SELAMAT PAGI BIDADARI (50)

Karya Tien Kumalasari

Restu terkejut.

“Lisa? Mau apa kamu datang kemari?” kata Restu tak senang.

Melihat wajak tak suka itu, bukannya mundur, Lisa justru mendekat, lalu duduk di kursi di depan meja kerja Restu.

“Restu, maafkan aku ya?”

“Ya, baiklah, aku maafkan, tapi tolong pergilah, aku sedang sibuk.”

“Ya ampun Restu, aku mohon, kamu mau mendengarkan ceritaku. Tolong.”

“Untuk apa aku mendengarkan ceritamu? Urusan kamu bukan urusan aku, kita tidak punya ikatan apa-apa. Jadi lebih baik kamu pergi saja.”

Tiba-tiba Lisa menangis. Restu kebingungan. Ada anak buahnya di luar ruangannya, dan pasti melihat apa yang terjadi.

“Terlena oleh bujukan pak Thomas, sehingga aku melupakan kamu. Aku menyesal Restu. Dan mendengar kamu sudah bercerai, aku datang menemui kamu, mari kita mulai lagi semuanya dari awal.”

“Tidak, aku tidak bisa. Pergilah.”

“Restu, aku sudah tidak bekerja lagi sekarang. Isteri pak Thomas memecat aku,” isaknya.

“Itu bukan urusan aku Lisa, tolong pergilah.”

“Gelang pemberian kamu juga diminta oleh isteri pak Thomas, dia mengira gelang itu dari suaminya, padahal kan dari kamu Restu? Aku simpan terus karena aku menyayangi kamu.”

“Tidak, tidak. Jangan cerita apapun, aku tidak mau mendengarnya, itu bukan urusan aku.”

“Restu, aku masih sayang saya kamu.”

“Hentikan, aku sudah mau menikah.”

“Apa? Kamu mau menikah sama siapa Restu?”

“Kamu tidak perlu tahu, itu bukan urusan kamu.”

“Aku hanya ingin tahu, dan ingin mengenalnya saja.”

“Tidak perlu, dia bukan apa-apa kamu, dan tak ada untungnya berkenalan sama kamu. Tolong pergilah, aku masih banyak urusan,” katanya sambil berdiri, lalu naik ke atas, memasuki kamarnya dan menguncinya.

Lisa merasa kesal. Ia berdiri lalu keluar dari ruangan kecil itu, dimana Restu biasanya bekerja, mengontrol perusahaannya.

Sebelum keluar, Lisa menoleh ke arah karyawan-karyawan dan mengoceh.

“Majikan kamu itu sekarang sudah berubah. Dulu dia sangat menyayangi aku. Apapun yang aku minta selalu diberikan. Lalu dia menjadi miskin. Sekarang, ketika dia mulai bisa membangun usaha lagi, dia lupa sama aku. Kejam kan? Malah dia mau menikah katanya? Hm, aku ingin melihatnya, seperti apa istrinya, lebih cantikkah dari aku?”

Lalu Lisa melangkah pergi, diiringi pandangan aneh dari yang ada di situ, termasuk beberapa orang yang sedang memperbaiki mobilnya di bengkel tersebut.

“Siapa sih dia?” tanya seseorang.

Para karyawan hanya mengangkat bahu.

“Wanita tak tahu malu,” celetuk yang lainnya.

“Iya, masa mengumbar sesuatu yang seharusnya dirahasiakan, ditempat umum pula.”

“Pak bos juga nggak peduli, tadi ditinggalkannya begitu saja.”

“Pasti bener-bener perempuan gila.”

Lalu mereka tak peduli, dan melanjutkan pekerjaan mereka lagi, karena beberapa pelanggan sedang menunggu.


‘Rio … kita akan punya gawe.” Teriak Wulan dengan gembira ketika suaminya pulang.

“Tentang mas Restu?”

“Iya, Murni sudah bersedia. Bapak sama ibu senang sekali.”

“Atur semuanya, carikan gedung dan_”

“Tidak Rio, tidak usah.”

“Apa maksudmu? Bukankah mereka akan menikah?”

“Tapi Murni tidak mau ada pesta. Cukup menikah dan selesai.”

“Begitu ya? Mungkin rame-rame nya di kampung mereka.”

“Tidak juga.”

“Kok semuanya tidak sih?”

“Murni minta menikah di sini, jadi mas Restu sedang mengurusnya. Mungkin beberapa hari selesai. Lega aku jadinya.”

“Aku senang akhirnya semua menjadi baik. Sekarang Murni ada di mana? Di rumah bapak?”

“Iya, bersama yu Sarni, ada di rumah bapak.”

“Ayuk kita ke sana.”
“Mandi dulu saja, nanti setelah maghrib kita ke sana.”

“Baiklah, bidadari,” kata Rio yang langsung masuk ke kamarnya. Wulan sudah menyediakan baju ganti untuk suaminya, kemudian ke dapur untuk membuatkan kopi pahit kesukaan suaminya. Ada roti bakar yang dibuatnya untuk cemilan, lalu dihidangkannya di atas meja di ruang tengah.

Wulan menyetel televisi sambil menunggu suaminya, ketika tiba-tiba ponselnya berdering.

“Dari ibu,” gumamnya sambil mengangkat panggilan itu.

“Ya Ibu,” sapanya.

“Wulan, suami kamu sudah pulang?”

“Sudah Bu, sekarang baru mandi.”

“Datanglah kemari, karena bapak mau bicara bersama kalian. Nanti Restu juga akan ke rumah.”

“Rupanya ibu mau mengadakan pesta?” canda Wulan.

“Tidak Wulan, kan ibu sudah bilang, bahwa Murni hanya mau melaksanakan ijab kobul saja, tidak mau ada pesta.”

“Iya, Wulan sudah tahu kok Bu.”

“Tapi bagaimanapun kan semuanya harus dipersiapkan?”

“Iya Bu.”

“Datanglah cepat, bapak sudah menunggu.”

“Baiklah, setelah mandi, Rio akan segera Wulan ajak datang kemari.”

“Suruh Rio membawa gitarnya,” tiba-tiba terdengar suara pak Broto menyela.

“Bapak ada-ada saja sih, mau omong-omong atau mau menyanyi?” kata bu Baroto kesal.

“Masa semalaman mau ngomong terus. Kan ada waktu luang untuk bersenang-senang sebentar,” protes pak Broto. Wulan yang mendengar perdebatan itu tersenyum-senyum sendiri.

“Wulan,” kata bu Broto.

“Rio harus membawa gitarnya kan?” potong Wulan sambil tertawa.

“Iya, kamu mendengar ya. Bapakmu berteriak-teriak sih.”

“Baiklah Bu, akan saya siapkan gitarnya sekarang, supaya Rio tidak lupa membawanya.”

“Iya Wulan, segera ya, kami tunggu. Tuh, Restu sudah datang.”

“Sebentar lagi kami ke sana Bu.”


Persiapannya memang tidak terlalu heboh seperti kalau ada pengantinan di rumah. Tapi tetap saja semua harus dipersiapkan. Rio dan Wulan juga harus belanja, membeli kebaya yang bagus untuk Murni saat menikah, dan baju untuk yu Sarni, juga bu Broto dan dirinya sendiri. Rio juga membeli jas baru untuk Restu, agar walau sederhana tapi pernikahan itu bisa menjadi momen yang tak terlupakan bagi semuanya.

Murni hanya menurut saja, dan karena Wulan sudah sering membelikan baju untuk Murni, maka dia bisa memilihkan baju yang pas untuk Murni, hanya agak longgar di bagian perut, karena usia kehamilan yang sudah lima bulan pasti membuat perutnya sudah semakin membuncit.

Pernikahan itu sudah selesai, hanya dihadiri oleh keluarga, dan saudara dekat yu Sarni dari kampung yang hanya dua atau tiga orang. Tapi yu Sarni tampak bahagia, melihat anaknya bersanding dengan majikan yang ganteng dan tampak menyayangi anaknya.

“Kalian jangan tinggal di bengkel, aku lihat ruangan itu hanya bagus kamarnya, tapi tidak cukup perlengkapan untuk sebuah rumah tangga,” kata pak Broto.

“Aku akan memberi kamu hadiah sebuah rumah. Aku sudah mempersiapkannya, dan kamu boleh melihatnya, kalau sekiranya ada yang kurang, tinggal bilang saja,” lanjut pak Broto.

“Seharusnya kami bisa tinggal di rumah yang sederhana saja. Mengapa Bapak membelikannya? Awalnya Restu akan mengontrak dulu,” kata Restu.

“Tidak, ini hadiah untuk pernikahan kamu. Kamu tidak boleh menolaknya. Besok pagi kita akan melihatnya, ajak Murni juga.”

“Itu permintaan bapakmu, kamu jangan menolak,” sambung bu Broto.

Mau tak mau Restu menurut. Rumah itu dipilihkan ayahnya, tidak jauh dari bengkel tempat dia bekerja. Kecil tapi bagus, sudah lengkap dengan berabotnya.

“Bagaimana Mur? Kamu suka?” tanya Restu kepada Murni.

“Terserah pak Restu saja,” jawab Murni yang belum begitu akrab dengan suaminya.

Mereka akhirnya tinggal di rumah baru itu dengan senang hati.

Restu hanya berada di bengkel saat bengkelnya buka, dan Murni mengirim makanan untuk suaminya dan para karyawan setiap siang, hasil masakannya sendiri.

“Semakin lama Murni terbiasa dengan kehidupannya yang sekarang, apalagi Restu sangat memperhatikannya. Selalu mengantarkan saat dia periksa kehamilan, dan melarangnya bekerja terlalu keras, karena Murni memang sudah terbiasa rajin sejak membantu di rumah Wulan.

Pagi itu Murni berangkat ke pasar untuk belanja, karena persediaan dapurnya sudah menipis. Saat sedang memilih sayuran, tiba-tiba seseorang menegurnya.

“O, ini yang namanya Murni, menanti pak Broto, pengusaha yang sangat terkenal itu?”

Murni terdiam karena terkejut.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 51

SELAMAT PAGI BIDADARI (49)

Karya Tien Kumalasari

Wanita itu melenggang pergi, dengan langkah yang dibuat-buat. Tiga orang karyawan bengkel melihatnya sambil tersenyum-senyum.

“Cantik, tapi nggak menarik.”

“Terlalu genit.”

“Kemayu, padahal bukan gadis lagi.”

“Darimana kamu tahu kalau dia bukan gadis?”

“Kelihatan lah, dari cara dia berjalan.”

“Wah, jangan-jangan istri pak Restu.”

“Hush! Mana mungkin, pak Restu tidak punya istri, tampaknya masih bujang. Mungkin duren sawit.”

“Apa tuh, duren sawit?”

“Duda keren sarang duwit.”

Lalu mereka tertawa keras, sambil bersiap menutup pintu bengkelnya.

“Mengapa tadi tidak bertanya siapa namanya?”

“Iya, kalau pak Restu bertanya, bagaimana kita menjawabnya?”

“Iya juga, terburu-buru pergi sih.”

“Katakan saja dicari kerabatnya, begitu.”

“Ya sudah, yuk pulang, hampir maghrib.”

Mereka pulang setelah mengunci bengkel, karena senja telah mulai membuat hari semakin remang.


Pak Broto sudah menerima telpon dari Wulan, dan sedang berbincang-bincang dengan istrinya tentang kepulangan Murni.

“Apa berarti kita harus bersiap menikahkan mereka?” tanya bu Broto.

“Kita belum tahu apa jawaban Murni, jangan-jangan dia menolak,” keluh pak Broto.

“Bodoh kalau menolak, apa dia tak ingin anaknya punya bapak?”

“Sebaiknya ibu menelpon Yu Sarni saja. Bagaimana keputusannya. Walau bagaimanapun menikah itu kan harus ada kesiapannya, baik dari kita, maupun dari pihak Yu Sarni. Dan maunya bagaimana, kita kan harus bicara.”

