kondisi mas Restu yang semakin kurus, bagai tak terurus.”

“Baiklah, aku bisa mengerti. Apalagi ibu, juga yu Sarni.”

“Menurut aku, Murni memang agak kebangetan. Harusnya mengabari ibu atau yu Sarni bahwa dia dan anaknya baik-baik saja.”

“Ya sudah, bagaimanapun Murni juga sedang kacau, seperti merasa gagal dalam meraih kebahagiaannya. Nanti kalau keberadaan Murni sudah jelas, aku atau kamu harus menyusulnya. Murni tidak akan percaya pada apa yang dikatakan mas Restu. Susah untuk percaya, apalagi kalau mengingat masa lalu mas Restu yang begitu buruk.”

“Semoga semuanya baik-baik saja.”


Pak Warso dan Murni sudah ada di kamar tunggu dokternya. Ada satu pasien sebelumnya, jadi keduanya masih harus menunggu, sementara Murni kembali dilanda rasa lemas dan pusing. Ia mengesal tak membawa minyak kayu putih yang ada di kamarnya.

“Kenapa?”

“Pusing sekali. Apa Bapak membawa minyak kayu putih?”

“Minyak kayu putih? Waduh, di toko sebenarnya ada. Tapi aku tidak membawanya.”

“Saya sangat pusing, dan sekarang kembali mual.”

“Biar aku beli dulu, barangkali di warung dekat-dekat sini ada,” kata pak Warso sambil berdiri.

“Tidak usah Pak, nanti saja.”

“Jangan, biar aku beli dulu, tampaknya kamu sangat membutuhkan,” kata pak Warso sambil melangkah pergi, keluar dari ruang tunggu.

“Aduh, aku sangat merepotkan, padahal pastinya juga hanya karena masuk angin. Tapi sudah aku bawa tidur semalaman, kok ya masih juga rasa tidak enak ini,” keluh Murni.

“Ibu pusing ya?” tiba-tiba salah seorang pasien yang duduk di depannya bertanya.

“Iya Bu, sangat pusing, badan saya lemas, dan mual sekali perut saya.”

“Jangan-jangan ibu hamil,” kata si ibu tadi.

“Apa? Hamil?”

“Tanda-tandanya seperti orang hamil. Tapi nggak tahu juga, benar hamil atau hanya perkiraan saya.”

Murni mulai menghitung-hitung, kapan terakhir dia menstruasi.

“Ah ya, selama berada di rumah bu Trisni aku belum pernah mengalami. Tapi hamil? Masa sih?” katanya dalam hati.

Tiba-tiba, ingatan tentang kehamilan itu membuat perutnya seperti diaduk. Murni berlari ke arah kamar mandi dan seperti semalam, dia muntahkan semua isi perutnya.


Ternyata warung yang dimaksud, tempatnya agak jauh dari tempat praktek dokternya. Tapi pak Warso lega, bisa membawa minyak kayu putih yang dibutuhkan Murni. Ia segera bergegas kembali, karena merasa perginya terlalu lama.

“Murni pasti sudah tidak sabar. Kasihan juga dia. Aku jadi menyesal telah mengajaknya belanja seharian. Pasti lah dia sangat capek, apalagi kalau tidak biasa naik mobil. Mobilnya jelek pula. Habis, kan itu memang mobil untuk belanja,” gumam pak Warso disepanjang langkahnya.

“Pak … pak, dompetnya jatuh,” tiba-tiba sebuah teriakan terdengar dari belakangnya.

Pak Warso menoleh, dan memang dompetnya terjatuh. Rupanya karena tergesa-gesa, dia tidak memasukkan dompetnya ke dalam saku dengan sempurna.

“Terima kasih,” kata pak Warso kepada wanita yang menyapanya.

Wanita itu ternyata sangat cantik dan menawan. Pak Warso terpana ketika senyumannya seperti memaku dirinya sehingga tak mampu melangkah lagi.

Tiba-tiba sebuah teriakan lain terdengar, dari arah di mana dokter langganannya berpraktek.

“Paaak, Paaak, istri Bapak pingsan.”


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 76

SELAMAT PAGI BIDADARI (74)

Karya Tien Kumalasari

Murni langsung masuk ke kamar, tubuhnya terasa lemas. Bu Trini menggosok perut dan punggung Murni dengan minyak kayu putih, agar Murni merasa lebih nyaman.

“Aduh, terima kasih bu Trisni, entah mengapa, tiba-tiba saya merasa mual.”

“Bu Murni kecapekan. Hampir seharian bu Murni bekerja.”

“Tapi saya kan harus memenuhi kebutuhan Gilang.”

“Bagaimana kalau bekerja paruh waktu saja, sehingga bu Murni tidak terlalu capek.”

“Besok saya akan coba bicara sama pak Warso, apa diperbolehkan kalau saya hanya bekerja setengah hari saja.”

“Seharusnya bisa. Kekuatan orang itu tidak sama, ada yang kuat bekerja seharian, ada yang tidak. Kalau bu Murni jatuh sakit, Gilang pasti juga akan terpengaruh. Nanti bu Murni sendiri yang merasakan susah.”

“Coba minyak putihnya Bu, rasanya saya ingin mencium baunya terus menerus.”

Bu Trisni menyerahkan botol kecil berisi minyak kayu putih itu kepada Murni, yang lalu menciumnya sambil memejamkan mata.

