SELAMAT PAGI BIDADARI (60)

Karya Tien Kumalasari

Seorang wanita berdiri di depan teras rumahnya, bersama dengan seorang laki-laki berumur enam tahunan. Restu belum pernah melihat mereka.

“Selamat siang,” wanita itu menyapa.

“Selamat siang. Mm, ibu mencari siapa ya?” tanya Restu heran.

“Bu Murni ada?”

“Oh, istri saya?”

“Saya mau ketemu bu Murni. Apa beliau ada?”

“Oh, ada. Ibu ini siapa ya? Saya suaminya.”

“Saya bu Trisni, dan ini anak saya, Trimo.”

“Oh, saya pernah mendengar tentang bu Trisni dan Trimo. Silakan masuk. Murni pasti senang. Dia baru beberapa hari pulang dari rumah sakit.”

“Bu Murni sakit apa?”

“Bukan sakit, tapi melahirkan.”

“Lhoh, memangnya sudah waktunya?”

“Belum sih, tapi karena jatuh, lalu bayinya harus dikeluarkan dengan operasi. Silakan duduk dulu Bu, saya akan panggilkan Murni,” kata Restu sambil beranjak ke dalam rumah.

“Rupanya itu suaminya?” bisik bu Trisni.

“Ganteng ya Bu.”

“Iya. Syukurlah, ibu senang.”

“Ya ampun, bu Trisni? Kok bisa sampai ke sini?” sapa Murni ramah, sambil merangkul bu Trisni.

“Trimo, kamu masih ingat rumah aku ya,” kata Murni

“Tentu saja masih. Ibu yang ingin kemari, lalu Trimo antarkan,” kata Trimo.

“Naik apa tadi?”

“Naik angkot.”

“Oh, syukurlah, tidak jalan kaki seperti Trimo ya. Trimo itu sukanya jalan kaki sih.”

“Iya Bu, sudah biasa begitu. Mana adik bayi? Pengin lihat, katanya sudah lahir?” tanya bu Trisni.

“Rupanya pak Restu sudah cerita ya? Itu suami saya.”

“Iya, tadi sudah cerita, kalau bu Murni melahirkan paksa karena jatuh.”

“Iya bu, benar. Sedang mendapat halangan.”

“Mana dia? Pengin melihatnya, pasti lucu deh.”

“Dia belum boleh dibawa pulang Bu, masih di dalam inkubator.”

“Waduh, sayang sekali.”

“Kalau ibu mau melihatnya, saya mau ke rumah sakit, mengirim ASI.”

“Oh, bagus sekali, biarpun di rumah sakit, tetap bisa minum Asi ya.

“Iya, sebentar, saya buatkan minum,” kata Murni sambil beranjak ke dalam.

“Mau ke rumah sakit?” tanya Restu yang rupanya mendengar pembicaraan mereka.

“Iya. Bu Trisni ingin melihat Gilang.”

“Biar aku antar saja.”

“Baiklah, saya buatkan dulu minum untuk mereka, kasihan, udara panas sekali.”


Trimo senang sekali melihat adik Gilang, walau hanya boleh melihat dari balik kaca. Bayi mungil itu tampak lucu dan menggemaskan.

“Ya Allah, putra ibu sangat ganteng. Dia tampak kuat. Saya yakin sebentar lagi dia pasti sudah boleh dibawa pulang,” kata bu Trisni dengan wajah berseri.

“Aamiin. Semoga ya Bu, semua orang sudah ingin menggendongnya.”

“Tentu saja. Adik Gilang sangat menggemaskan, aku juga ingin menggendongnya,” kata Trimo.

“Nanti, kalau kamu ke sini lagi, adik Gilang sudah pasti siap berada di rumah. Dan kamu boleh menggendongnya,” kata Murni.

“Ee, belum boleh ‘kali. Trimo badannya kecil begitu, mana kuat menggendong adik bayi?” kata ibunya.

“Ya kuat lah Bu, adik kan jauh lebih kecil dari Trimo. Pokoknya Trimo mau, kalau lain kali datang kemari, harus bisa menggendongnya.”

“Iya, baiklah Mo, jangan khawatir,” kata Murni menenangkan Trimo.

“Apakah Trimo boleh minta adik bayi sama ibu?” tiba-tiba kata Trimo yang mengejutkan semua orang.

“Trimo, ibu tidak bisa lagi mengandung adik bayi,” kata bu Trisni sambil mengelus kepala Trimo.

“Trimo, adik Gilang ini juga adiknya Trimo. Jadi untuk apa mau adik lagi?” sambung Murni sambil tersenyum.

“Baiklah kalau begitu.”

Ketika Murni dan bu Trisni duduk di sebuah bangku tunggu, Trimo masih tak bosan-bosannya menatap bayi kecil bernama Gilang itu.

“Saya bersyukur, suami bu Murni tampaknya sangat baik,” kata bu Trisni ketika mereka duduk berdua.

“Iya Bu. Akhirnya saya tahu, bahwa dia sebenarnya baik. Dia juga sangat melindungi dan menyayangi saya.”

“Kelihatan kalau dia sangat menyayangi bu Murni.”

“Saya berterima kasih pada bu Trisni, yang selalu memberi semangat saya, sehingga saya bisa menemukan jalan terbaik untuk hidup saya.”

“Sebagai sesama perempuan, saya wajib memberi dorongan, agar bu Murni bisa melakukan yang terbaik, tidak terombang ambing oleh keraguan.

“Iya benar. Saya bahagia menemukan saudara tak terduga, yang sangat perhatian pada saya. Saya harap kita akan terus begini, seperti saudara, saling menyayangi dan memperhatikan.”

“Tentu saja Bu. Saya bahagia punya saudara seperti ibu,”


Lisa terkejut, ketika siang itu, petugas mengatakan bahwa dia dijenguk oleh seorang perempuan yang semula dikiranya Munah, yang membawa makanan enak untuknya, seperti saat pertama kali dia datang. Tapi ternyata bukan. Lisa terlanjur keluar, ketika menyadari bahwa yang datang adalah bu Thomas.

“Untuk apa dia datang kemari,” gumam Lisa sambil melangkah mendekat, kemudian duduk di hadapan bu Thomas.

“Bagus sekali. Beberapa hari di sini, wajah kamu tampak kusam. Hilang kecantikan kamu yang selalu kamu pergunakan untuk merayu suami-suami orang,” kata bu Thomas dengan senyuman sinis.

“Apa ibu datang kemari hanya untuk menghina saya?”

“Tentu saja, karena kamu memang wanita yang sehina-hinanya wanita.”

“Hentikan semua itu. Ibu sendiri juga bukan wanita terhormat,” kata Lisa balik menyerang bu Thomas.

Bu Thomas membulatkan matanya. Sangat marah ketika Lisa mengatakan bahwa dirinya bukan wanita terhormat.

“Apa maksudmu?”

“Ibu lupa ya, ibu telah merampas semua perhiasan yang saya pakai. Apakah menurut ibu, itu adalah perbuatan terhormat?”

“Kamu itu ngomong apa? Bukankah aku minta barang-barang yang dibeli suami aku untuk diberikannya kepada kamu? Jangan ingkar, bukankah semua ini kamu terima dari suamiku? Dan kamu tahu, yang dipergunakan untuk membeli semua ini adalah uangku.”

“Bohong.”

“Itu benar, sayang. Dia mengambil uang perusahaan, sementara perusahaan itu milik aku. Jadi aku minta kembali perhiasan-perhiasan itu, apa aku salah?”

“Bagaimana dengan gelang yang sekarang Ibu pakai itu?”

“Ini juga dibeli dengan uangku bukan?”

“Tidak mungkin. Sejak kemarin-kemarin aku sudah bilang bahwa itu bukan dari pak Thomas, tapi dari pacarku yang lain.”

“Oh ya?” bu Thomas terkekeh geli.

“Itu benar. Gelang itu pembelian dari Restu, kekasih lamaku. Bukan dari suami Ibu.”

Bu Thomas terbelalak.

“Haruskah aku percaya pada ucapan seorang pelakor sepertimu?”

“Tanyakan saja sama dia, kalau Ibu tidak percaya.”


Bu Trisni dan Murni masih asyik bercerita, dan Trimo masih tetap berdiri di luar kaca jendela kamar bayi, dimana Gilang terlelap di dalamnya.

Restu yang menunggu di kejauhan, tiba-tiba terkejut ketika seseorang mendekatinya.

“Bu Thomas?”

“Apa kabar pak Restu, apa istri Anda baik-baik saja?”

“Alhamdulillah Bu, itu … sedang duduk di sana, menemani seorang kerabat. Ibu mau menengok bayi saya? Dia masih harus ada di dalam inkubator.”

“Oh ya, tentu saja, karena dia lahir prematur. Semoga segera pulih sehat dan bisa dibawa pulang ke rumah.”

“Aamiin. Terima kasih perhatiannya. Apa Ibu mau melihat bayi saya?”

“Saya sudah pernah membezoeknya beberapa hari setelah dilahirkan. Kali ini saya mau bicara sesuatu.”

“Ada apa ya Bu?”

“Tentang gelang ini.”

Pada saat itu Murni dan bu Trisni sedang mendekat ke arah Restu, karena bu Trisni mau pamit pulang. Murni heran ketika melihat bu Thomas mengacungkan sebelah tangannya ke arah Restu.


Besok lagi ya…

Bersambung ke Jilid 61

SELAMAT PAGI BIDADARI (59)

Karya Tien Kumalasari

Munah terkejut, kemudian pengendara mobil itu berhenti.

“Dari mana kamu Munah?” yang menyapa adalah seorang wanita, yang duduk di samping kemudi. Dia bu Thomas, sedangkan pengemudinya adalah pak Thomas. Munah menatap mereka, tapi ia melihat pak Thomas mengedipkan sebelah matanya. Munah mengerti, bahwa dia harus berbohong.

“Munah. Ditanya kok diam saja?” tanya bu Thomas sedikit keras.

“Ini Bu, aduh … saya hanya kaget, saya kira ada mobil mau menabrak saya,” jawab Munah yang memang benar-benar kaget.

“Aku tuh bertanya, kamu kok berada di sini itu dari mana?”

“Dari … situ Bu, mencari makanan buat simbok saya,” jawab Munah sekenanya.

“Kok cari makanan sampai di sini, bukankah dekat rumah kamu juga ada pasar?”

“Sudahlah Bu, kamu kenapa juga, nanyanya begitu amat. Namanya orang kan ya pasti butuh ini … itu … Kamu nanyanya seperti maksa begitu,” kata pak Thomas yang mulai kesal. Lagi pula lama-lama dia tahut, kalau Munah sampai keceplosan. Kemudian dia menjalankan mobilnya lagi, karena memang dari tadi dia tidak mematikan mesinnya.

“Bagaimana sih Mas ini? Orang lagi ngomong kok mobilnya dijalankan,” omel bu Thomas.

“Habis kamu ngomongnya yang enggak-enggak. Kenapa juga, melihat Munah langsung minta berhenti. Kirain ada yang perlu, ternyata hanya nanya hal yang nggak jelas,” omel pak Thomas sambil terus menjalankan mobilnya.

“Mas tampak aneh. Seperti nggak suka aku bertanya sama Munah. Apa ada sesuatu?”

“Makin lama kamu tuh makin menjengkelkan ya Bu, masa aku ada sesuatu sama Munah? Cantik enggak, muda juga enggak.”

“Bukan sama Munah nya, tapi sama yang lainnya.”

“Yang lain apa lagi sih?”

“Pokoknya aku curiga saja sama Mas, tampaknya ada sesuatu yang disembunyikan. Ada rahasia antara Mas sama Munah.”

“Memangnya seleraku serendah itu?” marah pak Thomas.