“Ibu menelpon Yu Sarni, atau Restu ya enaknya.”

“Terserah Ibu saja. Mana yang lebih baik.”

Bu Broto mengambil ponselnya, lalu menghubungi Restu.

“Ya Bu,” jawab Restu dari seberang.

“Bagaimana tentang Murni? Kamu sudah bicara?”

“Yu Sarni baru mau bicara malam nanti Bu, siang tadi baru datang, tampaknya dia lelah dan sekarang masih beristirahat.”

“Jadi mereka belum bicara? Lalu kamu juga sudah ketemu dia?”

“Sudah.”

“Bagaimana sikapnya? Apa dia masih trauma, menjerit-jerit atau lari menjauhi kamu?”

“Tidak Bu, dia diam saja.”

“Tidak mau bicara?”

“Mau, sepotong-sepotong.”

“Artinya tidak ada penolakan dari dia untuk melaksanakan niat kamu selanjutnya?”

“Sejauh ini dia masih bersikap baik. Artinya tidak lari menjauh.”

“Baiklah, kabari ibu kalau sudah ada keputusannya yang pasti.”

“Kalau sudah ada pembicaraan, Restu mau langsung pulang, untuk mempersiapkan semuanya.”

“Baiklah, ibu mengerti.”

Bu Broto menutup ponselnya lalu mengangkat pundaknya tanda belum mengerti.

“Apa kata anakmu?” tanya pak Broto.

“Malam ini Sarni baru akan bicara sama Murni. Jadi tentang niat menikahi Murni itu masih menggantung. Tapi Murni sudah mau bicara sama Restu, walaupun sepotong-sepotong, katanya.”

“Berarti ini berita mau.”

“Artinya ada kemajuan. Dan yang jelas Murni pasti tidak akan kabur-kaburan lagi.”

“Semoga semuanya baik-baik saja. Kita juga tertekan dengan adanya peristiwa ini, yang selalu menggantung tak jelas kapan sampai di ujung.”

“Kita juga merasa bersalah dengan kehamilan Murni. Jalan terbaik adalah menikahkannya dengan Restu.

“Benar. Semoga Murni bisa mengerti.


Di kamarnya, yu Sarni perlahan berbicara dengan Murni. Tentang banyak hal, tentang apa yang sebaiknya dilakukan. Dan tampaknya Murni bisa mengerti, hanya saja Murni masih tampak ragu-ragu dengan niat baik Restu tersebut. Menurutnya Restu masih seperti dulu. Berangasan dan semaunya. Padahal sejak siang bersamanya, ia merasakan sikap Restu yang sangat lembut.

“Mengapa kamu diam? Apa yang kamu pikirkan?” tanya yu Sarni.

Murni menghela napas.

“Apakah pak Restu bersungguh-sungguh?” tanyanya pelan.

“Apa masih kurang jelas bagi kamu, apa yang dilakukannya selama ini? Dia sudah berubah. Dia tidak mau membantu di perusahaan ayahnya karena ingin berusaha sendiri dan dia berhasil, walau tampaknya dibantu oleh pak Rio. Nyatanya berkali-kali dia menyatakan penyesalannya, dan bersedia menikahi kamu saat tahu bahwa kamu hamil.”

“Rasanya agak aneh.”

“Apa maksudmu?”

“Majikan menikahi pembantu. Murni takut dia akan menyakiti Murni.”

“Mur, ini jalan terbaik untuk hidupmu. Terlalu panjang kamu memikirkannya, tidak akan baik untuk kandungan kamu yang akan semakin menjadi besar. Kamu harus percaya, pak Restu sudah berubah.”

Lama Murni terdiam.

“Jawabanmu ditunggu. Nanti setelah kamu menjawab, pak Restu akan pulang dan mempersiapkan semuanya.”

“Baiklah, Murni setuju.”

“Waduh, simbok seneng banget Mur, memang ini adalah jalan terbaik.”

“Tapi Mbok …”

“Tapi apa lagi?”

“Murni tidak mau menikah di sini, Murni malu Mbok,” katanya sendu.

“Lagi pula aku juga tidak mau ada pesta atau perayaan. Yang penting menikah,” lanjutnya

“Baiklah, nanti saya akan bicara sama Pak Broto dan bu Broto. Itu masalah gampang bagi mereka. Yang penting kamu bersedia.”

Murni mengangguk.

“Sekarang tidurlah. Besok pak Restu mau kembali ke kota.”

“Mengapa kita tidak sekalian saja kembali ke kota? Aku tidak mau lama-lama tinggal di sini. Aku malu mbok.”

“Nanti aku bicara sama Pak Restu, sekarang kamu istirahat saja dulu, ini sudah malam.”

Murni mengangguk, kemudian menarik selimut sampai ke dadanya, dan mencoba tidur sambil memeluk guling.

Yu Sarni keluar dari kamar, dengan heran ia melihat bahwa Restu masih terjaga.

“Pak Restu belum tidur?”

“Belum ngantuk Yu.”

Lalu yu Sarni memberi isyarat agar Restu mengikutinya keluar, dan duduk di balai-balai yang terletak di depan rumah.

Restu mengerti, maksudnya agar Murni tidak terganggu dengan pembicaraan mereka, mengingat hari sudah malam.

“Bagaimana Yu.”

“Saya sudah bicara sama Murni.”

“Apa jawabnya?”

“Dia setuju menikah dengan pak Restu.”

“Syukurlah, senang saya mendengarnya. Kalau begitu besok saya mau pulang dulu.”

“Tunggu dulu, pak Restu. Murni bilang dia tidak mau menikah di kampung. Katanya dia malu.”

“Oh, begitu, baiklah. Bilang sama Murni bahwa dia tidak perlu khawatir, semua akan saya urus dengan sebaik-baiknya.”

“Murni juga tidak mau ada keramaian dalam pernikahan itu.”

“Baiklah. Besok aku akan pulang dan menyampaikan semuanya pada bapak.”

“Ada lagi Pak, besok kalau pak Restu pulang, saya sama Murni mau bareng sekalian.”

“Oh, begitu? Bagus kalau begitu. Saya akan mencari taksi pagi-pagi sekali.”

“Maaf ya Pak Restu, jadi merepotkan.”

“Tidak Yu, mengapa bilang begitu? Aku senang sudah mendapatkan jalan terbaik, dan ini membuat saya tidak lagi terbebani oleh semua kesalahan saya.”

“Sekarang Pak Restu tidur dulu, yu Sarni juga sudah ngantuk.”


Hari itu bu Broto senang, Yu Sarni sudah datang bersama Murni. Ia minta agar untuk sementara Murni tinggal di sana dulu, sambil menunggu Restu mengurus semuanya.

Sementara itu Restu segera kembali ke bengkel. Ia sampai di bengkel, ketika bengkel baru saja buka.

“Apa kabar semuanya?” tanya Restu kepada para pegawainya.

“Baik Pak Restu,” jawab mereka serentak.

“Ada kendala?”

“Semuanya baik-baik saja.”

“Tapi kemarin ada yang mencari pak Restu,” kata salah seorang pegawai yang lain.

“Siapa?”

“Mohon maaf, kami lupa menanyakan namanya. Tapi dia seorang wanita cantik berpakaian seksi, mengaku sebagai kerabat pak Restu.”

“Siapa? Kenapa tidak ditanyakan namanya?”

“Waktu itu sudah sore, kami hampir menutup bengkel, dan dia tergesa-gesa pergi.”

Restu termenung. Seorang wanita cantik, berpakaian seksi, mengaku sebagai kerabatnya?

“Dia bilang hari ini akan datang lagi.”

“Ya Tuhan, apakah dia? Mau apa datang kemari?”

Tapi belum sempat Restu menaiki tangga untuk masu ke ruangannya, terdengar teriakan dengan suara nyaring. Suara yang dikenalnya.

“Restuuu!!”


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 50

SELAMAT PAGI BIDADARI (48)

Karya Tien Kumalasari

Kaki Murni tiba-tiba susah digerakkan, seperti ada yang menggantung dan terasa berat. Laki-laki ganteng bernama Restu itu demikian juga. Terpaku di tengah pintu, dan berat untuk melangkah. Separuh hatinya ingin menyambut kedatangan Murni, separuh hatinya khawatir kalau Murni kemudian ketakutan dan histeris. Tapi tak ada suara apapun dari mulut Murni, tak ada wajah ketakutan, kecuali keraguan untuk melangkah. Restu mencoba memberanikan diri untuk melangkah, setapak demi setapak, dengan dada penuh debaran. Ia semakin berani manakala Murni tak bereaksi atas langkahnya. Dua tapak lagi Restu akan sampai di hadapan Murni. Murni menatapnya tak berkedip.

“Murni, kamu datang?” sapanya lembut.

Kemana larinya serigala bertaring yang menakutkan? Kemana larinya mata beringas dan hasrat mencabik tubuhnya sehingga terkoyak-koyak berkeping-keping? Murni tak menemukannya. Ia bahkan membiarkan ketika Restu mengambil kopernya, dan menariknya mendekati rumah.

Murni melangkah pelan. Jantungnya berdebar kencang. Matanya mencari, di mana simboknya, maka laki-laki ganteng majikannya ini yang menyambutnya?

“Naik apa?” tanya Restu setelah memasuki rumah, dan meletakkan koper Murni disamping pintu kamar.

“Angkot,” jawabnya singkat sambil duduk. Matanya mencari-cari.

“Yu Sarni baru membeli makanan,” kata Restu tanpa ditanya. Ia mengerti dari mata Murni yang mencari-cari.

Murni menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Restu beranjak ke belakang, lalu keluar sambil membawa segelas air putih, diserahkannya kepada Murni.

Tiba-tiba Murni merasa bersalah, mengapa majikannya malah meladeninya? Ia tergesa menerima gelas itu dan meminta maaf.

“Maaf, mengapa melayani saya? Biar ss ..saya … mengambil sendiri,” katanya dengan tangan gemetar.

“Minumlah, kamu pasti lelah,” kata Restu sambil duduk di depannya, membuat Murni semakin gugup.

“Minumlah,” ulang Restu ketika melihat Murni masih memegang gelasnya.

Murni mengangguk, lalu meneguknya, hampir habis. Ia tampak kehausan.

“Lagi?” tanya Restu.

“Tidak … tidak, biar nanti sa.. saya ambil sendiri,” katanya segera, sambil meletakkan gelasnya.

Murni benar-benar merasa tak enak karena dilayani. Ia heran kepada dirinya, yang tiba-tiba mulai menghilangkan ingatan tentang malam menakutkan yang pernah dialaminya.

“Tidak pantas … ss .. saya dilayani,” ucapnya pelan.

“Karena aku tahu kamu lelah dan kehausan. Bukankah udara sangat panas?”

Murni mengangguk pelan.

“Kamu sehat?”

Murni kembali mengangguk.

Kemudian keduanya terdiam, tak tahu harus mengatakan apa. Restu bahkan berat mengatakan apa yang menjadi keinginannya. Terlalu tergesa-gesa. Biar yu Sarni saja mengatakannya, sementara Murni bisa menenangkan batinnya.

“Murni?” pekik simbok dari arah pintu mengejutkan mereka.

Murni berdiri, kemudian merangkul simboknya, sambil berurai air mata. Restu mengambil bungkusan plastik yang dibawa yu Sarni, meletakkannya di meja belakang. Ia tak ingin mengganggu pertemuan mengharukan antara ibu dan anak itu.

“Bagaimana keadaanmu? Kamu sehat? Kandunganmu baik-baik saja?” yu Sarni memberondongnya dengan pertanyaan-pertanyaan.

“Sehat Mbok, aku baik-baik saja.”

“Syukurlah,” kata simbok sambil menarik Murni duduk di kursi panjang, agar mereka bisa duduk berdampingan.

“Maafkan Murni Mbok,” isak nya.