“Bu Murni istirahat saja dulu, saya akan mencari Trimo, sudah sore kok belum masuk ke rumah juga,” kata bu Trisni sambil keluar dari kamar.

Murni masih terbaring sambil menyedot aroma minyak kayu putih dari botol yang digenggamnya.

“Aneh sekali, benarkah karena terlalu capek maka aku menjadi lemas dan mual? Biasanya juga tidak begini. Bekerja hampir satu bulan, mengapa baru sekarang merasakan capek?” gumamnya lemah.

Sementara itu bu Trisni beranjak ke depan. Dilihatnya Trimo mendudukkan Gilang di atas sebuah sepeda roda tiga, membuat bu Trisni heran.

“Darimana asalnya sepeda itu Mo?”

“Ini Bu, dikasih tetangga sebelah, katanya punya anaknya, sudah tidak dipakai karena anaknya sudah besar.”

“Oh, begitu ya. Sudah bilang terima kasih?”

“Sudah dong Bu.”

“Baiklah, sekarang ajak Gilang masuk ke rumah, sudah hampir maghrib.”

Trimo menarik sepeda roda tiga dimana Gilang duduk diatasnya, dibawanya ke dalam rumah.”

Bu Trisni baru mau masuk kembali ke dalam, ketika tiba-tiba dilihatnya sebuah mobil berhenti di depan rumah.

Bu Trisni menunggu, lalu melihat Restu turun dari mobil.

“Pak Restu? Aduh, aku harus jawab apa ya? Tampaknya bu Murni masih enggan pulang,” kata bu Trisni dalam hati.

“Selamat sore Bu Trisni… “ sapa Restu yang sudah pernah mengenal bu Trisni, tapi lupa siapa namanya. Ketika itu bu Trisni dan Trimo sedang menengok Gilang ketika masih ada di rumah sakit, Restu tidak sempat menanyakan namanya karena saat itu ada bu Thomas di sana. Baru ketika menanyakan Trimo ke seseorang yang kebetulan mengenal Trimo, dia tahu nama ibunya Trimo.

“Ini kan pak Restu?”

“Iya Bu.”

“Kok tumben jalan sampai ke mari?”

“Bu, saya sedang mencari istri saya.”

“Oh ….”

“Dia pergi dengan membawa Gilang. Dia datang kemari?”

Bu Trisni menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Saya tidak tahu pak.”

“Jadi dia tidak datang kemari?”

Bu Trisni kembali menggelengkan kepalanya.

“Baiklah, kalau begitu saya permisi.”

“Tidak … singgah dulu Pak?” kata bu Trisni dengan sedikit ragu, karena kalau tamunya mau, akan sulit menyembunyikan Murni dan Gilang.

“Terima kasih Bu, saya baru mau mencari ke tempat lain.”

Bu Trisni hanya mengangguk. Dia bersyukur Restu tak mau singgah. Dia juga tidak ingin bertanya lebih banyak, takut Restu terlalu lama berada di depan rumahnya. Bagaimana kalau sewaktu-waktu Gilang berteriak atau menangis, lalu Restu mendengarnya?

Bu Trisni merasa lega ketika mobil yang dikendarai Restu sudah berlalu.


Gilang berada di kamar bersama ibunya yang mengeloninya sambil memberikan ASI. Itu sebabnya Gilang tidak bersuara yang bisa menimbulkan kecurigaan kalau sampai Restu mendengarnya.

Murni sudah merasa lebih enak, tapi botol minyak kayu putih itu masih tetap digenggamnya.

“Bu, barusan ada pak Restu datang kemari,” kata bu Trisni begitu masuk ke dalam kamar.

Murni terkejut, sampai Gilang menangis karena minum ASI nya terputus ketika ibunya bangkit tiba-tiba.

Setelahj mendiamkannya dengan mengangkat dan memangkunya, Murni menatap bu Trisni dengan pandangan khawatir.

“Masih di sini?”

“Tidak. Dia hanya menanyakan apa bu Murni ada di sini atau tidak. Saya jawab tidak, lalu dia pergi. Apa saya salah? Saya tadi bingung harus menjawab apa.”

“Tidak salah, sudah betul bu Trisni mengatakan tidak.”

“Tapi apakah bu Murni yakin tidak akan kembali lagi pada pak Restu? Dia tampak kurus dan tidak rapi seperti biasanya. Rambutnya hampir gondrong tak terurus.”

“Begitu sakit hati saya Bu. Susah untuk mempercayai dia lagi. Kalau saya mengalah terus, mendiamkan dan memaafkannya, hati saya yang akan rusak,” kata Murni pilu.

“Siapa tahu dia akan berubah.”

“Ternyata tidak. Dia tak akan berubah. Disamping saya, dan kepada perempuan cacat, dia tega melakukannya.”

Bu Trisni menghela napas. Setengah hatinya menyayangkan kejadian itu, setengahnya lagi bisa memahami mengapa Murni bersikap keras seperti itu.

“Baiklah. Lalu apa yang akan bu Murni lakukan?”

“Saya akan menggugat cerai.”

“Bu Murni yakin?”

“Sangat yakin. Itu jalan terbaik untuk hidup saya. Kalau proses cerai itu selesai, baru saya akan pulang ke kampung saya, mengais kebutuhan hidup saya dan Gilang.”