“Aku kan sudah bilang, bukan sama Munah. Entah sama siapa ya …” kata bu Thomas dengan nada mengejek.

Pak Thomas merasa, istrinya mencurigai sesuatu. Dari mana dia tahu dia dan Munah menyimpan suatu rahasia? Jangan-jangan istrinya juga tahu bahwa Munah mempunyai tugas untuk menemui Lisa setiap hari, pikir Thomas. Tapi dia diam saja, sementara bu Thomas senyum-senyum kesal.

Mereka menuju butik, tapi entah mengapa, bu Thomas minta agar pak Thomas melalui jalan itu, jalan yang melewati kantor polisi, dimana Lisa ditahan. Pak Thomas mulai menduga-duga, bahwa istrinya mengetahui sesuatu. Antara Munah dan dirinya, menyimpan rahasia. Dari mana istrinya tahu?

“Percayalah, aku akan segera tahu sesuatu yang tersembunyi, atau yang memang kamu sembunyikan,” celotehnya lagi, tanpa di jawab oleh suaminya.

“Lama-lama aku bosan menjalani hidup bersama dia, cerewetnya itu, dan perlakuannya terhadapku, setelah mengetahui hubungan aku sama Lisa. Aku dianggapnya pembantu, yang harus menuruti semua kemauannya,” omelnya dalam hati.


Baru saja polisi menemui Murni, untuk mendapat keterangan tentang kecelakaan yang dialaminya kemarin.

Murni tidak sempat melihat orangnya, karena tiba-tiba dia ditabrak, dan penabrak itu langsung kabur, kemudian dia pingsan.

Banyak yang ditanyakan, tapi Murni sebenarnya kesal. Dia merasa tak memiliki musuh. Kalau orang lain memusuhi dia, mana dia tahu?

Restu menghibur Murni agar tidak terlalu memikirkan masalah itu. Ia merasa kasihan karena Murni tampak masih lelah setelah operasi kemarin.

Bayi laki-laki itu diberinya nama Gilang Restu Putra. Cakep seperti wajahnya yang sangat mirip dengan ayahnya. Restu setiap hari datang dan tahan berlama-lama memandangi wajahnya yang mulus dan cemerlang bagai bintang. Demikian juga pak Broto dan Bu Broto, apalagi Yu Sarnai, yang sangat bahagia mendapatkan cucu pertamanya. Laki-laki pula.

Di hari ke lima, Murni sudah boleh pulang, tapi Gilang masih harus di rawat di dalam inkubator. Ia boleh datang setiap hari untuk memberikan ASI, dan menyimpannya di dalam wadah-wadah yang disediakan, untuk diminumkan kepada sang bayi, karena lebih baik diberikan ASI dari pada susu formula.
Kebetulan Murni juga sangat sehat, sehingga Gilang tak pernah kekurangan stok ASI dari ibunya.


Wulan sedang bersantai bersama suaminya, saat sore menlelang malam. Mereka pulang dari kantor agak siang karena tak banyak yang harus mereka selesaikan. Mereka berbincang tentang anaknya Murni yang tampak semakin sehat dan menggemaskan.

“Kalau dirasa-rasakan, sebenarnya aku ini sedikit merasa kecewa lho,” kata Wulan tanpa memandang ke arah suaminya. Temaram senja menampakkan langit kemerahan yang semburat bagai lukisan yang tak tertandingi oleh pelukis manapun. Begitu hidup dan menawan, lalu angin menghembuskan mega putih yang menari-nari diantara langit yang kemudian semakin meredup.

“Kenapa bidadariku kecewa? Aku salah apa?” tanya Rio sambil mengelus pundak istrinya.

“Bukan karena salah kamu Rio. Kamu ingat? Dulu Murni begitu membenci bayi yang dikandungnya, lalu aku berjanji akan mengambilnya sebagai anakku kalau dia lahir nanti.”

“Oh, iya … aku ingat. Kamu kecewa karena itu?”

“Kamu melihat bayi itu kan? Begitu montok dan ganteng.”

“Ya, benar. Wajahnya persis mas Restu.”
“Sekarang Murni dan mas Restu begitu bahagia setelah kelahiran Gilang. Tak mungkin bayi itu diberikan padaku.”

Rio tertawa keras.

“Wulan adalah bidadari tercantik di duniaku, jadi aku tidak percaya kalau dia punya perasaan kecewa yang kemudian sampai menyakiti hatinya.”

“Ya tidak Rio. Tentu saja aku tidak akan sakit hati. Aku tadi kan bilang, sedikit kecewa. Hanya sedikit, dan itu tidak berpengaruh apa-apa terhadap rasa sayang aku sama Murni.”

“Baguslah. Dan kamu harus percaya, bahwa Rio mu ini akan sanggup mencetak bayi-bayi lain yang ganteng dan cantik.”

“Tepi belum kan?”

“Kamu harus bersabar dong Wulan. Allah memberi sesuatu pada saatnya. Jangan berhenti memohon, dan tentu saja berusaha,” kata Rio sambil tersenyum nakal pada istrinya.

Wulan tersipu., kemudian berdiri sambil menggamit lengan suaminya.

“Sudah adzan tuh.”

“Iya, aku tahu, Jangan lupa memohon,” kata Rio sambil berdiri.

“Dan setelah itu berusaha,” lanjutnya sambil merangkul pinggang istrinya.

“Masih sore.”

“Memang ada aturannya?”

“Hei, mau berwudhu, jangan membayangkan hal-hal mesum,” kata Wulan sambil berjalan mendahului. Rio mengejarnya.


Hari itu Restu tidak pergi ke bengkel, karena Murni baru saja diantarkan pulang dari rumah sakit. Restu sudah memiliki mobil baru. Baru dipakai, tapi bekas orang, kata Rio bercanda kepada istrinya.

“Mengapa bapak terburu-buru membeli mobil? Bukankah mobil itu mahal?”

“Aku sudah lama menabung, dan kebetulan sekali, menyambut kelahiran anak aku ini uangnya tiba-tiba cukup, karena rejeki lebih deras mengalir.”

“Alhamdulillah.”

“Ini untuk kamu dan Gilang, supaya kalau kamu bolak balik ke rumah sakit tidak kepanasan.”

“Terima kasih Bapak memperhatikan saya.”

“Tentu saja, karena kamu adalah istriku. Nanti kalau kamu sudah sehat benar, aku ajarin kamu menyetir mobil, supaya kalau kamu kemana-mana bisa tanpa aku.”

“Nggak usah ah. Saya tidak suka menyetir mobil sendiri.”

“Kok tidak suka sih?”

“Tidak biasa, wanita kampung menyetir mobil sendiri.”

“Ya ampun Murni, memang apa salahnya orang kampung menyetir mobil? Kalau kamu bisa, kamu bisa jalan-jalan sama Gilang, mengajak yu Sarni.”

“Kan ada Bapak. Ya sama Bapak saja dong.”

“Kalau aku sibuk?”

“Kalau Bapak sibuk, tidak usah jalan kemana-mana.”

Restu tersenyum. Murni memang wanita sederhana. Bukan karena dia gadis kampung yang lugu, tapi memang dia punya pembawaan yang lugu dan sederhana. Padahal dia sudah punya segalanya. Walaupun tidak kaya raya, tapi hidup berkecukupan, itu sangat disyukurinya. Apa lagi suaminya sangat menyayanginya. Dan itu cukup baginya.

Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara dari depan rumah.

“Assalamu’alaikum.”

“Suara wanita,” kata Restu yang kemudian bergegas ke aeah depan, sambil membalas salamnya.


Besok lagi ya…

Bersambung ke Jilid 60

SELAMAT PAGI BIDADARI (58)

Karya Tien Kumalasari

“Ingat, jangan menelpon aku kalau aku tidak menelpon kamu,” kata pak Thomas tandas.

Beberapa saat lamanya dia menelpon, kemudian dia meletakkannya setelah mendengar suara istrinya berteriak dari dalam kamar.

“Mas, kamar mandinya sudah.”

“Ya, baiklah,” jawab pak Thomas yang kemudian berdiri memasuki kamarnya.

Bu Thomas masih mengenakan kimono ketika keluar dari dalam kamar, kemudian menghampiri ponsel suaminya, melihat-lihat, kemudian mencatat sesuatu, lalu meletakkan ponsel itu kembali.

“Laki-laki itu memang tidak bisa dipercaya. Sudah di kerem dirumah, diawasi segala tingkah lakunya, masih saja main belakang. Siapa yang tadi ditelponnya? Aku harus tahu. Jangan-jangan orang yang disuruhnya menemui perempuan itu. Aku harus mengawasinya, dan tahu apa yang akan dilakukannya.

Bu Thomas masuk ke dalam kamar, lalu berdandan.

Ketika suaminya keluar dari kamar mandi, aroma minyak wangi menguar ke seluruh ruangan. Dilihatnya sang istri sedang duduk di depan cermin, mulai mengoleskan alas bedak sebelum memolesnya dengan perlengkapan dandan yang lain.

“Kamu mau kemana?” katanya sambil memeluk sang istri dari belakang.

“Ke butik, ayo ikut.”

“Bagaimana kalau aku di rumah saja?””Sudah dua hari kita tidak ke butik.

“Bukankah sekarang kamu sendiri yang mengurusi butik itu? Aku nggak ikutan.”

“Tapi aku ingin kita kelihatan selalu kompak. Bukankah aku sudah dipermalukan oleh perselingkuhan kamu bersama pelakor itu?”

“Aduh, kok masih diungkit-ungkit juga sih masalah itu. Kan sudah lewat? Dan aku sudah tidak ada lagi hubungan dengan dia.”

“Ya, kalau ada aku memang kelihatannya begitu. Tapi siapa tahu, diam-diam kamu masih menghubungi dia.”

“Tuh, mengada-ada kan? Bukankah kamu bilang sendiri bahwa dia sudah ditahan?”

“Aku hanya harus berhati-hati,” jawab bu Thomas sambil membetulkan bentuk alisnya.”

“Kamu tuh sudah cantik, tidak usah dandan terlalu tebal begitu kenapa sih?”

“Selamanya aku sudah berdandan begini, mengapa baru sekarang mencela? Aku dandan saja kamu masih berselingkuh, apalagi kalau aku kelihatan lugu seperti nenek-nenek,” katanya sambil berdiri, setelah merasa dandanannya sempurna.

Ia lepaskan kimononya dan menggantinya dengan baju yang sudah disiapkannya. Pak Thomas menatapnya kagum. Sebenarnya istrinya sudah cantik, hanya tubuhnya sedikit gendut karena tidak bisa mengatur pola makan. Tapi selebihnya tampak tidak kekurangan. Hanya saja dia kurang suka karena menurutnya dia terlalu dingin dalam melayaninya di atas ranjang. Jauh sekali bedanya dengan Lisa, yang begitu agresip dan membuatnya melayang. Itu yang membuatnya sulit untuk melupakan.

“Mengapa menatap aku seperti itu? Jangan bilang kalau kamu sedang membandingkan tubuh aku dengan pelakor itu.”

“Apaan sih. Aku sedang mengagumi kamu. Kamu itu cantik. Itu sebabnya aku dulu sangat mengejar kamu,” rayunya.

“Hm, sore-sore ngegombal.”

“Itu benar kan?”

“Kalau benar, kenapa kamu selingkuh?”

“Yaah, diulangi lagi?”

Salah satu hal yang tidak disukai Thomas adalah istrinya yang banyak bicara, selalu mengungkit hal yang telah lewat, dan yang terakhir dianggapnya terlalu mengatur dirinya.

Kadang-kadang terbit niatnya untuk menceraikan istrinya, tapi Thomas mengaku, bahwa dirinya tak punya apa-apa. Perusahaan yang ada dibeberapa temoat adalah milik istrinya, warisan dari orang tuanya, jadi sebenarnya Thomas hanyalah pembantu dalam usaha itu.