“Sudah, simbok sudah memaafkan sebelum kamu memintanya. Yang penting kamu sehat dan baik-baik saja.”

Murni masih bergayut di dada simboknya, terisak pelan. Yu Sarni mengusapnya dengan ujung bajunya.

“Murni menyusahkan simbok, dan semua orang.”

“Tidak, lupakanlah. Seorang ibu kehilangan anaknya, wajah kalau sedih atau susah. Sekarang jangan memikirkan apa-apa lagi. Ayo kita makan, simbok sudah beli makanan untuk makan siang. Padahal ini sudah hampir sore, ayo nduk,” kata yu Sarni sambil menarik tangan anaknya. Murni menurut, dan ketika di dalam, ternyata Restu sudah duduk di sana, dan meletakkan bungkusan-bungkusan di atas piring.

“Pak Restu, mengapa pak Restu yang melayani kami,” tegur yu Sarni.

“Tidak apa-apa Yu, kan hanya mengambilkan piring.”

“Murni mau ke kamar mandi dulu, Mbok,” kata Murni yang kemudian beranjak ke belakang, menuju ke kamar mandi.

Simbok duduk di depan Restu.

“Pak Restu sudah bicara sama Murni?”

Restu menggeleng.

“Tidak berani, nanti dia marah. Lebih baik yu Sarni saja.”

“Baiklah, nanti malam yu Sarni mau bicara, setelah dia beristirahat.”

Restu mengangguk setuju. Kemudian dia berdiri, menarik kursi setelah Murni kembali dari kamar mandi.

Murni tampak sungkan dilayani. Dia tidak lupa bahwa Restu adalah majikannya. Tapi Restu terus melayaninya.

“Ayo makanlah, kamu pasti lapar. Untunglah tadi simbok beli banyak, maksudnya sekalian untuk makan malam. Tapi karena kamu datang dan simbok tidak menduganya, ya nggak apa-apa, kita habiskan saja, nanti malam beli lagi.”

Sambil makan yu Sarni bercerita tentang keberadaannya di kampung bersama Restu, tanpa membawa baju dan bekal uang sepeserpun.

“Untunglah pak Rio membelikan baju ganti beberapa potong untuk pak Restu, dan pak Restu yang memberi simbok uang untuk makan dan minum. Simbok tidak masak apapun, pak Restu melarangnya, lagi pula hati simbok sedang tidak tenang, karena memikirkan kamu. Kalaupun masak pasti rasanya tidak enak,” celoteh yu Sarni.

Murni belum banyak bicara. Bahkan dia juga belum menceritakan kemana dia pergi dan pengalaman yang dilaluinya selama dua hari ini.


Wulan segera menyambut Rio sepulang dari kantor, karena ingin segera mengatakan apa yang di dengarnya dari yu Sarni yang belum lama menelponnya.

“Rio … dengar, ada berita bagus yang kamu harus mendengarnya segera,” kata Wulan sambil mengambil tas kerja Rio dari tangannya.

Mereka melangkah ke dalam, sebelah tangan Wulan menggandeng Rio, dan menariknya ke dalam dengan langkah bersemangat.

“Ada apa sih? Gembira amat,” tanya Rio heran.

“Baru saja yu Sarni menelpon.”

“Murni sudah pulang?”

“Yaa. Kamu pintar menebak.”

“Syukurlah. Mas Restu sudah bicara tentang keinginannya?”

“Belum, kata yu Sarni jangan tergesa-gesa. Dia akan bicara pelan-pelan nanti malam.”

“Syukurlah. Kemarin aku sempat mengomeli dia ketika dia kaget karena aku mentransfer gajinya.”

“Iya, kamu memang luar biasa. Transferan gaji itu memancing dia untuk menghubungi kamu kan Rio? Kalau tidak, betapa susahnya dia dihubungi,” kata Wulan sambil mengambilkan suaminya segelas jus jambu kesukaannya.

“Syukurlah.”

Rio meneguk jus yang diberikan istrinya, kemudian melepaskan sepatunya. Wulan berjongkok untuk membantunya.

“Kamu ke kantor hari ini?”

“Ya, aku juga belum lama pulang. Ada bapak juga di sana, dan pembicaraan kami hanya tentang Murni dan mas Restu saja. Bapak sangat prihatin, dan berharap Murni segera bisa kembali serta menerima Restu.”

“Kamu sudah mengabari bapak tentang kepulangan Murni?”

“Belum. Yu Sarni belum lama menelpon, lalu kamu pulang, jadi aku belum sempat mengabari bapak atau ibu.”

“Baiklah, kabari saja sekarang, sementara aku mau mandi. Apa kamu masak hari ini?”

“Maaf Rio, tidak. Hanya sisa nasi goreng tadi pagi, nggak enak dong, sudah dingin.”

“Nggak apa-apa, kita makan diluar saja, sekarang aku mau mandi dulu ya.”

“Baiklah, mandi cepat ya, biar wangi,” kata Wulan sambil meraih ponselnya untuk mengabari pak Broto tentang kepulangan Murni.


Hari sudah menjelang maghrib, bengkel Restu sudah mau tutup. Seorang yang diserahi tanggung jawab selama Restu pergi, sudah bersiap menutup bengkel, dibantu teman-temannya. Tiba-tiba seorang wanita cantik berpakaian seronok datang dengan tergesa-gesa.

“Tunggu, jangan tutup dulu,” katanya sambil turun dari taksi.

Petugas bengkel heran, karena taksi itu langsung pergi, dan tak ada tanda-tanda wanita itu akan memperbaiki mobilnya.

“Ada apa Mbak?”

“Apakah ini bengkel milik pak Restu?”

“Benar.”

“Bisakah saya ketemu? Saya sahabatnya dari jauh,” katanya.

“Maaf Mbak, pak Restu tidak ada di tempat.”

“Kemana dia?”

“Keluar kota.”

“Luar kota mana? Kapan dia kembali?”

“Kami tidak tahu Mbak, kemana, atau kembalinya kapan.”

“Baiklah, besok saja saya kembali” katanya sambil membalikkan tubuhnya dan berlalu.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 49

SELAMAT PAGI BIDADARI (47)

Karya Tien Kumalasari

Murni termenung di dalam kamarnya. la mencoba meredakan gejolak kemarahan yang selalu muncul, setiap kali ia teringat malam menyeramkan itu. Ketika dia membayangkan wajah tampak Restu, tiba-tiba muncul taring di mulutnya, dan wajahnya berubah menjadi serigala, yang meringis kejam dan siap mencabik-cabik tubuhnya. Murni menutup wajahnya dengan kedua tangan, lalu menggoyang-goyangkan kepalanya untuk menghilaangkan bayangan itu.

“Bu Murni, bukankah saatnya kita makan?” tanya Trimo yang muncul di depan pintu.

Murni membuka tangannya, menatap

Trimo yang memandanginya dengan iba. la tahu Murni sedang tidak nyaman, walaupun dia tidak tahu apa yang terjadi
sebenarnya.

“Masakan bu Murni baunya sedap,” kata Trimo sambil terus berdiri di tengah pintu.

Murni bangkit dan mencoba tersenyum.

“Sudah kamu tata Mo?”

“Sudah daru tadi Bu, ibu juga sudah menunggu tuh.”

“Oh, maaf,” kata Murni sambil bangkit dan berjalan keluar kamar.

“Ayo bu Murni, Aduh, ini bu Murni masak enak. Nggak capek Bu?” tanya bu Trisni yang sudah duduk menunggu.

Murni duduk di depannya, berdampingan dengan Trimo.

“Wah, nasinya bisa Trimo habiskan nih,” seru Trimo sambil menunggu ibunya dan Murni menyendok nasi ke dalam piring
mereka.

Bu Trisni tersenyum.

“Habiskan saja Mo, nasi masak nasi lagi, aku tadi membeli beras lagi,” kata Murni.

“Dasar Trimo, memang dia makannya banyak kok Bu,” tukas ibunya.

Trimo nyengir sambil mengambil nasi, lalu mencomot sepotong ikan goreng.

“Tidak apa-apa ya Mo, biar sehat. Kan Trimo juga turut bekerja keras membantu ibu,” kata Murni lagi.

Makan siang berjalan lancar. Bu Trisni maupun Murni sama sekali tidak menyinggung apa yang mereka perbincangkan sebelumnya, mengingat Trimo yang masih kecil, dan belum bisa mengerti apa yang terjadi pada Murni.

Tapi ketika sore harinya, saat Trimo pergi untuk mengambil uang jualan gorengan
yang dititipkannya, bu Trisni kembali memberi semangat kepada Murni agar memikirkan orang tuanya yang sedang menunggu.

“Bukannya saya tidak suka kalau bu Murni berada di rumah saya, tapi saya juga ikut memikirkan, bagaimana sedihnya seorang ibu ketika tidak bisa menghubungi anaknya, apalagi tidak jelas anaknya ada di mana.”

Murni menundukkan kepalanya. Terbayang olehnya ibunya berada di kampung, bersama lelaki yang dibencinya.

“Bu Murni jangan memikirkan diri sendiri, pikirkan orang tua bu Murni, dan bayi yang ibu kandung itu. Maaf ya Bu, saya lancang, sementara saya ini kan bukan siapa-siapa. Hanya saja karena bu Murni adalah seorang wanita yang telah berbaik hati untuk kehidupan saya dan Trimo, maka saya memberanikan diri bicara, demi
kebaikan bu Murni juga.”

“Baiklah, saya akan mengabari simbok saya, dan mengatakan bahwa saya baik-baik saja,” kata Murni sambil meraih ponselnya.”

Bu Trisni mengangguk, membiarkan Murni menulis pesan pada ponselnya.

Dalam hati bu Trini merasa iba, mengingat Murni mengalami hal yang mirip seperti dirinya, hanya bedanya, bu Trisni melakukan hal terlarang dengan penuh kesadaran, tapi Murni diperkosa. Hasilnya sama saja, mengandung tanpa seorang ayah bagi bayinya. Tapi tidak, masih ada harapan bagi Murni untuk memiliki suami, demi bayi yang dikandungnya. Beruntung laki-laki itu mau bertanggung jawab. Hanya menunggu Murni hilang rasa traumanya atas kejadian itu.

Murni meletakkan ponselnya, setelah mematikannya.

“Bu Murni mematikan ponsel itu?”

“Supaya simbok tidak menelpon saya.”

“Mengapa?”

“Saya belum bisa menjawab, apa saya bersedia pulang atau tidak.”

Bu Trisni menghela napas.

“Mengapa … maaf … Bu Murni keras kepala? Pengalaman yang saya dapatkan harusnya menjadi pelajaran bagi Bu Murni agar bisa menentukan langkah terbaik. Selalu ingatlah bayi di dalam kandungan Ibu, jangan hanya memikirkan diri sendiri. Demi anak, ibu manapun akan rela berkorban.”

Murni terkesiap. Ibu manapun akan rela berkorban demi anak. Sedangkan dia? Benar, dia hanya memikirkan dirinya sendiri. Lalu tiba-tiba Murni mengaktifkan kembali ponselnya.

Di atas balai-balai di depan rumah, yu Sarni dan Restu sedang duduk berdua. Yu Sarni sudah membaca pesan dari Murni mengenai keberadaannya di sebuah kampung, dalam keadaan baik-baik saja. Tapi Murni tidak mengatakan kapan akan pulang. Yu Sarni sedah langsung menelponnya, tapi ponsel Murni mati.

“Dia tidak mau bicara sama simboknya,” keluh yu Sarni.

“Sabar Yu, paling tidak dia sudah mengatakan bahwa dia baik-baik saja.”

“Saya akan mencobanya kembali,” kata yu Sarni sambil meraih ponselnya.

Restu berdebar ketika melihat mata yu Sarni berbinar.

“Diangkat, pekiknya ke girangan.

“Simbok…” kata Mumi dari seberang.

“Nduk, Murni, kamu di mana?”

“Kan aku sudah bilang sama simbok, aku baik-baik saja?”

