Karya Tien Kumalasari
Restu menatap istrinya tak mengerti.
“Mengapa kamu bilang begitu? Aku hanya bertanya tentang sandal kecil, karena biasanya tak ada sandal seperti itu.”
“Saya kira pak Restu mencurigai saya,” katanya dengan mulut cemberut, lalu mengambil tas suaminya, dibawa masuk ke dalam.
“Mengapa begitu Murni? Aku tidak pernah berprasangka buruk sama kamu, karena kamu adalah istriku yang baik. Akulah laki-laki yang tidak baik. Tapi aku akan berusaha selalu menjadi baik,” kata Restu sambil terus mengikuti langkah Murni.
Murni hanya diam, terus ke belakang menyiapkan minum untuk Restu, kemudian membantu melepas sepatunya dan meletakkannya di tempat biasa.
“Saya siapkan makan siangnya,” katanya sambil beranjak ke ruang makan.
“Aku sudah menyuruh anak-anak bengkel untuk beli makanan sendiri,” katanya sambil mengikuti ke ruang makan, dan duduk menunggu.
“Saya sudah menyiapkan, mengapa harus beli?”
“Aku kan khawatir kalau kamu kecapekan. Soalnya sejak kemarin kamu tampak lelah.”
“Tidak apa-apa kalau lelah badannya. Kalau lelah pikirannya, itu yang berat.”
“Kamu sedang memikirkan apa?”
“Terkadang kesetiaan seorang lelaki itu meragukan.”
“Apa maksudmu?”
“Tapi itu bukan apa-apa bagi saya. Bukankah kita menikah karena terpaksa? Bayi yang saya kandung ini penyebabnya, bukan?”
“Murni, bicara kamu tidak karuan. Apa kamu mencurigai aku melakukan sesuatu hal buruk? Bukankah aku tidak pernah pergi kemana-mana? Setelah selesai urusan bengkel aku langsung pulang. Pernahkah aku pergi selain ke bengkel?”
“Ya sudah, makan saja dulu, kalau suasana nggak enak, makan juga jadi nggak enak,” kata Murni sambil menyendokkan nasi ke piring suaminua.
Tapi Restu merasa, Murni sedang menyembunyikan sesuatu. Ia seperti menuduhnya berbuat tidak baik. Selingkuh, misalnya? Ya Tuhan, apa karena dulu aku menjadi laki-laki bejat sehingga dia tidak mempercayai aku? Kata batin Restu.
Selesai makan, Restu duduk di ruang tengah. Ia belum ingin kembali ke bengkel, sebelum Murni menceritakan perihal sesuatu yang tampak disembunyikannya, sehingga membuat sikapnya jadi aneh, sejak kemarin.
Murni menyajikan jus jeruk ke hadapan suaminya, dan irisan mangga yang baru saja dikeluarkannya dari kulkas.
Restu mencomotnya beberapa kali.
“Manis sekali.”
Murni meneguk jus jeruk untuk dirinya sendiri.
“Apa maksud kamu tadi? Kamu harus menjelaskannya.”
“Ada orang yang menuduh saya merebut pak Restu dari dia,” kata Murni yang tak tahan lagi menyembunyikan semuanya.
“Apa?” Restu membelalakkan matanya, berhenti mengunyah mangga yang sudah ada di dalam mulutnya.
“Bagi saya itu bukan masalah besar, saya harus tahu diri, bahwa pak Restu menikahi saya karena sebuah alasan. Tapi tolong bilang sama dia, agar tak lagi mengganggu saya.”
“Apa?” kata Restu yang masih kebingungan.
“Bilang juga sama dia, bahwa setelah anak ini lahir, saya akan membawanya pergi, dan silakan menikahi dia.”
“Apa?”
Murni menatap tajam suaminya.
“Murni, sungguh aku tidak mengerti apa yang kamu maksudkan, dan siapa yang kamu maksud itu?”
“Pak Restu tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu?”
“Dulu aku memang laki-laki yang tidak baik. Boleh saja dikatakan aku buruk, tak bermoral, atau bejat sekalipun. Tapi aku sudah menemukan jalan hidup yang benar, aku sudah mengerti mana jalan yang harus aku tempuh, meninggalkan kehidupan yang kelam dan kotor. Aku sudah bertobat Murni. Kamu masih belum mempercayai aku? Barangkali benar, kita menikah bukan karena cinta, tapi karena sesuatu yang harus kita lakukan. Tapi aku sedang belajar mencintai kamu, dan perlahan cinta itu mulai tumbuh, melihat ketulusan kamu, kebaikan kamu, dan semua yang kamu miliki. Aku bahkan tidak berpikir tentang siapa kamu, anak siapa kamu, dari keluarga mana dirimu. Sungguh. Apa aku harus bersumpah untuk itu?”