“Kalau aku belum melupakan masalah itu, aku masih akan terus mengungkitnya.”

“Kamu tidak akan pernah bisa melupakan, karena kamu selalu mengingatnya.”

“Wanita mana yang bisa melupakan penghianatan suaminya?”
Thomas menghela napas, lalu meraih baju ganti yang juga sudah disiapkan istrinya. Kembali ia memutuskan lebih baik diam, karena kalau di jawab, sepatah kata jawaban, maka balasannya akan lebih panjang dari semua jalanan di kota itu kalau disambung menjadi satu.

Bayangan Lisa kembali melintas. Rasa kasian membayangkan Lisa meringkuk di ruangan sempit dan pasti sambil menangis terisak, seperti kalau dia meminta sesuatu padanya. Makan di restoran, baju mahal, sepatu yang cantik seperti yang dipakai para bintang. Tapi itu bukan masalah. Lisa selalu bisa menyenangkannya. Ia adalah api yang menyala, saat mengamuk di atas ranjang. Tiba-tiba rasa rindunya pada Lisa tak tertahankan. Tapi yang ada hanyalah sang nyonya, yang sedang asyik mematut diri. Thomas meraihnya dan mengangkatnya ke atas ranjang.

“Heiii, apa maksudmuuu?” teriak sang istri yang akhirnya terpaksa mengalah. Apa boleh buat. Air bah sudah menerjang, tak ada ranting tempat berpegang.


“Kamu siapa?” tanya Lisa ketika seorang perempuan datang menjenguknya di tempat dia ditahan.

“Saya Munah, membawakan makanan untuk non Lisa.”

“Mengapa kamu mengirimi aku makanan?” tanya Lisa sambil membuka rantang berisi makanan yang menyeruakkan bau sedap ketika dibuka.

“Hm, ini rawon kesukaan aku. Tapi aku tidak percaya sama kamu. Ini berisi racunkah? Coba kamu cicipin.”

“Sebelum saya bertemu Non, petugas sudah memeriksanya. Makanan ini tidak beracun.”

“Mengapa dan siapa kamu, sehingga mengirimi makanan yang semua ini adalah kesukaan aku?”

“Saya suruhan tuan Thomas.”

Mata Lisa terbelalak. Laki-laki setengah tua yang sangat royal terhadapnya itu rupanya masih mengingatnya.

“Dari mana dia tahu bahwa aku ada di sini?”

“Entahlah, saya hanya mendapat perintah untuk mengirimi Non Lisa makanan, setiap hari.”

“Setiap hari?”

“Ya. Pak Thomas juga berpesan, bahwa dia tidak akan melupakan Non Lisa.”

Lisa tersenyum. Dia tahu, Thomas sangat tergila-gila padanya. Tapi sayang pada suatu ketika istrinya mengetahui hubungan meraka, dan dia melabraknya. Sejak saat itu Thomas tak berani lagi menemuinya.

“Aku akan menelponnya.”

“Jangan. Pak Thomas berpesan agar dia jangan dihubungi, kecuali dia yang menghubunginya. Rupanya istrinya selalu mengawasinya.”

“Nenek Kunti itu memang sangat jahat. Kalau sudah marah sangat mengerikan. Semua perhiasan aku dilucuti. Salah satunya adalah bukan pemberian suaminya, tapi dia nekat merebutnya. Dia tak percaya ketika aku mengatakan bahwa itu bukan dari suaminya. Begitu mulutku terbuka, tangannya yang berkuku tajam seperti nenek sihir itu diangkatnya, siap dicakarkan ke wajah aku,” kata Lisa sambil mencomot sepotong daging yang ada di dalam rantang.

Perempuan bernama Munah itu diam, tersenyum mendengar Lisa mencaci maki bu Thomas. Muna adalah bekas pembantu keluarga Thomas, yang kemudian berhenti ketika dia harus merawat ibunya yang sedang sakit di kampung. Tapi dia sering datang, karena memang pak Thomas yang memintanya, sekedar untuk diberinya uang karena Munah sudah lama sekali mengabdi, sejak pak Thomas masih pengantin baru.

Kemarin pak Thomas menelpon, dan pagi tadi dia datang, pura-pura diberi uang jatah yang memang selalu diberikannya. Tanpa sepengetahuan istrinya dia memberinya uang lebih, untuk dibelikannya makanan agar Lisa yang selalu menyukai makanan enak tidak begitu sengsara di tempat tahanan,

“Tiba-tiba aku lapar, aku akan makan di sini.”

“Silakan Non, tapi itu bisa untuk makan Non nanti juga, nasi dan lauknya sangat banyak.”

“Iya, aku tahu,” katanya sambil membuka lagi rantangnya, dibantu Munah.


Munah sedang keluar dari kantor polisi, ketika tiba-tiba sebuah mobil berhenti persis di sampingnya.


Besok lagi ya…

Bersambung ke Jilid 59

SELAMAT PAGI BIDADARI (57)

Karya Tien Kumalasari

Restu mepet di pintu ruang operasi, serasa ingin menerobos masuk dan melihat, tangis siapa yang terdengar, karena ada dua orang ibu yang juga akan melahirkan caesar bersama Murni.

Lalu pintu itu terbuka, dan Restu terpaksa melompat menjauh, karena kalau tidak, maka jidatnya pasti akan terantuk daun pintu. Seorang dokter keluar.

“Keluarga ibu Murni ya, tanyanya ketika melihat Restu begitu bersemangat ketika menatapnya.

“Ya, saya suaminya.”

“Selamat, bayi anda selamat, seorang laki-laki yang tampan.”

“Alhamdulillah,” pekik bahagia dari semua yang ada di sekitar pintu.

“Bagaimana istri saya?”

“Istri Bapak sedang di tangani, tapi belum bisa dijenguk.”

“Apa dia sehat?”

“Sangat sehat. Bapak bisa bertemu nanti setelah dibersihkan. Hanya, bayinya harus masuk ke dalam inkubator, karena terlahir prematur.”

Restu mengangguk mengerti. Ia mengusap wajahnya dengan kedua belah tangannya sambil terus mengucapkan syukur. Demikian juga yu Sarni, dan semua keluarga pak Broto.

“Bapak sama Ibu dan Yu Sarni duduk dulu di sana, sambil menunggu,” kata Wulan sambil menggandeng yu Sarni, diajaknya duduk bersama mereka.

“Ni, kamu sudah menjadi nenek, selamat ya,” kata bu Broto, disusul suaminya, Wulan dan juga Rio.

“Iya … iya … terima kasih … terima kasih semuanya, saya bahagia, ya Tuhan, menjadi nenek. Terkadang saya masih kemayu,” kata yu Sarni sambil tersenyum, disambut tawa yang lainnya.

“Mulai sekarang nggak boleh genit,” tukas bu Broto sambil tertawa.

Begitu diberi tahu bahwa Murni sudah bisa dijenguk, Restu segera menghambur ke dalam. Dilihatnya Murni terbaring sambil tersenyum. Restu mencium keningnya.

“Terima kasih telah memberikan jagoan untuk aku,” bisiknya, disambut senyuman bahagia di bibir Murni.

“Mana anakku?”

Seorang perawat menunjukkan bayi mungil di dalam inkubator. Restu beranjak mendekati.

“Belum boleh digendong ya?”

“Belum Pak, menunggu kalau sudah kuat. Sebentar lagi istri Bapak akan dipindahkan ke ruang rawat,” kata salah seorang perawat.

“Pilihkan kamar terbaik untuk istriku,” pesan Restu.

“Baik Pak, tapi sebaiknya keluarga ibu Murni tidak menemui ibu Murni dulu, menunggu kalau sudah dipindahkan ke ruang rawat.

“Baiklah, saya akan memberi tahu mereka,” kata Restu yang segera keluar dengan wajah berbinar.

“Bagaimana keadaannya?” tanya yu Sarni.

“Baik. Sehat, tapi belum boleh masuk dulu, menunggu kalau sudah ada di ruang rawat.”

“Apa dia sudah bisa bicara?” tanya yu Sarni.

“Ya sudah Yu, kenapa tidak bisa?”

“Kalau dioperasi itu kan dibius, jadi tidak bisa segera sadar? Kok begitu ceoat?”

“Yu, kalau operasi caesar itu, tidak dibius total, hanya di bagian perut ke bawah, jadi dia sadar dan bisa bicara,” terang Wulan.

“O, begitu yah? Berarti nanti langsung bisa cerita dong.”

“Bisa Yu.”

“Kapan kita bisa ketemu Bu?” yu Sarni tampak begitu bernafsu, maklum baru sekali punya cucu.

“Nanti kalau sudah dipindahkan ke ruang rawat, biasanya menunggu sampai dua jam.”

“Waduh, lama sekali.”

“Sabar Yu,” kata Restu sambil tertawa.”

Keluarga Broto sangat bahagia dengan kelahiran bayi Murni. Kelahiran yang tak terduga karena belum waktunya, tapi membuat mereka bahagia karena bayi dan ibunya selamat dan sehat.


“Dari mana kamu? Sejak pagi pamit belanja tapi sampai siang begini baru pulang?” tegur pak Thomas ketika istrinya masuk ke dalam rumah. Sejak peristiwa Lisa dilabrak bu Thomas, pak Thomas dilarang datang ke butik tanpa dirinya.
“Aku menolong seseorang. Seorang wanita yang kecelakaan karena ditabrak seorang pengendara motor.”

“Menolong bagaimana?”

“Mengantarkannya ke rumah sakit. Mas tahu tidak, wanita sedang hamil, dan terpaksa dilahirkan paksa karena kecelakaan itu.”

“Penabraknya sudah ditangkap?”

“Tadinya melarikan diri, tapi kan aku tahu rumahnya. Aku laporkan ke polisi, dan sudah ditangkap.”

“Syukurin. Tidak bertanggung jawab,” omel pak Thomas.

“Dia memang sengaja menabraknya, biar korban itu celaka.”

“Memangnya kenapa? Biar dia dihukum seberat-beratnya. Tapi bagaimana kamu tahu di mana rumahnya?”

“Soalnya aku tahu siapa dia. Dia itu bukan saja pelakor, tapi juga penjahat.”

Pak Thomas berdebar. Istrinya selalu bilamg pelakor setiap kali menyebut nama Lisa. Apakah pelaku penabrakan itu Lisa? Kenapa?”

“Siapa?” pak Thomas berusaha bertanya karena tidak begitu yakin.

“Selingkuhan Mas itu. Lisa, siapa lagi.”

“Lisa? Mengapa dia menabrak dengan sengaja?”

“Mana aku tahu? Tampaknya dia benci wanita hamil itu.dia juga ganti mau mengganggu suaminya. Padahal suaminya juga tidak begitu kaya.”

“Dari mana kamu tahu kalau dia tidak begitu kaya?”

“Kalaua dia kaya ya pastilah punya mobil. Kendaraannya cuma motor dan itupun bukan keluaran terbaru. Cuma dia ganteng. Mungkin itu yang menarik bagi pelakor itu. Tapi ketika aku menyebut nama Lisa kok dia biasa saja ya, tidak terkejut, dan tidak tampak heran.”

“Kamu bicara sama suami si korban?”

“Iya lah, aku kan mengantarkan istrinya sampai di rumah sakit.”

“Siapa namanya?”

“Namanya Murni, itu diketahui setelah dia sadar.”

“Suaminya.”

“Kalau tidak salah … Restu, nggak tahu siapa nama lengkapnya.”