Bu Trisni hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Kalau dirinya yang mengalami kejadian seperti itu, barangkali dia juga akan melakukannya.


“Bagaimana? Ternyata tidak ada di rumah Trimo kan?”

“Tidak ada Mas, tapi aku tidak percaya.”

“Maksud mas Restu, wanita ibunya Trimo itu bohong?”

“Namanya bu Trisni. Itu kata tetangganya yang kita datangi sebelumnya, dan tahu siapa dan dimana rumah Trimo. Dulu saat ketemu aku tidak bertanya namanya, atau kalau barangkali Murni pernah mengatakannya, aku lupa. Yang ke ingat hanya Trimo.”

“Jadi dia bohong?”

“Sepertinya dia menyembunyikan sesuatu. Dia tidak bertanya banyak, yang harusnya kan ingin tahu, kenapa pergi dan sebagainya, tapi dia hanya bilang bahwa Murni tidak ada di rumahnya. Titik. Itu terasa agak aneh buat aku.”

“Mengapa mas Restu tidak masuk ke rumahnya saja langsung.”

“Nggak enak, aku.”

“Lalu bagaimana?”

“Mas Rio pulang saja dulu, saya akan tetap di sini.”

“Tetap di sini? Menginap di rumah bu … siapa tadi …?”

“Bu Trisni? Tidak … cari penginapan agak keluar dari dusun ini, pasti ada.”

“Tahu begitu tadi bawa mobil mas Restu juga.”

“Tidak apa-apa, jangan pikirkan saya. Saya akan terus mencari keberadaan Murni dan Gilang,” kata Restu dengan mata berkaca-kaca, membuat Rio terharu melihat Restu yang ternyata sangat mencintai keluarganya.

“Baiklah, saya turunkan Mas Restu di sebuah hotel, besok saya urus mobil Mas Restu, agar ada orang yang membawanya ke sana.”

“Baiklah, terima kasih banyak, Mas Rio.”


Pagi hari itu, Murni bangun dengan kepala sangat pusing. Tubuhnya juga terasa lemas. Ia bahkan merasa kembali mual dan ingin muntah.

“Lebih baik bu Murni tidak usah bekerja dulu hari ini. Nanti setelah selesai menggoreng, saya antarkan bu Murni ke puskesmas.”

“Tapi saya harus minta ijin dulu kan.”

“Bu Murni bisa telpon pak Warso, tidak usah datang.”

“Baiklah, saya akan menelpon saja, saya merasa benar-benar lemas.”

“Apa? Kamu sakit?” kata pak Warso ketika Murni mengatakan alasannya untuk tidak masuk bekerja.

“Iya pak. Dari semalam badan saya nggak enak, sekarang sangat lemas dan pusing. Jadi mohon maaf ya Pak, hari ini saya minta ijin untuk tidak masuk dulu.”

“Kalau begitu kamu harus ke dokter.”

“Iya, nanti bu Trisni mau mengantarkan ke puskesmas.”

“Tidak nanti. Sekarang saja aku antarkan kamu ke dokter langganan aku.”

“Tidak usah Pak, merepotkan saja.”

“Jangan membantah.” Tegas kata pak Warso, yang segera menutup pembicaraannya.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 75

SELAMAT PAGI BIDADARI (73)

Karya Tien Kumalasari

“Mas Rio gimana sih, hanya mengikuti sampai di sini, bagaimana bisa tahu ke mana arah tujuan Murni?”

“Menurut aku, mereka ke luar kota.”

“Luar kota yang mana? Ke kiri bisa, lanjut terus juga bisa.”

“Nah, mari kita cari dia. Tadi aku sendirian, tidak berani memutuskan sendiri. Itu sebabnya aku mengajak mas Restu.”

“Kalau terus, berarti tujuannya ke rumah Trimo.”

“Trimo? Anak kecil yang dulu pernah mengamen, lalu ketika Murni lari saat belum menikah juga ke rumahnya?”

“Ya. Dia. Aku pernah mencari sampai ke kampungnya Trimo, malah ketemu Trimo di jalan, tapi Trimo bilang bahwa Murni tidak ada di rumah dia.”

“Dan mas Restu percaya?”

“Masa sih, dia berbohong?”

“Murni lari dari rumah, enggan kembali. Kalau dia berada di suatu tempat, kemungkinan besar dia meminta semua penghuni rumah untuk menutupi keberadaannya. Ya kan?”

“Maksudnya, waktu itu Trimo berbohong?”

“Mungkin tidak, tapi kemungkinan besar … ya.”

“Kalau begitu kita ke rumah Trimo saja. Langsng ke rumahnya.”

“Mas Restu sudah tahu rumahnya?”

“Ketemu Restu di dekat pasar, pasti rumahnya ada di sekitar sana. Orang kampung pasti bisa menjawab kalau kita bertanya tentang rumah orang sekampungnya.”

“Bagus kalau begitu. Kita lanjut ke kampung Trimo.”

“Semoga kita berhasil.”

“Aamiin.”

Restu membawa mobil Rio, karena dia lah yang tahu di mana letak kampung Trimo. Informasi yang diterima dari Rio, sangat membesarkan hatinya.

