Karya Tien Kumalasari
Penjual buah itu membuka matanya lebar-lebar, menatap pria ganteng yang berdiri di depan dagangannya.
“Apa?” tanyanya tak percaya dengan apa yang didengarnya.
“Jual rujak?”
“Ini jam berapa mas? Malam hampir pagi, mas cari rujak? Benar, rujak? Apa saya salah dengar?”
“Benar Bu, istri saya ngidam, tengah malam minta dibeliin rujak. Sudah berjam-jam saya mencari, tidak ketemu.”
“Tentu saja tidak ketemu. Ya ampun, istri ngidam ya? Memang sih, orang ngidam suka yang aneh-aneh.”
“Kemana ya Bu, saya bisa menemukan rujak malam ini?”
“Ya capek, dan nggak bakalan dapat kalau mau cari orang jualan rujak di jam begini.”
“Aduh, istri saya bagaimana nanti?” bingung Rio.
“Begini saja, Mas beli beberapa buah, yang rasanya asem, lalu diparut.”
“Di sini ada parutnya?”
“Ya tidak ada, ini kan kios buah, bukan dapur. Jadi Mas harus membawa pulang, diparut sendiri. Syukur di rumah ada cabe, gula jawa, udah. Diuleg bareng begitu, jadi dah, rujaknya.”
“Oh, gitu ya Bu.”
“Hanya itu satu-satunya jalan, kalau mau cari orang jual rujak ya langka mas di jam segini.”
“Baiklah, pilihkan buah yang cocok untuk rujak.”
“Mas ini rupanya sangat mencintai istri ya. Baru hamil pertama?”
“Iya Bu,” kata Rio sambil mengulurkan sejumlah uang.
“Wah, untung Mas, ini saya ternyata masih punya sisa sambal lotis tadi siang. Ini untuk Mas saja. Nanti setekah buahnya diparut kasar, campur saja sama sambelnya ini, gak usah buat.”
“Oh, gitu ya. Semoga ada alatnya di rumah.”
“Kalau nggak ada parut, ya dirajak halus saja cukup Mas.”
Rio pulang dengan perasaan lega. Ia harus segera sampai ke rumah, langsung menuju dapur. Benar, tidak ada parutan, atau kalau ada, Rio tidak tahu tempatnya. Lalu dia merajang beberapa macam buah, kemudian di campur dengan sambal lotis pemberian penjual buah.
“Hm, selesai. Semoga enak,” gumam Rio sambil membawa rujak yang sudah ditempatkannya di dalam mangkuk.
Perlahan dia memasuki kamar, dan hatinya mencelos melihat istrinya tertidur pulas.
Rio meletakkan rujak di nakas, lalu menggoyang pelan tubuh istrinya.
“Bidadari ku, rujaknya sudah ada. Bangun yuk.”
Tapi jangankan bangun, Wulan malah mengomel kesal pada suaminya.
“Malam-malam begini suruh makan rujak sih mas? Ngantuk banget aku,” katanya sambil bergelung di bawah selimut.
Rio menghela napas berat.
“Ternyata orang ngidam terkadang mengesalkan juga,” gumamnya sambil menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, sementara sang istri terlelap tanpa mau diganggu.
Pagi-pagi sekali Wulan terbangun, terkejut melihat ada semangkuk rujak di atas nakas, sementara sang suami masih terlelap. Pikirannya melayang ke arah semalam, dan menduga-duga, bagaimana ada rujak di nakas dan masih tampak segar.
Wulan mencomotnya sedikit.
“Hm, sedaap,” katanya sambil membawa keluar rujak itu, lalu meletakkannya di meja makan.
Ia bergegas ke kamar mandi setelah membangunkan suaminya. Lalu keluar dari kamar, menuju dapur. Ia membuat minuman kesukaan suaminya dan juga untuk dirinya sendiri, kemudian duduk di ruang makan.
Ketika Rio keluar dari kamar, lalu menyusulnya ke ruang makan, ia melirik ke arah mangkuk rujak yang semalam dibuatnya. Matanya terbelalak, melihat mangkuk itu sudah kosong.
“Habis?”
“Apanya sih Mas?”
“Rujaknya.”
“Habis. Enak banget, pedas-pedas sedap dan seger. Beli di mana semalam?” tanyanya tanpa merasa bersalah.
“Di ujung dunia,” jawab Rio sambil menghirup kopi pahitnya.
“Kok diujung dunia sih? Nanti aku mau dibelikan seperti yang ini tadi.”
“Apa? Itu aku sendiri yang buat, tahu.”
“Kamu buat sendiri, Rio?”