Pak Thomas tentu saja tahu, siapa Restu, karena Lisa seringkali menyebut namanya sehingga membuatnya cemburu. Tapi ia hanya diam, tak ingin mengungkap apa yang diketahuinya tentang Restu dan Lisa. Dan dia berpikir, mungkin setelah dia tidak lagi berhubungan dengannya, kemudian berharap bisa kembali bersama Restu, tapi rupanya Restu sudah punya istri dan sudah hamil pula.

“Mengapa diam? Sedih ya, tahu Lisa dipenjara? Orang jahat memang di sana tempatnya. Memang enak, morotin harta orang dengan modal seksi, cantik, menarik dan memuaskannya di tempat tidur?” kata bu Thomas mengungkit kembali soal perselingkuhan suaminya.

“Apa sih kamu itu, ngomongin masalah itu lagi. Kan semuanya sudah selesai, dan aku tidak pernah lagi ke mana-mana?”

“Iya lah, karena aku terus mengawasi Mas. Coba saja aku lepaskan, nggak mungkin nggak melakukannya lagi. Apalagi kalau perempuannya nyosor seperti dia itu.”

Pak Thomas diam. Isterinya memang suka bicara. Kalau sudah mengatakan sesuatu, dan ditanggapi, maka akan menjadi panjang seperti ular, itu sebabnya maka lebih baik dia mendiamkannya. Tapi ketika diam, bu Thomas juga masih mengomel lagi.

“Kok diam? Sedih ya?”

Dan kalau sudah begitu, pak Thomas memilih pergi menjauh.

Hari itu mereka berdua hanya tinggal di rumah. Tidak ke butik, dan tidak ke mana-mana. Tapi diam-diam ada yang dipikirkan pak Thomas. Berita tentang ditangkapnya Lisa membuatnya gelisah. Bagaimanapun dia masih menyayangi Lisa. Karena Lisa memang pintar memuaskan lelaki yang diporotinya. Seperti juga dulu, Restu juga susah melupakan dia, demikian juga pak Thomas.

Ia sedang santai di ruang tengah, tampak memikirkan sesuatu, tentang apa yang akan dikerjakannya. Ketika istrinya beranjak, dia segera meraba ponselnya.

“Mau kemana?”

“Mandi dong Mas, gerah. Lagi pula sudah sore.”

“Ya sudah, kamu mandi saja dulu, habis itu baru aku.”

Bu Thomas masuk ke kamar, dan pak Thomas menunggu beberapa saat. Ia harus meyakinkan bahwa istrinya sudah benar-benar masuk ke kamar mandi. Ia masuk ke kamar dan mendekati pintu kamar mandi. Ia merasa lega ketika mendengar gemercik air dari shower yang memancar.

Ia berjingkat keluar kamar, lalu mengambil ponselnya, dan menghubungi seseorang.


Besok lagi ya…

Bersambung ke Jilid 58

SELAMAT PAGI BIDADARI (56)

Karya Tien Kumalasari

Pak Broto dan bu Broto diiringi yu Sarni, datang hampir bersamaan dengan datangnya Rio dan Wulan. Mereka mencari Restu, dan menemukannya di luar ruang operasi.

“Pak Restu, bagaimana Murni?” yu Sarni yang pertama kali berteriak begitu melihat Restu.

Restu berdiri, membiarkan yu Sarni merangkulnya.

“Dokter sedang mengoperasinya Yu, bayinya harus segera dilahirkan.”

“Apakah sudah saatnya lahir?”

“Baru tujuh bulan, tapi karena jatuh tadi pagi, maka harus segera dikeluargan. Kalau tidak, akan berbahaya bagi keduanya. Yu Sarni tenang ya.”

“Bagaimana bisa jatuh?” tanya pak Broto.

Tiba-tiba Restu melihat ke sekeliling tempat itu, karena tadi bu Thomas masih mengikutinya. Ternyata sudah tidak ada lagi.

“Kamu mencari siapa?”

“Seorang ibu, yang menolong Murni dan membawanya kemari. Tampaknya dia sudah pergi.”

“Bagaimana dia bisa terjatuh di jalan?” ulang pak Broto karena belum juga mendapat jawaban.

Lalu Restu menceritakan, bahwa ada orang yang sengaja menabraknya, dan itu adalah Lisa.

“Lisa?” tanya bu Broto.

“Ya bu.”

“Perempuan jahat itu, mengapa melakukannya pada Murni?” geramnya.

“Dia selalu menteror Murni, bahkan mengatakan bahwa Murni merebut Restu dari dia.

“Lalu kamu membiarkannya pelaku kejahatan itu?” kata pak Broto dengan nada tinggi.

“Wanita itu, bernama bu Thomas. Dia sudah melaporkannya dan barangkali sekarang dia sudah ditangkap.”

“Apa maksud dia melakukannya? Bukankan dia sudah mendapatkan laki-laki lain yang lebih kaya?” tanya Wulan.

“Laki-laki kaya itu adalah pak Thomas. Suami wanita yang menolong Murni tadi. Bu Thomas adalah pemilik butik dimana Lisa bekerja. Kebetulan ketika Lisa menabrak dengan sengaja, bu Thomas melihatnya, dan mengenal si penabrak itu, sehingga dia menolongnya, lalu menyuruh sopirnya melaporkannya pada polisi.

“Kalau dia mengganggu Murni, berarti dia tidak lagi berhubungan dengan pak Thomas,” sambung Rio.

“Tidak. Bu Thomas mengetahuinya, lalu melabraknya.”

“Rasain !!”

“Beberapa hari sebelum Restu menikah, dia menemui Restu di bengkel.”

“Hm, seneng dong kamu!” kata bu Broto kesal.

“Kamu temui di lantai atas, di kamar kamu?” sergah pak Broto.

“Tidak Pak, saya tinggalkan dia, kemudian dia pergi. Dia memang ingin merayu Restu, tapi Restu menolaknya.”

“Benar?” tanya pak Broto tidak percaya.

“Benar Pak. Kalau Bapak tidak percaya, boleh bertanya pada anak-anak bengkel. Mereka semua tahu ketika saya meninggalkan dia di ruangan saya, sementara saya naik ke atas. Saya bilang bahwa saya sudah mau menikah.”

“O, itu sebabnya dia sangat membenci Murni,” sambung Wulan.

“Kok dia bisa mengerti siapa Murni, dan di mana dia tinggal ya,” tanya bu Broto.

“Orang seperti dia itu bisa melakukan apa saja Bu, barangkali dia terus mengawasi Restu dan istrinya,” sambung Rio.

“Kasihan Murni, jadi korban kejahatan perempuan itu,” omel bu Broto.

Tiba-tiba seorang wanita datang, disambut Restu dengan berdiri.

“Saya kira ibu sudah pulang.” Kata Restu menyambut wanita itu, yang adalah bu Thomas.

“Saya baru keluar untuk membeli makanan, pasti pak Restu belum makan karena sejak pagi ada di sini,” kata bu Thomas sambil mengulurkan sebuah bungkusan, tapi kemudian dia melihat orang-orang di sekitar Restu.

“Ternyata banyak orang. Ini keluarga pak Restu? Saya hanya membeli tiga atau empat bungkus makanan.”

“Tidak apa-apa Bu. Ini ayah saya, dan ibu saya.”

Bu Thomas mengulurkan tangannya.

“Saya Bu Thomas,” kata bu Thomas.

“Saya pak Broto, dan ini istri saya,” kata pak Broto yang bergantian dengan bu Broto menyalami bu Thomas, disusul Rio dan Wulan.

“Ini Wulan adiknya Restu, ini Rio suaminya,” kata pak Broto lagi.

“Wah … wah, sudah lengkap rupanya.

“Ini ibunya Murni,” kata pak Broto lagi.

“Oh iya, selamat bertemu Bu,” kata bu Thomas ketika menyalami yu Sarni yang wajahnya tampak tegang karena memikirkan anaknya.

“Silakan duduk Bu, dan terima kasih telah membawa menantu saya ke rumah sakit secepatnya,” kata pak Broto.

“Iya Pak, karena kebetulan saya melihatnya tadi. Tapi sekarang perempuan itu sudah ditangkap, karena saya juga melaporkan di mana rumahnya.”

Tapi diam-diam bu Broto melirik gelang yang dipakai bu Thomas. Tentu saja dia sangat mengenalnya.

“Gelangnya bagus,” tiba-tiba tanpa ditahan bu Broto nyeletuk.

Bu Thomas tampak tersipu. Restu berdebar, karena tampaknya ibunya akan berterus terang tentang gelang itu. Restu ingin memberi isyarat dengan matanya, tapi bu Broto dama sekali tidak menoleh ke arahnya.

“Oh, iya Bu, ini sebenarnya kan gelang rampasan,” katanya sambil tertawa kecil.

“Gelang rampasan bagaimana sih jeng?”

“Ketika saya memergoki suami saya berselingkuh dengan penjahat itu, oh ya, pak Restu pasti sudah menceritakan perihal perempuan bernama Lisa dan hubungan gelapnya dengan suami saya kan?” kata bu Thomas kemudian sambil menatap Restu. Tampaknya bu Thomas adalah wanita yang suka bergosip. Bahkan tidak segan-segan menggosipkan suaminya kepada siapa saja.

Restu hanya mengangguk, dan tetap berharap ibunya memandang ke arahnya, agar tidak usah bercerita tentang gelang itu. Tapi dasar wanita, pastilah bu Broto ingin mengorek tentang gelang yang dikatakannya gelang rampasan itu. Ia sudah tahu, Lisa selingkuhan pak Thomas, dari Restu barusan.

“Begini Bu, begitu saya memergoki suami saya berselingkuh, saya datangi rumah perempuan itu. Dia sebenarnya pegawai di butik milik saya. Saya memaki-makinya dengan amarah yang meluap, lalu saya juga mengambil semua perhiasan yang dipakainya, termasuk gelang ini. Pastilah suami saya membelikannya dengan memakai uang saya. Karena usaha itu sebenarnya kan milik saya.”

“Oh, tapi ….”

“Gelang ini sangat bagus, bayangkan bu, berapa juta uang perusahaan dipergunakan oleh suami saya untuk membelikan gelang ini untuk pelakor itu.”

“Kalau tidak salah ini ….”

“Ini mirip gelang milik Ibu kan?” sambung Wulan yang khawatir ibunya akan bercerita bahwa sebenarnya itu adalah gelangnya. Wulan berpikiran seperti apa yang dipikirkan Restu. Kalau bu Broto mengatakannya, maka ceritanya akan panjang, dan wanita cantik yang suka bergosip itu akan menyebarkannya ke mana-mana.

“Oh ya, ibu tadi membawa makanan bukan? Mas Restu, silakan dimakan dulu, kami semua sudah makan kok,” kata Wulan sambil membuka bungkusan, yang salah satunya kemudian diberikannya kepada Restu.

“Terima kasih Wulan,” kata Restu, bukan tentang makanan yang diberikannya, tapi tentang cerita tentang gelang yang berhasil dihentikannya.

“Ibu mau makan?”

“Tidak, biar Restu saja. Ibu sama Bapak sudah makan juga, tadi. Sarni, kamu makanlah.”

“Saya juga sudah makan Bu.”

“Baiklah, karena sudah ada keluarganya yang lengkap, saya permisi dulu ya Bu, Pak,” kata bu Thomas tiba-tiba, membuat Restu dan Wulan merasa lega.

“Baiklah Bu, terima kasih banyak telah menolong menantu saya,” kata pak Thomas.

Bu Thomas berlalu, dan Restu kemudian dengan lahap memakan nasi bungkus yang dibawakannya.

“Gelang itu kan …” rupanya bu Broto masih akan bicara tentang gelang itu, tapi kemudian Wulan menariknya menjauh, dan berbisik mengatakan bahwa soal gelang itu tidak usah diperpanjang.

Tiba-tiba terdengar lengking bayi menangis.

Restu menghentukan suapannya, dan berdiri. Mereka berhambur ke arah pintu ruang operasi.


