SELAMAT PAGI BIDADARI (54)

Karya Tien Kumalasari

Restu menatap istrinya tak mengerti.

“Mengapa kamu bilang begitu? Aku hanya bertanya tentang sandal kecil, karena biasanya tak ada sandal seperti itu.”

“Saya kira pak Restu mencurigai saya,” katanya dengan mulut cemberut, lalu mengambil tas suaminya, dibawa masuk ke dalam.

“Mengapa begitu Murni? Aku tidak pernah berprasangka buruk sama kamu, karena kamu adalah istriku yang baik. Akulah laki-laki yang tidak baik. Tapi aku akan berusaha selalu menjadi baik,” kata Restu sambil terus mengikuti langkah Murni.

Murni hanya diam, terus ke belakang menyiapkan minum untuk Restu, kemudian membantu melepas sepatunya dan meletakkannya di tempat biasa.

“Saya siapkan makan siangnya,” katanya sambil beranjak ke ruang makan.

“Aku sudah menyuruh anak-anak bengkel untuk beli makanan sendiri,” katanya sambil mengikuti ke ruang makan, dan duduk menunggu.

“Saya sudah menyiapkan, mengapa harus beli?”

“Aku kan khawatir kalau kamu kecapekan. Soalnya sejak kemarin kamu tampak lelah.”

“Tidak apa-apa kalau lelah badannya. Kalau lelah pikirannya, itu yang berat.”

“Kamu sedang memikirkan apa?”

“Terkadang kesetiaan seorang lelaki itu meragukan.”

“Apa maksudmu?”

“Tapi itu bukan apa-apa bagi saya. Bukankah kita menikah karena terpaksa? Bayi yang saya kandung ini penyebabnya, bukan?”

“Murni, bicara kamu tidak karuan. Apa kamu mencurigai aku melakukan sesuatu hal buruk? Bukankah aku tidak pernah pergi kemana-mana? Setelah selesai urusan bengkel aku langsung pulang. Pernahkah aku pergi selain ke bengkel?”

“Ya sudah, makan saja dulu, kalau suasana nggak enak, makan juga jadi nggak enak,” kata Murni sambil menyendokkan nasi ke piring suaminua.

Tapi Restu merasa, Murni sedang menyembunyikan sesuatu. Ia seperti menuduhnya berbuat tidak baik. Selingkuh, misalnya? Ya Tuhan, apa karena dulu aku menjadi laki-laki bejat sehingga dia tidak mempercayai aku? Kata batin Restu.

Selesai makan, Restu duduk di ruang tengah. Ia belum ingin kembali ke bengkel, sebelum Murni menceritakan perihal sesuatu yang tampak disembunyikannya, sehingga membuat sikapnya jadi aneh, sejak kemarin.

Murni menyajikan jus jeruk ke hadapan suaminya, dan irisan mangga yang baru saja dikeluarkannya dari kulkas.

Restu mencomotnya beberapa kali.

“Manis sekali.”

Murni meneguk jus jeruk untuk dirinya sendiri.

“Apa maksud kamu tadi? Kamu harus menjelaskannya.”

“Ada orang yang menuduh saya merebut pak Restu dari dia,” kata Murni yang tak tahan lagi menyembunyikan semuanya.

“Apa?” Restu membelalakkan matanya, berhenti mengunyah mangga yang sudah ada di dalam mulutnya.

“Bagi saya itu bukan masalah besar, saya harus tahu diri, bahwa pak Restu menikahi saya karena sebuah alasan. Tapi tolong bilang sama dia, agar tak lagi mengganggu saya.”

“Apa?” kata Restu yang masih kebingungan.

“Bilang juga sama dia, bahwa setelah anak ini lahir, saya akan membawanya pergi, dan silakan menikahi dia.”

“Apa?”

Murni menatap tajam suaminya.

“Murni, sungguh aku tidak mengerti apa yang kamu maksudkan, dan siapa yang kamu maksud itu?”

“Pak Restu tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu?”
“Dulu aku memang laki-laki yang tidak baik. Boleh saja dikatakan aku buruk, tak bermoral, atau bejat sekalipun. Tapi aku sudah menemukan jalan hidup yang benar, aku sudah mengerti mana jalan yang harus aku tempuh, meninggalkan kehidupan yang kelam dan kotor. Aku sudah bertobat Murni. Kamu masih belum mempercayai aku? Barangkali benar, kita menikah bukan karena cinta, tapi karena sesuatu yang harus kita lakukan. Tapi aku sedang belajar mencintai kamu, dan perlahan cinta itu mulai tumbuh, melihat ketulusan kamu, kebaikan kamu, dan semua yang kamu miliki. Aku bahkan tidak berpikir tentang siapa kamu, anak siapa kamu, dari keluarga mana dirimu. Sungguh. Apa aku harus bersumpah untuk itu?”

Mata Murni berkejap-kejap, menatap suaminya yang berkata penuh kesungguhan. Sulit untuk tidak mempercayainya, karena mata serigala itu sudah tak lagi tampak.

“Kamu meragukannya? Katakan siapa yang berkata seperti itu.”

“Saya tidak tahu namanya. Dia cantik, berpakaian sexy, tapi mulutnya tajam bagai sembilu. Dia bilang selingkuhan pak Restu. Dua hari dia selalu menghadang saya di pasar. Saya bukannya takut, saya berani menghadapi dia, tapi saya merasa terganggu.

“Besok pagi pergilah ke pasar, aku akan mengawasi kamu. Kalau perempuan itu datang, biar dia berhadapan dengan aku.”

Murni mengangguk, merasa lega karena berhasil mengeluarkan apa yang membuatnya tertekan. Perkataan Restu bahwa dia mulai menyayangi dirinya, membuatnya berdebar senang. Baru sekarang dia mendengar ada laki-laki yang menyayanginya, dan itu diucapkan oleh laki-laki yang semula sangat dibencinya.

“Sekarang ceritakan tentang anak bernama Trimo. Bukan karena aku curiga, tapi karena kamu belum menceritakan tentang orang yang pernah kamu tumpangi saat pergi dari mes waktu itu.

Lalu Murni menceritakan semuanya, tentang bu Trisni dan anaknya yang bernama Trimo, yang waktu itu datang mengamen di rumah Wulan, lalu diberinya uang dan makanan, lalu di kemudian hari dia bertemu lagi dengan bocah itu, lalu menginap di rumahnya selama dua malam.

Restu terharu.

“Suruh dia tinggal di sini, biar aku menyekolahkannya.”

“Sudah saya minta begitu, tapi dia tidak mau, karena harus membantu ibunya berdagang gorengan.


“Kok bisa-bisanya kamu main sejauh itu sih Mo, jalan kaki pula,” tegur bu Trisni ketika anaknya sampai di rumah.

“Berangkatnya membonceng mas Parmo yang jualan kerupuk, turun di dekat rumah dimana dulu Trimo ketemu bu Murni untuk pertama kali. Pulangnya Trimo naik angkot, turun di jalan besar situ. Bu Murni memberi uang lagi sama Trimo.”

“Ya ampun, bu Murni sudah memberi banyak untuk kita.”

“Iya juga, tapi Trimo tak bisa menolak. Lagi pula bu Murni tidak tinggal di situ lagi. Sudah pindah, lalu Trimo mencarinya, dan ketemu di pasar, ketika ada seorang wanita tiba-tiba mau memukul bu Murni, lalu Trimo berhasil mencegahnya dengan menarik tubuhnya.”

“Lhoh, kenapa?”

“Nggak tahu Bu, sepertinya dia benci sama bu Murni.”

“Pasti dia orang jahat. Bu Murni begitu baik, kok ada yang benci sama dia?”

“Pastinya Bu.”

“Bu Murni sekarang kaya Bu, rumahnya bagus. Trimo di suruh tinggal di sana, tapi Trimo tidak mau. Kalau Trimo pergi, siapa yang membantu ibu jualan?” lanjutnya.

“Iya juga sih Mo. Tapi kalau kamu suka, ya nggak apa-apa, nanti ibu mau menyuruh orang untuk membantu.”

“Jangan Bu, biar Trimo saja yang membantu Ibu. Nanti kalau Trimo sekolah, sebelum berangkat Trimo mengantar dagangan, pulangnya mengambil uangnya. Begitu lebih enak.”

“Ya sudah, terserah kamu saja. Sekarang istirahatlah. Kamu pasti lelah.”


Pagi itu Murni keluar dari rumah, karena kehabisan kopi. Ia mencari warung terdekat dengan terburu-buru, karena harus menyiapkannya sebelum suaminya berangkat bekerja.

Ia sedang berdiri di pinggir jalan, menunggu jalanan sepi sebelum menyeberang, karena warung yang dituju terletak di seberang jalan.

“Kenapa ketika belanja aku lupa membeli kopi,” sesalnya ngedumel sambil menunggu.

Tapi sebelum dia berhasil menyeberang, sebuah pengendara motor melaju di depannya, dan seperti sengaja menabraknya. Murni terpelanting.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 55

SELAMAT PAGI BIDADARI (53)

Karya Tien Kumalasari

Murni masih menatap tajam wanita itu, ada api memercik di matanya. Murni tahu, dia hanya anak pembantu, tapi bukan berarti dia harus menerima penghinaan apapun yang diterimanya.

“Hei, mengapa menatap aku seperti itu? Rupanya kamu sudah merasa bangga bisa menjadi istri kekasihku?” tiba-tiba wanita itu mulai menyerangnya.

Murni mengangkat kepalanya dan tersenyum sinis, walau tatapan matanya tak berubah, tajam dan menyala.

“Bisa menjadi istri memang membuat aku bangga. Bagaimana dengan menjadi kekasih tanpa dinikahi? Bukankah itu rendah dan memalukan? Tapi rupanya kamu memang tak tahu malu.” jawabnya dengan berani.

“Kamu merebutnya dari aku.”

“Benarkah? Kalau aku berhasil merebutnya, berarti aku lebih hebat dari kamu! Sadari itu!” kata Murni yang kemudian langsung membalikkan tubuhnya dan menjauhi wanita itu, yang memang adalah Lisa.

Lisa terkejut.

“Perempuan udik itu tiba-tiba berani menentang dan menghina aku,” geramnya.

Hati Lisa tiba-tiba terasa panas. Bergegas dia mengejar Murni, dan tiba-tiba sudah berada di hadapannya.

Murni mengerutkan dahinya.

“Mau apa lagi kamu?”

“Dengar, aku tidak terima kamu menghina aku!” hardiknya.

“Aku tidak menghina, kamu memang hina!” balas Murni sengit.

Tiba-tiba Lisa mengangkat tangannya, diayunkannya ke wajah Murni. Tapi tangan itu berhenti terayun, karena sepasang tangan kecil menarik tubuhnya.

“Heiii. Apa ini?” teriak Lisa sambil membalikkan tubuhnya, lalu melihat seorang anak laki-laki menatapnya marah.

“Siapa kamu, gembel?”

“Trimo?!” teriak Murni senang.

“O, ini anakmu? Rupanya kamu seorang janda yang berhasil memikat kekasihku?”

“Aku bukan anaknya. Kamu wanita jahat, berani menyakiti wanita yang sedang hamil,” pekik Trimo dengan berani.

“Ee, kurangajar benar. Perempuan ini telah merebut kekasihku!”

“Trimo, sini, jangan di dengarkan kata-kata perempuan mabuk itu, ayo ikut aku.”

Trimo menurut, bergegas mendekati Murni, kemudian membalikkan lagi tubuhnya dan pergi.

Lisa ingin mengejar, tapi beberapa orang menghadangnya.

“Jangan membuat keributan di sini Mbak, Mbak ini cantik, tapi kok kasar sekali kepada perempuan yang sedang hamil.”

Lisa mendengus kesal. Ia sangat membenci wanita yang sudah dinikahi Restu, karena dia berharap kembali kepadanya, dan Restu menolaknya. Tapi dia tak bisa berbuat banyak, karena banyak orang menghadangnya, dan Murni sudah hilang bersama laki-laki kecil itu, entah kemana.