“Nanti kalau ketemu, saya mohon mas Restu lah yang mengatakan kejadian sebenarnya di malam itu. Kalau aku yang bicara, dia tak akan percaya.”

“Iya, siap. Yang penting ketemu dulu, ya kan?”


Pak Warso menyerahkan catatan barang-barang kepada bagian gudang, lalu duduk santai di toko bagian depan. Ia sedang berpikir, kapan akan melamar Murni. Kelihatannya Murni tidak menolak setiap kali dia menyuruh apapun. Tapi hal itu dibantah sendiri oleh pak Warso.

“Iya lah, tidak menolak di suruh apapun, dia kan karyawan aku, mana berani dia membantah? Berarti itu bukan ukuran bahwa dia juga suka sama aku. Susah ya, seorang wanita muda, jatuh cinta kepada laki-laki setengah tua seperti aku? Tapi aku kan masih gagah, dan kuat. Lagi pula aku juga tampan. Ketika aku masih muda, banyak gadis tergila-gila sama aku. Benar kan? Jadi walau aku sudah setengah tua, pasti sisa-sisa ketampanan itu masih ada. Masa sih, Murni akan menolaknya? Lagi pula kalau dia mau sama aku, hidupnya akan berkecukupan. Hanya saja aku belum pernah bertanya, kapan dia menjadi janda, apakah saat ini sudah siap menikah lagi? Kemana suaminya, bercerai atau meninggal? Wah, ternyata informasi tentang Murni kurang lengkap aku terima. Aku hanya menerima karena dia cantik dan tampak pintar. Dia mengatakan hanya sebagai seorang janda dengan satu anak. Titik, aku belum pernah bertanya lebih lanjut. Besok aku akan menanyakannya,” kata pak Warso dalam hati, sambil melihat karyawannya melayani para pembeli.

Toko pak Warso memang tak pernah sepi pembeli, tapi ia menutup tokonya sebelum maghrib. Tidak ada sift karyawan, semua bekerja dari pagi sampai tutup, dengan mendapatkan makan sehari dua kali. Saat istirahat, dan saat sebelum pulang.

Tiba-tiba pak Warso melihat sebuah mobil yang dikenalinya siang tadi. Mobil bagus yang semula dkira mengikutinya.

“Kok ternyata dia sampai kemari? Apa dia yang mengikuti aku tadi? Tapi namanya mobil kan bukan cuma milik seseorang. Banyak mobil sama, baik merk maupun warnanya.” Gumam pak Warso pelan.

Pengemudi mobil itu turun, dan ternyata hanya membeli sekotak air minum. Tapi tidak, bukan hanya membeli, dia seperti menanyakan sesuatu. Pak Warso berdiri mendekat, menguping apa yang ditanyakannya.

“Trimo? Dia pedagang di pasar?” tanya salah seorang karyawannya. Rupanya laki-laki tampan itu bertanya rumah seseorang bernama Trimo.

“Bukan. Trimo itu masih anak-anak.”

“Oh, masih anak-anak ya? Aduh, saya minta maaf. Kalau anak kecil saya tidak tahu. Siapa nama orang tuanya?” tanya karyawannya lagi.

“Wah, siapa ya nama orang tuanya? Anaknya masih berumur enam atau tujuh tahunan begitu sih,” laki-laki itu kembali ke mobil.

“Mas Rio tahu nama orang tua Trimo?”

“Waduh, nggak tahu aku.”

Laki-laki yang adalah Restu itu kembali ke toko dan mengatakan bahwa mereka tidak tahu nama orang tuanya.

“Wah, kalau begitu saya tidak tahu Pak. Mohon maaf.”

“Ya sudah, baiklah, terima kasih ya Mbak,” jawab Restu sambil membawa kotak minuman yang tadi dibelinya, ke arah mobil.

Mobil itu berlalu.

“Menanyakan alamat anak kecil, mana aku tahu?” karyawan itu bergumam.

Tapi rupanya pak Warso sebenarnya tahu siapa yang dimaksud. Murni sering beli makanan untuk buah tangan orang di rumah, antara lain yang namanya Trimo. Bukan sekali dua kali Murni beli sesuatu untuk Trimo.

“Siapa sebenarnya laki-laki itu? Suaminya? Bekas suaminya? Saudaranya? Aku ingat, yang memasang iklan kehilangan di koran itu keluarga Subroto namanya. Dia mengaku orang tuanya. Lalu siapa laki-laki tadi? Kalau begitu barangkali benar, yang mengikuti aku siang tadi adalah memang keluarganya Murni, nyatanya sekarang sampai di sini. Rupanya mereka memang mencari keberadaan Murni. Mudah-mudahan tidak ketemu,” gumam pak Warso dalam hati.


Gilang sudah mandi, dan bermain bersama Trimo di depan rumah. Murni sedang berbincang dengan bu Trisni dengan santai, karena hari itu Murni boleh pulang lebih awal setelah ikut belanja pak Warso ke kota.

Murni sudah mulai menyetok ASI dalam botol-botol yang sudah dibelinya bersama pak Warso saat mereka belanja. Memang benar, dengan demikian Murni bisa bekerja lebih tenang, karena Gilang tidak akan kekurangan ASI.

“Mulai besok, saya mungkin hanya akan pulang siang saat istirahat, lalu baru bisa pulang sebelum maghrib.”