Besok lagi ya…

Bersambung ke Jilid 57

SELAMAT PAGI BIDADARI (55)

Karya Tien Kumalasari

Restu keluar dari kamar, mencari-cari, dimana istrinya berada. Belum ada kopi panas di atas meja, dan dia juga tak mendengar ada kesibukan di dapur. Restu beranjak kebelakang.

“Murni, Murni ….”

Lalu melangkah ke depan, tapi dilihatnya seorang laki-laki tetangganya bergegas mendekatinya.

“Pak Restu, istri Anda kecelakaan,” seru orang itu sebelum berada dekat dengannya.

“Apa?” Restu turun dari teras.

“Ketika hendak menyeberang, seorang pengendara sepeda motor menabraknya.”

“Di mana? Di mana?” tanya Restu panik.

“Seorang wanita pengendara mobil membawanya ke rumah sakit, dia minta saya mengabari pak Restu.

“Ba … bagaimana keadaannya?”

“Saya belum tahu Pak, tadi istri Bapak pingsan.”

Restu berlari ke dalam rumah, mengambil kunci sepeda motor dan bergegas keluar halaman, menstarter kendaraannya, menuju rumah sakit.

Laki-laki tetangga Restu itu naik ke teras, kemudian menutupkan pintu rumah, karena Restu meninggalkannya begitu saja. Ada kunci tergantung dari dalam, dia mengambilnya, lalu menguncinya dan menyerahkan kunci tersebut kepada RT setempat.


Restu terus melangkah ke dalam rumah sakit, menuju ruang IGD. Seorang wanita berpakaian perlente menyambutnya.

“Apa Bapak suami wanita hamil tadi?”

“Ya, namanya Murni. Bagaimana keadaannya?”

“Dokter sedang menangani dia, Bapak tenang saja di sini.”

“Apakah lukanya parah? Apakah_”

“Dia hanya terkejut, dan sedikit luka di tangan kirinya. Tadi dia pingsan.”

Restu menghela napas lega. Ia melongok ke arah pintu ruang IGD yang terbuka.

“Duduklah dulu di sini Pak, istri Bapak sedang ditangani. Kata dokter tidak begitu parah.”

“Terima kasih Ibu telah menolong istri saya.”

“Saya kebetulan lewat, melihat bagaimana perempuan itu menabraknya. Tampaknya dia sengaja melakukannya, lalu dia kabur begitu saja.”

“Perempuan?”

“Ya, perempuan. Saya tidak tahu mengapa dia melakukannya. Tapi saya tahu siapa dia.”

“Ibu tahu?”

“Sopir saya sedang melaporkan kejadian itu kepada yang berwajib. “

“Ibu tahu siapa dia?”

“Dia perusak rumah tangga saya. Nama saya Thomas, bu Thomas.”

Restu terkejut. Tentu saja dia mengenal nama itu. Thomas adalah laki-laki yang kemudian berselingkuh dengan Lisa, sehingga mencampakkan dirinya.

“Bu Thomas, pemilik butik yang _”

“Benar. Perempuan itu bernama Lisa. Suami saya tergoda sama dia. Dia menghabiskan banyak uang saya untuk memanjakan perempuan itu.”

Restu menghela napas panjang. Sekarang dia tahu, mengapa Murni mengatakan ada wanita yang selalu mengganggunya selama dua hari ini. Pasti dia Lisa. Bagaimana dia bisa tahu dimana Murni tinggal? Dan kebetulan juga dia melihat Murni ketika keluar dari rumah? Pasti dia selalu mencari kesempatan untuk mengganggu Murni, karena ketika datang ke bengkel, dirinya menolaknya mentah-mentah.

“Saya mencium ketidak beresan rumah tangga saya. Suami saya kerap pulang terlambat, bahkan sering kali menginap dengan alasan urusan bisnis. Ternyata dia berhubungan dengan perempuan itu. Saya melabraknya, memaki-makinya, dan saya mengambil semua perhiasan yang dia pakai. Pasti dari suami saya. Dia tak berkutik. Sekarang suami saya tak berani pergi ke mana-mana tanpa saya.”

Tanpa sengaja Restu melirik ke arah gelang yang dipakai bu Thomas, dan Restu sangat mengenalinya, karena gelang itulah yang dicurinya dari Wulan, dan diberikannya kepada Lisa. Tapi Restu tak ingin mengatakan apapun. Pasti bu Thomas mengira, semua perhiasan itu pemberian suaminya, dan kalau dia mengatakan bahwa gelang itu pemberiannya, maka ceritanya akan menjadi panjang. Biarlah, salah dia kalau gelang itu kemudian menjadi milik orang lain.

“Bapak tahu, gelang yang saya pakai ini harganya sangat mahal. Bertatahkan berlian di sekelilingnya. Bayangkan saja, berapa uang yang dipakai suami saya untuk membelikan gelang ini.”

Restu hanya mengangguk.

“Berkali-kali suami saya mengelak, bahwa bukan dia yang membelikan gelang itu, tapi mana mungkin saya percaya? Saya tahu suami saya adalah laki-laki pembohong dan penghianat.”

Bu Thumas terus mengoceh, sementara Restu lebih memikirkan keadaan istrinya yang ada di dalam ruangan itu.

“Oh ya Pak, saya tidak tahu nama istri Bapak, jadi saya belum bisa mendaftarkan namanya, tapi saya sudah membayar beberapa untuk biayanya, supaya istri Bapak segera ditangani.”

“Baiklah, berapa saya harus menggantinya?”

“Tidak usah, lupakan saja. Lebih baik menunggu hasil pemeriksaan itu.”

Restu berdiri dan bergegas mendekat, ketika seorang perawat keluar dari ruangan itu.

“Bagaimana keadaan istri saya?”

“Istri Bapak bernama Murniati?”

“Benar.”

“Dia baru saja sadar dan mengatakan siapa namanya. Tapi ibu Thomas sudah mengurus semuanya.”

Restu menoleh ke arah bu Thomas yang menyusul mendekati perawat itu.

“Doktar ingin bertemu,” lanjut perawat itu.

Restu bergegas menemui dokternya, padahal ingin segera ketemu istrinya.


Rupanya dokter itu adalah dokter kandungan.

“Istri bapak harus diperiksa lebih lanjut. Kejatuhan itu menyebabkan kontraksi dini.”

Restu ketakutan.

“Apa itu maksudnya?”

“Kita akan menunggu, kalau kontraksi berlanjut, bayi itu harus segera di keluarkan.”

“Apa? Tapi dia baru 7 bulan?”

“Kami sudah melakukan pemeriksaan. Bayi ibu Murni sehat. Semoga dia akan baik-baik saja.”

“Apakah berbahaya bagi istri saya dan bayinya?”

“Bapak jangan khawatir, kami akan melakukan hal terbaik.”

Restu bergegas menemui Murni. Ia langsung mencium kening Murni, lalu menggenggam tangannya erat.

“Bagaimana keadaan kamu? Mana yang luka?”

“Luka tidak seberapa.”

“Perempuan yang menabrak kamu akan segera ditangkap polisi.”

“Siapa dia? Tampaknya dia sengaja menabrak saya. Saya sudah mundur, jauh dari jalanan, tapi sepeda motor itu terus mengarah ke arah saya, sehingga saya terjatuh.”

“Dia orang jahat. Kamu jangan memikirkannya lagi. Semuanya akan baik-baik saja.”

“Anak kita terus bergerak, perut saya mengeras terus.”

“Kamu akan baik-baik saja.”

“Tolong selamatkan bayi ini. Kalaupun saya harus meninggal, biarkan bayi ini selamat,” kata Murni pilu.

“Murni, kamu tidak boleh bicara seperti itu. Dokter akan melakukan hal terbaik untuk kamu dan bayi kita,” kata Restu sambil mengelus kepalanya.

Murni terharu. Sekarang dia mengerti, memang benar Restu menyayanginya. Murni sangat bahagia.

“Apakah simbok sudah diberi tahu?”

“Aku akan memberi tahu semuanya, agar semua datang kemari. Bapak, ibu, mas Rio, Wulan juga simbokmu.”

“Baiklah, saya akan merasa tenang kalau ada mereka, lebih-lebih simbok.”

Restu segera memberi tahu semuanya, yang di sambut dengan rasa terkejut oleh semua orang.

Ketika Restu menelpon, tiba-tiba seorang wanita cantik masuk dan mendekati Murni.

“Bagaimana keadaan ibu?”

“Saya baik-baik saja. Maaf, ibu siapa?”

“Saya bu Thomas.”

“Murni, ini bu Thomas, yang menolong kamu. Begitu kamu kecelakaan dan pingsan, bu Thomas langsung membawa kamu ke rumah sakit,” terang Restu setelah menelpon.

“Oh. Terima kasih, Ibu Thomas. Terima kasih banyak.”

“Sama-sama bu Murni. Saya senang bu Murni baik-baik saja.”

Tapi tiba-tiba Murni memekik kesakitan.

“Adduh … perutku ….”

Restu mendekat, kemudian berteriak kepada perawat.

“Bapak dan Ibu dimohon keluar dulu ya, Ibu Murni akan diperiksa dokter,” kata perawat yang kemudian datang.

Restu keluar dengan wajah cemas.

Ia tak mau duduk, tetap berdiri di depan pintu sampai beberapa saat lamanya.

Ia terlonjak ketika perawat memanggilnya.

“Bapak, ibu Murni harus dioperasi, Bapak diharap menemui dokter dan menandatangani surat persetujuan.”


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 56

SELAMAT PAGI BIDADARI (54)

Karya Tien Kumalasari

Restu menatap istrinya tak mengerti.

“Mengapa kamu bilang begitu? Aku hanya bertanya tentang sandal kecil, karena biasanya tak ada sandal seperti itu.”

“Saya kira pak Restu mencurigai saya,” katanya dengan mulut cemberut, lalu mengambil tas suaminya, dibawa masuk ke dalam.

“Mengapa begitu Murni? Aku tidak pernah berprasangka buruk sama kamu, karena kamu adalah istriku yang baik. Akulah laki-laki yang tidak baik. Tapi aku akan berusaha selalu menjadi baik,” kata Restu sambil terus mengikuti langkah Murni.

Murni hanya diam, terus ke belakang menyiapkan minum untuk Restu, kemudian membantu melepas sepatunya dan meletakkannya di tempat biasa.

“Saya siapkan makan siangnya,” katanya sambil beranjak ke ruang makan.

“Aku sudah menyuruh anak-anak bengkel untuk beli makanan sendiri,” katanya sambil mengikuti ke ruang makan, dan duduk menunggu.

“Saya sudah menyiapkan, mengapa harus beli?”

“Aku kan khawatir kalau kamu kecapekan. Soalnya sejak kemarin kamu tampak lelah.”

“Tidak apa-apa kalau lelah badannya. Kalau lelah pikirannya, itu yang berat.”

“Kamu sedang memikirkan apa?”

“Terkadang kesetiaan seorang lelaki itu meragukan.”

“Apa maksudmu?”

“Tapi itu bukan apa-apa bagi saya. Bukankah kita menikah karena terpaksa? Bayi yang saya kandung ini penyebabnya, bukan?”

“Murni, bicara kamu tidak karuan. Apa kamu mencurigai aku melakukan sesuatu hal buruk? Bukankah aku tidak pernah pergi kemana-mana? Setelah selesai urusan bengkel aku langsung pulang. Pernahkah aku pergi selain ke bengkel?”

“Ya sudah, makan saja dulu, kalau suasana nggak enak, makan juga jadi nggak enak,” kata Murni sambil menyendokkan nasi ke piring suaminua.