“Tapi kamu ada di mana?”

“Di rumah seorang teman.”

“Pulanglah Mur, apa yang membuatmu lari dari simbok? Simbok kan sudah bilang, bahwa simbok tak akan marah?”

“Maafkan Murni ya Mbok,” terdengar isak Murni.

“Jangan menangis, pulanglah, simbok menunggu kamu di kampung.”

“Tapi….

“Apa yang kamu takutkan? Pak Restu bersedia bertanggung jawab, kamu tidak usah khawatir. Apa kamu tidak kasihan pada anakmu?”

Murni terdiam. Menghilangkan bayangan
serigala bertaring yang melintasi benaknya.

“Kamu harus pulang, simbok menunggu,” kata yu Sarni kemudian mematikan ponselnya.

“Bagaimana Yu?” tanya Restu.

“Semoga dia mau mendengarkan kata-kata saya. Tampaknya dia memikirkannya.

“Saya bisa mengerti, pasti dia takut ketemu saya.”

“Pelan-pelan, kalau melihat ketulusan hati Pak Restu, dia pasti akan bisa

enggan.”

“Semoga ya Yu.”

“Ya sudah, ini sudah menjelang sore, pak Restu belum makan. Sekarang makan ya Mas, saya bawa saja kemari nasinya?”

“Tidak Yu, ayo masuk saja ke dalam, tidak
enak makan di luar, dilihat orang lewat.”

Yu Sarni dan Restu masuk ke dalam rumah, makan siang yang kesorean dengan lahap, karena ada secercah harapan setelah berhasil berbicara dengan Murni.


Pagi hari itu Murni masih membantu bu Trisni menggoreng dagangan, dan menatanya seperti hari kemarin. Walau baru dua hari, rasanya Murni sudah seperti menjadi keluarga bu Trisni. Bu Trisni sangat baik, dan banyak memberi nasehat baik bagi dirinya. Rasanya sangat berat, ketika kemudian Murni memutuskan akan meninggalkan keluarga itu.

“Bu, biarpun hanya bersama-sama serumah dalam dua hari, tapi Bu Murni seperti sudah menjadi keluarga saya. Jadi kalau bu Murni jauhpun, saya akan selalu

ingat, dan tentu saja berdoa untuk kebahagiaan bu Murni.”

Murni mengusap air matanya, sambil melanjutkan menata dagangan yang akan dibawa Trimo. Setelah itu Trimo berangkat mengantarkan ke beberapa warung terdekat yang biasa dititipi dagangan, lalu pulang sambil membawa tiga bungkus nasi untuk sarapan bertiga.

Murni sudah menata kembali baju-baju yang akan dibawanya ke dalam koper. Setelah berpamitan dengan saling menumpahkan rasa haru, Murni meninggalkan rumah bu Trisni dengan diantarkan Trimo sambil membawa dagangan berikutnya.

Bu Trisni terharu, Murni meninggalkan sejumlah uang, yang katanya untuk tambahan biaya kalau Trimo mau masuk sekolah.
“Tidak seberapa Bu, semoga ada manfaatnya.”

Sebelum berpisah, Murni memberi Trimo uang lagi.

“Belilah ponsel, yang murah saja dengan uang ini, agar kalau aku kangen bisa menghubungi kamu. Catat nomorku,” kata Murni sambil memberikan secarik kertas yang sudah disiapkannya, bertuliskan nomor kontaknya.

Murni meninggalkan Trimo yang melambaikan tangannya sambil menitikkan air mata, ketika melihat Murni menaiki angkutan yang akan membawanya pulang.


Murni melangkah perlahan. Rumah tinggal yang lama ditinggalkan sudah tampak tak jauh didepan. Ia mengelap peluhnya karena udara panas membuatnya gerah.
Pintu rumahnya terbuka. Ia tidak memberi tahu simboknya kalau mau pulang hari itu. Tiba-tiba seseorang muncul. Laki-laki tampan yang juga terkejut melihatnya datang. Murni berdebar. Laki-laki itu tak bertaring seperti yang selalu ada dalam bayangannya.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 48

SELAMAT PAGI BIDADARI (46)

Karya Tien Kumalasari

Murni bergegas pulang ke rumah bu Trisni, ingin segera membuka ponsel dan mengirim pesan kepada majikannya.

Begitu masuk ke rumah, Bu Trisni sudah selesai mencuci, dan bersiap berangkat ke pasar. la terkejut melihat Murni membawa banyak belanjaan, dan pisang beberapa tandan yang sudah masak.

“Ya ampun Bu Murni, belanja banyak banget. Dan pisang ini kan berat, sementara pasarnya tidak begitu dekat,” kata bu Trisni sambil menerima belanjaan Murni.

“Ini untuk di jual besok kan Bu, kebetulan melihat pisang raja yang bagus-bagus.”

“Saya baru mau belanja ke pasar nih Bu.”

“Tidak apa-apa, Ibu belanja saja yang lainnya, pisangnya sudah ada. Saya juga mau memasak sayur dan ikan,” kata Murni sambil tersenyum.

“Ini malah jadi merepotkan Bu Murni, kan?”

“Tidak, sudah, jangan dipikirkan. Segera ke pasar Bu, biar saya masak untuk makan siang dan malam kita.”

“Baiklah Bu, saya berangkat dulu. Oh ya, cuciannya sudah saya jemur, tolong beritahu Trimo kalau pulang, supaya mengangkatnya kalau sudah kering.”

Murni mengangguk, kemudian bergegas masuk ke kamar untuk mengambil ponsel.

la sangat terkejut melihat

panggilan-panggilan tak terjawab, dari Wulan, juga dari simboknya. Tapi
simboknya mengirim pesan yang membuatnya kemudian menangis.

“Murni, kamu ke mana saja? Simbok dan semua orang bingung mencari kamu. Simbok sangat sedih mendengar kejadian yang menimpamu, tapi simbok tak akan marah. Ini sudah suratan takdir untuk kamu. Simbok tahu, kamu pasti sangat sedih, apalagi simbok. Tapi semua itu adalah cobaan dalam hidup kita. Yang terpenting adalah mencari jalan terbaik untuk mengentaskan kamu dari penderitaan. Kamu harus ingat Mur, anak yang kamu kandung itu tidak berdosa. Simbok khawatir kamu menyalahkannya dan menyesalinya. Jangan ya Mur, anak adalah anugerah, bagaimanapun cara kehadirannya.

Saat ini simbok ada di kampung, ditemani pak Restu yang sangat berharap bisa bertemu kamu. Dia sudah mengakui kesalahannya, dan berkali-kali meminta
maaf. Janganlah kamu lari lagi Mur, pak Restu akan bertanggung jawab. Dia bersedia menikahimu, dan menjadikanmu istrinya. Simbok menerimanya, bukan karena dia anak juragan, tapi ini adalah cara terbaik untuk menjadikan anakmu memiliki ayah. Bayangkan kalau tidak, apa jawab kamu ketika dia sudah bisa bertanya?”

Pak Restu sudah minta maaf. Pulanglah, simbok dan Pak Restu menunggu kamu di kampung. Jangan membuat simbok bertambah sedih Mur.”

Dari simbokmu yang menyayangimu.

Murni menggenggam ponselnya dan diletakkannya di dadanya. Air mata sudah meleleh membasahi pipinya, sejak kalimat yu Sarni yang pertama, terbaca olehnya.

la bersyukur simboknya tidak marah atau menyesalinya. Sang simbok justru
bersedih karena dia tidak pulang.

“Bu Murni kenapa?” suara itu mengejutkannya. Rupanya Trimo sudah pulang.

Murni mengusap air matanya.

“Kamu baru pulang Mo?” Murni malah balas bertanya.

“Iya, tadi sekalian membantu tukang warung melayani pembeli, hari ini laris sekali.”

“Kamu baik sekali Mo, mau membantu orang yang sedang kerepotan.”

“Dia juga selalu baik pada Trimo Bu, ini saya diberi uang sebagai upah. Saya sudah menolaknya, tapi dia nekat memasukkannya ke dalam saku. Nih uangnya,” kata Trimo sambil tersenyum.

“Ya sudah, itu namanya rejeki, jangan menolaknya, asalkan cara datangnya
bukan dengan cara yang tidak baik.”

“Iya Bu, saya mengerti. Mengapa Ibu menangis? Ada berita buruk?”

“Tidak Mo, baru saja membaca pesan dari simbok-ku, ternyata sudah dari kemarin, saya baru saja membukanya sepulang dari pasar.”

“Pasti dia sedih karena Bu Murni tidak pulang.”

“Aku bingung harus melakukan apa.”

“Bu Murni harus pulang, Bukan karena Trimo tidak suka kalau Bu Murni ada di sini, tapi seorang ibu pasti sedih kalau kehilangan anaknya. Saya tahu, karena pernah terlambat pulang karena ikut melihat sebuah keramaian, ibu mencari sambil menangis, karena hari mulai gelap. Setelah itu saya tidak berani lagi melakukannya.”

Murni tersenyum. Trimo masih
kanak-kanak, tapi karena seperti kehilangan masa kanak-kanaknya demi membantu ibunya, maka dia sering kali bicara bak orang dewasa.

Perlahan dia mengelus kepala Trimo, lalu beranjak ke dapur.

“Lhoh, siapa ini yang belanja? Apa Bu Murni?”

“Iya Mo, aku ingin masak hari ini.”

“Wah, masak apa Bu?’

“Pokoknya masak, dan semoga enak.”

“Ayuk Trimo bantuin.”

Murni kemudian mulai kegiatan memasaknya, sampai lupa akan menanyakan perihal transferan uang itu pada Rio, soalnya baru setengah bulan bekerja, itupun dia kemudian pergi tanpa pamit, tapi perusahaan sudah mengirimkan gajinya penuh sebulan.
“Pasti karena pak Rio,” gumam Murni tanpa terasa.

“Apa Bu? Siapa pak Rio?”

Murni terkejut, rupanya Trimo

mendengarnya.

“Rio itu majikan aku. Tadi aku melihat ke ATM, kok uangku bertambah, padahal belum bekerja penuh sebulan.”

“Berarti yang namanya Pak Rio itu orang baik. Dia tahu kalau bu Murni membutuhkan uang.”

Murni lagi-lagi tersenyum. Sekali lagi Trimo bicara seperti orang dewasa.

Selesai memasak dan membersihkan semua perabot kotor, Murni kembali ke kamarnya, setelah berpesan pada Trimo, agar menata masakan berikut nasinya di meja, agar kalau ibunya datang mereka segera bisa makan bersama-sama.

Murni mencari nomor Rio, kemudian
mengirimkan pesan, tentang transfer-an uang itu.

Tiba-tiba Murni terkejut, ketika mendengar dering panggilan di ponselnya. Rupanya Rio yang menelponnya, bukan hanya membalas pesannya.

“Ya Pak Rio.”

“Kamu di mana?”

“Saya di suatu tempat.”

“Pulanglah, kasihan yu Sarni. Dia pontang panting mencari kamu.”

Murni menghela napas.

“Iya, simbok sudah mengirimkan pesan untuk saya.”

“Lalu apa maksudmu pergi? Simbokmu tidak marah. Kasihan. Kamu membuatnya semakin sedih.”

“Iya, Pak.”
“Aku mengirimkan gaji kamu penuh sebulan, supaya bisa kamu pergunakan untuk ongkos pulang.”

“Terima kasih banyak Pak.”

“Kamu di mana? Biar aku jemput.”

“Tidak Pak, aku akan pulang sendiri.”

“Benarkah? Awas ya, jangan bohong. Dan kamu harus berpikir lebih matang, bahwa kamu tidak bisa menyelesaikan masalah kamu seorang diri. Anak yang kamu kandung itu butuh seorang ayah. Restu sudah mengakui kesalahannya, mengapa kamu menghindarinya? Aku tahu kamu trauma dengan kejadian itu, tapi itu sudah lewat. Yang bersalah sudah bertobat, terimalah dia. Itu bukan hanya demi kamu, tapi juga demi bayi yang kamu kandung itu.”