“Aku akan terus menghantui kamu,” ancamnya sambil berlalu.


Murni belanja ala kadarnya, karena ingin segera mengajak Trimo pulang ke rumahnya.

Ia meletakkan belanjaan di dapur, lalu menemui Trimo yang duduk di tangga teras.

“Heii, kenapa duduk disitu?” tegur Murni sambil membawa segelas jus jambu diletakkan di meja teras.

“Biar di sini saja Bu.”

“Jangan, sini, di depanku sini, kamu belum cerita apa-apa, kenapa bisa sampai ke mari.”

Trimo menurut. Ia berdiri lalu duduk di kursi teras dengan ragu.

“Duduklah. Kenapa kamu ini?”

“Takut kursinya kotor.”

“Ya ampun Trimo, mengapa kamu bilang begitu?”

“Ini rumah bu Murni?”

“Bukan, ini rumah pak Restu.”

“Siapa pak Restu?”

“Suami … suami aku.”

“Ooh,” kata Trimo sambil mengamati sekelilingnya.

“Minumlah, lalu ceritakan kenapa kamu sampai ke mari.”

“Saya ingin bertemu Ibu, lalu pergi ke rumah dimana saya datang kesana sebanyak dua kali. Lalu diberi tahu alamat Ibu, tapi rumah itu kosong, saya mencoba mencari, barangkali Ibu sedang ke pasar, ternyata benar.”

“Ya ampun, kamu berjalan jauh sekali, bagaimana bisa menemukan alamat rumah ini?”

“Saya terus bertanya-tanya. Tapi ada ibu-ibu yang memberi saya ancar-ancar juga.”

“Anak pintar. Sekarang minum dulu, setelah kamu cerita, kita akan makan pagi bersama-sama,” kata Murni.

“Saya hanya ingin ketemu Ibu. Tapi tidak membawa gorengan, karena habis terjual.”

Murni tertawa.

“Tidak apa-apa. Aku sudah pernah merasakan gorengan dagangan kamu, dan aku puas, enak dan legit.”

“Saya sudah membeli ponsel. Waktu itu saya tidak tahu caranya, lalu ibu membantu saya.”

“Bagus. Sekarang tidak dibawa?”

“Tidak. Tadi sambil mengantar dagangan, langsung ke sini.”

“Bagaimana kabar ibumu?”
“Baik, dan sehat. Terimakasih sudah memberi uang untuk biaya sekolah.”

“Tidak seberapa. Nanti kalau kurang, kabari aku ya Mo. Jangan sungkan.”

“Wanita jahat itu tadi siapa? Dia hampir memukul Bu Murni, untung saya bisa menahannya.”

“Aku juga tidak tahu. Sudah dua kali dia menemui aku dan mengata-ngatai aku dengan ucapan yang sangat kasar. Tadinya aku biarkan, tapi tadi aku melawan. Itu sebabnya dia marah dan ingin memukul aku.”

“Apa ketemunya juga di tempat sama Bu?”

“Iya. Nggak tahu, kenapa dia berkeliaran di sekitar pasar.”

“Mungkin dia memang menunggu ibu. Besok jangan belanja di sana lagi.”

“Iya, sedang aku pikirkan, tapi agak jauh sih. Nggak apa-apa juga, aku bisa naik becak. Atau kalau ada tukang sayur lewat aku juga bisa.”

“Iya Bu, supaya aman.”

Murni tertawa, berdiri sambil mengelus kepala Trimo.

“Kamu itu anak kecil, ngomongnya seperti orang dewasa saja,” kata Murni sambil beranjak ke dalam. Ia mengeluarkan nasi dan lauk sisa sarapan yang masih ada, kemudian memanggil Trimo.

“Aku kita makan Mo,”

Ajak Murni sambil menarik tangan Trimo.

“Nggak usah Bu.”

“Ayolah, jangan sungkan. Tadi ada gudeg sambel goreng sisa makan pagi, aku beli terlalu banyak.”

Trimo terpaksa menurut.

“Apa ibumu tahu, kamu datang kemari?”

“Tidak sih.”

“Gimana sih, pasti ibumu cemas dong. Ayo kabari sekarang. Kabari dulu baru makan,” kata Murni sambil mengambil ponselnya, sekaligus memutar nomor Trimo, karena Trimo pernah mencoba menelpon ketika membeli ponselnya.

“Bu, ini aku.”

“Ya ampun Mo, kamu di mana? Lama sekali belum pulang?” teriak bu Trisni yang sedang cemas menunggu anaknya.

“Aku di rumah bu Murni.”

“Apa? Kamu ke sana? Kenapa nggak bilang?”

“Tiba-tiba saja ingin ketemu.”

“Ya sudah, bagaimana keadaan bu Murni?”

“Baik, ini aku sedang dipaksa makan.”

“Ya ampuun, kamu kan sudah sarapan.”

“Lapar lagi,” seloroh Trimo.

“Ya sudah, hati-hati, sampaikan salam ibu untuk bu Murni ya. Nggak usah bicara, karena ibu sedang menggoreng ikan untuk makan siang, nanti gosong.”

“Iya Bu.”

Trimo menyerahkan ponselnya kepada Murni.

“Tuh, Ibumu cemas kan? Lain kali bilang, kalau mau ke mana-mana.”

“Iya.”

“Sekarang makanlah. Nanti kalau pulang jangan jalan kaki, naik angkot saja, aku beri uangnya.”

“Saya bawa uang sebenarnya.

“Tidak, itu kan uang dagangan? Sekarang makanlah. Lain kali kalau ke sini jangan jalan kaki. Banyak angkot menuju kemari kan?”

“Iya Bu.”

“Kamu mau nggak, sekolah di sini?”

“Nggak Bu, nanti ibu sendirian. Dan saya juga harus membantu ibu jualan.”

“Iya, kamu benar.”


Murni senang ketemu Trimo. Ia wanti-wanti berpesan agar tidak pulang jalan kaki, setelah memberinya sejumlah uang.

Ia memasak setelah Trimo pulang, itu sebabnya ia kesiangan. Saat mau mengirim makan siang ke bengkel, suaminya sudah pulang.

“Maaf, aku kesiangan,” kata Murni yang menyambut di tangga teras.

“Tidak apa-apa. Aku makan di rumah saja. Hei, ada sandal kecil disini, punya siapa?” pekik Restu ketika melihat sepasang sandal di bawah tangga.

Murni terkejut.

“Ya ampun, itu kan sandal Trimo. Kok bisa ketinggalan? Berarti tadi dia tidak memakai alas kaki dong. Kok bisa, dia itu.” teriak Murni.

“Siapa Trimo?” tanya Restu.

“Hanya anak kecil. Saya tidak mungkin selingkuh. Yang suka selingkuh kan laki-laki,” omel Murni bermaksud menyindir suaminya.

Sindiran itu membuat Restu terheran-heran.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 54

SELAMAT PAGI BIDADARI (52)

Karya Tien Kumalasari

Pak Broto kesal mendengar penolakan Restu. Ia meletakkan ponselnya dengan kasar.

“Kenapa Pak?”

“Restu itu sangat sombong. Kesal aku,” gerutu pak Broto dengan wajah muram.

“Sombong bagaimana sih Pak?”

“Dia menolak pemberian mobil dari aku. Dan bilang mau beli sendiri mobil bekas dengan uang pribadi. Sombong kan?”

“Bapak jangan begitu. Restu itu bukannya sombong. Dia menolak, karena tak ingin menjadi beban orang tua.”

“Siapa bilang beban. Aku memberinya dengan ikhlas, aku ini kan bapaknya, orang tuanya. Apa tidak pantas orang tua memberi sesuatu kepada anaknya?”

“Iya, sebentar pak, sabar dulu, jangan marah dulu. Ini, minumnya dihabiskan dulu, supaya lebih tenang,” kata bu Broto sambil mengangsurkan gelas minum yang masih separuhnya. Tapi pak Broto menolaknya.

“Sabar … sabar … Siapa yang tidak kesal kalau pemberiannya ditolak mentah-mentah?”

“Makanya ibu bilang sabar, supaya Bapak mau mendengar ibu bicara. Kok jadi ibu ikut dimarahin sih Pak.”

Pak Broto menyandarkan tubuhnya dengan wajah muram.

“Bapak kan tahu, Restu itu dulu pernah membuat Bapak marah, karena telah menghambur-hamburkan uang perusahaan. Ya kan Pak? Nah, sekarang ini Restu sudah sadar akan semua kesalahannya, dan selalu berusaha memperbaikinya. Bapak tahu apa yang dipikirkannya? Restu ingin melakukan sesuatu tanpa bantuan orang tua. Seburuk apapun yang ingin dia miliki, entah baju jelek atau mobil bekas, itu adalah kebanggaannya. Coba bapak mengerti. Biarkan dia merasa bangga dengan apa yang dimilikinya.”

Pak Broto mengangkat tubuhnya dari sandaran, lalu meraih gelas yang tadi disodorkan istrinya, meneguknya sampai habis. Bu Broto tersenyum. Rupanya sang suami mulai bisa mencerna apa yang dikatakannya.

“Punya mobil bekas, dan itu membuat dia bangga?” celetuk pak Broto setelah meletakkan gelasnya.

“Bukan mobil bekasnya itu yang membuat dia bangga, tapi uang yang dipergunakan untuk membeli, adalah hasil jerih payahnya. Itu yang membuat dia bangga.”

Pak Broto mengangguk-angguk, ia mulai mengerti, dan kemarahannya sudah sirna.

“Kita harus membiarkan dia punya kebanggaan. Dia sudah mengerti, bahwa kemewahan yang dimiliki bukanlah sesuatu yang bisa membuatnya bangga, karena semua itu milik orang tuanya. Sekarang dia mencoba membanggun kebanggaannya atas jerih payahnya sendiri, ayo kita dukung dia, jangan malah memarahinya.”

“Baiklah, ibu benar,” kata pak Broto dengan nada rendah, dan dengan anggukan kepala yang mantap.

“Nanti kita akan minta agar dia mengajak kita jalan-jalan, setelah dia berhasil membeli mobil yang diinginkannya,” lanjutnya dengan wajah sumringah.

“Dia pasti senang,” sahut bu Broto, tak kalah sumringahnya.


Hari masih agak siang, Restu sudah sampai di rumah. Murni terkejut, karena belum sempat membuatkan minum atau menyiapkan cemilan.

Ia menyambut suaminya dengan membawakan tas yang dibawanya, diletakkannya di meja, kemudian bergegas ke belakang. Tak disangka Restu mengikutinya.

“Mau apa?”

“Buatkan minum, tadi belum sempat,” katanya sambil terus berlalu, dan Restu juga terus mengikutinya.

Murni mengambil cangkir dan menyeduh kopi. Terkejut ketika tiba-tiba Restu memeluknya dari belakang. Ia mencoba melepaskan diri, tapi Restu memeluknya semakin erat.

“Jangan terlalu capek.”

“Tidak, biasa saja,” katanya. Lalu ia mengambil baki, setelah Restu melepaskan pelukannya, kemudian meletakkan cangkir kopi di atasnya, dan membawanya ke ruang tengah.

Restu mengikutinya.

“Mengapa tidak mau dipeluk suami? Oh ya, aku masih bau asem ya? Maaf,” katanya sambil tertawa. Tapi dia kemudian duduk di atas sofa, meraih cangkir kopi, menghirupnya sedikit.

“Masih panas.”

Murni melangkah ke belakang, mengambil sepiring pisang goreng yang masih hangat, lalu diletakkan di depan suaminya.

“Hei, mau ke mana? Duduk di sini saja, temani aku minum seperti biasanya,” tegur Restu, yang merasa bahwa seharian ini sikap Murni tampak aneh. Banyak diam dan tak sedikitpun menyunggingkan senyum ramah.

“Murni,” panggil Restu karena Murni bergeming.

Murni yang mau beranjak ke belakang berhenti melangkah, menoleh ke arah sang suami.