Tapi Restu merasa, Murni sedang menyembunyikan sesuatu. Ia seperti menuduhnya berbuat tidak baik. Selingkuh, misalnya? Ya Tuhan, apa karena dulu aku menjadi laki-laki bejat sehingga dia tidak mempercayai aku? Kata batin Restu.

Selesai makan, Restu duduk di ruang tengah. Ia belum ingin kembali ke bengkel, sebelum Murni menceritakan perihal sesuatu yang tampak disembunyikannya, sehingga membuat sikapnya jadi aneh, sejak kemarin.

Murni menyajikan jus jeruk ke hadapan suaminya, dan irisan mangga yang baru saja dikeluarkannya dari kulkas.

Restu mencomotnya beberapa kali.

“Manis sekali.”

Murni meneguk jus jeruk untuk dirinya sendiri.

“Apa maksud kamu tadi? Kamu harus menjelaskannya.”

“Ada orang yang menuduh saya merebut pak Restu dari dia,” kata Murni yang tak tahan lagi menyembunyikan semuanya.

“Apa?” Restu membelalakkan matanya, berhenti mengunyah mangga yang sudah ada di dalam mulutnya.

“Bagi saya itu bukan masalah besar, saya harus tahu diri, bahwa pak Restu menikahi saya karena sebuah alasan. Tapi tolong bilang sama dia, agar tak lagi mengganggu saya.”

“Apa?” kata Restu yang masih kebingungan.

“Bilang juga sama dia, bahwa setelah anak ini lahir, saya akan membawanya pergi, dan silakan menikahi dia.”

“Apa?”

Murni menatap tajam suaminya.

“Murni, sungguh aku tidak mengerti apa yang kamu maksudkan, dan siapa yang kamu maksud itu?”

“Pak Restu tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu?”
“Dulu aku memang laki-laki yang tidak baik. Boleh saja dikatakan aku buruk, tak bermoral, atau bejat sekalipun. Tapi aku sudah menemukan jalan hidup yang benar, aku sudah mengerti mana jalan yang harus aku tempuh, meninggalkan kehidupan yang kelam dan kotor. Aku sudah bertobat Murni. Kamu masih belum mempercayai aku? Barangkali benar, kita menikah bukan karena cinta, tapi karena sesuatu yang harus kita lakukan. Tapi aku sedang belajar mencintai kamu, dan perlahan cinta itu mulai tumbuh, melihat ketulusan kamu, kebaikan kamu, dan semua yang kamu miliki. Aku bahkan tidak berpikir tentang siapa kamu, anak siapa kamu, dari keluarga mana dirimu. Sungguh. Apa aku harus bersumpah untuk itu?”

Mata Murni berkejap-kejap, menatap suaminya yang berkata penuh kesungguhan. Sulit untuk tidak mempercayainya, karena mata serigala itu sudah tak lagi tampak.

“Kamu meragukannya? Katakan siapa yang berkata seperti itu.”

“Saya tidak tahu namanya. Dia cantik, berpakaian sexy, tapi mulutnya tajam bagai sembilu. Dia bilang selingkuhan pak Restu. Dua hari dia selalu menghadang saya di pasar. Saya bukannya takut, saya berani menghadapi dia, tapi saya merasa terganggu.

“Besok pagi pergilah ke pasar, aku akan mengawasi kamu. Kalau perempuan itu datang, biar dia berhadapan dengan aku.”

Murni mengangguk, merasa lega karena berhasil mengeluarkan apa yang membuatnya tertekan. Perkataan Restu bahwa dia mulai menyayangi dirinya, membuatnya berdebar senang. Baru sekarang dia mendengar ada laki-laki yang menyayanginya, dan itu diucapkan oleh laki-laki yang semula sangat dibencinya.

“Sekarang ceritakan tentang anak bernama Trimo. Bukan karena aku curiga, tapi karena kamu belum menceritakan tentang orang yang pernah kamu tumpangi saat pergi dari mes waktu itu.

Lalu Murni menceritakan semuanya, tentang bu Trisni dan anaknya yang bernama Trimo, yang waktu itu datang mengamen di rumah Wulan, lalu diberinya uang dan makanan, lalu di kemudian hari dia bertemu lagi dengan bocah itu, lalu menginap di rumahnya selama dua malam.

Restu terharu.

“Suruh dia tinggal di sini, biar aku menyekolahkannya.”

“Sudah saya minta begitu, tapi dia tidak mau, karena harus membantu ibunya berdagang gorengan.


“Kok bisa-bisanya kamu main sejauh itu sih Mo, jalan kaki pula,” tegur bu Trisni ketika anaknya sampai di rumah.

“Berangkatnya membonceng mas Parmo yang jualan kerupuk, turun di dekat rumah dimana dulu Trimo ketemu bu Murni untuk pertama kali. Pulangnya Trimo naik angkot, turun di jalan besar situ. Bu Murni memberi uang lagi sama Trimo.”

“Ya ampun, bu Murni sudah memberi banyak untuk kita.”

“Iya juga, tapi Trimo tak bisa menolak. Lagi pula bu Murni tidak tinggal di situ lagi. Sudah pindah, lalu Trimo mencarinya, dan ketemu di pasar, ketika ada seorang wanita tiba-tiba mau memukul bu Murni, lalu Trimo berhasil mencegahnya dengan menarik tubuhnya.”

“Lhoh, kenapa?”

“Nggak tahu Bu, sepertinya dia benci sama bu Murni.”

“Pasti dia orang jahat. Bu Murni begitu baik, kok ada yang benci sama dia?”

“Pastinya Bu.”

“Bu Murni sekarang kaya Bu, rumahnya bagus. Trimo di suruh tinggal di sana, tapi Trimo tidak mau. Kalau Trimo pergi, siapa yang membantu ibu jualan?” lanjutnya.

“Iya juga sih Mo. Tapi kalau kamu suka, ya nggak apa-apa, nanti ibu mau menyuruh orang untuk membantu.”

“Jangan Bu, biar Trimo saja yang membantu Ibu. Nanti kalau Trimo sekolah, sebelum berangkat Trimo mengantar dagangan, pulangnya mengambil uangnya. Begitu lebih enak.”

“Ya sudah, terserah kamu saja. Sekarang istirahatlah. Kamu pasti lelah.”


Pagi itu Murni keluar dari rumah, karena kehabisan kopi. Ia mencari warung terdekat dengan terburu-buru, karena harus menyiapkannya sebelum suaminya berangkat bekerja.

Ia sedang berdiri di pinggir jalan, menunggu jalanan sepi sebelum menyeberang, karena warung yang dituju terletak di seberang jalan.

“Kenapa ketika belanja aku lupa membeli kopi,” sesalnya ngedumel sambil menunggu.

Tapi sebelum dia berhasil menyeberang, sebuah pengendara motor melaju di depannya, dan seperti sengaja menabraknya. Murni terpelanting.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 55

SELAMAT PAGI BIDADARI (53)

Karya Tien Kumalasari

Murni masih menatap tajam wanita itu, ada api memercik di matanya. Murni tahu, dia hanya anak pembantu, tapi bukan berarti dia harus menerima penghinaan apapun yang diterimanya.

“Hei, mengapa menatap aku seperti itu? Rupanya kamu sudah merasa bangga bisa menjadi istri kekasihku?” tiba-tiba wanita itu mulai menyerangnya.

Murni mengangkat kepalanya dan tersenyum sinis, walau tatapan matanya tak berubah, tajam dan menyala.

“Bisa menjadi istri memang membuat aku bangga. Bagaimana dengan menjadi kekasih tanpa dinikahi? Bukankah itu rendah dan memalukan? Tapi rupanya kamu memang tak tahu malu.” jawabnya dengan berani.

“Kamu merebutnya dari aku.”

“Benarkah? Kalau aku berhasil merebutnya, berarti aku lebih hebat dari kamu! Sadari itu!” kata Murni yang kemudian langsung membalikkan tubuhnya dan menjauhi wanita itu, yang memang adalah Lisa.

Lisa terkejut.

“Perempuan udik itu tiba-tiba berani menentang dan menghina aku,” geramnya.

Hati Lisa tiba-tiba terasa panas. Bergegas dia mengejar Murni, dan tiba-tiba sudah berada di hadapannya.

Murni mengerutkan dahinya.

“Mau apa lagi kamu?”

“Dengar, aku tidak terima kamu menghina aku!” hardiknya.

“Aku tidak menghina, kamu memang hina!” balas Murni sengit.

Tiba-tiba Lisa mengangkat tangannya, diayunkannya ke wajah Murni. Tapi tangan itu berhenti terayun, karena sepasang tangan kecil menarik tubuhnya.

“Heiii. Apa ini?” teriak Lisa sambil membalikkan tubuhnya, lalu melihat seorang anak laki-laki menatapnya marah.

“Siapa kamu, gembel?”

“Trimo?!” teriak Murni senang.

“O, ini anakmu? Rupanya kamu seorang janda yang berhasil memikat kekasihku?”

“Aku bukan anaknya. Kamu wanita jahat, berani menyakiti wanita yang sedang hamil,” pekik Trimo dengan berani.

“Ee, kurangajar benar. Perempuan ini telah merebut kekasihku!”

“Trimo, sini, jangan di dengarkan kata-kata perempuan mabuk itu, ayo ikut aku.”

Trimo menurut, bergegas mendekati Murni, kemudian membalikkan lagi tubuhnya dan pergi.

Lisa ingin mengejar, tapi beberapa orang menghadangnya.

“Jangan membuat keributan di sini Mbak, Mbak ini cantik, tapi kok kasar sekali kepada perempuan yang sedang hamil.”

Lisa mendengus kesal. Ia sangat membenci wanita yang sudah dinikahi Restu, karena dia berharap kembali kepadanya, dan Restu menolaknya. Tapi dia tak bisa berbuat banyak, karena banyak orang menghadangnya, dan Murni sudah hilang bersama laki-laki kecil itu, entah kemana.

“Aku akan terus menghantui kamu,” ancamnya sambil berlalu.


Murni belanja ala kadarnya, karena ingin segera mengajak Trimo pulang ke rumahnya.

Ia meletakkan belanjaan di dapur, lalu menemui Trimo yang duduk di tangga teras.

“Heii, kenapa duduk disitu?” tegur Murni sambil membawa segelas jus jambu diletakkan di meja teras.

“Biar di sini saja Bu.”

“Jangan, sini, di depanku sini, kamu belum cerita apa-apa, kenapa bisa sampai ke mari.”

Trimo menurut. Ia berdiri lalu duduk di kursi teras dengan ragu.

“Duduklah. Kenapa kamu ini?”

“Takut kursinya kotor.”

“Ya ampun Trimo, mengapa kamu bilang begitu?”

“Ini rumah bu Murni?”

“Bukan, ini rumah pak Restu.”

“Siapa pak Restu?”

“Suami … suami aku.”

“Ooh,” kata Trimo sambil mengamati sekelilingnya.

“Minumlah, lalu ceritakan kenapa kamu sampai ke mari.”

“Saya ingin bertemu Ibu, lalu pergi ke rumah dimana saya datang kesana sebanyak dua kali. Lalu diberi tahu alamat Ibu, tapi rumah itu kosong, saya mencoba mencari, barangkali Ibu sedang ke pasar, ternyata benar.”

“Ya ampun, kamu berjalan jauh sekali, bagaimana bisa menemukan alamat rumah ini?”

“Saya terus bertanya-tanya. Tapi ada ibu-ibu yang memberi saya ancar-ancar juga.”

“Anak pintar. Sekarang minum dulu, setelah kamu cerita, kita akan makan pagi bersama-sama,” kata Murni.

“Saya hanya ingin ketemu Ibu. Tapi tidak membawa gorengan, karena habis terjual.”

Murni tertawa.

“Tidak apa-apa. Aku sudah pernah merasakan gorengan dagangan kamu, dan aku puas, enak dan legit.”