“Oh ya? Tidak apa-apa Bu, saya kan banyak nganggurnya. Setelah mengirim dagangan, tinggal bermain sama Gilang.”

“Sebenarnya saya sungkan, selalu merepotkan bu Trisni.”

“Tidak apa-apa Bu, jangan dipikirkan. Anggap saja kita adalah keluarga, jadi jangan ada rasa sungkan itu lagi di hati bu Murni. Suka dan duka akan kita pikul bersama.”

“Saya harus berterima kasih karena bertemu dengan orang sebaik bu Trisni dan Trimo.”

“Bukankah saya yang harus berterima kasih Bu? Karena Bu Murni saya bisa punya penghasilan cukup, dan Trimo bisa sekolah sesuai keinginannya.”

“Hanya karena saya ada sedikit sisa Bu.”

“Kalau begitu jangan pernah sungkan. Saya akan dengan senang hati melakukan apapun untuk bu Murni. Trimo juga sangat senang mendapat adik yang gendut dan lucu.”

Murni tersenyum.

“Kok bau masakan ya Bu, ibu masak ya?”

“Iya, aduh, hampir lupa, saya masak sup ayam, karena Gilang suka, sebentar saya matikan kompornya,” kata bu Trisni Sambil beranjak ke dapur.

Tiba-tiba Murni merasa aneh. Mencium bau masakan yang gurih dan lezat, membuat perutnya tiba-tiba mual.

“Aduh, kenapa aku ini ya?”

Rasa mual itu semakin menjadi, membuat Murni kemudian lari ke belakang rumah.

Bu Trisni yang ada di dapur terkejut melihat Murni berlari-lari, lalu tak lama kemudian ia mendengar suara Murni muntah-muntah.

“Aduh, itu bu Murni kenapa? Pasti kecapekan setelah ikut pak Warso pergi ke kota,” katanya sambil mengikuti ke arah kamar mandi. Diliatnya Murni keluar dari sana dengan wajah pucat dan napas terengah-engah.

“Kenapa Bu? Masuk angin ya? Sebentar saya ambilkan minyak kayu putih.”


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 74

SELAMAT PAGI BIDADARI (72)

Karya Tien Kumalasari

“Kok Murni bersama seorang laki-laki asing? Apa mataku salah? Sepertinya nggak mungkin ah. Tapi masa sih mataku salah? Biar aku ikuti saja mobil itu. Hm, mobil box, yang sepertinya membawa banyak barang. Benarkah Murni? Tapi aku kok penasaran, pengin ngikutin.”

Pengendara mobil itu Rio. Yang sedang dalam perjalanan kembali ke kantornya. Tapi karena penasaran, dia mengikuti mobil pak Warso yang sedang bersama Murni.

“Pengendara pick up itu sudah tidak muda lagi, tapi mengendarai mobilnya kenceng banget sih. Semakin penasaran aku,” gumam Rio yang terus mengejarnya.

Pak Warso memang melajukan kendaraannya, karena Murni mengatakan bahwa dia harus segera pulang karena anaknya pasti menunggu minum ASI di saat menjelang sore seperti itu.

Jalanan menjelang sore itu sangat ramai, Rio tidak bisa mendekati mobil pak Warso, tapi ia terus mengawasinya. Di sebuah perempatan, tiba-tiba lampu merah menyala. Rio memukul kemudi mobilnya dengan kesal, karena mobil pak Warso sudah melaju.

“Waduh. Bagaimana ini? Lalu lintas sedang ramai sih. Tapi dia belok ke kiri, semoga setelah lampu hijau aku masih bisa melihatnya,” gumam Rio sambil terus memukul-mukul kemudinya.

Begitu lampu hijau menyala, Rio ingin menginjak gas sekuat tenaga, tapi dia tidak bisa melakukannya, karena mobilnya tidak berhenti di baris paling depan. Harus menunggu dua tiga mobil di depannya, baru;lah Rio membelokkan mobilnya ke arah kiri.

Rio melongok ke arah depan, tapi sia-sia. Pick up yang dikejarnya tak lagi tampak. Rio tetap memacu mobilnya, tapi ada beberapa belokan yang membuatnya bingung. Dengan putus asa akhirnya Rio kembali, menuju kantor, dengan perasaan kecewa.


Murni heran, ketika sejak tadi pak Warso selalu mengawasi spion sambil melongok, seperti ada yang dilihatnya.

“Ada apa Pak?”

“Seperti ada yang mengikuti kita, tadi.”

“Mengikuti kita? Siapa?”

“Nggak tahu aku, mobilnya bagus.”

Murni terkejut. Jangan-jangan ada yang mengenalinya.

“Apa sekarang masih mengikuti ?”

“Sepertinya tidak. Tadi terpisah di lampu merah, lalu kita terus melaju. Sekarang sudah tidak kelihatan lagi.”

“Oh …”

Murni bernapas lega. Tapi hal itu membuat hatinya was-was. Jangan-jangan ada yang mengetahui dirinya bersama pak Warso, lalu mengikutinya.

“Kamu kelihatan khawatir sih?”

“Ah, tidak Pak. Khawatir kalau yang mengikuti itu orang jahat,” jawab Murni sekenanya.

Pak Warso tertawa.

“Tidak usah khawatir. Hari masih siang, penjahar mana berani mati mengikuti kita? Didaerah kita selalu aman.”