“Duduklah di sini. Apa karena aku bau asem? Apa aku harus mandi dulu?”

Murni terpaksa kembali, lalu duduk, dimana Restu menepuk-nepuk tempat duduk di sebelahnya.
“Aku ingin bercanda dengan anakku, apa dia nggak mau karena ayahnya masih bau asem?”

“Masih ada yang harus saya kerjakan di belakang,” kata Murni, yang tak urung kemudian duduk di sebelah suaminya.

Restu mengelus perut Murni lembut, dan Murni terlonjak kaget karena bayinya tiba-tiba menendang perutnya.

“Tuh, kan. Dia senang ayahnya datang.”

Murni tersenyum tipis. Ia selalu teringat wanita cantik yang pagi tadi menyakitinya dengan kata-kata kasar, dan dia mempercayainya. Dan karena itu dia kemudian merasa, bahwa Restu bukan menyayangi dirinya, tapi bayi yang dikandungnya.

“Mana minuman kamu?”

“Saya sudah minum.”

“Kalau begitu ayo kita minum ini berdua,” kata Restu yang kemudian menyodorkan cangkir kopinya ke arah bibir Murni. Murni mengundurkan kepalanya.

“Ayo, secangkir berdua.”

“Tidak, saya tidak minum kopi,” sergahnya.

“Kalau begitu biar aku yang mengambilkan teh untuk kamu,” kata Restu yang kemudian beranjak berdiri.

Murni terkejut. Ia juga langsung berdiri.

“Tidak, biar saya ambil sendiri,” katanya sambil beranjak ke belakang.

Restu tersenyum. Tapi dia sungguh heran melihat sikap istrinya.

“Murni, cepatlah, kalau tidak aku sendiri yang akan membuatnya untuk kamu,” teriak Restu.

Murni datang membawa secangkir teh untuk dirinya sendiri.

“Hari ini kamu aneh.”

Murni menatap suaminya.

“Saya biasa saja.”

“Tidak, kamu tidak biasa. Kamu marah sama aku? Ada yang salah?”

Murni ingin mengatakan sesuatu tentang wanita itu, tapi kemudian diurungkannya. Laki-laki selingkuh, mana mau mengaku? Paling juga akan mengelak. Dan Murni kan tahu diri. Siapa Restu, siapa dirinya. Murni selalu sadar bahwa pernikahan itu terjadi karena kehamilannya.

“Katakan sesuatu. Aku tidak percaya kalau tidak terjadi apa-apa.”

“Tidak ada. Saya hanya merasa … kurang enak badan.”

“Kalau begitu kita ke dokter sekarang.”

“Tidak, tidak ….”

“Kamu jangan bandel. Kesehatanmu berpengaruh bagi bayi yang kamu kandung. Kalau kamu sakit, dia juga akan sakit.”

Tuh kan, kembali lagi karena bayi. Itu yang dipikirkan Murni setelah ditemui wanita cantik bermulut tajam pagi tadi.

“Saya mau beristirahat saja. Kalau pak Restu ingin makan, bangunkan saya,” kata Murni sambil berdiri, setelah meneguk minumannya.


Pagi hari itu Restu berangkat seperti biasa, setelah sarapan pagi yang disiapkan Murni seperti biasa.

“Kalau kamu masih merasa tidak enak badan, tidak usah memasak. Nanti aku akan membelikan makan dari luar untuk kita makan siang. Anak-anak bengkel biar jajan seperti sebelumnya,” pesan Restu.

Murni hanya mengangguk mengiyakan. Tapi ia tetap bertekat untuk memasak seperti biasa. Ia berjalan ke arah pasar, dengan harapan tak akan bertemu wanita itu lagi. Tapi harapan tinggallah harapan. Baru saja dia memasuki pasar, wanita itu seperti muncul dari dalam bumi, berdiri begitu saja di hadapannya.

Murni terkejut. Tapi kemudian timbullah keberaniannya. Cacingpun kalau diinjak pasti menggeliat. Murni ingin melawannya.

Itu sebabnya, ketika wanita itu tersenyum sinis menatapnya, Murni membalasnya dengan mata berapi.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 53

SELAMAT PAGI BIDADARI (51)

Karya Tien Kumalasari

Murni terkejut. Dia belum pernah melihat wanita itu, yang menatapnya dengan mata penuh kebencian.

“Anda siapa?” tanyanya pelan.

“Kamu belum tahu siapa aku? Aku adalah kekasih Restu.”

Murni terbelalak.

“Kamu lihat aku baik-baik. Bagaimana penampilan aku, bagaimana wajah aku, lalu lihat dirimu sendiri. Kamu kan hanya bekas pembantu yang berhasil merayu Restu untuk bisa menikahi kamu? Tapi jangan harap bisa membuat Restu jatuh cinta sama kamu, karena dia hanya mencintai aku,” katanya sengit, kemudian berlalu, membiarkan Murni terpaku di tempatnya berdiri.

Lalu Murni sadar, dia sedang berada di pasar. Ia mengusap setitik air matanya, menyelesaikan belanja, lalu pulang.


Murni memasak dengan perasaan gundah. Bahwa dirinya tadinya hanya pembantu, dia sudah tahu dan menyadarinya. Tapi bukan dia yang memaksa apalagi merayu Restu untuk menikahinya. Bukankah Restu yang memaksanya? Tapi lalu Murni sadar bahwa Restu memaksa menikahinya karena ada bayi di dalam kandungannya, bayi yang adalah darah dagingnya. Mungkin benar dan Murni juga yakin benar bahwa pernikahan itu terjadi bukan karena adanya cinta.

Murni mengusap air matanya, lalu melanjutkan merajang sayur yang harus dimasaknya.

Ada keinginan untuk menghentikan acara memasak itu karena hatinya sakit, tapi dia sadar bahwa dia adalah seorang istri, yang apapun yang terjadi, harus melayani suaminya. Maka pada saatnya, sayur lodeh yang dimasaknya sudah matang, dia tinggal menggoreng bandeng presto dan membuat sambal terasi. Itu adalah masakan yang dipesan Restu sebelum berangkat bekerja, dan Murni tentu saja menyanggupinya.

Ia sudah menatanya di tempat biasa, dan siap dikirimkannya ke bengkel, untuk makan siang para pekerja bengkel, dan tentu saja untuk Restu.

Tapi beberapa saat lamanya dia hanya diam, menatap tumpukan rantang yang siap dibawanya. Bermacam pikiran berkecamuk dalam hatinya. Apakah dia harus berterus terang tentang kedatangan wanita cantik yang tadi menemuinya? Apakah dia harus marah karena menganggap suaminya ternyata selingkuh?

Tidak, Murni sadar sesadar-sadarnya bahwa dia hanya terpaksa dinikahi Restu, dia harus tahu diri. Biarlah ada wanita lain, Murni tak peduli. Dia hanya menjalankan kewajibannya.

Tapi kemudian Murni dikejutkan oleh kedatangan Restu yang tiba-tiba.

Restu terkejut melihat Murni duduk di kursi dan didepannya setumpuk rantang sudah tertata.

Murni berdiri menyambut.

“Kamu kenapa? Apa kamu sakit?”

“Tidak, maaf, sudah terlambat ya?”

“Tidak, aku hanya khawatir, biasanya kamu sudah mengirim sejak tadi, Ternyata sudah siap, dan kamu duduk tampak lesu.”

“Maaf.”

“Kamu tidak sakit? Tidak merasakan apa-apa?”

Murni menggeleng, Terharu melihat perhatian Restu, tapi kemudian ditepiskannya. Restu bukan memperhatikan dirinya karena sayang. Restu memperhatikan bayi yang dikandungnya.

“Aku makan di rumah saja ya? Bolehkah?”

“Boleh, tentu saja,” jawab Murni yang segera menata meja makan, lengkap dengan lauk dan nasinya. Sungkan, suaminya seperti sudah kelaparan.

“Makanan anak bengkel saya antar sekarang ya,” kata Murni yang merasa pastinya mereka juga sudah lapar.

“Jangan, biarkan saja.”

“Tapi …”

“Ayo, makan sama kamu juga,” ajak Restu ketika Murni hanya menatapnya.

Murni menurut. Ia makan sambil melayani suaminya. Sesungguhnya pada kehamilannya yang semakin tua, Murni lebih banyak makan, rasanya masih lapar kalau hanya makan sedikit. Jadi dia terpaksa makan banyak, yang disaksikan Restu sambil tersenyum.

“Nanti makanan anak-anak bengkel saya yang membawa.”

“Kasihan, pasti sudah lapar juga.”

“Tidak. Mereka akan sabar menunggu,” kata Restu sambil makan dengan nikmat.

Murni menatapnya.

“Kapan kamu akan kontrol kandungan?”

“Dua hari lagi.”

“Aku akan pulang lebih sore.”

“Tidak usah, aku ke dokter sendiri saja.”

“Jangan, aku harus mengantarkan kamu. Saat ini aku sedang menabung untuk membeli mobil yang second saja, biar agak murah,” kata Restu.

“Namanya mobil, tetap saja mahal.”

“Supaya kalau kamu periksa, tidak kehujanan. Sebentar lagi musim hujan.”

“Ada payung kan?”

“Murni, aku sudah menabung, uangku hampir cukup. Ijinkan aku meringankan beban kamu, jangan sampai kepanasan dan kehujanan. Apalagi kalau anak kita lahir.”

Murni terdiam. Lagi-lagi Murni merasa bahwa itu semua demi bayi yang dikandungnya. Dan wajah wanita cantik itu kembali terbayang.

“Kamu lihat aku baik-baik. Bagaimana penampilan aku, bagaimana wajah aku, lalu lihat dirimu sendiri. Kamu kan hanya bekas pembantu yang berhasil merayu Restu untuk bisa menikahi kamu? Tapi jangan harap bisa membuat Restu jatuh cinta sama kamu, karena dia hanya mencintai aku,”

Murni menghela napas kasar, sambil menutupkan sendok garpunya.

Restu menatapnya heran. Ada perubahan sikap Murni hari ini.

“Kamu kenapa?”

“Apa?”

“Kamu kenapa? Kok tidak seperti biasanya.”

“Aku baik-baik saja. Kalau pak Restu sudah selesai makan, segera kembalilah ke bengkel, anak-anak bengkel pasti sudah lapar,” kata Murni mengalihkan pertanyaan Restu.

“Baiklah. Aku akan pulang agak sore hari ini.”

“Ada apa?”

“Ingin bercanda dengan anakku. Kemarin sudah banyak bergerak bukan?”

Murni terpaksa tersenyum. Ia merasa geli ketika kaki mungkin di dalam perutnya menendang-nendang, apalagi kalau Restu mengelusnya. Restu mengatakan, anaknya sedang mengajaknya bercanda.

Restu berdiri, ia meraih rantang yang sudah disiapkan, kemudian berangkat kembali ke bengkel, setelah mengelus lembut perut Murni. Dan lagi-lagi bayi itu seperti menendang-nendang, membuat Murni meringis.

“Dia tahu, ayahnya mengajak dia bercanda,” kata Restu kemudian berlalu.


“Bapak tidak ke kantor hari ini?” tanya bu Broto setelah makan siang bersama suaminya.

“Tidak. Wulan sudah bisa diandalkan. Aku tidak harus setiap hari datang ke kantor.”

“Tapi kalau dilepas sendiri kan juga kasihan.”

“Tidak sendiri. Rio selalu membantunya kok.”

“Syukurlah.”

“Aku ingin membeli mobil kecil untuk Restu.”

“Bagus, Ibu juga berpikir begitu. Kasihan Restu, kalau panas kepanasan, kalau hujan kehujanan.”

“Aku akan menelponnya, apakah dia ada di bengkel. Aku akan mengajaknya melihat-lihat mobil, dan minta agar dia memilih mana yang disukainya.”

“Aku ikut ya Pak.”

“Kamu seperti anak kecil saja.”