“Saya sudah membeli ponsel. Waktu itu saya tidak tahu caranya, lalu ibu membantu saya.”

“Bagus. Sekarang tidak dibawa?”

“Tidak. Tadi sambil mengantar dagangan, langsung ke sini.”

“Bagaimana kabar ibumu?”
“Baik, dan sehat. Terimakasih sudah memberi uang untuk biaya sekolah.”

“Tidak seberapa. Nanti kalau kurang, kabari aku ya Mo. Jangan sungkan.”

“Wanita jahat itu tadi siapa? Dia hampir memukul Bu Murni, untung saya bisa menahannya.”

“Aku juga tidak tahu. Sudah dua kali dia menemui aku dan mengata-ngatai aku dengan ucapan yang sangat kasar. Tadinya aku biarkan, tapi tadi aku melawan. Itu sebabnya dia marah dan ingin memukul aku.”

“Apa ketemunya juga di tempat sama Bu?”

“Iya. Nggak tahu, kenapa dia berkeliaran di sekitar pasar.”

“Mungkin dia memang menunggu ibu. Besok jangan belanja di sana lagi.”

“Iya, sedang aku pikirkan, tapi agak jauh sih. Nggak apa-apa juga, aku bisa naik becak. Atau kalau ada tukang sayur lewat aku juga bisa.”

“Iya Bu, supaya aman.”

Murni tertawa, berdiri sambil mengelus kepala Trimo.

“Kamu itu anak kecil, ngomongnya seperti orang dewasa saja,” kata Murni sambil beranjak ke dalam. Ia mengeluarkan nasi dan lauk sisa sarapan yang masih ada, kemudian memanggil Trimo.

“Aku kita makan Mo,”

Ajak Murni sambil menarik tangan Trimo.

“Nggak usah Bu.”

“Ayolah, jangan sungkan. Tadi ada gudeg sambel goreng sisa makan pagi, aku beli terlalu banyak.”

Trimo terpaksa menurut.

“Apa ibumu tahu, kamu datang kemari?”

“Tidak sih.”

“Gimana sih, pasti ibumu cemas dong. Ayo kabari sekarang. Kabari dulu baru makan,” kata Murni sambil mengambil ponselnya, sekaligus memutar nomor Trimo, karena Trimo pernah mencoba menelpon ketika membeli ponselnya.

“Bu, ini aku.”

“Ya ampun Mo, kamu di mana? Lama sekali belum pulang?” teriak bu Trisni yang sedang cemas menunggu anaknya.

“Aku di rumah bu Murni.”

“Apa? Kamu ke sana? Kenapa nggak bilang?”

“Tiba-tiba saja ingin ketemu.”

“Ya sudah, bagaimana keadaan bu Murni?”

“Baik, ini aku sedang dipaksa makan.”

“Ya ampuun, kamu kan sudah sarapan.”

“Lapar lagi,” seloroh Trimo.

“Ya sudah, hati-hati, sampaikan salam ibu untuk bu Murni ya. Nggak usah bicara, karena ibu sedang menggoreng ikan untuk makan siang, nanti gosong.”

“Iya Bu.”

Trimo menyerahkan ponselnya kepada Murni.

“Tuh, Ibumu cemas kan? Lain kali bilang, kalau mau ke mana-mana.”

“Iya.”

“Sekarang makanlah. Nanti kalau pulang jangan jalan kaki, naik angkot saja, aku beri uangnya.”

“Saya bawa uang sebenarnya.

“Tidak, itu kan uang dagangan? Sekarang makanlah. Lain kali kalau ke sini jangan jalan kaki. Banyak angkot menuju kemari kan?”

“Iya Bu.”

“Kamu mau nggak, sekolah di sini?”

“Nggak Bu, nanti ibu sendirian. Dan saya juga harus membantu ibu jualan.”

“Iya, kamu benar.”


Murni senang ketemu Trimo. Ia wanti-wanti berpesan agar tidak pulang jalan kaki, setelah memberinya sejumlah uang.

Ia memasak setelah Trimo pulang, itu sebabnya ia kesiangan. Saat mau mengirim makan siang ke bengkel, suaminya sudah pulang.

“Maaf, aku kesiangan,” kata Murni yang menyambut di tangga teras.

“Tidak apa-apa. Aku makan di rumah saja. Hei, ada sandal kecil disini, punya siapa?” pekik Restu ketika melihat sepasang sandal di bawah tangga.

Murni terkejut.

“Ya ampun, itu kan sandal Trimo. Kok bisa ketinggalan? Berarti tadi dia tidak memakai alas kaki dong. Kok bisa, dia itu.” teriak Murni.

“Siapa Trimo?” tanya Restu.

“Hanya anak kecil. Saya tidak mungkin selingkuh. Yang suka selingkuh kan laki-laki,” omel Murni bermaksud menyindir suaminya.

Sindiran itu membuat Restu terheran-heran.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 54

SELAMAT PAGI BIDADARI (52)

Karya Tien Kumalasari

Pak Broto kesal mendengar penolakan Restu. Ia meletakkan ponselnya dengan kasar.

“Kenapa Pak?”

“Restu itu sangat sombong. Kesal aku,” gerutu pak Broto dengan wajah muram.

“Sombong bagaimana sih Pak?”

“Dia menolak pemberian mobil dari aku. Dan bilang mau beli sendiri mobil bekas dengan uang pribadi. Sombong kan?”

“Bapak jangan begitu. Restu itu bukannya sombong. Dia menolak, karena tak ingin menjadi beban orang tua.”

“Siapa bilang beban. Aku memberinya dengan ikhlas, aku ini kan bapaknya, orang tuanya. Apa tidak pantas orang tua memberi sesuatu kepada anaknya?”

“Iya, sebentar pak, sabar dulu, jangan marah dulu. Ini, minumnya dihabiskan dulu, supaya lebih tenang,” kata bu Broto sambil mengangsurkan gelas minum yang masih separuhnya. Tapi pak Broto menolaknya.

“Sabar … sabar … Siapa yang tidak kesal kalau pemberiannya ditolak mentah-mentah?”

“Makanya ibu bilang sabar, supaya Bapak mau mendengar ibu bicara. Kok jadi ibu ikut dimarahin sih Pak.”

Pak Broto menyandarkan tubuhnya dengan wajah muram.

“Bapak kan tahu, Restu itu dulu pernah membuat Bapak marah, karena telah menghambur-hamburkan uang perusahaan. Ya kan Pak? Nah, sekarang ini Restu sudah sadar akan semua kesalahannya, dan selalu berusaha memperbaikinya. Bapak tahu apa yang dipikirkannya? Restu ingin melakukan sesuatu tanpa bantuan orang tua. Seburuk apapun yang ingin dia miliki, entah baju jelek atau mobil bekas, itu adalah kebanggaannya. Coba bapak mengerti. Biarkan dia merasa bangga dengan apa yang dimilikinya.”

Pak Broto mengangkat tubuhnya dari sandaran, lalu meraih gelas yang tadi disodorkan istrinya, meneguknya sampai habis. Bu Broto tersenyum. Rupanya sang suami mulai bisa mencerna apa yang dikatakannya.

“Punya mobil bekas, dan itu membuat dia bangga?” celetuk pak Broto setelah meletakkan gelasnya.

“Bukan mobil bekasnya itu yang membuat dia bangga, tapi uang yang dipergunakan untuk membeli, adalah hasil jerih payahnya. Itu yang membuat dia bangga.”

Pak Broto mengangguk-angguk, ia mulai mengerti, dan kemarahannya sudah sirna.

“Kita harus membiarkan dia punya kebanggaan. Dia sudah mengerti, bahwa kemewahan yang dimiliki bukanlah sesuatu yang bisa membuatnya bangga, karena semua itu milik orang tuanya. Sekarang dia mencoba membanggun kebanggaannya atas jerih payahnya sendiri, ayo kita dukung dia, jangan malah memarahinya.”

“Baiklah, ibu benar,” kata pak Broto dengan nada rendah, dan dengan anggukan kepala yang mantap.

“Nanti kita akan minta agar dia mengajak kita jalan-jalan, setelah dia berhasil membeli mobil yang diinginkannya,” lanjutnya dengan wajah sumringah.

“Dia pasti senang,” sahut bu Broto, tak kalah sumringahnya.


Hari masih agak siang, Restu sudah sampai di rumah. Murni terkejut, karena belum sempat membuatkan minum atau menyiapkan cemilan.

Ia menyambut suaminya dengan membawakan tas yang dibawanya, diletakkannya di meja, kemudian bergegas ke belakang. Tak disangka Restu mengikutinya.

“Mau apa?”

“Buatkan minum, tadi belum sempat,” katanya sambil terus berlalu, dan Restu juga terus mengikutinya.

Murni mengambil cangkir dan menyeduh kopi. Terkejut ketika tiba-tiba Restu memeluknya dari belakang. Ia mencoba melepaskan diri, tapi Restu memeluknya semakin erat.

“Jangan terlalu capek.”

“Tidak, biasa saja,” katanya. Lalu ia mengambil baki, setelah Restu melepaskan pelukannya, kemudian meletakkan cangkir kopi di atasnya, dan membawanya ke ruang tengah.

Restu mengikutinya.

“Mengapa tidak mau dipeluk suami? Oh ya, aku masih bau asem ya? Maaf,” katanya sambil tertawa. Tapi dia kemudian duduk di atas sofa, meraih cangkir kopi, menghirupnya sedikit.

“Masih panas.”

Murni melangkah ke belakang, mengambil sepiring pisang goreng yang masih hangat, lalu diletakkan di depan suaminya.

“Hei, mau ke mana? Duduk di sini saja, temani aku minum seperti biasanya,” tegur Restu, yang merasa bahwa seharian ini sikap Murni tampak aneh. Banyak diam dan tak sedikitpun menyunggingkan senyum ramah.

“Murni,” panggil Restu karena Murni bergeming.

Murni yang mau beranjak ke belakang berhenti melangkah, menoleh ke arah sang suami.

“Duduklah di sini. Apa karena aku bau asem? Apa aku harus mandi dulu?”

Murni terpaksa kembali, lalu duduk, dimana Restu menepuk-nepuk tempat duduk di sebelahnya.
“Aku ingin bercanda dengan anakku, apa dia nggak mau karena ayahnya masih bau asem?”

“Masih ada yang harus saya kerjakan di belakang,” kata Murni, yang tak urung kemudian duduk di sebelah suaminya.

Restu mengelus perut Murni lembut, dan Murni terlonjak kaget karena bayinya tiba-tiba menendang perutnya.

“Tuh, kan. Dia senang ayahnya datang.”

Murni tersenyum tipis. Ia selalu teringat wanita cantik yang pagi tadi menyakitinya dengan kata-kata kasar, dan dia mempercayainya. Dan karena itu dia kemudian merasa, bahwa Restu bukan menyayangi dirinya, tapi bayi yang dikandungnya.

“Mana minuman kamu?”

“Saya sudah minum.”

“Kalau begitu ayo kita minum ini berdua,” kata Restu yang kemudian menyodorkan cangkir kopinya ke arah bibir Murni. Murni mengundurkan kepalanya.

“Ayo, secangkir berdua.”

“Tidak, saya tidak minum kopi,” sergahnya.

“Kalau begitu biar aku yang mengambilkan teh untuk kamu,” kata Restu yang kemudian beranjak berdiri.

Murni terkejut. Ia juga langsung berdiri.

“Tidak, biar saya ambil sendiri,” katanya sambil beranjak ke belakang.

Restu tersenyum. Tapi dia sungguh heran melihat sikap istrinya.

“Murni, cepatlah, kalau tidak aku sendiri yang akan membuatnya untuk kamu,” teriak Restu.

Murni datang membawa secangkir teh untuk dirinya sendiri.