“Memangnya ada, di malam buta orang jualan rujak?” kesalnya.
Wulan meraih tangan suaminya dan menciumnya lembut. Tapi masih ada lagi yang membuat Rio kesal.
“Nanti kamu harus buat lagi seperti ini.”
“Apa?”
“Harus seperti ini,” katanya tanpa dosa.
Rio mengangguk lesu, lalu meraih perut istrinya.
“Terus-terusin buat pusing ayahmu ya,” katanya lembut, lalu menundukkan kepalanya, menciumnya berlama-lama.
Siang hari itu sepulang dari kantor, dengan gembira Rio membawa dua bungkus rujak yang dibelinya di warung yang kebetulan dilewatinya. Berharap mendapat ucapan terima kasih, Wulan malah merengek mengatakan bahwa rasa rujaknya tidak sama.
“Mengapa beda Rio? Aku mau yang seperti tadi.”
“Kamu tidak dengar, itu aku membuatnya sendiri.”
“Kalau begitu buat sendiri oleh kamu. Anakmu tidak suka buatan orang lain,” katanya sambil tersenyum manja. Nggemesin kan? Padahal dia hanya beli buah, dan sambalnya dari sambal lotis yang dikasih penjual buah itu.
“Rio …” pintanya.
Masih ada sisa buahnya di kulkas, tapi sambelnya? Padahal dia lupa di mana warung buah yang semalam memberi sambal lotis itu.
Rio menggaruk-garuk kepalanya, dan Wulan tanpa merasa bersalah, menggoyang-goyangkan tangan suaminya agar segera membuat lagi rujak untuknya.
Jadi yang harus dilakukan Rio adalah mencari penjual buah itu, dan menanyakan di mana dia membeli sambal lotisnya, agar dia bisa memborong berikut penjualnya.
Yang agak membuatnya terhibur adalah saat itu Wulan menemaninya mencari penjual buah itu, yang setelah ketemu hanya tertawa terkekeh mendengar permintaan Rio.
“Sambal lotis itu, saya beli di tukang lotis kelilingan Pak, biasanya dia lewat menjelang sore.”
“Jam berapa?”
“Ya kira-kira satu atau dua jam lagi lah Mas.”
“Haruskah yang seperti tadi?” tanya Rio masih menawar kepada sang istri.
“Harus yang seperti tadi,” pintanya tanpa belas.
“Baiklah, ayo duduk dulu di bawah pohon itu sambil menunggu tukang lotisnya lewat.
Hari terus berlalu, Gilang sudah mulai belajar berjalan.
Kasih sayang Restu kepada Murni dan anaknya semakin besar. Kebahagiaannya adalah saat berada di rumah, bercanda dengan istri dan buah hatinya.
“Aku berharap, Gilang segera mendapat adik,” kata Restu sambil melirik istrinya.
“Gilang masih kecil, nanti aku tidak bisa merawat dengan baik,” sanggah Murni.
“Carilah pembantu, agat kamu tidak kecapekan.”
“Aku tidak kecapekan.”
“Kamu pasti kecapekan. Gilang sudah mulai aktif bermain, dan kalau sudah berjalan, dia memerlukan penjagaan ekstra. Jadi saranku, carilah pembantu.”
“Iya, nanti aku pikirkan.”
“Dan terutama, aku ingin agar Gilang segera punya adik,” Restu mengulang pernyataannya.
Murni hanya tersenyum malu. Kalau benar ada pembantu, pasti tak begitu repot menjaga Gilang dan calon adiknya.
Hari itu Murni sedang belanja di tukang sayur keliling, sementara Gilang duduk di atas sepeda dorong. Kalau tidak, pasti dia akan lari kemana-mana.
“Putranya semakin besar semakin kelihatan gantengnya ya Bu,” puji si tukang sayur.
“Iya. Dan semakin nakal tuh.”
“Tidak apa-apa anak kecil nakal Bu. Apa ibu tidak ingin mencari pembantu?”
“Iya, nanti gampang, kalau ada yang cocok,” jawab Murni sambil memilih sayuran.
Murni baru menenteng barang belanjaannya, sambil mendorong sepeda yang ditumpangi Gilang, ketika tiba-tiba terdengar suara seorang wanita.
“Permisi, Bu.”
“Ya, mau ketemu siapa ya?”
“Saya dari kampung, mau mencari pekerjaan. Barangkali ibu mau menerima saya bekerja sebagai pembantu di sini.”
Murni menatap wanita di depannya. Masih muda, tapi punya cacat dipipinya.
Besok lagi ya…
Bersambung ke Jilid 65