“Iya lah Pak, sekarang yang di rumah tinggal Ibu sama Bapak. Bagusnya kalau kemana-mana harus berdua dong.”

“Baiklah, aku telpon dia dulu, takutnya dia tidak ditempat.”

“Ya Pak,” kata Restu menjawab ketika ayahnya menelpon.

“Kamu ada di bengkel?”

“Iya, baru saja kembali dari makan siang di rumah.”

“Wah, pasti menyenangkan. Istri kamu itu sama seperti simboknya, masakannya enak.”

“Iya benar Pak.”

“Bapak mau ke situ.”

“Oh ya, tumben.”

“Bapak mau mengajak kamu jalan-jalan, sama ibumu juga.”

“Tumben mau jalan-jalan. Kemana Pak?”

“Ke dealer mobil.”

“Bapak mau beli mobil?”

“Iya, Untukmu.”

Restu sangat terkejut.

“Mau beli mobil untuk Restu?”

“Iya, kamu pilih nanti, mana yang kamu suka.”

“Tidak usah Pak, Restu sudah mau membelinya sendiri, Pakai uang Restu sendiri.”

“Restu, uangmu berapa? Sudah cukupkah untuk beli mobil?”

“Hanya mobil bekas saja Pak, yang penting mesinnya masih bagus.”

“Bapak ingin membelikannya untuk kamu, simpan saja uang kamu untuk kebutuhan kamu. Apalagi kamu kan sudah mau punya anak. Kebutuhan bayi itu kan banyak.”

“Kebutuhan bayi sudah Restu siapkan. Tolong Pak, Restu tidak ingin lagi membebani Bapak. Restu sudah banyak menyusahkan Bapak.”


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 52

SELAMAT PAGI BIDADARI (50)

Karya Tien Kumalasari

Restu terkejut.

“Lisa? Mau apa kamu datang kemari?” kata Restu tak senang.

Melihat wajak tak suka itu, bukannya mundur, Lisa justru mendekat, lalu duduk di kursi di depan meja kerja Restu.

“Restu, maafkan aku ya?”

“Ya, baiklah, aku maafkan, tapi tolong pergilah, aku sedang sibuk.”

“Ya ampun Restu, aku mohon, kamu mau mendengarkan ceritaku. Tolong.”

“Untuk apa aku mendengarkan ceritamu? Urusan kamu bukan urusan aku, kita tidak punya ikatan apa-apa. Jadi lebih baik kamu pergi saja.”

Tiba-tiba Lisa menangis. Restu kebingungan. Ada anak buahnya di luar ruangannya, dan pasti melihat apa yang terjadi.

“Terlena oleh bujukan pak Thomas, sehingga aku melupakan kamu. Aku menyesal Restu. Dan mendengar kamu sudah bercerai, aku datang menemui kamu, mari kita mulai lagi semuanya dari awal.”

“Tidak, aku tidak bisa. Pergilah.”

“Restu, aku sudah tidak bekerja lagi sekarang. Isteri pak Thomas memecat aku,” isaknya.

“Itu bukan urusan aku Lisa, tolong pergilah.”

“Gelang pemberian kamu juga diminta oleh isteri pak Thomas, dia mengira gelang itu dari suaminya, padahal kan dari kamu Restu? Aku simpan terus karena aku menyayangi kamu.”

“Tidak, tidak. Jangan cerita apapun, aku tidak mau mendengarnya, itu bukan urusan aku.”

“Restu, aku masih sayang saya kamu.”

“Hentikan, aku sudah mau menikah.”

“Apa? Kamu mau menikah sama siapa Restu?”

“Kamu tidak perlu tahu, itu bukan urusan kamu.”

“Aku hanya ingin tahu, dan ingin mengenalnya saja.”

“Tidak perlu, dia bukan apa-apa kamu, dan tak ada untungnya berkenalan sama kamu. Tolong pergilah, aku masih banyak urusan,” katanya sambil berdiri, lalu naik ke atas, memasuki kamarnya dan menguncinya.

Lisa merasa kesal. Ia berdiri lalu keluar dari ruangan kecil itu, dimana Restu biasanya bekerja, mengontrol perusahaannya.

Sebelum keluar, Lisa menoleh ke arah karyawan-karyawan dan mengoceh.

“Majikan kamu itu sekarang sudah berubah. Dulu dia sangat menyayangi aku. Apapun yang aku minta selalu diberikan. Lalu dia menjadi miskin. Sekarang, ketika dia mulai bisa membangun usaha lagi, dia lupa sama aku. Kejam kan? Malah dia mau menikah katanya? Hm, aku ingin melihatnya, seperti apa istrinya, lebih cantikkah dari aku?”

Lalu Lisa melangkah pergi, diiringi pandangan aneh dari yang ada di situ, termasuk beberapa orang yang sedang memperbaiki mobilnya di bengkel tersebut.

“Siapa sih dia?” tanya seseorang.

Para karyawan hanya mengangkat bahu.

“Wanita tak tahu malu,” celetuk yang lainnya.

“Iya, masa mengumbar sesuatu yang seharusnya dirahasiakan, ditempat umum pula.”

“Pak bos juga nggak peduli, tadi ditinggalkannya begitu saja.”

“Pasti bener-bener perempuan gila.”

Lalu mereka tak peduli, dan melanjutkan pekerjaan mereka lagi, karena beberapa pelanggan sedang menunggu.


‘Rio … kita akan punya gawe.” Teriak Wulan dengan gembira ketika suaminya pulang.

“Tentang mas Restu?”

“Iya, Murni sudah bersedia. Bapak sama ibu senang sekali.”

“Atur semuanya, carikan gedung dan_”

“Tidak Rio, tidak usah.”

“Apa maksudmu? Bukankah mereka akan menikah?”

“Tapi Murni tidak mau ada pesta. Cukup menikah dan selesai.”

“Begitu ya? Mungkin rame-rame nya di kampung mereka.”

“Tidak juga.”

“Kok semuanya tidak sih?”

“Murni minta menikah di sini, jadi mas Restu sedang mengurusnya. Mungkin beberapa hari selesai. Lega aku jadinya.”

“Aku senang akhirnya semua menjadi baik. Sekarang Murni ada di mana? Di rumah bapak?”

“Iya, bersama yu Sarni, ada di rumah bapak.”

“Ayuk kita ke sana.”
“Mandi dulu saja, nanti setelah maghrib kita ke sana.”

“Baiklah, bidadari,” kata Rio yang langsung masuk ke kamarnya. Wulan sudah menyediakan baju ganti untuk suaminya, kemudian ke dapur untuk membuatkan kopi pahit kesukaan suaminya. Ada roti bakar yang dibuatnya untuk cemilan, lalu dihidangkannya di atas meja di ruang tengah.

Wulan menyetel televisi sambil menunggu suaminya, ketika tiba-tiba ponselnya berdering.

“Dari ibu,” gumamnya sambil mengangkat panggilan itu.

“Ya Ibu,” sapanya.

“Wulan, suami kamu sudah pulang?”

“Sudah Bu, sekarang baru mandi.”

“Datanglah kemari, karena bapak mau bicara bersama kalian. Nanti Restu juga akan ke rumah.”

“Rupanya ibu mau mengadakan pesta?” canda Wulan.

“Tidak Wulan, kan ibu sudah bilang, bahwa Murni hanya mau melaksanakan ijab kobul saja, tidak mau ada pesta.”

“Iya, Wulan sudah tahu kok Bu.”

“Tapi bagaimanapun kan semuanya harus dipersiapkan?”

“Iya Bu.”

“Datanglah cepat, bapak sudah menunggu.”

“Baiklah, setelah mandi, Rio akan segera Wulan ajak datang kemari.”

“Suruh Rio membawa gitarnya,” tiba-tiba terdengar suara pak Broto menyela.

“Bapak ada-ada saja sih, mau omong-omong atau mau menyanyi?” kata bu Baroto kesal.

“Masa semalaman mau ngomong terus. Kan ada waktu luang untuk bersenang-senang sebentar,” protes pak Broto. Wulan yang mendengar perdebatan itu tersenyum-senyum sendiri.

“Wulan,” kata bu Broto.

“Rio harus membawa gitarnya kan?” potong Wulan sambil tertawa.

“Iya, kamu mendengar ya. Bapakmu berteriak-teriak sih.”

“Baiklah Bu, akan saya siapkan gitarnya sekarang, supaya Rio tidak lupa membawanya.”

“Iya Wulan, segera ya, kami tunggu. Tuh, Restu sudah datang.”

“Sebentar lagi kami ke sana Bu.”


Persiapannya memang tidak terlalu heboh seperti kalau ada pengantinan di rumah. Tapi tetap saja semua harus dipersiapkan. Rio dan Wulan juga harus belanja, membeli kebaya yang bagus untuk Murni saat menikah, dan baju untuk yu Sarni, juga bu Broto dan dirinya sendiri. Rio juga membeli jas baru untuk Restu, agar walau sederhana tapi pernikahan itu bisa menjadi momen yang tak terlupakan bagi semuanya.

Murni hanya menurut saja, dan karena Wulan sudah sering membelikan baju untuk Murni, maka dia bisa memilihkan baju yang pas untuk Murni, hanya agak longgar di bagian perut, karena usia kehamilan yang sudah lima bulan pasti membuat perutnya sudah semakin membuncit.

Pernikahan itu sudah selesai, hanya dihadiri oleh keluarga, dan saudara dekat yu Sarni dari kampung yang hanya dua atau tiga orang. Tapi yu Sarni tampak bahagia, melihat anaknya bersanding dengan majikan yang ganteng dan tampak menyayangi anaknya.

“Kalian jangan tinggal di bengkel, aku lihat ruangan itu hanya bagus kamarnya, tapi tidak cukup perlengkapan untuk sebuah rumah tangga,” kata pak Broto.

“Aku akan memberi kamu hadiah sebuah rumah. Aku sudah mempersiapkannya, dan kamu boleh melihatnya, kalau sekiranya ada yang kurang, tinggal bilang saja,” lanjut pak Broto.

“Seharusnya kami bisa tinggal di rumah yang sederhana saja. Mengapa Bapak membelikannya? Awalnya Restu akan mengontrak dulu,” kata Restu.

“Tidak, ini hadiah untuk pernikahan kamu. Kamu tidak boleh menolaknya. Besok pagi kita akan melihatnya, ajak Murni juga.”

“Itu permintaan bapakmu, kamu jangan menolak,” sambung bu Broto.

Mau tak mau Restu menurut. Rumah itu dipilihkan ayahnya, tidak jauh dari bengkel tempat dia bekerja. Kecil tapi bagus, sudah lengkap dengan berabotnya.

“Bagaimana Mur? Kamu suka?” tanya Restu kepada Murni.

“Terserah pak Restu saja,” jawab Murni yang belum begitu akrab dengan suaminya.

Mereka akhirnya tinggal di rumah baru itu dengan senang hati.

Restu hanya berada di bengkel saat bengkelnya buka, dan Murni mengirim makanan untuk suaminya dan para karyawan setiap siang, hasil masakannya sendiri.

“Semakin lama Murni terbiasa dengan kehidupannya yang sekarang, apalagi Restu sangat memperhatikannya. Selalu mengantarkan saat dia periksa kehamilan, dan melarangnya bekerja terlalu keras, karena Murni memang sudah terbiasa rajin sejak membantu di rumah Wulan.

Pagi itu Murni berangkat ke pasar untuk belanja, karena persediaan dapurnya sudah menipis. Saat sedang memilih sayuran, tiba-tiba seseorang menegurnya.

“O, ini yang namanya Murni, menanti pak Broto, pengusaha yang sangat terkenal itu?”

Murni terdiam karena terkejut.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 51

SELAMAT PAGI BIDADARI (49)

Karya Tien Kumalasari

Wanita itu melenggang pergi, dengan langkah yang dibuat-buat. Tiga orang karyawan bengkel melihatnya sambil tersenyum-senyum.

“Cantik, tapi nggak menarik.”

“Terlalu genit.”