“Tapi kan itu tadi di kota?”

“Nyatanya tidak mengikuti lagi kok. Mungkin hanya kebetulan saja tujuannya searah dengan kita. Jadi kamu tidak usah khawatir.”

Murni diam. Walau begitu timbul pikiran yang macam-macam, mengingat dirinya kan memang sedang lari dan menghindari rumah.

“Jangan-jangan mas Restu. Tapi pak Warso tadi bilang kalau mobilnya bagus. Mobil mas Restu kan hanya mobil lama yang dibelinya di counter mobil bekas,” kata batin Murni.

“Kita hampir sampai Mur. Aku antarkan kamu langsung ke rumah saja, kan kamu ditunggu anak kamu, jadi kamu tidak usah kembali lagi ke toko.”

“Baiklah Pak, terima kasih banyak.”

“Besok masuk agak pagi, karena kamu harus menyetok barang-barang yang baru datang. Sore ini biar yang lain mencicilnya.”

“Baik Pak.”

Murni turun dari mobil, di sambut Gilang yang sedang digendong bu Trisni.

“Mengapa anak ibu minta gendong?” tanya Murni sambil membuka kedua tangannya, berusaha menggendong Gilang, tapi bu Trisni mencegahnya.

“Sebaiknya bu Murni cuci kaki tangan dulu, lalu berganti pakaian, sebelum menggendong Gilang.”

“Oh iya, maaf. Biasanya juga begitu, kok ini lupa. Habis sudah kangen berat sama Giang, katanya langsung berlalu.”

Ketika kemudian duduk sambil memberikan ASI anaknya, ia melihat ada kulkas di ruang depan.

“Ini kulkas yang baru siang tadi dikirim dari toko,” kata bu Trisni ketika melihat Murni menatap kulkas itu.

“Oh, jadi pak Warso benar-benar memberikan kulkas ini,” gumam Murni.

“Ini tidak baru, tapi masih sangat bagus,” kata bu Trisni.

“Iya Bu, memang bekas, tapi karena tidak dipakai, lalu diberikan sama Murni.”

“Diberikan? Saya kira bu Murni beli,” kata bu Trisni heran.

“Mana saya punya uang cukup untuk membeli kulkas bu, itu karena pak Warso meminta, katanya supaya saya tidak kepikiran Galang, saya bisa menyimpan ASI di freezer, jadi kalau sewaktu-waktu Gilang butuh, tinggal dihangatkan.”

“O, begitu ya?”

“Soalnya di toko saya punya pekerjaan banyak, kadang tidak bisa pulang tepat waktu, jadi mulai sekarang saya akan menyetok ASI untuk Gilang. Kalau bu Trisni mau menyimpan buah atau sayur, juga bisa kan?”

“Iya BU, enak sekali kalau ada kulkas. Saya tidak pernah bermimpi akan bisa memiliki kulkas seperti ini. Semua karena bu Murni.”

“Tadinya saya menolak, tapi pak Warso memaksa. Mungkin pak Warso tak ingin pekerjaan saya terganggu karena masih harus memikirkan Gilang.”

“Mungkin juga begitu Bu, syukurlah.”

“Soal tagihan listrik, nanti pak Warso yang akan membayarnya.”

“Hm, alangkah baik hati pak Warso itu ya Bu, tapi sebagai sahabat, saya perlu mengingatkan ibu, bahwa bu Murni harus berhati-hati.”

“Maksudnya apa ya Bu?”

“Kalau kebaikan itu tulus, baiklah. Tapi kalau kebaikan itu mengharapkan pamrih, kita akan susah menolaknya.”

Murni diam. Kalau pak Warso punya pamrih, pamrih apa? Dia tak punya apa-apa. Hanya wanita miskin yang mengais rejeki atas kebaikan pak Warso.

“Bu Murni belum paham maksud saya? Bu Murni harus ingat, pak Warso itu seorang duda. Masih gagah, dan tentulah masih punya keinginan untuk menikah lagi. Lebih-lebih dia kan kaya. Hartanya berlimpah. Dan bu Murni itu masih muda, dan cantik manis. Siapa tahu …”

Murni terkejut. Hal itu tak pernah dipikirkannya. Sejauh ini, sikap pak Warso biasa saja. Tak ada pandangan yang aneh, atau sikap yang menunjukkan bahwa dia tertarik pada dirinya. Kebaikan yang diterimanya, dianggapnya hanya sebagai kebaikan, titik. Tak ada kelanjutannya, dan Murni berharap untuk itu.

“Tapi saya sama sekali tidak menuduh lho Bu, saya hanya minta agar bu Murni berhati-hati.”

Murni mengangguk.

“Baiklah Bu, saya mengerti, dan saya akan berhati-hati. Bagaimanapun status saya kan masih seorang istri.”

“Bagus kalau bu Murni mengerti. Saya hanya berharap, semua baik-baik saja.”

“Terima kasih atas perhatiannya ya Bu.”


Sore itu Rio mampir ke bengkel, langsung naik ke lantai atas, dimana biasanya Restu menghabiskan waktunya di sana, setelah istrinya pergi dari rumah.

Ketika dia memasuki kamar, dilihatnya Restu sedang melamun. Rio merasa trenyuh melihat keadaan Restu. Ia tampak kurus, kumal tak terawat, atau memang enggan merawat dirinya semenjak istrinya tak ada.