Mata Murni berkejap-kejap, menatap suaminya yang berkata penuh kesungguhan. Sulit untuk tidak mempercayainya, karena mata serigala itu sudah tak lagi tampak.
“Kamu meragukannya? Katakan siapa yang berkata seperti itu.”
“Saya tidak tahu namanya. Dia cantik, berpakaian sexy, tapi mulutnya tajam bagai sembilu. Dia bilang selingkuhan pak Restu. Dua hari dia selalu menghadang saya di pasar. Saya bukannya takut, saya berani menghadapi dia, tapi saya merasa terganggu.
“Besok pagi pergilah ke pasar, aku akan mengawasi kamu. Kalau perempuan itu datang, biar dia berhadapan dengan aku.”
Murni mengangguk, merasa lega karena berhasil mengeluarkan apa yang membuatnya tertekan. Perkataan Restu bahwa dia mulai menyayangi dirinya, membuatnya berdebar senang. Baru sekarang dia mendengar ada laki-laki yang menyayanginya, dan itu diucapkan oleh laki-laki yang semula sangat dibencinya.
“Sekarang ceritakan tentang anak bernama Trimo. Bukan karena aku curiga, tapi karena kamu belum menceritakan tentang orang yang pernah kamu tumpangi saat pergi dari mes waktu itu.
Lalu Murni menceritakan semuanya, tentang bu Trisni dan anaknya yang bernama Trimo, yang waktu itu datang mengamen di rumah Wulan, lalu diberinya uang dan makanan, lalu di kemudian hari dia bertemu lagi dengan bocah itu, lalu menginap di rumahnya selama dua malam.
Restu terharu.
“Suruh dia tinggal di sini, biar aku menyekolahkannya.”
“Sudah saya minta begitu, tapi dia tidak mau, karena harus membantu ibunya berdagang gorengan.
“Kok bisa-bisanya kamu main sejauh itu sih Mo, jalan kaki pula,” tegur bu Trisni ketika anaknya sampai di rumah.
“Berangkatnya membonceng mas Parmo yang jualan kerupuk, turun di dekat rumah dimana dulu Trimo ketemu bu Murni untuk pertama kali. Pulangnya Trimo naik angkot, turun di jalan besar situ. Bu Murni memberi uang lagi sama Trimo.”
“Ya ampun, bu Murni sudah memberi banyak untuk kita.”
“Iya juga, tapi Trimo tak bisa menolak. Lagi pula bu Murni tidak tinggal di situ lagi. Sudah pindah, lalu Trimo mencarinya, dan ketemu di pasar, ketika ada seorang wanita tiba-tiba mau memukul bu Murni, lalu Trimo berhasil mencegahnya dengan menarik tubuhnya.”
“Lhoh, kenapa?”
“Nggak tahu Bu, sepertinya dia benci sama bu Murni.”
“Pasti dia orang jahat. Bu Murni begitu baik, kok ada yang benci sama dia?”
“Pastinya Bu.”
“Bu Murni sekarang kaya Bu, rumahnya bagus. Trimo di suruh tinggal di sana, tapi Trimo tidak mau. Kalau Trimo pergi, siapa yang membantu ibu jualan?” lanjutnya.
“Iya juga sih Mo. Tapi kalau kamu suka, ya nggak apa-apa, nanti ibu mau menyuruh orang untuk membantu.”
“Jangan Bu, biar Trimo saja yang membantu Ibu. Nanti kalau Trimo sekolah, sebelum berangkat Trimo mengantar dagangan, pulangnya mengambil uangnya. Begitu lebih enak.”
“Ya sudah, terserah kamu saja. Sekarang istirahatlah. Kamu pasti lelah.”
Pagi itu Murni keluar dari rumah, karena kehabisan kopi. Ia mencari warung terdekat dengan terburu-buru, karena harus menyiapkannya sebelum suaminya berangkat bekerja.
Ia sedang berdiri di pinggir jalan, menunggu jalanan sepi sebelum menyeberang, karena warung yang dituju terletak di seberang jalan.
“Kenapa ketika belanja aku lupa membeli kopi,” sesalnya ngedumel sambil menunggu.
Tapi sebelum dia berhasil menyeberang, sebuah pengendara motor melaju di depannya, dan seperti sengaja menabraknya. Murni terpelanting.
Besok lagi ya.
Bersambung ke Jilid 55