Murni terisak. Terbayang lagi wajah tampan laki-laki bernama Restu, tapi yang kemudian wajahnya berubah menjadi
serigala dengan taring-taring runcingnya. Murni menutup pembicaraan itu tiba-tiba. Dadanya berdegup kencang sekali.

Peristiwa mengerikan itu kembali menghantuinya.

la merebahkan tubuhnya, dan menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya.

“Bu Murni ada apa?” suara bu Trisni memasuki kamarnya.

Murni masih menangis, lalu bu Trisni duduk di tepi pembaringan.

“Ada apa?”

“Tolong katakan, apakah saya harus pulang Bu?”

Bu Trisni tahu, pasti Murni baru saja mendapat telpon, entah dari siapa, yang kemudian membuatnya menangis.

“Apa yang sebenarnya membuat Bu Murni takut untuk pulang?”
“Laki-laki itu.”

“Bukankah laki-laki itu sudah bertobat dan ingin menjadikan Bu Murni sebagai istri? Dia akan bertanggung jawab bukan?”

“Benar.”

“Lalu kenapa? Bukankah itu jalan terbaik?”

“Kalau mengingat kejadian itu… saya….”

“Bu Murni harus melupakannya. Perlahan-lahan, pasti lama kelamaan akan berhasil. Ingat bayi yang ada di dalam kandungan Ibu ini,” kata bu Trisni sambil mengelus perut Murni yang membuncit.”

“Saya selalu ketakutan setiap mengingatnya.”

“Jangan mengingat perbuatan jahatnya. Ingatlah akan rasa tobat dan
pengesalannya Bu. Kalau Allah saja Maha Pemurah, Maha Pemaaf, mengapa kita tidak bisa memaafkannya?”


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 47

SELAMAT PAGI BIDADARI (45)

Karya Tien Kumalasari

Murni menerima ponsel yang diberikan Trimo, tapi ia meletakkannya begitu saja di bangku di dekatnya, karena ia masih sibuk membantu bu Trisni menata dagangan yang akan di bawa Trimo.

“Sudah, bu Murni istirahat dulu, ini sudah selesai, tinggal ditata,” kata bu Trisni.

“Iya Bu, ini yang mau dibawa Trimo, bisakah membawanya Mo, atau aku bantu, mau dikirim kemana sih?”

“Di warung dekat dulu Bu, tidak usah, Trimo biasanya membawa sendiri. Lebih baik Bu Murni mandi, lalu kita sarapan dulu,” kata bu Trisni lagi.

“Baiklah kalau begitu,” kata Murni sambil berdiri, tak lupa mengambil ponselnya, lalu dibawanya masuk ke kamar.

“Mo, nanti pulangnya belikan nasi pecel, buat sarapan, di rumah sudah ada goreng tempe untuk lauknya,” perintah bu Trisni ketika Trimo mengangkat dagangannya.

“Iya Bu, sama beli karak juga ya.”

“Ya Mo, hati-hati di jalan.”

Bu Trisni mengawasi langkah anak semata wayangnya dengan rasa terharu. Anak kecil sebayanya yang masih suka bermain, tapi Trimo sibuk membantu ibunya mencari uang.

“Kasihan kamu Nak,” bisik bu Trisni sambil menatap haru.

Ia segera menata dagangan yang akan dibawa lagi oleh anaknya setelah kembali, karena warung berikutnya yang akan dititipi dagangan baru akan buka setelah jam tujuh pagi.

Sementara itu Murni segera bersiap mandi, dan belum berniat membuka ponselnya. Ada keinginan untuk menghubungi simboknya, tapi rasa ragu dan takut masih membayanginya.

Ia juga masih belum menyentuh ponselnya, saat mendengar suara Trimo memasuki rumah.

“Ini bu, nasi pecel, sama karak,” kata Trimo sambil meletakkan belanjaannya di meja.

“Baiklah, ayo kita sarapan dulu, mejanya sudah ibu bersihkan, tolong ambil piring dan sendok, juga tempe yang sudah ibu siapkan,” perintah bu Trisni.

“Baik,” jawab Trimo sambil melakukan perintah ibunya.

“Trimo sudah kembali?” tanya Murni yang baru keluar dari kamar, sambil menjinjing baju kotor yang ditaruhnya dalam sebuah tas kresek.

“Iya. Lhoh, bu Murni mau ngapain?”

“Di mana saya bisa mencuci baju saya ini Bu?”

“Jangan Bu, nanti biar saya yang mencuci. Taruh saja di situ, sekarang kita sarapan dulu,” kata bu Trisni.”

“Biar saya sendiri yang mencuci Bu, saya biasa mencuci sendiri.”

“Adduuuh, bu Murni, jangan begitu. Ayo sarapan dulu, kasihan dedek yang masih di dalam kandungan itu, pasti dia juga lapar,” kata Bu Trisni sambil mengambil tas kresek di tangan Murni, lalu membawanya ke belakang.

“Bu Trisni ….”

“Ayo sarapan dulu, mencucinya di sumur belakang, kasihan kalau bu Murni harus memompa airnya juga.”

“Iya Bu, mari sarapan dulu. Saya juga harus sarapan sebelum mengantar dagangan ke warung dekat pasar.

“Ayo Bu Murni,” bu Trisni menarik tangan Murni, diajaknya duduk di kursi makan.

“Saya benar-benar sungkan.”

“Mengapa bu Murni bilang begitu. Anggaplah ini seperti rumah sendiri.”

“Harusnya kalau mau beli makanan, Trimo bilang sama aku.”

“Saya sudah membawa uang Bu, jangan khawatir,” kata Trimo sambil menyuapkan nasi pecelnya.

Murni menatap Trimo sambil tersenyum. Nasi pecel dengan sayuran hijau dan kecambah, disiram sambal kacang, menebarkan aroma sedap yang menggugah selera. Tak urung Murni ikut menikmati makan pagi bersama keluarga kecil yang bersikap hangat itu.

“Ini sayuran, bagus untuk ibu hamil,” kata Bu Trisni.

“Saya tidak hamil, tapi ini juga menyehatkan saya kan bu?” canda Trimo.

Bu Trisni dan Murni tertawa mendengar candaan Trimo.

“Sayuran itu menyehatkan semua orang Mo, bukan hanya untuk orang hamil saja,” sambung Murni.

“Iya Bu, Trimo hanya bercanda. Sekarang Trimo sudah selesai, mau nganter dagangan lagi ya.”

“Duduk dulu sebentar Mo, minum, biar makanannya turun, nanti perutmu sakit lho.”

“Iya, Trimo mau minum dulu sebentar, baru berangkat lagi.”
Setelah Trimo berangkat, bu Trisni langsung ke sumur yang letaknya di belakang rumah, untuk mencuci, bukan hanya pakaian Murni, tapi juga pakaiannya sendiri. Murni tak mampu mencegahnya.

“Bu Murni istirahat saja, ini sumur pompa, berat bu, takutnya mengganggu kandungan bu Murni juga. Biar saya mencucinya, saya kan sudah buasa.”

“Terima kasih banyak Bu, sekarang saya mau jalan-jalan ke pasar ya.”

“Mau beli apa Bu?”

“Pengin beli sayur, nanti masak sayur bening ya Bu.”

“Ya ampun, sebentar, saya ambilkan uangnya Bu, kalau mau belanja,” kata bu Trisni sambil bergegas masuk rumah.

“Tidak Bu, ini sudah ada.”

“Waduh, bagaimana ini, kok jadi bu Murni yang belanja.”

“Tidak apa-apa, hanya sayur saja.”

“Padahal sebentar lagi saya juga mau belanja.”

“Saya kan sambil jalan-jalan Bu, supaya tidak hanya bengong di rumah.”

“Baiklah Bu, hati-hati.”

Murni tersenyum, lalu masuk ke kamar untuk mengambil dompetnya. Ia lupa untuk membuka ponselnya, karena ingin berbelanja dan memasak untuk keluarga bu Trisni yang baik ini.


Setelah menyiapkan sarapan pagi. Yu Sarni mengajak Restu untuk sarapan seadanya. Saat itu Restu sedang mengutak atik ponselnya.

“Pak Restu, sarapan dulu seadanya ya,” kata yu Sarni.

“Yu Sarni masak?”

“Tidak, beli nasi dan lauk di warung.”

Restu berdiri dan mengikuti yu Sarni ke ruang makan. Dua nasi bungkus sudah di siapkan. Mau tak mau Restu menikmati makan paginya, walau hatinya tidak merasa tenang.

“Murni belum membaca pesan saya,” kata yu Sarni.

“Iya Yu, mungkin belum.”

“Atau enggan.”

“Tidak, kita tidak tahu ada apa, tapi kemungkinannya dia lupa ngecas. Saya juga sama gelisahnya sama yu Sarni, tapi kita harus bersabar. Baru saja saya menelpon pak Rio, mereka juga belum mendapat kabar apa-apa tentang Murni.”

“Semoga dia baik-baik saja.”

“Aamiin. Yu, ini uang, bawa saja, kalau yu Sarni mau membeli makanan.”

Yu Sarni tersipu. Dia memang tak membawa uang, karena tadinya juga tidak berniat pulang. Dia membeli makanan karena ada saudara yang membelikannya.

“Maaf Pak Restu, baiklah, nanti saja kalau mau beli, saya minta.”

“Bawa saja sekalian yu, supaya gampang. Saya tahu yu Sarni tidak sempat membawa uang.”

Yu Sarni mengangguk. Tapi sebentar-sebentar dia melihat ke arah ponsel, dan dengan kecewa dia melihat bahwa pesan yang dikirimnya belum juga dibuka oleh anaknya.


Murni berjalan-jalan di pasar, membeli sayur dan ikan, serta beberapa bumbu. Ia juga membeli beberapa tandan pisang ketika melihat pisang bagus di gelar oleh pedagangnya.

Lalu Murni merasa cukup, karena belanjaan itu terlalu berat. Tiba-tiba Murni teringat bahwa dia harus memeriksakan kandungannya, setelah beberapa hari tidak beristirahat dengan baik. Murni mencari kotak ATM untuk mengambil uang, barangkali diperlukan saat di periksa.

Tapi ketika melihat saldonya, Murni terkejut karena uang yang ada sudah bertambah.

“Apakah perusahaan tetap menggaji saya walau saya pergi tanpa pamit?”

Merasa tak enak, dia harus menanyakannya kepada Restu. Tapi Murni lupa tidak membawa ponselnya.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 46

SELAMAT PAGI BIDADARI (44)

Karya Tien Kumalasari

Murni menggeliat, dan merasa sedikit nyaman karena bisa terlelap walau hanya sebentar. Ia merasa, kamar yang ditempatinya tampak remang. Murni perlahan bangkit, melongok ke arah jendela kayu yang masih terbuka. Ternyata hari sudah sore.

Ia bangkit, meraih ponselnya yang ternyata mati karena seharian tidak di cas. Murni merogoh tasnya, mencari charger, dan mengeluarkannya. Matanya menatap ke sekeliling kamar, barangkali ada stop kontak di dalam kamar itu, ternyata tidak ada. Ia meletakkan kembali ponsel dan chargernya, kemudian beranjak keluar kamar. Ia ingin ke kamar mandi. Ia membawa handuk dan perlengkapan mandi serta baju ganti sekalian.

“Bu Murni sudah bangun ?” sapa bu Trisni yang sedang menata belanjaan di meja dapur.

“Iya, maaf, ketiduran.”

“Kenapa minta maaf Bu, saya senang bu Murni bisa tidur di atas tikar yang keras.”

“Ah, biasa saja. Itu bukan masalah. Mana Trimo?”

“Saya tadi lupa beli minyak, Trimo saya suru kembali ke warung.”

“Oh, tadi bu Trisni belanja?”

“Iya, buat jualan besok Bu.”