“Hari ini kamu aneh.”

Murni menatap suaminya.

“Saya biasa saja.”

“Tidak, kamu tidak biasa. Kamu marah sama aku? Ada yang salah?”

Murni ingin mengatakan sesuatu tentang wanita itu, tapi kemudian diurungkannya. Laki-laki selingkuh, mana mau mengaku? Paling juga akan mengelak. Dan Murni kan tahu diri. Siapa Restu, siapa dirinya. Murni selalu sadar bahwa pernikahan itu terjadi karena kehamilannya.

“Katakan sesuatu. Aku tidak percaya kalau tidak terjadi apa-apa.”

“Tidak ada. Saya hanya merasa … kurang enak badan.”

“Kalau begitu kita ke dokter sekarang.”

“Tidak, tidak ….”

“Kamu jangan bandel. Kesehatanmu berpengaruh bagi bayi yang kamu kandung. Kalau kamu sakit, dia juga akan sakit.”

Tuh kan, kembali lagi karena bayi. Itu yang dipikirkan Murni setelah ditemui wanita cantik bermulut tajam pagi tadi.

“Saya mau beristirahat saja. Kalau pak Restu ingin makan, bangunkan saya,” kata Murni sambil berdiri, setelah meneguk minumannya.


Pagi hari itu Restu berangkat seperti biasa, setelah sarapan pagi yang disiapkan Murni seperti biasa.

“Kalau kamu masih merasa tidak enak badan, tidak usah memasak. Nanti aku akan membelikan makan dari luar untuk kita makan siang. Anak-anak bengkel biar jajan seperti sebelumnya,” pesan Restu.

Murni hanya mengangguk mengiyakan. Tapi ia tetap bertekat untuk memasak seperti biasa. Ia berjalan ke arah pasar, dengan harapan tak akan bertemu wanita itu lagi. Tapi harapan tinggallah harapan. Baru saja dia memasuki pasar, wanita itu seperti muncul dari dalam bumi, berdiri begitu saja di hadapannya.

Murni terkejut. Tapi kemudian timbullah keberaniannya. Cacingpun kalau diinjak pasti menggeliat. Murni ingin melawannya.

Itu sebabnya, ketika wanita itu tersenyum sinis menatapnya, Murni membalasnya dengan mata berapi.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 53

SELAMAT PAGI BIDADARI (51)

Karya Tien Kumalasari

Murni terkejut. Dia belum pernah melihat wanita itu, yang menatapnya dengan mata penuh kebencian.

“Anda siapa?” tanyanya pelan.

“Kamu belum tahu siapa aku? Aku adalah kekasih Restu.”

Murni terbelalak.

“Kamu lihat aku baik-baik. Bagaimana penampilan aku, bagaimana wajah aku, lalu lihat dirimu sendiri. Kamu kan hanya bekas pembantu yang berhasil merayu Restu untuk bisa menikahi kamu? Tapi jangan harap bisa membuat Restu jatuh cinta sama kamu, karena dia hanya mencintai aku,” katanya sengit, kemudian berlalu, membiarkan Murni terpaku di tempatnya berdiri.

Lalu Murni sadar, dia sedang berada di pasar. Ia mengusap setitik air matanya, menyelesaikan belanja, lalu pulang.


Murni memasak dengan perasaan gundah. Bahwa dirinya tadinya hanya pembantu, dia sudah tahu dan menyadarinya. Tapi bukan dia yang memaksa apalagi merayu Restu untuk menikahinya. Bukankah Restu yang memaksanya? Tapi lalu Murni sadar bahwa Restu memaksa menikahinya karena ada bayi di dalam kandungannya, bayi yang adalah darah dagingnya. Mungkin benar dan Murni juga yakin benar bahwa pernikahan itu terjadi bukan karena adanya cinta.

Murni mengusap air matanya, lalu melanjutkan merajang sayur yang harus dimasaknya.

Ada keinginan untuk menghentikan acara memasak itu karena hatinya sakit, tapi dia sadar bahwa dia adalah seorang istri, yang apapun yang terjadi, harus melayani suaminya. Maka pada saatnya, sayur lodeh yang dimasaknya sudah matang, dia tinggal menggoreng bandeng presto dan membuat sambal terasi. Itu adalah masakan yang dipesan Restu sebelum berangkat bekerja, dan Murni tentu saja menyanggupinya.

Ia sudah menatanya di tempat biasa, dan siap dikirimkannya ke bengkel, untuk makan siang para pekerja bengkel, dan tentu saja untuk Restu.

Tapi beberapa saat lamanya dia hanya diam, menatap tumpukan rantang yang siap dibawanya. Bermacam pikiran berkecamuk dalam hatinya. Apakah dia harus berterus terang tentang kedatangan wanita cantik yang tadi menemuinya? Apakah dia harus marah karena menganggap suaminya ternyata selingkuh?

Tidak, Murni sadar sesadar-sadarnya bahwa dia hanya terpaksa dinikahi Restu, dia harus tahu diri. Biarlah ada wanita lain, Murni tak peduli. Dia hanya menjalankan kewajibannya.

Tapi kemudian Murni dikejutkan oleh kedatangan Restu yang tiba-tiba.

Restu terkejut melihat Murni duduk di kursi dan didepannya setumpuk rantang sudah tertata.

Murni berdiri menyambut.

“Kamu kenapa? Apa kamu sakit?”

“Tidak, maaf, sudah terlambat ya?”

“Tidak, aku hanya khawatir, biasanya kamu sudah mengirim sejak tadi, Ternyata sudah siap, dan kamu duduk tampak lesu.”

“Maaf.”

“Kamu tidak sakit? Tidak merasakan apa-apa?”

Murni menggeleng, Terharu melihat perhatian Restu, tapi kemudian ditepiskannya. Restu bukan memperhatikan dirinya karena sayang. Restu memperhatikan bayi yang dikandungnya.

“Aku makan di rumah saja ya? Bolehkah?”

“Boleh, tentu saja,” jawab Murni yang segera menata meja makan, lengkap dengan lauk dan nasinya. Sungkan, suaminya seperti sudah kelaparan.

“Makanan anak bengkel saya antar sekarang ya,” kata Murni yang merasa pastinya mereka juga sudah lapar.

“Jangan, biarkan saja.”

“Tapi …”

“Ayo, makan sama kamu juga,” ajak Restu ketika Murni hanya menatapnya.

Murni menurut. Ia makan sambil melayani suaminya. Sesungguhnya pada kehamilannya yang semakin tua, Murni lebih banyak makan, rasanya masih lapar kalau hanya makan sedikit. Jadi dia terpaksa makan banyak, yang disaksikan Restu sambil tersenyum.

“Nanti makanan anak-anak bengkel saya yang membawa.”

“Kasihan, pasti sudah lapar juga.”

“Tidak. Mereka akan sabar menunggu,” kata Restu sambil makan dengan nikmat.

Murni menatapnya.

“Kapan kamu akan kontrol kandungan?”

“Dua hari lagi.”

“Aku akan pulang lebih sore.”

“Tidak usah, aku ke dokter sendiri saja.”

“Jangan, aku harus mengantarkan kamu. Saat ini aku sedang menabung untuk membeli mobil yang second saja, biar agak murah,” kata Restu.

“Namanya mobil, tetap saja mahal.”

“Supaya kalau kamu periksa, tidak kehujanan. Sebentar lagi musim hujan.”

“Ada payung kan?”

“Murni, aku sudah menabung, uangku hampir cukup. Ijinkan aku meringankan beban kamu, jangan sampai kepanasan dan kehujanan. Apalagi kalau anak kita lahir.”

Murni terdiam. Lagi-lagi Murni merasa bahwa itu semua demi bayi yang dikandungnya. Dan wajah wanita cantik itu kembali terbayang.

“Kamu lihat aku baik-baik. Bagaimana penampilan aku, bagaimana wajah aku, lalu lihat dirimu sendiri. Kamu kan hanya bekas pembantu yang berhasil merayu Restu untuk bisa menikahi kamu? Tapi jangan harap bisa membuat Restu jatuh cinta sama kamu, karena dia hanya mencintai aku,”

Murni menghela napas kasar, sambil menutupkan sendok garpunya.

Restu menatapnya heran. Ada perubahan sikap Murni hari ini.

“Kamu kenapa?”

“Apa?”

“Kamu kenapa? Kok tidak seperti biasanya.”

“Aku baik-baik saja. Kalau pak Restu sudah selesai makan, segera kembalilah ke bengkel, anak-anak bengkel pasti sudah lapar,” kata Murni mengalihkan pertanyaan Restu.

“Baiklah. Aku akan pulang agak sore hari ini.”

“Ada apa?”

“Ingin bercanda dengan anakku. Kemarin sudah banyak bergerak bukan?”

Murni terpaksa tersenyum. Ia merasa geli ketika kaki mungkin di dalam perutnya menendang-nendang, apalagi kalau Restu mengelusnya. Restu mengatakan, anaknya sedang mengajaknya bercanda.

Restu berdiri, ia meraih rantang yang sudah disiapkan, kemudian berangkat kembali ke bengkel, setelah mengelus lembut perut Murni. Dan lagi-lagi bayi itu seperti menendang-nendang, membuat Murni meringis.

“Dia tahu, ayahnya mengajak dia bercanda,” kata Restu kemudian berlalu.


“Bapak tidak ke kantor hari ini?” tanya bu Broto setelah makan siang bersama suaminya.

“Tidak. Wulan sudah bisa diandalkan. Aku tidak harus setiap hari datang ke kantor.”

“Tapi kalau dilepas sendiri kan juga kasihan.”

“Tidak sendiri. Rio selalu membantunya kok.”

“Syukurlah.”

“Aku ingin membeli mobil kecil untuk Restu.”

“Bagus, Ibu juga berpikir begitu. Kasihan Restu, kalau panas kepanasan, kalau hujan kehujanan.”

“Aku akan menelponnya, apakah dia ada di bengkel. Aku akan mengajaknya melihat-lihat mobil, dan minta agar dia memilih mana yang disukainya.”

“Aku ikut ya Pak.”

“Kamu seperti anak kecil saja.”

“Iya lah Pak, sekarang yang di rumah tinggal Ibu sama Bapak. Bagusnya kalau kemana-mana harus berdua dong.”

“Baiklah, aku telpon dia dulu, takutnya dia tidak ditempat.”

“Ya Pak,” kata Restu menjawab ketika ayahnya menelpon.

“Kamu ada di bengkel?”

“Iya, baru saja kembali dari makan siang di rumah.”

“Wah, pasti menyenangkan. Istri kamu itu sama seperti simboknya, masakannya enak.”

“Iya benar Pak.”

“Bapak mau ke situ.”

“Oh ya, tumben.”

“Bapak mau mengajak kamu jalan-jalan, sama ibumu juga.”

“Tumben mau jalan-jalan. Kemana Pak?”

“Ke dealer mobil.”

“Bapak mau beli mobil?”

“Iya, Untukmu.”

Restu sangat terkejut.

“Mau beli mobil untuk Restu?”

“Iya, kamu pilih nanti, mana yang kamu suka.”

“Tidak usah Pak, Restu sudah mau membelinya sendiri, Pakai uang Restu sendiri.”

“Restu, uangmu berapa? Sudah cukupkah untuk beli mobil?”

“Hanya mobil bekas saja Pak, yang penting mesinnya masih bagus.”

“Bapak ingin membelikannya untuk kamu, simpan saja uang kamu untuk kebutuhan kamu. Apalagi kamu kan sudah mau punya anak. Kebutuhan bayi itu kan banyak.”

“Kebutuhan bayi sudah Restu siapkan. Tolong Pak, Restu tidak ingin lagi membebani Bapak. Restu sudah banyak menyusahkan Bapak.”


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 52