Karya Tien Kumalasari
Agak lama Restu mengitari dusun itu, tapi bingung, bagaimana menemukan rumah Trimo? Hari sudah sore, dan Restu mulai putus asa. Dicobanya lagi menelpon istrinya, tapi ponsel itu tidak aktif. Ya, sejak meninggalkan rumah, ponsel itu sudah tidak aktif. Restu terpekur di sebuah jalan, tak tahu harus melakukan apa. Tiba-tiba dilihatnya seorang anak laki-laki menjinjing belanjaan. Restu terkejut. Ia menatap anak laki-laki itu dan hampir bersorak.
Ia turun dari mobil dan menghadangnya.
“Kamu Trimo bukan?”
Anak itu memang Trimo. Dan dia ingat, siapa laki-laki ganteng yang menyapanya.
“Benar kan? Kamu Trimo? Yang menengok Gilang saat di rumah sakit?”
Trimo mengangguk.
“Apa bu Murni ada di rumah kamu?”
Trimo terpaku. Ia tidak tahu apa masalahnya, karena Murni tidak mengatakan apa-apa sama dia. Tapi bahwa Murni pergi dari rumah, membawa wajah sembab penuh duka, diyakininya bahwa ada masalah dalam rumah tangganya. Ia tak suka berbohong, tapi ia tidak tahu, apakah Murni suka kalau dia mengatakan yang sebenarnya atau tidak. Tapi mengingat kesedihan Murni, tampaknya dia memang lebih baik berbohong. Bukan karena dia jahat, tapi dia harus melindungi bu Murni. Kalau dia lari dari suaminya, berarti suaminya berbuat yang tidak baik.
“Hei, aku sedang bertanya sama kamu.”
“Eh, apa? Saya tidak mendengarnya.”
“Apa bu Murni ada di rumah kamu?”
Trimo menggelengkan kepalanya, lalu meletakkan bungkusan belanjaannya di tanah, karena memang belanjaan itu berat.
“Tidak?”
“Mengapa bu Murni ada di rumah saya?”
“Entahlah, barangkali dia ada di rumah kamu,” Restu enggan mengatakan bahwa istrinya lari dari rumah. Dihadapannya adalah anak kecil, ia yakin dia tak akan mengerti apa yang dikatakannya.
“Jadi tidak ada ya?”
Trimo mengangkat kedua bahunya, kemudian memungut lagi barang belanjaannya.
“Saya permisi,” katanya kemudian berlalu.
Restu menghela napas kecewa. Jadi Murni tidak kesini. Pastinya begitu, karena Murni tak mau berada di tempat yang Restu mengetahuinya. Di kampungnya, atau di kampung Trimo. Tak mungkin dia ke sana, pikir Restu.
Perlahan dia menjalankan mobilnya, berlalu.
“Kemana kamu Murni? Ketahuilah, aku tidak mengkhianati kamu. Aku mencintai kamu, Lisa bukan apa-apa bagiku. Dimana kamu berada?” gumamnya sedih sambil menjalankan mobilnya, pelan.
Terengah Trimo memasuki rumahnya, lalu langsung meletakkan belanjaan di meja dapur. Bu Trisni yang sedang berbincang dengan Murni terkejut.
“Ada apa? Kamu seperti dikejar harimau saja,” tegur ibunya.
“Saya bertemu pak Restu,” katanya sambil masih terengah-engah.
“Kamu?” Murni terbelalak.
“Iya.”
“Di mana?”
“Di dekat pasar.”
“Kamu bilang kalau aku ada di sini?” tanya Murni khawatir.
“Tidak. Saya tidak berani. Tapi kalau bu Murni ingin agar pak Restu datang kemari, bisa menelponnya. Dia pasti belum jauh.”
“Ya Tuhan.” Murni menghempaskan napasnya kasar.
“Cepat Ibu menelponnya, dia belum jauh,” kata Trimo khawatir, kalau kebohongan yang dilakukannya ternyata salah.
“Tidak. Biarkan saja.”
“Saya tidak salah ya, mengatakan kalau bu Murni tidak ada di sini?”
“Tidak Mo, kamu benar. Saat ini aku sedang suka berada di tempat ini. Bersamamu,” kata Murni sambil tersenyum.
Trimo tidak mengerti semua akar permasalahan yang dihadapi Murni. Barangkali karena dianggap masih kecil, jadi tidak dilibatkan dalam pembicaraan antara Murni dan ibunya. Tapi dia senang, Gilang ada di rumahnya. Gilang si kecil imut yang ganteng dan murah senyum, selalu lucu setiap gerak dan ulahnya.
“Apa Gilang masih tidur?” tanyanya sambil melongok ke dalam kamar.