“Banyak belanjaannya.”

“Sekarang sudah semakin banyak, nanti sebelum subuh harus sudah bangun. Menggoreng pisang, bakwan jagung, ubi, ini semua Bu, tapi tadi saya lupa membeli minyak.”

“Besok saya bantu ya Bu.”

“Ya ampun, pasti Bu Murni lelah, nggak usah saja. Lebih baik beristirahat.”

“Tidak apa-apa Bu, saya biasa memasak kalau di rumah majikan, sekarang saya mau mandi dulu ya Bu,” katanya sambil beranjak ke kamar mandi.

“Iya Bu, silakan, setelah mandi akan saya siapkan teh hangat untuk bu Murni.”

“Jangan Bu, nanti saya buat sendiri saja.”

“Tidak apa-apa. Sudah, bu Murni mandi dulu saja.”

Bu Trisni tersenyum. Dia sedang menyiapkan apa saja yang akan dijual besok. Ia membuat kulit sosis, menyiapkan tepung dan bumbu. Semua dijalaninya dengan penuh semangat. Karena dengan dagangan itu, hidupnya bersama Trimo bisa lebih tertata, dan Trimo juga bisa punya harapan untuk sekolah, hal yang selalu didambakannya.

Murni sudah keluar dari kamar mandi, ia masuk kembali ke kamar untuk menyisir rambutnya agar terlihat rapi, dan ketika keluar, bu Trisni sudah menyiapkan teh hangat dan goreng pisang.

“Silakan diminum dulu Bu,” kata bu Trisni sambil menemani duduk.

“Ini kok sudah ada pisang goreng, harusnya besok pagi kan nggorengnya?”

“Cuma nggoreng sedikit, untuk cemilan. Silakan bu Murni. Mari saya temani.”

Murni menghirup teh panas yang dihidangkan, dan merasa segar.

“Saya merepotkan sekali ya Bu.”

“Sama sekali tidak Bu, sungguh saya senang bisa melakukannya untuk Bu Murni. Apa yang dilakukan Ibu untuk saya dan Trimo, tak akan terbalas hanya dengan secangkir teh dan sedikit makanan. Jadi Ibu jangan sungkan, anggap saja seperti di rumah sendiri.”

“Terima kasih Bu.”

“Pisangnya Bu, masih hangat, baru saja saya menggoreng beberapa butir.”

Murni meraih sepotong pisang goreng, dan mengunyahnya dengan nikmat.”

“Enak sekali Bu, ini pisang raja bukan?”

“Iya, pisang raja, dan harus tua. Pisang raja yang muda, kalau digoreng kurang enak, agak sepat, begitu.”

“Iya betul Bu.”

“Bu Murni sudah bangun,” tiba-tiba Trimo masuk sambil membawa belanjaan.”

“Iya Mo, ayo sini, temani aku makan pisang goreng enak nih,” kata Murni.

“Iya Bu, sebentar. Ini Bu, belanjaannya,” katanya kemudian kepada ibunya.

Bu Trisni berdiri, beranjak ke belakang mengikuti Trimo. Tak lama kemudian Trimo keluar, menemani Murni duduk.

“Belanja di mana?”

“Di pasar Bu, kalau di warung, harganya sudah agak mahal. Keuntungannya jadi berkurang.”

Murni tersenyum. Namanya pedagang, selisih sedikit saja diperhitungkan.

“Bagus, kamu pinter sekali.”
“Biasa saja. Ibu suka gudeg?”

“Suka.”

“Saya tadi beli gudeg sambal goreng, untuk makan malam kita.”

“Ya ampun Trimo, kenapa kamu nggak bilang. Aku juga punya sedikit uang untuk makan kita.”

“Tidak Bu. Bu Murni kan tamu. Biar kami yang menjamu.”

Murni terkekeh.

“Kamu itu masih kecil, tapi pinter ngomong ya. Aku ini bukan tamu, anggap saja keluarga jauh. Mulai besok, aku mau membantu ibu memasak gorengan.”

“Nanti Bu Murni kecapekan.”

“Ya tidak dong Mo, sebelum ini aku juga bekerja. Jadi kalau hanya goreng menggoreng saja, buat aku sudah biasa. Oh iya Mo, aku mau ngecas ponsel, dimana ya stop kontaknya?”

“Oh, itu Bu, di balik pintu.”

“Baiklah, aku ambil ponselku dulu, dari tadi mati karena tidak di cas.”


Hari sudah malam. Yu Sarni dan Restu masih terjaga. YU Sarni sudah menulis pesan panjang lebar di ponselnya, yang dikirimkan ke Murni. Tapi tampaknya ponsel itu tidak aktif. Restu yang melihat ponsel yu Sarni, mengatakan bahwa tadi Murni sempat membuka ponselnya, saat hari masih sore, tapi kemudian mati sampai malam.

“Dia tahu kalau yu Sarni menelpon, tadi sore dia mengaktifkan ponselnya. Tapi sekarang mati,” kata Restu sambil meletakkan kembali ponselnya di meja.

“Berarti dia tidak peduli sama saya.”

“Belum pasti juga Yu, bisa jadi ponselnya mati karena tidak di cas.”

“Kira-kira dia di mana ya Pak, saya khawatir sekali.”

“Murni bukan anak kecil Yu, dia pasti bisa menjaga dirinya.”

“Bagaimana Pak Restu bisa begitu yakin? Bagaimana kalau dia putus asa, lalu_”

“Tidak, jangan berpikir buruk. Aku yakin Murni tidak akan melakaukannya.”

“Pak Restu selalu meyakini hal yang tidak jelas,” kesal yu Sarni.

“Murni menyayangi bayi yang di kandungnya, jadi dia akan selalu melindunginya. Dan kalau melindungi bayi itu kan berarti dia juga melindungi dirinya sendiri? Aku tahu, karena Murni rajin memeriksakan kandungannya. Jadi dia sangat menjaga dirinya dan bayi yang dikandungnya.”

Yu Sarni akhirnya bisa menerima penjelasan Restu, dan lebih merasa tenang.

“Hari sudah malam, sebaiknya pak Restu beristirahat. Kamarnya sudah saya tata dan bersihkan. Ada kasurnya, tapi sangat tipis dan sudah keras. Maklum, kasur sudah berpuluh tahun, sejak Murni belum lahir.”

“Iya Yu, gampang. Yu Sarni saja yang tidur lebih dulu, aku belum ngantuk, karena sudah biasa tidur malam.”

“Pak Restu, sebelum saya tidur, saya ingin meyakinkan terlebih dulu. Benarkah pak Restu akan menikahi Murni?”

“Saya sudah mengatakannya, dan saya akan menepatinya. Begitu Murni pulang, saya akan segera menikahinya. Sejak kemarin-kemarin saya sudah ingin melakukannya, tapi Murni selalu menolaknya. Nanti kalau yu Sarni yang membujuk dia, semoga saja dia tidak menolak.”

“Tentu saja saya akan memaksanya, mana mungkin dia melahirkan anak tanpa ada bapaknya.”

“Terima kasih Yu. Sekarang tidurlah.”


Menepati janjinya, Murni bangun pagi sekali, saat mendengar suara kelutak kelutik dari arah dapur. Setelah membersihkan diri, Murni segera menuju dapur. Bu Trisni sudah mulai menyalakan kompor dan siap menggoreng dagangannya.

Trimo masih terlelap. Ibunya membiarkannya. Sebenarnya Trimo masih terlalu kecil untuk membantu orang tua mencari uang. Tapi Trimo anak baik karena memang dididik dengan baik. Dia ikut membanting tulang membantu ibunya, dengan mengantarkan dagangan setiap pagi ke warung-warung, lalu mengambil uangnya sebelum sore, karena ibunya akan mempergunakannya untuk belanja untuk dagangan berikutnya.

Berkutat di dapur membantu bu Trisni, Murni sangat menikmatinya. Ia juga ikut menata di wadah-wadah yang disediakan, yang akan diantarkan Trimo ke warung-warung.

“Bu, Bu Murni lupa mengentas ponselnya, semalaman di sana,” tiba-tiba Trimo yang sudah bangun berteriak.

“Oh iya, tolong lepaskan dan bawa sini Mo.”


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 45

SELAMAT PAGI BIDADARI (43)

Karya Tien Kumalasari

Ada ucapan ibunya Trimo yang menusuk perasaannya. Dan mulai dipikirkannya. Bagaimana kalau kelak anaknya bertanya siapa ayahnya? Akankah dia mengatakan kebusukan laki-laki yang dibencinya itu kepada anak yang terlahir karena kelakuannya. Sementara Murni sama sekali tak berani menatap wajah laki-laki itu. Batinnya terasa terkoyak apabila mengingatnya, apalagi memandanginya. Mana mungkin dia akan bersedia menerimanya walau sebenarnya dia tak pantas bersanding dengannya karena dirinya hanyalah anak pembantu.

Laki-laki tak bermoral itu sudah menyadari kesalahannya, bahkan bersedia menikahinya, tapi dia tak mampu menatap wajahnya. Kengerian selalu mencengkeram jiwanya setiap kali melihatnya. Bahkan membayangkan wajahnya saja ia tak berani. Ia merasa seperti melihat serigala dengan taring-taring tajamnya, yang siap mengoyak tubuhnya hingga luluh berdarah-darah.

Murni menutup wajahnya dengan kedua tangannya, berharap bayangan itu lenyap dari angan-angannya.

“Bu Murni …” sapa ibunya Trimo karena melihat bahwa Murni sedari tadi hanya diam, lalu tampak sangat gelisah.

Murni melepaskan tangannya, lalu tampaklah wajahnya memerah menahan tangis.

“Bu Murni jangan tersinggung. Saya hanya mengatakan apa yang sebenarnya terjadi, dan bahwa kelak dikemudian hari, akan ada pertanyaan semacam itu.”

“Saya selalu ketakutan.”

“Maukah bu Murni tinggal di sini untuk sementara waktu, agar bisa mengendapkan rasa gelisah dalam memikirkan kehidupan yang membuat bu Murni ketakutan?”

Wajah Murni berseri mendengar tawaran itu. Sesungguhnya dia butuh tempat bernaung untuk bisa menenangkan diri. Tapi kemudian dia ragu-ragu. Rumah itu begitu kecil, tampaknya hanya ada dua kamar, jadi bagaimana kalau dia merepotkan mereka?

“Memang sih Bu, rumah ini kecil. Tapi bu Murni bisa tidur di salah satu kamar yang ada. Saya hanya berdua dengan Trimo. Tapi yaa …. Memang beginilah keadaan rumah ini. Bu Murni yang biasanya tinggal di rumah bagus pasti keberatan untuk_”

“Tidak, bukan begitu. Saya hanya takut merepotkan saja. Soal rumah, saya juga punya rumah di kampung, yang tidak jauh bedanya dengan rumah ini. Saya ini kan hanya anak oembantu.”

“Syukurlah kalau bu Murni tidak keberatan, saya akan membersihkan dulu kamarnya, sehingga bu Murni bisa segera beristirahat.”

Bu Trisni berdiri, beranjak ke belakang, sementara Murni menyandarkan tubuhnya di kursi, ada perasaa lega karena ia mendapatkan tempat bernaung, agar bisa menenangkan diri dari kegelisahan yang selalu melandanya.

“Lhoh, mana ibu?” tiba-tiba Trimo masuk membawa bungkusan besar yang tampak berat. Murni berdiri untuk membantunya, karena Trimo masih terhitung anak kecil.

“Belanja apa Mo?” kata Murni sambil meminta bungkusan plastik yang dibawa Trimo. Tak begitu berat sebenarnya, tapi tentu berbeda dengan Trimo yang masih kanak-kanak.

“Hanya beras dua kilo, sama telur, sama kecap, biar saya saja Bu.”

“Biar aku bantu, harus diletakkan di mana ini Mo?”

“Di dapur.”

Trimo mendahului berjalan, Murni mengikutinya, kemudian meletakkan belanjaan itu di atas meja, atas permintaan Trimo.

