Karya Tien Kumalasari
Wulan dan Rio saling pandang dengan tersenyum lucu, melihat ulah pak Broto dan bu Broto. Mereka kemudian melihat Restu memasuki ruangan setelah pak Broto memberi kode.
Restu berjingkat mendekati pak Broto, dan tersenyum lebar melihat bu Broto memejamkan matanya.
“Sudah apa belum? Sudah capek nih, aku,” seru bu Broto tanpa berani membuka matanya.
“Baiklah Bu, sekarang ibu boleh membuka mata, karena hadiahnya sudah siap di depan ibu.”
Bu Broto membuka matanya perlahan, membayangkan sebuah bungkusan dengan pita merah yang dirangkai seperti bunga mawar. Tapi ia tak melihat bungkusan itu. Yang ada adalah sesosok bayangan seorang laki-laki tampan yang menatapnya haru.
Bu Broto terbelalak.
“Kamu?”
“Inilah hadiah buat Ibu,” kata pak Broto sambil merangkul pundah Restu.
“Kamu?”
Lalu Restu merangkul ibunya yang kemudian menitikkan air mata karena haru dan bahagia.”
“Syukurlah kamu ditemukan Restu, kalau tidak, bapakmu tak akan pulang,” kata bu Broto sambil masih terus merangkul anaknya.
“Wulan, katakan pada dokter, aku mau pulang. Aku ingin masak yang enak untuk Restu.”
“Bu, ini sudah malam, dokternya sudah pulang,” kata Wulan.
“Aku tidak sakit, mengapa dibawa ke sini?”
“Besok kalau dokternya visite kemari, ibu boleh bilang sama dokternya. Kalau Ibu sudah dinyatakan sehat, pasti diijinkan pulang.”
“Aku kan tidak sakit, ini akal-akalan ayah kamu saja.”
“Ibu tidak tahu ya? Tadi tuh ibu sampai lemas, dan agak panas. Mana bisa aku membuarkannya.”
“Aku lemas, karena tidak makan seharian,” kata bu Broto sambil memegangi perutnya, membuat semua orang tertawa.
“Ibu mau makan apa?”
“Bolehkah keluar? Aku mau makan di luar.”
“Tidak boleh Bu, kan Ibu masih diinfus? Ibu ingin makan apa, nanti Rio belikan. Untuk makan bersama-sama disini,” kata Rio. Wulan ikut mengangguk setuju.
“Ide bagus, aku juga lapar,” kata pak Broto.
Rio menggamit lengan istrinya, kemudian keduanya keluar dari ruangan.
“Restu, apa kamu menyesal karena telah tidak mempedulikan istri kamu selama hidup bersama?”
“Banyak yang Rio sesali. Banyak yang hilang dari impian Restu, tapi Restu tidak menyesalinya. Ini adalah jalan hidup Restu, dan Restu harus menjalaninya. Nyatanya Restu menemukan ketenangan yang lebih, dan belum pernah Restu rasakan sebelum ini.
“Senang sekali ibu mendengarnya.”
“Bu, sebenarnya Restu ini telah menemukan jalan hidupnya. Dia sekarang menjadi pimpinan sebuah perusahaan dan hidup nyaman walau tidak berlimpah harta,” kata pak Broto.
“Perusahaan apa itu?”
“Bengkel mobil.”
“Bengkel mobil?”
“Iya Bu, dan itu juga atas kebaikan Rio. Restu menyesal dulu sangat merendahkan Rio, ternyata dia bukan orang sembarangan, dan telah mengentaskan hidup Restu sehingga Restu bisa makan enak, dan tidur nyenyak.”
Lalu Restu menceritakan semua yang dialaminya kepada sang ibu, yang mendengarkannya penuh perhatian. Tentu saja bu Broto terkejut, tidak mengira Rio telah melakukan sesuatu yang penuh makna kepada orang yang dulu selalu merendahkannya. Bu Broto bersyukur, anak semata wayangnya bisa berbuat sesuatu yang sangat berlawanan dengan masa lalunya, dan benar-benar menyadari semua kesalahannya.
“Kamu akan kembali ke rumah kan Restu?” tanya ibunya menahan haru.
Restu merangkul ibunya.
“Restu akan sering datang menemui Ibu, tapi Restu tetap akan tinggal di bengkel, karena Restu memiliki tanggung jawab besar atas mengkel itu.”
Bu Broto tampak kecewa, tapi dia merasa senang karena Restu telah menjadi orang yang bertanggung jawab.
“Ibu, sekarang Restu ingin bertanya.”
“Bertanyalah, tentang apa?”
“Tentang Murni,” kata Restu sambil menundukkan wajahnya. Bayangan malam buruk itu kembali melintas, menghantam dadanya dan terasa sakit.
Bu Broto menatap suaminya, yang berdiri termangu di sampung Restu, saat Restu menyebut nama Murni.
“Kamu tahu apa yang terjadi atas dia?” tanya pak Broto.