Restu terkejut, ketika Rio tiba-tiba muncul di hadapannya.

“Mas Rio?”

“Mas Restu lagi ngapain?”

“Nggak ngapa-ngapain. Nggak tahu harus berbuat apa. Hidup saya ini juga untuk siapa. Saya bingung.”

“Mas Restu, perkataan seperti itu menunjukkan bahwa mas Restu putus asa.”

“Saya tak punya gairah hidup lagi. Apapun yang saya lakukan, salah. Tak ada benarnya.”

“Tidak, mengapa begitu? Murni pergi karena salah paham, mas Restu harus memahaminya.”

“Tapi kalau saya tidak bisa menemukan Murni? Bagaimana caranya mengatakan semua kebenaran?”

“Saya siang tadi melihat Murni.”

Restu terbelalak. Menatap Rio dengan mata berbinar.”

“Di mana dia?”

“Kita harus mencarinya.”

“Mas Rio bilang melihatnya, gimana sih,” kata Restu kecewa.

“Saya melihatnya, dia sedang bersama seorang laki-laki setengah tua, mengendarai mobil pick up.”

“Di mana?”

“Ayo kita mencarinya.”


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 73

SELAMAT PAGI BIDADARI (71)

Karya Tien Kumalasari

Hari itu Murni pulang dengan membawa susu untuk Gilang, dan cemilan untuk keluarga bu Trisni. Setiap seminggu sekali dia belanja, terutama untuk keperluan anaknya. Ia juga membantu keluarga Trisni dengan membeli beras dan kebutuhan dapur lainnya.

Bu Trisni sudah menegurnya, tapi Murni tetap melakukannya.

“Bu, mengapa Ibu selalu belanja untuk saya juga? Bukankah Ibu itu bekerja, demi memenuhi kebutuhan Gilang? Jadi menurut saya, Ibu beli saja untuk keperluan Gilang. Misalnya susu, bubur, dan lain-lain. Saya sudah merasa cukup. Nggak enak justru membebani bu Murni,” kata bu Trisni.

“Tidak, siapa yang membebani? Saya punya rejeki cukup kok, jadi tidak apa-apa, sedikit berbagi.”

“Tapi yang utama adalah keperluan Gilang.”

“Iya Bu, saya tahu. Ini kan tidak seberapa. Pak Warso sangat baik, selalu memberi tip untuk saya. Katanya karena pekerjaan saya baik.”

“Benarkah?”

“Pak Warso sangat baik kepada semua karyawannya. Tentu saja termasuk saya. Teman-teman saya juga bilang begitu.”

“Tapi bu Murni harus hati-hati lho.”

“Memangnya kenapa Bu?”

“Pak Warso itu seorang duda.”

Murni tertawa mendengar perkataan bu Trisni.

“Bu Trisni ada-ada saja. Memangnya kenapa kalau dia seorang duda? Dia baik bukan hanya kepada saya kok. Kepada karyawan lain juga begitu.”

“Ee, saya tuh kan hanya mengingatkan. Karyawan lain kan kebanyakan laki-laki, yang perempuan hanya orang desa seperti saya. Sedangkan bu Murni ini masih muda dan cantik lho.”

Murni kembali tertawa.

“Bu Trisni, saya itu juga orang desa lho. Saya di kota kan kebetulan saja, karena simbok saya bekerja di kota.”

Tiba-tiba tanpa sengaja menyebut simboknya, Murni jadi sedih. Ia terpaksa meninggalkan orang-orang yang mengasihinya, seperti simboknya sendiri, keluarga Broto, dan keluarga Rio.

“Lho, bu Murni kok tiba-tiba jadi muram?”

“Saya teringat simbok. Hampir sebulan saya meninggalkannya.”

“Ya sudah, jangan diingat-ingat lagi. Pada suatu hari nanti pasti ada kesempatan bagi Bu Murni untuk bertemu.”

“Iya. Sedang saya pikirkan bagaimana caranya.”

Tiba-tiba Trimo datang dari luar rumah, sambil menggendong Gilang.

“Trimo, kamu ajak ke mana adik kamu?” tanya Murni.

“Di luar, melihat sapi lewat,” kata Trimo riang.

“Kamu kalau mengajak Gilang harus hati-hati. Jangan dibawa ke tempat yang panas, nanti kulitnya yang bersih jadi hitam seperti kulit kamu,” seloroh bu Trini.

“Enggak kok Bu, hanya duduk di bawah pohon jambu itu. Lalu ada sapi lewat, Gilang berteriak-teriak senang.”

“Ya sudah, berikan sama bu Murni, saatnya minum Asi kan. Kamu mandi sana, ini sudah sore,” kata ibunya.

Murni menerima Gilang yang masih tertawa-tawa, lalu dibawanya ke kamar untuk diberinya ASI.


Tapi sebenarnya perlakuan pak Warso terhadap Murni memang berbeda. Benar, pak Warso baik kepada semua karyawan, sering memberi tip bagi mereka yang bekerja dengan baik, tapi kepada Murni tetap tidak sama. Murni selalu mendapat lebih. Itu sebabnya Murni selalu bisa belanja untuk keperluan keluarga bu Trisni juga.

Hari itu Murni sedang mencatat semua barang yang sudah menipis, agar pak Warso bisa belanja untuk mencukupi kebutuhan toko.