“Sudah Bu, kembalilah duduk, ini nanti biar diurus sama ibu.”

Murni kembali duduk. Trimo menuju ke arah kamarnya, melihat ibunya mengganti sarung bantal dan guling, dan membersihkan balai-balai beralaskan tikar.

“Apa bu Murni mau tidur di sini?” tanya Trimo.

“Iya Mo, kasihan dia. Nanti kamu tidur sama ibu ya Nak?”

“Iya Bu, syukurlah bu Murni mau tidur di rumah kita.”

“Kasihan, tampaknya dia sedang bingung, tak tahu harus pergi kemana.”

“Mana Bu, Trimo bantu,” kata Trimo.

“Sudah selesai Mo, kamu temani saja bu Murni, ibu mau menanak nasi sama menggoreng telur untuk makan malam nanti, sama sayur tadi masih ada kan. Atau kamu minta saja bu Murni agar beristirahat di sini sekarang.”

Trimo beranjak kembali ke depan, duduk di depan Murni yang menyandarkan tubuhnya di kursi.

“Bu, kalau Ibu mau rebahan, kamarnya sudah siap. Tapi kami tidak punya kasur Bu, alasnya hanya tikar.”

“Tidak apa-apa Mo, aku sudah biasa tidur beralas tikar, rumahku di kampung juga nggak punya kasur.”
“Ya sudah, ibu istirahat dulu, kopernya saya bawa ke kamar ya,” kata Trimo sambil mendekati kopor yang sejak tadi masih berada di dekat pintu masuk, kemudian menariknya ke dalam kamar. Murni mengikutinya.

“Bu, saya merepotkan ya?” kata Murni sebelum masuk kedalam kamar yang ditunjukkan Trimo, lalu melihat bu Trisni sedang sibuk di ruang belakang.

“Tidak … tidak, bu Murni, saya senang bisa melakukannya. Silakan rebahan dulu, tapi maaf, alasnya hanya tikar, kami tidak punya kasur.”

“Tidak apa-apa Bu, saya biasa tidur di atas tikar. Terima kasih, saya rebahan sebentar ya Bu.”

“Silakan Bu Murni, jangan sungkan. Kalau bu Murni ingin membersihkan diri dulu, kamar mandi ada di belakang. Antarkan Mo,” katanya kemudian kepada Trimo.

“Mari Bu, kamar mandinya di sana,” kata Trimo sambil menunjukkan arah kamar mandi kepada Murni.

Terasa sedikit segar ketika ia berhasil mengguyur tubuhnya dengan air.

Trimo menutup pintunya setelah Murni kembali ke kamar.

Murni mengganti bajunya yang terasa lengket berdebu dalam perjalanan sejak siang tadi, kemudian merebahkan tubuhnya. Terdengar derit perlahan ketika tubuh lelah itu terbaring di sana.

Murni menghela napas panjang. Ia tak menyangka dirinya bisa terdampar di sebuah tempat yang sangat asing baginya. Dan beruntung bertemu dengan orang yang pernah ditolongnya.

Ia meraba kopor yang terletak di sampingnya, dan mengambil ponsel yang dimatikannya sejak dia pergi meninggalkan mes.

Ia mengaktifkannya, dan menemukan berpuluh-puluh panggilan, diantaranya dari simboknya, dari Wulan, dan dari teman-teman kerjanya. Tapi yang membuatnya sedih adalah yang dari simboknya.

“Ya Tuhan, simbok … apakah simbok marah sama aku?”

Tangan Murni gemetar, ingin kembali menelpon simboknya, tapi ragu-ragu. Lalu ia membiarkannya, sampai terlelap karena lelah.


Yu Sarni duduk di depan Restu, sama-sama diam, dan kegelisahan yang sama. Hari mulai senja, tapi tak ada tanda-tanda Murni pulang ke rumah.

“Tampaknya Murni tidak pulang kemari,” gumam yu Sarni.

“Kita tunggu saja Yu, siapa tahu nanti malam. Ini kan masih sore,” kata Restu berusaha menghibur, padahal dirinya juga merasa tidak tenang.

“Bagaimana kalau dia tidak pulang kemari?”

“Murni bukan anak kecil, ia pasti bisa menjaga diri.”

“Kalau dia tidak pulang kemari, lalu kemana, coba?”

“Barangkali dia justru takut sama yu Sarni, karena dia menutupi semuanya sejak awal.”

“Ya ampuun, lalu apa yang harus saya lakukan. Saya mau bilang bahwa tidak akan marah, tapi saya menelpon tidak diangkat, ponselnya mati, lalu bagaimana?”

“Bagaimana kalau mengirim pesan saja Yu, jadi kalaupun ponsel tidak aktif, suatu saat kalau dia membukanya, pasti dia akan membacanya.”

“Apa begitu ya, Pak Restu?”

“Sekarang yu Sarni menuliskan saja pesan, katakan bahwa yu Sarni tidak marah, dan mengharap bertemu dia. Dan jangan lupa bilang, bahwa saya juga menunggunya, siap menikahinya. Kata-katanya terserah yu Sarni, pokoknya isinya seperti itu.”

Yu Sarni mengangguk. Ia mengambil ponselnya yang tertinggal di dalam kamar, lalu menuliskan pesan seperti saran Restu. Pesan yang sangat panjang, dan yu Sarni berharap akan bisa menyentuh hati anaknya.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 44

SELAMAT PAGI BIDADARI (42)

Karya Tien Kumalasari

Murni sangat terkejut, ia menoleh ke arah anak kecil yang memanggilnya.

“Trimo ?”

“Kok ibu ada di sini?”

“Aku … lapar,” katanya agak bingung untuk menjawabnya, tapi jawaban ‘lapar’ adalah tepat, karena dia memang baru saja selesai makan.

“Ibu mau ke mana?” tanya Trimo yang belum tahu siapa nama orang yang telah membantunya.

Murni tak bisa menjawab, bingung mau mengatakan apa.

“Rumah saya dekat dari sini. Ibu mau mampir?” lanjut Trimo karena Murni tak segera menjawab pertanyaannya.

Murni tersenyum, ia senang karena memang tak tahu kemana ia harus pergi.

“Baiklah.”

“Saya ambil uang gorengan yang saya titipkan di sini dulu, kelihatannya sudah habis,” kata Trimo yang kemudian menuju ke arah belakang warung.

Trimo menarik kopor yang tadi dibawa Murni.

“Saya tidak tahu nama Ibu,” kata Trimo.

“Panggil aku bu Murni.”

“Oh, Bu Murni? Saya baru tahu. Ketika saya mengembalikan rantang, saya tidak bisa menyebut nama Bu Murni, hanya mengatakan bahwa yang memberi saya makanan adalah seorang wanita hamil.”

Murni sudah mendengar dari Wulan tentang kedatangan Trimo, dan itulah sebabnya dia kabur. Ia tak berani menghadapi ibunya yang entah bagaimana perasaannya setelah mengetahui peristiwa yang menimpanya, sehingga dia hamil.

“Nanti saya kenalkan dengan ibu saya,” kata Trimo lagi.

“Ibumu sudah sembuh?”

“Sudah. Ibu senang, sekarang bisa jualan gorengan, lalu saya titipkan di warung-warung.”

“Oh ya? Banyak laku?”

“Selalu habis terjual Bu, saya bisa menabung, besok bisa mendaftarkan sekolah. Terima kasih ya Bu.”

“Senang mendengarnya.”

“Ibu sangat berterima kasih karena bu Murni membantu kami. Sekarang ibu tidak usah menunggu orang memintanya untuk bersih-bersih rumah, atau mencuci di rumah tetangga. Ibu setiap hari membuat gorengan. Ada pisang, ada bakwan, ada sosis. Pokoknya banyak, setiap hari saya berkeliling ke warung-warung. Kalau pagi mengantarkan dagangan, siang atau sorenya mengambil uangnya, atau kalau ada sisa yang tidak terjual. Tapi jarang sekali sisa,” celoteh Trimo, membuat Murni senang, apa yang dilakukannya tak sia-sia.

Murni mengelap keringat di keningnya, karena perjalanan yang agak jauh membuatnya lelah dan berkeringat.

“Itu rumah saya Bu, kecil,” kata Trimo sambil menunjuk ke arah sebuah rumah sederhana beberapa meter di hadapannya.

Trimo menarik tangan Murni ketika mereka sudah di depan rumah itu.

“Ibu … ibu … ada bu Murni !” teriak Trimo sambil mengajak Murni langsung masuk.

Seorang wanita seumur simboknya keluar dari dalam rumah. Rambutnya yang sudah separuh memutih, di gelung kecil. Wajahnya kehitaman, tapi dulunya pasti seorang gadis yang manis dan rupawan.

Ia menatap wanita hamil yang digandeng Trimo.

“Ini ,,,, “

“Ini namanya bu Murni, yang memberi makanan dan uang untuk kita Bu.”

Murni mengulurkan tangannya, disambut dengan hangat oleh ibunya Trimo.

“Ini? Yang memberi makanan dan uang?”

Murni tersenyum.

“Iya Bu, Trimo bertemu ketika bu Murni sedang makan,” kata Trimo.

“Oh, silakan duduk … maaf, ini kursi tua, maaf,” kata ibunya.

Murni duduk sambil tersenyum. Merasa lega karena penatnya terobati dengan bisa duduk di kursi itu, walaupun hanya kursi tua yang sudah kusam.

“Saya Trisni, ibunya Trimo,” katanya sambil menemani duduk.

“Maaf, saya mengganggu.”

“Tidak, tidak … sama sekali tidak. Trimo … buatkan minum untuk bu Murni ya,” teriak bu Trisni kemudian, kepada Trimo yang sudah berada di arah belakang.

“Ya Bu. Uang dari warung Trimo letakkan di kamar Ibu,” teriak Trimo.

Bu Trisni hanya tersenyum.

“Ibu mau ke mana? Kelihatannya mau bepergian jauh,” kata bu Trisni sambil menatap ke arah kopor yang diletakkan Trimo di dekat pintu.

Murni tak menjawab, bingung mau mengatakan apa, karena sesungguhnya dia tak punya tujuan tertentu.
Trimo keluar sambil membawa segelas teh, diletakkan di meja.

“Trimo masih kecil, tapi pintar ya,” puji Murni.

“Kami dari kecil hidup serba kekurangan, Trimo banyak belajar untuk bisa melakukan semuanya sendiri, bahkan dia juga bisa menanak nasi, dan sekedar membuat lauk. Yang mudah-mudah saja sih, misalnya menggoreng, membuat mie instan,” kata bu Trisni sambil tertawa kecil.

“Hebat sekali.”

“Bu, tadi Trimo belum jadi membeli beras, mau beli sekarang ya,” kata Trimo setelah meletakkan gelasnya.

“Oh, iya, sama beli saja beberapa butir telur, dan kecap,” perintah bu Trisni.

Trimo mengangguk, lalu bergegas keluar.

“Beginilah kami Bu, terpaksa Trimo belum bisa masuk sekolah karena keadaan. Tapi berkat bu Murni, Trimo sudah bisa menabung. Katanya mau segera masuk sekolah tahun depan.”

“Syukurlah Bu, senang saya mendengarnya.”

“Kalau saja Trimo punya ayah ….” Gumam bu Trisni seperti kepada dirinya sendiri.

“Kemana ayahnya?”

“Tidak punya ayah,” kata bu Trisni pelan.

Murni menatap mata bu Trisni, tampak genangan air mata di sana.”

“Saya hamil karena sebuah pergaulan yang terlarang. Saya dan pacar tergoda oleh godaan setan, lalu semuanya terjadi. Saya hamil setelahnya, tapi dia kemudian melarikan diri, tak mau bertanggung jawab. Saya hancur, lalu kabur dari rumah, dan tinggal disini, sampai Trimo lahir, dan saya besarkan dia seorang diri.”