“Restu pernah bertemu, beberapa minggu yang lalu. Apa dia sudah menikah?”
“Menikah? Itukah menurutmu?”
“Restu tidak tahu. Saat melihatnya, dia langsung kabur. Jadi Restu tidak sempat bicara, padahal Restu ingin mengatakan sesuatu.”
“Tidak bisa di sangkal, dia pasti benci sama kamu.”
“Restu melihat perutnya besar, itu sebabnya Restu bertanya, apakah dia menikah?”
“Tidak. Bayi yang dikandung itu adalah darah dagingmu,” kata pak Broto, sementara bu Broto kembali berlinang air mata.
“Ya Tuhan,” keluh Restu sambil menundukkan wajahnya.
“Apa yang akan kamu lakukan?” tanya pak Broto.
“Di mana dia sekarang? Waktu Restu ketemu, dia tidak di tempat yang dekat dengan rumah.”
“Dia menjauh, dan berbohong sama simboknya, jadi dia berbohong, mengatakan pergi bekerja di Jakarta.”
“Sesungguhnya dia di sini saja?”
“Ya. Dia bekerja di kantornya Rio. Tidak di rumah Wulan untuk sementara, pastinya smpai anaknya lahir.”
“Apa yang ingin kamu lakukan?”
“Restu ingin bertemu dia, dan menikahinya,” katanya lirih.
Pak Broto merangkul pundah Restu penuh haru. Ia bangga anaknya punya rasa tanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya.
“Tapi dia sangat benci sama kamu, Restu,” kata bu Broto lirih.
“Restu akan menemuinya dan mencoba bicara.”
“Semoga yang terbaik untuk kalian Nak, ibu bangga kamu bisa melakukan hal yang seharusnya kamu lakukan,” kata bu Broto sambil mengusap air matanya.
Pagi itu Murni sedang bersiap untuk merangkat bekerja. Ia sedang makan pagi dengan lahap. Heran juga Murni, mengapa semakin besar kandungannya, semakin besar juga nafsu makannya. Ia menghabiskan sepiring nasi dan saemangkuk sup, yang dimasaknya pagi sebelum mandi.
Tiba-tiba ponselnya berdering.
“Dari bu Wulan,” gumam Wulan sambil meraih ponsel yang terletak di meja.
“Murni?” sapa Wulan dari seberang.
“Ya, bu Wulan.”
“Lagi ngapain, kamu Mur? Sudah mandi kah?”
“Sudah mandi Bu, baru selesai sarapan, lalu mau berangkat bekerja.”
“Oh, syukurlah. Aku hanya ingin bilang, nanti sore jadwal kamu kontrol kan>”
“Iya Bu. Tapi bu Wulan tidak usah repot-repot mengantarkan, saya bisa berangkat sendiri.”
“Tapi aku ingin melihat dengan mata kepalaku sendiri, bagaimana wajah anak laki-lakiku,” kata Wulan bersemangat. Tapi entah mengapa, perkataan Wulan itu membuat Murni merasa tidak senang. Kata ‘anakku’ terasa sangat sumbang di telinga Murni. Perlahan dia mengelus perutnya, dan berbisik dalam hati, kamu anakku bukan? Bukan anak siapa-siapa.
“Murni, kamu masih di situ?” seru Wulan karena Murni diam beberapa saat lamanya.
“Oh, eh … iya Bu, ini … sambil mengangkut piring kotor ke tempat cucian.
“Baiklah, jam berapa nanti periksa? Seperti biasanya kan?”
“Ya, tapi saya kira saya akan sendiri saja, tidak usah bu Wulan mengantarkannya.”
“Mengapa Murni? Kamu tidak suka?”
“Bukan, Nggak enak saja karena merepotkan bu Wulan, sementara saya bisa melakukannya sendiri.”
“Murni, kamu lupa bahwa yang kamu kandung adalah anakku?” kata Wulan sambil tertawa.
Tapi kembali perkataan itu membuar Murni merasa tidak suka.
“Ya sudah Bu, maaf, saya akan segera masuk kerja, takut terlambat.”
“Sebentar Murni, aku ingin mengatakan sesuatu.”
“Tentang apa Bu?”
“Mas Restu ingin menemui kamu.”
“Tidak, saya tidak mau ketemu dia,” katanya tandas.
Murni meletakkan ponselnya, dan merenung sejenak. Sungguh Murni tidak suka, Wulan ikut campur dalam memikirkan kandungannya. Sekarang Murni sedang berpikir, bagaimana caranya mencegah Wulan menjamah apalagi menguasai anaknya. Apalagi Wulan mengatakan bahwa Restu ingin menemuinya. Tidak, Murni tidak mau melihat tampang laki-laki yang telah merobek masa depannya menjadi kepingan-kepingan kecil yang berterbangan dan rapuh saat angin menerpanya.
“Aku harus pergi,” gumamnya sambil bersiap pergi bekerja.
Besok lagi ya.
Bersambung ke Jilid 35