“Kemayu, padahal bukan gadis lagi.”

“Darimana kamu tahu kalau dia bukan gadis?”

“Kelihatan lah, dari cara dia berjalan.”

“Wah, jangan-jangan istri pak Restu.”

“Hush! Mana mungkin, pak Restu tidak punya istri, tampaknya masih bujang. Mungkin duren sawit.”

“Apa tuh, duren sawit?”

“Duda keren sarang duwit.”

Lalu mereka tertawa keras, sambil bersiap menutup pintu bengkelnya.

“Mengapa tadi tidak bertanya siapa namanya?”

“Iya, kalau pak Restu bertanya, bagaimana kita menjawabnya?”

“Iya juga, terburu-buru pergi sih.”

“Katakan saja dicari kerabatnya, begitu.”

“Ya sudah, yuk pulang, hampir maghrib.”

Mereka pulang setelah mengunci bengkel, karena senja telah mulai membuat hari semakin remang.


Pak Broto sudah menerima telpon dari Wulan, dan sedang berbincang-bincang dengan istrinya tentang kepulangan Murni.

“Apa berarti kita harus bersiap menikahkan mereka?” tanya bu Broto.

“Kita belum tahu apa jawaban Murni, jangan-jangan dia menolak,” keluh pak Broto.

“Bodoh kalau menolak, apa dia tak ingin anaknya punya bapak?”

“Sebaiknya ibu menelpon Yu Sarni saja. Bagaimana keputusannya. Walau bagaimanapun menikah itu kan harus ada kesiapannya, baik dari kita, maupun dari pihak Yu Sarni. Dan maunya bagaimana, kita kan harus bicara.”

“Ibu menelpon Yu Sarni, atau Restu ya enaknya.”

“Terserah Ibu saja. Mana yang lebih baik.”

Bu Broto mengambil ponselnya, lalu menghubungi Restu.

“Ya Bu,” jawab Restu dari seberang.

“Bagaimana tentang Murni? Kamu sudah bicara?”

“Yu Sarni baru mau bicara malam nanti Bu, siang tadi baru datang, tampaknya dia lelah dan sekarang masih beristirahat.”

“Jadi mereka belum bicara? Lalu kamu juga sudah ketemu dia?”

“Sudah.”

“Bagaimana sikapnya? Apa dia masih trauma, menjerit-jerit atau lari menjauhi kamu?”

“Tidak Bu, dia diam saja.”

“Tidak mau bicara?”

“Mau, sepotong-sepotong.”

“Artinya tidak ada penolakan dari dia untuk melaksanakan niat kamu selanjutnya?”

“Sejauh ini dia masih bersikap baik. Artinya tidak lari menjauh.”

“Baiklah, kabari ibu kalau sudah ada keputusannya yang pasti.”

“Kalau sudah ada pembicaraan, Restu mau langsung pulang, untuk mempersiapkan semuanya.”

“Baiklah, ibu mengerti.”

Bu Broto menutup ponselnya lalu mengangkat pundaknya tanda belum mengerti.

“Apa kata anakmu?” tanya pak Broto.

“Malam ini Sarni baru akan bicara sama Murni. Jadi tentang niat menikahi Murni itu masih menggantung. Tapi Murni sudah mau bicara sama Restu, walaupun sepotong-sepotong, katanya.”

“Berarti ini berita mau.”

“Artinya ada kemajuan. Dan yang jelas Murni pasti tidak akan kabur-kaburan lagi.”

“Semoga semuanya baik-baik saja. Kita juga tertekan dengan adanya peristiwa ini, yang selalu menggantung tak jelas kapan sampai di ujung.”

“Kita juga merasa bersalah dengan kehamilan Murni. Jalan terbaik adalah menikahkannya dengan Restu.

“Benar. Semoga Murni bisa mengerti.


Di kamarnya, yu Sarni perlahan berbicara dengan Murni. Tentang banyak hal, tentang apa yang sebaiknya dilakukan. Dan tampaknya Murni bisa mengerti, hanya saja Murni masih tampak ragu-ragu dengan niat baik Restu tersebut. Menurutnya Restu masih seperti dulu. Berangasan dan semaunya. Padahal sejak siang bersamanya, ia merasakan sikap Restu yang sangat lembut.

“Mengapa kamu diam? Apa yang kamu pikirkan?” tanya yu Sarni.

Murni menghela napas.

“Apakah pak Restu bersungguh-sungguh?” tanyanya pelan.

“Apa masih kurang jelas bagi kamu, apa yang dilakukannya selama ini? Dia sudah berubah. Dia tidak mau membantu di perusahaan ayahnya karena ingin berusaha sendiri dan dia berhasil, walau tampaknya dibantu oleh pak Rio. Nyatanya berkali-kali dia menyatakan penyesalannya, dan bersedia menikahi kamu saat tahu bahwa kamu hamil.”

“Rasanya agak aneh.”

“Apa maksudmu?”

“Majikan menikahi pembantu. Murni takut dia akan menyakiti Murni.”

“Mur, ini jalan terbaik untuk hidupmu. Terlalu panjang kamu memikirkannya, tidak akan baik untuk kandungan kamu yang akan semakin menjadi besar. Kamu harus percaya, pak Restu sudah berubah.”

Lama Murni terdiam.

“Jawabanmu ditunggu. Nanti setelah kamu menjawab, pak Restu akan pulang dan mempersiapkan semuanya.”

“Baiklah, Murni setuju.”

“Waduh, simbok seneng banget Mur, memang ini adalah jalan terbaik.”

“Tapi Mbok …”

“Tapi apa lagi?”

“Murni tidak mau menikah di sini, Murni malu Mbok,” katanya sendu.

“Lagi pula aku juga tidak mau ada pesta atau perayaan. Yang penting menikah,” lanjutnya

“Baiklah, nanti saya akan bicara sama Pak Broto dan bu Broto. Itu masalah gampang bagi mereka. Yang penting kamu bersedia.”

Murni mengangguk.

“Sekarang tidurlah. Besok pak Restu mau kembali ke kota.”

“Mengapa kita tidak sekalian saja kembali ke kota? Aku tidak mau lama-lama tinggal di sini. Aku malu mbok.”

“Nanti aku bicara sama Pak Restu, sekarang kamu istirahat saja dulu, ini sudah malam.”

Murni mengangguk, kemudian menarik selimut sampai ke dadanya, dan mencoba tidur sambil memeluk guling.

Yu Sarni keluar dari kamar, dengan heran ia melihat bahwa Restu masih terjaga.

“Pak Restu belum tidur?”

“Belum ngantuk Yu.”

Lalu yu Sarni memberi isyarat agar Restu mengikutinya keluar, dan duduk di balai-balai yang terletak di depan rumah.

Restu mengerti, maksudnya agar Murni tidak terganggu dengan pembicaraan mereka, mengingat hari sudah malam.

“Bagaimana Yu.”

“Saya sudah bicara sama Murni.”

“Apa jawabnya?”

“Dia setuju menikah dengan pak Restu.”

“Syukurlah, senang saya mendengarnya. Kalau begitu besok saya mau pulang dulu.”

“Tunggu dulu, pak Restu. Murni bilang dia tidak mau menikah di kampung. Katanya dia malu.”

“Oh, begitu, baiklah. Bilang sama Murni bahwa dia tidak perlu khawatir, semua akan saya urus dengan sebaik-baiknya.”

“Murni juga tidak mau ada keramaian dalam pernikahan itu.”

“Baiklah. Besok aku akan pulang dan menyampaikan semuanya pada bapak.”

“Ada lagi Pak, besok kalau pak Restu pulang, saya sama Murni mau bareng sekalian.”

“Oh, begitu? Bagus kalau begitu. Saya akan mencari taksi pagi-pagi sekali.”

“Maaf ya Pak Restu, jadi merepotkan.”

“Tidak Yu, mengapa bilang begitu? Aku senang sudah mendapatkan jalan terbaik, dan ini membuat saya tidak lagi terbebani oleh semua kesalahan saya.”

“Sekarang Pak Restu tidur dulu, yu Sarni juga sudah ngantuk.”


Hari itu bu Broto senang, Yu Sarni sudah datang bersama Murni. Ia minta agar untuk sementara Murni tinggal di sana dulu, sambil menunggu Restu mengurus semuanya.

Sementara itu Restu segera kembali ke bengkel. Ia sampai di bengkel, ketika bengkel baru saja buka.

“Apa kabar semuanya?” tanya Restu kepada para pegawainya.

“Baik Pak Restu,” jawab mereka serentak.

“Ada kendala?”

“Semuanya baik-baik saja.”

“Tapi kemarin ada yang mencari pak Restu,” kata salah seorang pegawai yang lain.

“Siapa?”

“Mohon maaf, kami lupa menanyakan namanya. Tapi dia seorang wanita cantik berpakaian seksi, mengaku sebagai kerabat pak Restu.”

“Siapa? Kenapa tidak ditanyakan namanya?”

“Waktu itu sudah sore, kami hampir menutup bengkel, dan dia tergesa-gesa pergi.”

Restu termenung. Seorang wanita cantik, berpakaian seksi, mengaku sebagai kerabatnya?

“Dia bilang hari ini akan datang lagi.”

“Ya Tuhan, apakah dia? Mau apa datang kemari?”

Tapi belum sempat Restu menaiki tangga untuk masu ke ruangannya, terdengar teriakan dengan suara nyaring. Suara yang dikenalnya.

“Restuuu!!”


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 50

SELAMAT PAGI BIDADARI (48)

Karya Tien Kumalasari

Kaki Murni tiba-tiba susah digerakkan, seperti ada yang menggantung dan terasa berat. Laki-laki ganteng bernama Restu itu demikian juga. Terpaku di tengah pintu, dan berat untuk melangkah. Separuh hatinya ingin menyambut kedatangan Murni, separuh hatinya khawatir kalau Murni kemudian ketakutan dan histeris. Tapi tak ada suara apapun dari mulut Murni, tak ada wajah ketakutan, kecuali keraguan untuk melangkah. Restu mencoba memberanikan diri untuk melangkah, setapak demi setapak, dengan dada penuh debaran. Ia semakin berani manakala Murni tak bereaksi atas langkahnya. Dua tapak lagi Restu akan sampai di hadapan Murni. Murni menatapnya tak berkedip.

“Murni, kamu datang?” sapanya lembut.

Kemana larinya serigala bertaring yang menakutkan? Kemana larinya mata beringas dan hasrat mencabik tubuhnya sehingga terkoyak-koyak berkeping-keping? Murni tak menemukannya. Ia bahkan membiarkan ketika Restu mengambil kopernya, dan menariknya mendekati rumah.

Murni melangkah pelan. Jantungnya berdebar kencang. Matanya mencari, di mana simboknya, maka laki-laki ganteng majikannya ini yang menyambutnya?

“Naik apa?” tanya Restu setelah memasuki rumah, dan meletakkan koper Murni disamping pintu kamar.

“Angkot,” jawabnya singkat sambil duduk. Matanya mencari-cari.

“Yu Sarni baru membeli makanan,” kata Restu tanpa ditanya. Ia mengerti dari mata Murni yang mencari-cari.

Murni menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Restu beranjak ke belakang, lalu keluar sambil membawa segelas air putih, diserahkannya kepada Murni.

Tiba-tiba Murni merasa bersalah, mengapa majikannya malah meladeninya? Ia tergesa menerima gelas itu dan meminta maaf.

“Maaf, mengapa melayani saya? Biar ss ..saya … mengambil sendiri,” katanya dengan tangan gemetar.

“Minumlah, kamu pasti lelah,” kata Restu sambil duduk di depannya, membuat Murni semakin gugup.

“Minumlah,” ulang Restu ketika melihat Murni masih memegang gelasnya.

Murni mengangguk, lalu meneguknya, hampir habis. Ia tampak kehausan.

“Lagi?” tanya Restu.

“Tidak … tidak, biar nanti sa.. saya ambil sendiri,” katanya segera, sambil meletakkan gelasnya.