Tiba-tiba pak Warso mendekat dan melihat-lihat pekerjaannya.

“Sudah selesai Mur?”

“Belum Pak, kurang sedikit.”

“Nanti aku belanja nya sama kamu ya Mur?”

“Kok sama saya, Pardi kemana?” tanya Murni. Pardi adalah karyawan di bagian gudang.

“Dia tidak masuk hari ini. Lagipula supaya kamu tahu tempatnya belanja murah, sehingga kalau aku tidak bisa berangkat, kamu bisa melakukannya.”

“Oh, begitu ya? Tapi ini barangnya berat-berat semua. Beras, minyak .. sabun ….”

“Bukan kamu yang harus mengangkut Mur, kamu hanya membaca kebutuhan kita saja. Mereka yang akan memasukkannya ke dalam mobil.

“Baiklah kalau begitu, saya selesaikan dulu catatannya ya Pak.”

“Ya, bagus. Selesaikan saja. Jangan sampai ada yang terlewat, soalnya tempatnya belanja tuh jauh.”

“Di kota ya Pak?”

“Iya, kalau tidak ke sana, kita tidak bisa menjual murah.”

“Iya Pak, saya mengerti.”

“Ya sudah, selesaikan saja dulu, aku mau mengambil uang yang akan dibawa.”

“Baik Pak.”

Murni melanjutkan pekerjaannya, tapi dalam hati dia berpikir, lama kah belanja ke kota? Bagaimana kalau Gilang menangis karena biasanya di jam istirahat dia pulang untuk memberikan ASI.

Ketika ia selesai dan pak Warso mendekati, hal itu terpaksa diutarakannya, karena dia bekerja itu yang utama adalah untuk anaknya.

“Pak, apakah nanti kita akan lama?”

“Memangnya kenapa Mur?”

“Mm … maaf, kan saya setiap jam istirahat harus pulang untuk memberikan ASI anak saya.”

“Oh begitu ya? Sebenarnya hal itu kan bisa diatasi. Kamu bisa menyimpan stok ASI kamu, sehingga kalau dia rewel bisa langsung bisa diberikan tanpa menunggu kamu pulang.”

“Tapi stok ASI kan harus di simpan di dalam kulkas Pak? Mana saya punya? Lagian saya cuma menumpang di rumah sahabat saya.”

“Mur, di rumahku ada kulkas dobel, nanti yang satu bisa kamu bawa pulang. Biar besok kalau Pardi masuk mengantarkannya.”

“Tidak Pak. Mana mungkin? Kulkas kan harus makan listrik? Saya bisa memberatkan yang punya rumah Pak. Tidak usah saja.”

“Nanti aku bantu bayar listriknya.”

“Aduh, jangan Pak, saya orang baru di sini, bagaimana mungkin bisa menerima kebaikan Bapak yang sedemikian besar?”

“Kamu bekerja kan untuk anak kamu. Kalau anak kamu terbengkalai, misalnya karena di sini baru banyak pekerjaan, atau kamu harus lembur, kan kasihan?”

“Tapi ….”

“Tidak usah tapi-tapi, besok biar Pardi mngirimkannya ke rumah teman kamu itu, listriknya aku yang bayar.

Murni diam membisu. Ini luar biasa, dia ingin menolaknya, tapi pak Warso memaksanya.

“Ini nanti kamu pulang saja dulu, aku antar, kamu berikan ASI anak kamu, lalu kita berangkat sekalian,” kata pak Warso lagi.

“Tidak Pak, kalau boleh pulang dulu, saya pulang dulu saja, masa Bapak harus menunggui saya,” sergah Murni.

“Tidak apa-apa, untuk menyingkat waktu, daripada nanti kamu kepikiran.”

Tak ada yang bisa dilakukan Murni, kecuali menurut apa kata pak Warso.


Hari itu belanjaan memang sangat banyak. Tapi Murni hanya memberikan catatannya saja, sekaligus menambahkan barangkali ada barang yang kosong atau kurang. Pak Warso sangat senang Murni begitu cepat menguasai pekerjaannya. Semakin mantap hatinya, untuk mengambil istri Murni. Dia cantik, pintar, kurang apalagi? Kalaupun dia punya anak bayi, apa salahnya? Tidak apa-apa ikut mencukupi kebutuhan Murni. Tapi hal itu belum ingin dikatakannya sekarang. Harus ada pendekatan, dan harus ada perlakuannya yang akan dinilai baik oleh Murni, sehingga dia tidak keberatan untuk menerima seorang duda seperti dirinya. Biar duda kan aku keren, begitu pikir pak Warso.

Mereka pulang saat hari menjelang sore, karena pak Warso juga mengajaknya mampir untuk makan siang di sebuah restoran. Ada persaan tak enak ketika makan berdua, sementara dia hanya karyawan sedangkan pak Warso adalah majikan. Tapi pak Warso tampak sangat menikmati makan siangnya bersama wanita yang sangat menarik hatinya ini.

Ketika dalam perjalanan pulang itu, sepasang mata dari dalam mobil menatap mereka. Mobil pak Warso adalah pick up terbuka, dimana kaca depan mobil tidak ditutup, sehingga jelas siapa yang duduk di dalamnya.

“Apakah itu Murni?” desisnya.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 72