Murni tak berkomentar, tiba-tiba terasa ada sembilu mengiris hatinya. Dia juga mengalaminya, walau tidak sama kejadiannya. Perlahan dia mengelus perutnya yang membuncit.

“Saya bekerja seadanya, dan hidup berkekurangan. Untunglah bu Murni kemudian menolong kami,” kata bu Trisni sambil mengusap air matanya.

Murni meraih gelas minumnya, lalu meneguknya seteguk.

“Maaf, kok saya jadi cerita yang macam-macam, bukankah itu aib? Maaf ya bu,” kata bu Trisni, sambil mencoba tersenyum.

“Tidak apa-apa Bu, saya bisa mengerti. Semoga nanti bu Trisni dan Trimo akan menemukan kehidupan yang lebih baik.”

“Aamiin, terima kasih Bu.”

Murni meneguk lagi minumannya.”

“Tapi bu Murni tadi belum menjawab, sebenarnya mau kemana? Kok ya bisa, kebetulan lewat di kampung ini, sehingga saya bisa bertemu dengan seorang penolong hidup saya.”

“Sesungguhnya saya hanya perantara. Yang menolong adalah Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Bu.”

“Iya benar, saya juga selalu berterima kasih setiap sujud saya.”

“Sesungguhnya saya tak tahu akan pergi ke mana,” akhirnya kata Murni.

“Bu Murni kabur dari suami?”

“Tidak, nasib kita hampir sama. Saya kabur karena takut orang tua, karena hamil tanpa dia mengetahuinya,” kata Murni lirih.

“Oh, Bu Murni belum menikah?”

Murni menggeleng.

“Pacar bu Murni kabur juga?”

Murni kembali menggeleng, membuat bu Trini heran.

“Saya korban perkosaan,” lalu air mata Murni pun luruh.

“Ya Tuhan,” bu Trisni menutup mulutnya, terkejut.

“Saya pergi karena tak berani menghadapi ibu saya. Saya bingung tak tahu harus kemana,” lirihnya.

“Harusnya dicari si pemerkosa itu, suruh bertanggung jawab. Kalau tidak mau, laporkan pada polisi, Bu,” geram bu Trisni.

Murni tertegun. Pemerkosa itu bukan tak mau bertanggung jawab, dirinyalah yang tak sudi menatap wajahnya sedikitpun.

“Lihatlah saya Bu. Nasib kita hampir sama, tapi jangan sampai anak yang ibu kandung tak punya ayah. Saya sedih setiap kali Trimo bertanya siapa ayahnya. Bagaimanapun dia berhak tahu, tapi saya tidak tahu di mana ayahnya berada,” kata bu Trisni sendu.

Murni tertegun, kembali mengelus perutnya.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 43

SELAMAT PAGI BIDADARI (41)

Karya Tien Kumalasari

Tanpa diduga, mereka sampai di mes, dimana Murni tinggal, dan datang bersama dengan Bu Broto bersama pak Broto dan Restu serta yu Sarni. Wulan langsung turun dan merangkul yu Sarni yang wajahnya pucat dan sembab. Wulan bisa menebak, bahwa Restu dan ibunya pasti sudah mengatakan semuanya pada yu Sarni.

“Yu Sarni jangan cemas ya,” hibur Wulan.

Tapi yu Sarni diam saja. Dia masih merasa kesal pada keluarga Broto, termasuk Wulan dan Rio, karena merahasiakan kejadian itu selama berbulan-bulan. Ia juga sangat marah pada Restu yang tega menodai anaknya dengan memperkosanya.

“Di mana Murni? Di sini kah?” tanyanya tanpa jelas dia bertanya pada siapa. Yang lain juga sedang dipenuhi oleh rasa was-was tentang Murni. Jangan-jangan Murni jatuh sakit setelah Wulan menelponnya.

Rio dan Wulan mendahului masuk, tapi mes itu sudah sepi, karena semua karyawan pastinya sudah bekerja.

“Dia tinggal di sini?” tanya yu Sarni sambil mengikuti langkah Wulan. Pak Broto dan istrinya serta Restu mengikuti di belakang. Restu yang paling belakang, karena sesungguhnya dia masih takut kalau Murni histeris lagi begitu melihatnya.

Wulan dan Rio sudah sampai di depan pintu kamar Murni. Wulan mengetuknya.

“Murni … Murni …”

Tak ada jawaban.

“Murni, ini aku Mur, tolong buka pintunya.”

Tetap membisu. Dan rasa khawatir menyergap hati semua orang.

“Murni, buka pintunya Murni.”

Tak ada suara apapun dari dalam, lalu dari belakang muncul penjaga mes yang tergopoh menghampiri ketika melihat Rio.

“Mencari Mbak Murni, Pak?”

“Iya, tapi kok sepertinya dia tidak ada di kamarnya. Tapi dia juga tidak ke kantor,” kata Rio.

“Dia pergi kira-kira sejam yang lalu, dengan membawa kopor.”

“Membawa kopor?” kata yang hadir hampir bersamaan.

“Ya, saya bertanya sama dia, mau ke mana? Dia bilang mau pulang kampung.”

“Pulang kampung?”

“Kalau begitu saya akan menyusulnya ke kampung,” kata yu Sarni tiba-tiba.

“Tunggu Yu, jangan pergi sendiri, mari saya antar,” kata Rio.

“Saya bisa naik angkot.”

“Tidak, aku sama Wulan akan mengantar kamu. Tapi biar Wulan mencoba menelpon dulu,” kata Rio sambil menatap Wulan.

Wulan segera mengambil ponselnya, dan mencoba menghubungi Murni. Tapi kemudian dia geleng-geleng kepala, dicobanya lagi, tanpa hasil.

“Ponselnya tidak aktif,” keluh Wulan.

“Ya sudah, kita antar yu Sarni saja sama-sama,” kata Rio.

“Aku ikut,” sambung Restu.

“Ibu sama Bapak pulang saja ya,” kata Rio lagi.

“Kami antar bapak sama ibu dulu, kemudian langsung ke kampungnya yu Sarni,” kata Wulan.

Akhirnya yu Sarni menurut. Hatinya sedang tidak tenang, dan dia butuh teman. Kemarahannya kepada keluarga Broto sedikit memudar, melihat perhatian mereka terhadap dirinya dan anaknya.


Tapi ternyata di kampungnya, yu Sarni tak menemukan Murni. Rumahnya yang sederhana, tampak kosong, walaupun bersih karena setiap dua hari sekali ada saudaranya yang membersihkan, selama Murni mengikutinya ke kota.

Saudara yu Sarni yang tinggal di dekat rumahnya, membukakan pintunya, dan mempersilakan mereka semua duduk di balai-balai, sedangkan dia menghidangkan minuman hangat atas permintaan yu Sarni.

“Kalaupun Murni ingin pulang, barangkali dia belum sampai. Sebaiknya kita menunggu,” kata Restu.

Tapi Wulan berpendapat, bahwa Murni tak mungkin pulang, karena dia menyembunyikan keadaannya yang hamil dari siapapun juga. Apalagi hampir orang sekampung adalah masih ada ikatan keluarga. Walau begitu, Wulan tak mengucapkan apapun juga. Ia mengantarkan yu Sarni pulang ke kampung, hanya karena ingin membuat yu Sarni senang karena ada yang menemani.

“Silakan diminum, biar adik saya menyiapkan makanan untuk semuanya.”

“Tidak yu, tidak usah, nanti kita bisa makan di warung, jangan sampai merepotkan.”

“Bagaimana kalau Murni tidak pulang kemari yu?” tanya Rio yang punya pemikiran sama dengan istrinya.
“Biar saya menunggunya di sini, barangkali dia akan sampai sore hari, atau malam.”

“Jadi yu Sarni kami tinggalkan di sini saja?”

“Sebaiknya begitu Bu.”

“Jangan lupa mengabari saya kalau Murni sudah datang ya Yu, atau kalau yu Sarni mau kembali ke kota, nanti saya akan menjemput kemari.”

Yu Sarni hanya mengangguk. Sebenarnya hati yu Sarni tidak tenang karena memikirkan anaknya, dan dalam hati semua orang menyalahkan Murni karena tidak sejak awal berterus terang kepada simboknya, padahal Restu bersedia bertanggung jawab pada akhirnya.

Sampai menjelang sore, tidak ada tanda-tanda Murni akan pulang.

“Bu Wulan sebaiknya pulang saja dulu, biar saya menunggu di rumah. Nanti begitu Murni datang, akan saya ajak kembali ke rumah bu Wulan atau bu Broto,” kata yu Sarni sendu.

“Sebenarnya kami tidak tega meninggalkan yu Sarni sendirian di sini, tapi kami meninggalkan pekerjaan juga.”

“Wulan sama pak Rio pulang saja. Biar aku di sini menemani yu Sarni,” kata Restu tiba-tiba.

Rio menatap Restu dengan rasa kagum. Restu bukan Restu yang dulu. Ia benar-benar ingin bertanggung jawab, dan itu membuatnya harus mengacungi jempol.

“Jangan Pak Restu, rumah yu Sarni jelek. Tidak ada kasurnya untuk tidur, hanya balai-balai beralas tikar,” kata yu Sarni yang akhirnya luluh atas begitu besarnya perhatian Restu.

“Tidak apa-apa Yu, aku pernah mengalami hidup sengsara. Disini malah masih ada atap tempat bernaung, aku pernah tidur beratap langit.”

“Tapi saya merasa tidak enak.”

“Yu, aku kan calon menantu kamu, jadi biarkan aku menemani di sini,” kata Restu sambil merangkul pundak yu Sarni yang duduk di sampingnya.

Yu Sarni terharu, kemarahannya kepada Restu sudah meleleh.

“Baiklah, jadi mas Restu akan tinggal di sini menemani yu Sarni?” tanya Wulan.

“Iya, pulang saja kalian, aku akan di sini sampai Murni datang,” kata Restu mantap.

Rio menepuk bahu Restu tanda kagum.

“Biar aku urus sementara bengkel pak Restu, ya.”

“Terima kasih banyak,” jawab Restu sambil tersenyum.


Rio dan Wulan kembali dengan meninggalkan Restu, tapi di jalan, Rio memberhentikan mobilnya di sebuah toko.

“Beli apa?”

“Baju ganti untuk mas Restu, beberapa setel saja, barangkali membutuhkan waktu beberapa hari untuk menunggu, karena aku yakin Murni tidak pulang ke rumah.”

Wulan setuju. Mereka membelikan beberapa potong baju dan makanan juga untuk cemilan, lalu kembali ke rumah yu Sarni dan memberikan apa yang mereka beli.

“Ya ampun, kalian kembali lagi hanya untuk ini?” kata Restu.

“Apa kamu akan terus mengenakan baju kamu itu, lalu yu Sarni akan merasa pusing mencium bahu keringat kamu?” canda Wulan.

Yu Sarni juga berterima kasih karena Wulan membelikan juga makanan untuk mereka.


Tentu saja Murni tidak kembali ke rumahnya di kampung. Hatinya yang labil, sangat panik mendengar simboknya bertanya tentang wanita hamil yang ada di rumah Wulan, dan akhirnya pasti keluarga Broto juga akan mengatakan semuanya.

Ia naik bis yang menuju ke arah luar kota, tapi bukan ke kampungnya.

“Ia berjalan tak tentu arah, dan berhenti ketika menemukan sebuah warung. Ia bisa menahan haus dan lapar, tapi ia mengingat bayi di dalam kandungannya. Ia harus kuat. Itu sebabnya dia masuk ke warung itu, hanya sekedar untuk minum segelas teh hangat dan sepiring nasi.

Ketika ia selesai makan, ia berpikir akan kemana lagi kakinya akan melangkah. Murni benar-benar bingung dan belum juga membayar makan dan minumnya. Tiba-tiba Murni terkejut ketika seseorang menepuk lengannya.

“Bu, kok ada di sini?”

Murni terkejut bukan alang kepalang.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 42