Murni benar-benar merasa tak enak karena dilayani. Ia heran kepada dirinya, yang tiba-tiba mulai menghilangkan ingatan tentang malam menakutkan yang pernah dialaminya.

“Tidak pantas … ss .. saya dilayani,” ucapnya pelan.

“Karena aku tahu kamu lelah dan kehausan. Bukankah udara sangat panas?”

Murni mengangguk pelan.

“Kamu sehat?”

Murni kembali mengangguk.

Kemudian keduanya terdiam, tak tahu harus mengatakan apa. Restu bahkan berat mengatakan apa yang menjadi keinginannya. Terlalu tergesa-gesa. Biar yu Sarni saja mengatakannya, sementara Murni bisa menenangkan batinnya.

“Murni?” pekik simbok dari arah pintu mengejutkan mereka.

Murni berdiri, kemudian merangkul simboknya, sambil berurai air mata. Restu mengambil bungkusan plastik yang dibawa yu Sarni, meletakkannya di meja belakang. Ia tak ingin mengganggu pertemuan mengharukan antara ibu dan anak itu.

“Bagaimana keadaanmu? Kamu sehat? Kandunganmu baik-baik saja?” yu Sarni memberondongnya dengan pertanyaan-pertanyaan.

“Sehat Mbok, aku baik-baik saja.”

“Syukurlah,” kata simbok sambil menarik Murni duduk di kursi panjang, agar mereka bisa duduk berdampingan.

“Maafkan Murni Mbok,” isak nya.

“Sudah, simbok sudah memaafkan sebelum kamu memintanya. Yang penting kamu sehat dan baik-baik saja.”

Murni masih bergayut di dada simboknya, terisak pelan. Yu Sarni mengusapnya dengan ujung bajunya.

“Murni menyusahkan simbok, dan semua orang.”

“Tidak, lupakanlah. Seorang ibu kehilangan anaknya, wajah kalau sedih atau susah. Sekarang jangan memikirkan apa-apa lagi. Ayo kita makan, simbok sudah beli makanan untuk makan siang. Padahal ini sudah hampir sore, ayo nduk,” kata yu Sarni sambil menarik tangan anaknya. Murni menurut, dan ketika di dalam, ternyata Restu sudah duduk di sana, dan meletakkan bungkusan-bungkusan di atas piring.

“Pak Restu, mengapa pak Restu yang melayani kami,” tegur yu Sarni.

“Tidak apa-apa Yu, kan hanya mengambilkan piring.”

“Murni mau ke kamar mandi dulu, Mbok,” kata Murni yang kemudian beranjak ke belakang, menuju ke kamar mandi.

Simbok duduk di depan Restu.

“Pak Restu sudah bicara sama Murni?”

Restu menggeleng.

“Tidak berani, nanti dia marah. Lebih baik yu Sarni saja.”

“Baiklah, nanti malam yu Sarni mau bicara, setelah dia beristirahat.”

Restu mengangguk setuju. Kemudian dia berdiri, menarik kursi setelah Murni kembali dari kamar mandi.

Murni tampak sungkan dilayani. Dia tidak lupa bahwa Restu adalah majikannya. Tapi Restu terus melayaninya.

“Ayo makanlah, kamu pasti lapar. Untunglah tadi simbok beli banyak, maksudnya sekalian untuk makan malam. Tapi karena kamu datang dan simbok tidak menduganya, ya nggak apa-apa, kita habiskan saja, nanti malam beli lagi.”

Sambil makan yu Sarni bercerita tentang keberadaannya di kampung bersama Restu, tanpa membawa baju dan bekal uang sepeserpun.

“Untunglah pak Rio membelikan baju ganti beberapa potong untuk pak Restu, dan pak Restu yang memberi simbok uang untuk makan dan minum. Simbok tidak masak apapun, pak Restu melarangnya, lagi pula hati simbok sedang tidak tenang, karena memikirkan kamu. Kalaupun masak pasti rasanya tidak enak,” celoteh yu Sarni.

Murni belum banyak bicara. Bahkan dia juga belum menceritakan kemana dia pergi dan pengalaman yang dilaluinya selama dua hari ini.


Wulan segera menyambut Rio sepulang dari kantor, karena ingin segera mengatakan apa yang di dengarnya dari yu Sarni yang belum lama menelponnya.

“Rio … dengar, ada berita bagus yang kamu harus mendengarnya segera,” kata Wulan sambil mengambil tas kerja Rio dari tangannya.

Mereka melangkah ke dalam, sebelah tangan Wulan menggandeng Rio, dan menariknya ke dalam dengan langkah bersemangat.

“Ada apa sih? Gembira amat,” tanya Rio heran.

“Baru saja yu Sarni menelpon.”

“Murni sudah pulang?”

“Yaa. Kamu pintar menebak.”

“Syukurlah. Mas Restu sudah bicara tentang keinginannya?”

“Belum, kata yu Sarni jangan tergesa-gesa. Dia akan bicara pelan-pelan nanti malam.”

“Syukurlah. Kemarin aku sempat mengomeli dia ketika dia kaget karena aku mentransfer gajinya.”

“Iya, kamu memang luar biasa. Transferan gaji itu memancing dia untuk menghubungi kamu kan Rio? Kalau tidak, betapa susahnya dia dihubungi,” kata Wulan sambil mengambilkan suaminya segelas jus jambu kesukaannya.

“Syukurlah.”

Rio meneguk jus yang diberikan istrinya, kemudian melepaskan sepatunya. Wulan berjongkok untuk membantunya.

“Kamu ke kantor hari ini?”

“Ya, aku juga belum lama pulang. Ada bapak juga di sana, dan pembicaraan kami hanya tentang Murni dan mas Restu saja. Bapak sangat prihatin, dan berharap Murni segera bisa kembali serta menerima Restu.”

“Kamu sudah mengabari bapak tentang kepulangan Murni?”

“Belum. Yu Sarni belum lama menelpon, lalu kamu pulang, jadi aku belum sempat mengabari bapak atau ibu.”

“Baiklah, kabari saja sekarang, sementara aku mau mandi. Apa kamu masak hari ini?”

“Maaf Rio, tidak. Hanya sisa nasi goreng tadi pagi, nggak enak dong, sudah dingin.”

“Nggak apa-apa, kita makan diluar saja, sekarang aku mau mandi dulu ya.”

“Baiklah, mandi cepat ya, biar wangi,” kata Wulan sambil meraih ponselnya untuk mengabari pak Broto tentang kepulangan Murni.


Hari sudah menjelang maghrib, bengkel Restu sudah mau tutup. Seorang yang diserahi tanggung jawab selama Restu pergi, sudah bersiap menutup bengkel, dibantu teman-temannya. Tiba-tiba seorang wanita cantik berpakaian seronok datang dengan tergesa-gesa.

“Tunggu, jangan tutup dulu,” katanya sambil turun dari taksi.

Petugas bengkel heran, karena taksi itu langsung pergi, dan tak ada tanda-tanda wanita itu akan memperbaiki mobilnya.

“Ada apa Mbak?”

“Apakah ini bengkel milik pak Restu?”

“Benar.”

“Bisakah saya ketemu? Saya sahabatnya dari jauh,” katanya.

“Maaf Mbak, pak Restu tidak ada di tempat.”

“Kemana dia?”

“Keluar kota.”

“Luar kota mana? Kapan dia kembali?”

“Kami tidak tahu Mbak, kemana, atau kembalinya kapan.”

“Baiklah, besok saja saya kembali” katanya sambil membalikkan tubuhnya dan berlalu.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 49

SELAMAT PAGI BIDADARI (47)

Karya Tien Kumalasari

Murni termenung di dalam kamarnya. la mencoba meredakan gejolak kemarahan yang selalu muncul, setiap kali ia teringat malam menyeramkan itu. Ketika dia membayangkan wajah tampak Restu, tiba-tiba muncul taring di mulutnya, dan wajahnya berubah menjadi serigala, yang meringis kejam dan siap mencabik-cabik tubuhnya. Murni menutup wajahnya dengan kedua tangan, lalu menggoyang-goyangkan kepalanya untuk menghilaangkan bayangan itu.

“Bu Murni, bukankah saatnya kita makan?” tanya Trimo yang muncul di depan pintu.

Murni membuka tangannya, menatap

Trimo yang memandanginya dengan iba. la tahu Murni sedang tidak nyaman, walaupun dia tidak tahu apa yang terjadi
sebenarnya.

“Masakan bu Murni baunya sedap,” kata Trimo sambil terus berdiri di tengah pintu.

Murni bangkit dan mencoba tersenyum.

“Sudah kamu tata Mo?”

“Sudah daru tadi Bu, ibu juga sudah menunggu tuh.”

“Oh, maaf,” kata Murni sambil bangkit dan berjalan keluar kamar.

“Ayo bu Murni, Aduh, ini bu Murni masak enak. Nggak capek Bu?” tanya bu Trisni yang sudah duduk menunggu.

Murni duduk di depannya, berdampingan dengan Trimo.

“Wah, nasinya bisa Trimo habiskan nih,” seru Trimo sambil menunggu ibunya dan Murni menyendok nasi ke dalam piring
mereka.

Bu Trisni tersenyum.

“Habiskan saja Mo, nasi masak nasi lagi, aku tadi membeli beras lagi,” kata Murni.

“Dasar Trimo, memang dia makannya banyak kok Bu,” tukas ibunya.

Trimo nyengir sambil mengambil nasi, lalu mencomot sepotong ikan goreng.

“Tidak apa-apa ya Mo, biar sehat. Kan Trimo juga turut bekerja keras membantu ibu,” kata Murni lagi.

Makan siang berjalan lancar. Bu Trisni maupun Murni sama sekali tidak menyinggung apa yang mereka perbincangkan sebelumnya, mengingat Trimo yang masih kecil, dan belum bisa mengerti apa yang terjadi pada Murni.

Tapi ketika sore harinya, saat Trimo pergi untuk mengambil uang jualan gorengan
yang dititipkannya, bu Trisni kembali memberi semangat kepada Murni agar memikirkan orang tuanya yang sedang menunggu.

“Bukannya saya tidak suka kalau bu Murni berada di rumah saya, tapi saya juga ikut memikirkan, bagaimana sedihnya seorang ibu ketika tidak bisa menghubungi anaknya, apalagi tidak jelas anaknya ada di mana.”

Murni menundukkan kepalanya. Terbayang olehnya ibunya berada di kampung, bersama lelaki yang dibencinya.

“Bu Murni jangan memikirkan diri sendiri, pikirkan orang tua bu Murni, dan bayi yang ibu kandung itu. Maaf ya Bu, saya lancang, sementara saya ini kan bukan siapa-siapa. Hanya saja karena bu Murni adalah seorang wanita yang telah berbaik hati untuk kehidupan saya dan Trimo, maka saya memberanikan diri bicara, demi
kebaikan bu Murni juga.”

“Baiklah, saya akan mengabari simbok saya, dan mengatakan bahwa saya baik-baik saja,” kata Murni sambil meraih ponselnya.”

Bu Trisni mengangguk, membiarkan Murni menulis pesan pada ponselnya.

Dalam hati bu Trini merasa iba, mengingat Murni mengalami hal yang mirip seperti dirinya, hanya bedanya, bu Trisni melakukan hal terlarang dengan penuh kesadaran, tapi Murni diperkosa. Hasilnya sama saja, mengandung tanpa seorang ayah bagi bayinya. Tapi tidak, masih ada harapan bagi Murni untuk memiliki suami, demi bayi yang dikandungnya. Beruntung laki-laki itu mau bertanggung jawab. Hanya menunggu Murni hilang rasa traumanya atas kejadian itu.

Murni meletakkan ponselnya, setelah mematikannya.

“Bu Murni mematikan ponsel itu?”

“Supaya simbok tidak menelpon saya.”

“Mengapa?”

“Saya belum bisa menjawab, apa saya bersedia pulang atau tidak.”

Bu Trisni menghela napas.