:Ssst, Trimo, dia baru saja tidur. Kamu jangan mengganggunya.”
“Pengin gendong dia,” rengek Trimo seperti anak kecil menginginkan mainan.
“Yaah, kan masih tidur. Sudah. Kamu itu kan baru datang dan belum mandi. Mandi dulu sana. Nanti begitu kamu selesai, Gilang pasti sudah bangun,” kata ibunya.
“Baiklah.” Kata Trimo riang.
Murni tersenyum melihat ulah Trimo.
“Bu Trisni, saya tidak ingin menyusahkan ibu lebih lama,” kata Murni setelah Trimo pergi ke kamar mandi yang terletak di belakang rumah.
“Apa maksud bu Murni? Mau pulang?”
“Tidak, saya tidak ingin pulang. Tapi saya tidak bisa menyusahkan bu Trisni.”
“Lalu apa yang akan bu Murni lakukan?”
“Saya akan bekerja. Apa saja, adakah rumah kecil untuk saya menyewanya?”
“Mengapa bu Murni harus mencari rumah untuk menyewa? Bu Murni bisa tetap berada di sini. Saat bu Murni bekerja, saya akan menjaga Gilang,”
“Tapi kan saya jadi menyusahkan bu Trisni.”
“Siapa bilang bu Murni menyusahkan? Bagi kami, bu Murni bukan orang lain. Kalau bu Murni belum ingin pulang, tetaplah di sini saja.”
Murni tampak terharu, menatap bu Trisni dengan linangan air mata.
“Jangan dipikirkan lagi. Tapi bu Murni mau bekerja di mana? Tidak mungkin bu Murni akan berjualan seperti saya. Ini sangat berat.”
“Saya akan mencarinya. Mungkin di toko, atau warung. Mulai besok saya akan berusaha mencarinya.”
“Baiklah, terserah bu Murni saja. Yang penting bu Murni tidak usah pergi dari sini. Coba bayangkan kalau bu Murni menyewa rumah sendiri. Kalau bu Murni bekerja, Gilang sama siapa? Tidak mudah mencari pembantu di sini. Dan kalaupun ada, penghasilan bu Murni akan berukarng untuk membayarnya, bukan?”
Murni mengangguk. Apa yang dikatakan bu Trisni memang benar.
“Baiklah kalau begitu. Besok siang saya akan mencoba mencari pekerjaan.”
Sementara itu bu Broto dan terlebih-lebih yu Sarni yang menangis tak henti-hentinya mendengar bahwa sebenarnya Murni pergi dari rumah bersama Gilang.
Setiap hari Restu pergi mencari. Dibantu Rio, dia sudah melaporkan kepergian Murni kepada polisi, dan semua bergerak mencari keberadaannya.
Dua hari, tiga hari, akhirnya Murni di terima bekerja sebagai pelayan toko. Murni hanya lulusan SMA. Menjadi pelayan toko sudah lumayan baginya, untuk menyambung hidup.
Toko tempat Murni bekerja, adalah sebuah toko kelontong yang ramai dikunjungi pelanggan, karena dagangannya lengkap dan harganya juga lebih murah daripada toko lainnya. Murni juga diijinkan untuk setiap istirahat pulang, untuk memberikan ASI bagi Gilang. Gilang sudah bisa makan bubur, sehingga tidak begitu banyak membutuhkan ASI. Bu Trisni ikut merawat Gilang dengan kasih sayang. Ia membuatkan bubur, menyuapkannya, setiap siang setelah selesai menggoreng dagangan, sementara kalau pagi, Murni sendiri melakukannya sebelum berangkat bekerja.
Pemilik warung itu seorang duda setengah tua, yang anak-anaknya sudah berkeluarga dan tinggal di kota. Ia hanya ditemani pembantu-pembantu yang bekerja di tokonya, setiap pagi sampai sore. Itu cukup bagi pak Warso, pemilik toko itu.
Melihat Murni yang cekatan dalam bekerja, dan bisa membantu administrasi toko dengan baik, pak Warso sangat senang. Dengan adanya Murni, pekerjaannya jadi lebih ringan.
Lama-kelamaan, timbullah rasa suka di hati pak Warso. Dia belum tua benar, dan dia merasa masih gagah dan pantas beristri lagi.
Itu sebabnya, ia selalu memberi tip setiap kali Murni mau pulang. Murni selalu menolaknya, tapi pak Warso selalu memaksa.
Pada suatu hari, pak Warso membaca di sebuah koran, bahwa Murni sedang dicari suaminya. Pak Warso terkejut, sekaligus sangat khawatir. Dia segera merobek koran itu dan membuangnya ke tempat sampah.
Besok lagi ya…
Bersambung ke Jilid 71