“Mengapa … maaf … Bu Murni keras kepala? Pengalaman yang saya dapatkan harusnya menjadi pelajaran bagi Bu Murni agar bisa menentukan langkah terbaik. Selalu ingatlah bayi di dalam kandungan Ibu, jangan hanya memikirkan diri sendiri. Demi anak, ibu manapun akan rela berkorban.”

Murni terkesiap. Ibu manapun akan rela berkorban demi anak. Sedangkan dia? Benar, dia hanya memikirkan dirinya sendiri. Lalu tiba-tiba Murni mengaktifkan kembali ponselnya.

Di atas balai-balai di depan rumah, yu Sarni dan Restu sedang duduk berdua. Yu Sarni sudah membaca pesan dari Murni mengenai keberadaannya di sebuah kampung, dalam keadaan baik-baik saja. Tapi Murni tidak mengatakan kapan akan pulang. Yu Sarni sedah langsung menelponnya, tapi ponsel Murni mati.

“Dia tidak mau bicara sama simboknya,” keluh yu Sarni.

“Sabar Yu, paling tidak dia sudah mengatakan bahwa dia baik-baik saja.”

“Saya akan mencobanya kembali,” kata yu Sarni sambil meraih ponselnya.

Restu berdebar ketika melihat mata yu Sarni berbinar.

“Diangkat, pekiknya ke girangan.

“Simbok…” kata Mumi dari seberang.

“Nduk, Murni, kamu di mana?”

“Kan aku sudah bilang sama simbok, aku baik-baik saja?”

“Tapi kamu ada di mana?”

“Di rumah seorang teman.”

“Pulanglah Mur, apa yang membuatmu lari dari simbok? Simbok kan sudah bilang, bahwa simbok tak akan marah?”

“Maafkan Murni ya Mbok,” terdengar isak Murni.

“Jangan menangis, pulanglah, simbok menunggu kamu di kampung.”

“Tapi….

“Apa yang kamu takutkan? Pak Restu bersedia bertanggung jawab, kamu tidak usah khawatir. Apa kamu tidak kasihan pada anakmu?”

Murni terdiam. Menghilangkan bayangan
serigala bertaring yang melintasi benaknya.

“Kamu harus pulang, simbok menunggu,” kata yu Sarni kemudian mematikan ponselnya.

“Bagaimana Yu?” tanya Restu.

“Semoga dia mau mendengarkan kata-kata saya. Tampaknya dia memikirkannya.

“Saya bisa mengerti, pasti dia takut ketemu saya.”

“Pelan-pelan, kalau melihat ketulusan hati Pak Restu, dia pasti akan bisa

enggan.”

“Semoga ya Yu.”

“Ya sudah, ini sudah menjelang sore, pak Restu belum makan. Sekarang makan ya Mas, saya bawa saja kemari nasinya?”

“Tidak Yu, ayo masuk saja ke dalam, tidak
enak makan di luar, dilihat orang lewat.”

Yu Sarni dan Restu masuk ke dalam rumah, makan siang yang kesorean dengan lahap, karena ada secercah harapan setelah berhasil berbicara dengan Murni.


Pagi hari itu Murni masih membantu bu Trisni menggoreng dagangan, dan menatanya seperti hari kemarin. Walau baru dua hari, rasanya Murni sudah seperti menjadi keluarga bu Trisni. Bu Trisni sangat baik, dan banyak memberi nasehat baik bagi dirinya. Rasanya sangat berat, ketika kemudian Murni memutuskan akan meninggalkan keluarga itu.

“Bu, biarpun hanya bersama-sama serumah dalam dua hari, tapi Bu Murni seperti sudah menjadi keluarga saya. Jadi kalau bu Murni jauhpun, saya akan selalu

ingat, dan tentu saja berdoa untuk kebahagiaan bu Murni.”

Murni mengusap air matanya, sambil melanjutkan menata dagangan yang akan dibawa Trimo. Setelah itu Trimo berangkat mengantarkan ke beberapa warung terdekat yang biasa dititipi dagangan, lalu pulang sambil membawa tiga bungkus nasi untuk sarapan bertiga.

Murni sudah menata kembali baju-baju yang akan dibawanya ke dalam koper. Setelah berpamitan dengan saling menumpahkan rasa haru, Murni meninggalkan rumah bu Trisni dengan diantarkan Trimo sambil membawa dagangan berikutnya.

Bu Trisni terharu, Murni meninggalkan sejumlah uang, yang katanya untuk tambahan biaya kalau Trimo mau masuk sekolah.
“Tidak seberapa Bu, semoga ada manfaatnya.”

Sebelum berpisah, Murni memberi Trimo uang lagi.

“Belilah ponsel, yang murah saja dengan uang ini, agar kalau aku kangen bisa menghubungi kamu. Catat nomorku,” kata Murni sambil memberikan secarik kertas yang sudah disiapkannya, bertuliskan nomor kontaknya.

Murni meninggalkan Trimo yang melambaikan tangannya sambil menitikkan air mata, ketika melihat Murni menaiki angkutan yang akan membawanya pulang.


Murni melangkah perlahan. Rumah tinggal yang lama ditinggalkan sudah tampak tak jauh didepan. Ia mengelap peluhnya karena udara panas membuatnya gerah.
Pintu rumahnya terbuka. Ia tidak memberi tahu simboknya kalau mau pulang hari itu. Tiba-tiba seseorang muncul. Laki-laki tampan yang juga terkejut melihatnya datang. Murni berdebar. Laki-laki itu tak bertaring seperti yang selalu ada dalam bayangannya.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 48

SELAMAT PAGI BIDADARI (46)

Karya Tien Kumalasari

Murni bergegas pulang ke rumah bu Trisni, ingin segera membuka ponsel dan mengirim pesan kepada majikannya.

Begitu masuk ke rumah, Bu Trisni sudah selesai mencuci, dan bersiap berangkat ke pasar. la terkejut melihat Murni membawa banyak belanjaan, dan pisang beberapa tandan yang sudah masak.

“Ya ampun Bu Murni, belanja banyak banget. Dan pisang ini kan berat, sementara pasarnya tidak begitu dekat,” kata bu Trisni sambil menerima belanjaan Murni.

“Ini untuk di jual besok kan Bu, kebetulan melihat pisang raja yang bagus-bagus.”

“Saya baru mau belanja ke pasar nih Bu.”

“Tidak apa-apa, Ibu belanja saja yang lainnya, pisangnya sudah ada. Saya juga mau memasak sayur dan ikan,” kata Murni sambil tersenyum.

“Ini malah jadi merepotkan Bu Murni, kan?”

“Tidak, sudah, jangan dipikirkan. Segera ke pasar Bu, biar saya masak untuk makan siang dan malam kita.”

“Baiklah Bu, saya berangkat dulu. Oh ya, cuciannya sudah saya jemur, tolong beritahu Trimo kalau pulang, supaya mengangkatnya kalau sudah kering.”

Murni mengangguk, kemudian bergegas masuk ke kamar untuk mengambil ponsel.

la sangat terkejut melihat

panggilan-panggilan tak terjawab, dari Wulan, juga dari simboknya. Tapi
simboknya mengirim pesan yang membuatnya kemudian menangis.

“Murni, kamu ke mana saja? Simbok dan semua orang bingung mencari kamu. Simbok sangat sedih mendengar kejadian yang menimpamu, tapi simbok tak akan marah. Ini sudah suratan takdir untuk kamu. Simbok tahu, kamu pasti sangat sedih, apalagi simbok. Tapi semua itu adalah cobaan dalam hidup kita. Yang terpenting adalah mencari jalan terbaik untuk mengentaskan kamu dari penderitaan. Kamu harus ingat Mur, anak yang kamu kandung itu tidak berdosa. Simbok khawatir kamu menyalahkannya dan menyesalinya. Jangan ya Mur, anak adalah anugerah, bagaimanapun cara kehadirannya.

Saat ini simbok ada di kampung, ditemani pak Restu yang sangat berharap bisa bertemu kamu. Dia sudah mengakui kesalahannya, dan berkali-kali meminta
maaf. Janganlah kamu lari lagi Mur, pak Restu akan bertanggung jawab. Dia bersedia menikahimu, dan menjadikanmu istrinya. Simbok menerimanya, bukan karena dia anak juragan, tapi ini adalah cara terbaik untuk menjadikan anakmu memiliki ayah. Bayangkan kalau tidak, apa jawab kamu ketika dia sudah bisa bertanya?”

Pak Restu sudah minta maaf. Pulanglah, simbok dan Pak Restu menunggu kamu di kampung. Jangan membuat simbok bertambah sedih Mur.”

Dari simbokmu yang menyayangimu.

Murni menggenggam ponselnya dan diletakkannya di dadanya. Air mata sudah meleleh membasahi pipinya, sejak kalimat yu Sarni yang pertama, terbaca olehnya.

la bersyukur simboknya tidak marah atau menyesalinya. Sang simbok justru
bersedih karena dia tidak pulang.

“Bu Murni kenapa?” suara itu mengejutkannya. Rupanya Trimo sudah pulang.

Murni mengusap air matanya.

“Kamu baru pulang Mo?” Murni malah balas bertanya.

“Iya, tadi sekalian membantu tukang warung melayani pembeli, hari ini laris sekali.”

“Kamu baik sekali Mo, mau membantu orang yang sedang kerepotan.”

“Dia juga selalu baik pada Trimo Bu, ini saya diberi uang sebagai upah. Saya sudah menolaknya, tapi dia nekat memasukkannya ke dalam saku. Nih uangnya,” kata Trimo sambil tersenyum.

“Ya sudah, itu namanya rejeki, jangan menolaknya, asalkan cara datangnya
bukan dengan cara yang tidak baik.”

“Iya Bu, saya mengerti. Mengapa Ibu menangis? Ada berita buruk?”

“Tidak Mo, baru saja membaca pesan dari simbok-ku, ternyata sudah dari kemarin, saya baru saja membukanya sepulang dari pasar.”

“Pasti dia sedih karena Bu Murni tidak pulang.”

“Aku bingung harus melakukan apa.”

“Bu Murni harus pulang, Bukan karena Trimo tidak suka kalau Bu Murni ada di sini, tapi seorang ibu pasti sedih kalau kehilangan anaknya. Saya tahu, karena pernah terlambat pulang karena ikut melihat sebuah keramaian, ibu mencari sambil menangis, karena hari mulai gelap. Setelah itu saya tidak berani lagi melakukannya.”

Murni tersenyum. Trimo masih
kanak-kanak, tapi karena seperti kehilangan masa kanak-kanaknya demi membantu ibunya, maka dia sering kali bicara bak orang dewasa.

Perlahan dia mengelus kepala Trimo, lalu beranjak ke dapur.

“Lhoh, siapa ini yang belanja? Apa Bu Murni?”

“Iya Mo, aku ingin masak hari ini.”

“Wah, masak apa Bu?’

“Pokoknya masak, dan semoga enak.”

“Ayuk Trimo bantuin.”

Murni kemudian mulai kegiatan memasaknya, sampai lupa akan menanyakan perihal transferan uang itu pada Rio, soalnya baru setengah bulan bekerja, itupun dia kemudian pergi tanpa pamit, tapi perusahaan sudah mengirimkan gajinya penuh sebulan.
“Pasti karena pak Rio,” gumam Murni tanpa terasa.

“Apa Bu? Siapa pak Rio?”

Murni terkejut, rupanya Trimo

mendengarnya.

“Rio itu majikan aku. Tadi aku melihat ke ATM, kok uangku bertambah, padahal belum bekerja penuh sebulan.”

“Berarti yang namanya Pak Rio itu orang baik. Dia tahu kalau bu Murni membutuhkan uang.”

Murni lagi-lagi tersenyum. Sekali lagi Trimo bicara seperti orang dewasa.

Selesai memasak dan membersihkan semua perabot kotor, Murni kembali ke kamarnya, setelah berpesan pada Trimo, agar menata masakan berikut nasinya di meja, agar kalau ibunya datang mereka segera bisa makan bersama-sama.

Murni mencari nomor Rio, kemudian
mengirimkan pesan, tentang transfer-an uang itu.

Tiba-tiba Murni terkejut, ketika mendengar dering panggilan di ponselnya. Rupanya Rio yang menelponnya, bukan hanya membalas pesannya.

“Ya Pak Rio.”

“Kamu di mana?”

“Saya di suatu tempat.”

“Pulanglah, kasihan yu Sarni. Dia pontang panting mencari kamu.”

Murni menghela napas.

“Iya, simbok sudah mengirimkan pesan untuk saya.”

“Lalu apa maksudmu pergi? Simbokmu tidak marah. Kasihan. Kamu membuatnya semakin sedih.”

“Iya, Pak.”
“Aku mengirimkan gaji kamu penuh sebulan, supaya bisa kamu pergunakan untuk ongkos pulang.”

“Terima kasih banyak Pak.”

“Kamu di mana? Biar aku jemput.”

“Tidak Pak, aku akan pulang sendiri.”

“Benarkah? Awas ya, jangan bohong. Dan kamu harus berpikir lebih matang, bahwa kamu tidak bisa menyelesaikan masalah kamu seorang diri. Anak yang kamu kandung itu butuh seorang ayah. Restu sudah mengakui kesalahannya, mengapa kamu menghindarinya? Aku tahu kamu trauma dengan kejadian itu, tapi itu sudah lewat. Yang bersalah sudah bertobat, terimalah dia. Itu bukan hanya demi kamu, tapi juga demi bayi yang kamu kandung itu.”

Murni terisak. Terbayang lagi wajah tampan laki-laki bernama Restu, tapi yang kemudian wajahnya berubah menjadi
serigala dengan taring-taring runcingnya. Murni menutup pembicaraan itu tiba-tiba. Dadanya berdegup kencang sekali.

Peristiwa mengerikan itu kembali menghantuinya.

la merebahkan tubuhnya, dan menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya.

“Bu Murni ada apa?” suara bu Trisni memasuki kamarnya.

Murni masih menangis, lalu bu Trisni duduk di tepi pembaringan.

“Ada apa?”

“Tolong katakan, apakah saya harus pulang Bu?”

Bu Trisni tahu, pasti Murni baru saja mendapat telpon, entah dari siapa, yang kemudian membuatnya menangis.

“Apa yang sebenarnya membuat Bu Murni takut untuk pulang?”
“Laki-laki itu.”

“Bukankah laki-laki itu sudah bertobat dan ingin menjadikan Bu Murni sebagai istri? Dia akan bertanggung jawab bukan?”

“Benar.”

“Lalu kenapa? Bukankah itu jalan terbaik?”

“Kalau mengingat kejadian itu… saya….”

“Bu Murni harus melupakannya. Perlahan-lahan, pasti lama kelamaan akan berhasil. Ingat bayi yang ada di dalam kandungan Ibu ini,” kata bu Trisni sambil mengelus perut Murni yang membuncit.”

“Saya selalu ketakutan setiap mengingatnya.”

“Jangan mengingat perbuatan jahatnya. Ingatlah akan rasa tobat dan
pengesalannya Bu. Kalau Allah saja Maha Pemurah, Maha Pemaaf, mengapa kita tidak bisa memaafkannya?”


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 47

SELAMAT PAGI BIDADARI (45)

Karya Tien Kumalasari

Murni menerima ponsel yang diberikan Trimo, tapi ia meletakkannya begitu saja di bangku di dekatnya, karena ia masih sibuk membantu bu Trisni menata dagangan yang akan di bawa Trimo.

“Sudah, bu Murni istirahat dulu, ini sudah selesai, tinggal ditata,” kata bu Trisni.

“Iya Bu, ini yang mau dibawa Trimo, bisakah membawanya Mo, atau aku bantu, mau dikirim kemana sih?”

“Di warung dekat dulu Bu, tidak usah, Trimo biasanya membawa sendiri. Lebih baik Bu Murni mandi, lalu kita sarapan dulu,” kata bu Trisni lagi.

“Baiklah kalau begitu,” kata Murni sambil berdiri, tak lupa mengambil ponselnya, lalu dibawanya masuk ke kamar.

“Mo, nanti pulangnya belikan nasi pecel, buat sarapan, di rumah sudah ada goreng tempe untuk lauknya,” perintah bu Trisni ketika Trimo mengangkat dagangannya.

“Iya Bu, sama beli karak juga ya.”

“Ya Mo, hati-hati di jalan.”

Bu Trisni mengawasi langkah anak semata wayangnya dengan rasa terharu. Anak kecil sebayanya yang masih suka bermain, tapi Trimo sibuk membantu ibunya mencari uang.

“Kasihan kamu Nak,” bisik bu Trisni sambil menatap haru.

Ia segera menata dagangan yang akan dibawa lagi oleh anaknya setelah kembali, karena warung berikutnya yang akan dititipi dagangan baru akan buka setelah jam tujuh pagi.

Sementara itu Murni segera bersiap mandi, dan belum berniat membuka ponselnya. Ada keinginan untuk menghubungi simboknya, tapi rasa ragu dan takut masih membayanginya.

Ia juga masih belum menyentuh ponselnya, saat mendengar suara Trimo memasuki rumah.

“Ini bu, nasi pecel, sama karak,” kata Trimo sambil meletakkan belanjaannya di meja.

“Baiklah, ayo kita sarapan dulu, mejanya sudah ibu bersihkan, tolong ambil piring dan sendok, juga tempe yang sudah ibu siapkan,” perintah bu Trisni.

“Baik,” jawab Trimo sambil melakukan perintah ibunya.

“Trimo sudah kembali?” tanya Murni yang baru keluar dari kamar, sambil menjinjing baju kotor yang ditaruhnya dalam sebuah tas kresek.

“Iya. Lhoh, bu Murni mau ngapain?”

“Di mana saya bisa mencuci baju saya ini Bu?”

“Jangan Bu, nanti biar saya yang mencuci. Taruh saja di situ, sekarang kita sarapan dulu,” kata bu Trisni.”

“Biar saya sendiri yang mencuci Bu, saya biasa mencuci sendiri.”

“Adduuuh, bu Murni, jangan begitu. Ayo sarapan dulu, kasihan dedek yang masih di dalam kandungan itu, pasti dia juga lapar,” kata Bu Trisni sambil mengambil tas kresek di tangan Murni, lalu membawanya ke belakang.

“Bu Trisni ….”

“Ayo sarapan dulu, mencucinya di sumur belakang, kasihan kalau bu Murni harus memompa airnya juga.”

“Iya Bu, mari sarapan dulu. Saya juga harus sarapan sebelum mengantar dagangan ke warung dekat pasar.

“Ayo Bu Murni,” bu Trisni menarik tangan Murni, diajaknya duduk di kursi makan.

“Saya benar-benar sungkan.”

“Mengapa bu Murni bilang begitu. Anggaplah ini seperti rumah sendiri.”

“Harusnya kalau mau beli makanan, Trimo bilang sama aku.”

“Saya sudah membawa uang Bu, jangan khawatir,” kata Trimo sambil menyuapkan nasi pecelnya.

Murni menatap Trimo sambil tersenyum. Nasi pecel dengan sayuran hijau dan kecambah, disiram sambal kacang, menebarkan aroma sedap yang menggugah selera. Tak urung Murni ikut menikmati makan pagi bersama keluarga kecil yang bersikap hangat itu.

“Ini sayuran, bagus untuk ibu hamil,” kata Bu Trisni.

“Saya tidak hamil, tapi ini juga menyehatkan saya kan bu?” canda Trimo.

Bu Trisni dan Murni tertawa mendengar candaan Trimo.

“Sayuran itu menyehatkan semua orang Mo, bukan hanya untuk orang hamil saja,” sambung Murni.

“Iya Bu, Trimo hanya bercanda. Sekarang Trimo sudah selesai, mau nganter dagangan lagi ya.”

“Duduk dulu sebentar Mo, minum, biar makanannya turun, nanti perutmu sakit lho.”

“Iya, Trimo mau minum dulu sebentar, baru berangkat lagi.”
Setelah Trimo berangkat, bu Trisni langsung ke sumur yang letaknya di belakang rumah, untuk mencuci, bukan hanya pakaian Murni, tapi juga pakaiannya sendiri. Murni tak mampu mencegahnya.

“Bu Murni istirahat saja, ini sumur pompa, berat bu, takutnya mengganggu kandungan bu Murni juga. Biar saya mencucinya, saya kan sudah buasa.”

“Terima kasih banyak Bu, sekarang saya mau jalan-jalan ke pasar ya.”

“Mau beli apa Bu?”

“Pengin beli sayur, nanti masak sayur bening ya Bu.”

“Ya ampun, sebentar, saya ambilkan uangnya Bu, kalau mau belanja,” kata bu Trisni sambil bergegas masuk rumah.

“Tidak Bu, ini sudah ada.”

“Waduh, bagaimana ini, kok jadi bu Murni yang belanja.”

“Tidak apa-apa, hanya sayur saja.”

“Padahal sebentar lagi saya juga mau belanja.”

“Saya kan sambil jalan-jalan Bu, supaya tidak hanya bengong di rumah.”

“Baiklah Bu, hati-hati.”

Murni tersenyum, lalu masuk ke kamar untuk mengambil dompetnya. Ia lupa untuk membuka ponselnya, karena ingin berbelanja dan memasak untuk keluarga bu Trisni yang baik ini.


Setelah menyiapkan sarapan pagi. Yu Sarni mengajak Restu untuk sarapan seadanya. Saat itu Restu sedang mengutak atik ponselnya.

“Pak Restu, sarapan dulu seadanya ya,” kata yu Sarni.

“Yu Sarni masak?”

“Tidak, beli nasi dan lauk di warung.”

Restu berdiri dan mengikuti yu Sarni ke ruang makan. Dua nasi bungkus sudah di siapkan. Mau tak mau Restu menikmati makan paginya, walau hatinya tidak merasa tenang.

“Murni belum membaca pesan saya,” kata yu Sarni.

“Iya Yu, mungkin belum.”

“Atau enggan.”

“Tidak, kita tidak tahu ada apa, tapi kemungkinannya dia lupa ngecas. Saya juga sama gelisahnya sama yu Sarni, tapi kita harus bersabar. Baru saja saya menelpon pak Rio, mereka juga belum mendapat kabar apa-apa tentang Murni.”

“Semoga dia baik-baik saja.”

“Aamiin. Yu, ini uang, bawa saja, kalau yu Sarni mau membeli makanan.”

Yu Sarni tersipu. Dia memang tak membawa uang, karena tadinya juga tidak berniat pulang. Dia membeli makanan karena ada saudara yang membelikannya.

“Maaf Pak Restu, baiklah, nanti saja kalau mau beli, saya minta.”

“Bawa saja sekalian yu, supaya gampang. Saya tahu yu Sarni tidak sempat membawa uang.”

Yu Sarni mengangguk. Tapi sebentar-sebentar dia melihat ke arah ponsel, dan dengan kecewa dia melihat bahwa pesan yang dikirimnya belum juga dibuka oleh anaknya.


Murni berjalan-jalan di pasar, membeli sayur dan ikan, serta beberapa bumbu. Ia juga membeli beberapa tandan pisang ketika melihat pisang bagus di gelar oleh pedagangnya.

Lalu Murni merasa cukup, karena belanjaan itu terlalu berat. Tiba-tiba Murni teringat bahwa dia harus memeriksakan kandungannya, setelah beberapa hari tidak beristirahat dengan baik. Murni mencari kotak ATM untuk mengambil uang, barangkali diperlukan saat di periksa.

Tapi ketika melihat saldonya, Murni terkejut karena uang yang ada sudah bertambah.

“Apakah perusahaan tetap menggaji saya walau saya pergi tanpa pamit?”

Merasa tak enak, dia harus menanyakannya kepada Restu. Tapi Murni lupa tidak membawa ponselnya.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 46