SELAMAT PAGI BIDADARI (44)

Karya Tien Kumalasari

Murni menggeliat, dan merasa sedikit nyaman karena bisa terlelap walau hanya sebentar. Ia merasa, kamar yang ditempatinya tampak remang. Murni perlahan bangkit, melongok ke arah jendela kayu yang masih terbuka. Ternyata hari sudah sore.

Ia bangkit, meraih ponselnya yang ternyata mati karena seharian tidak di cas. Murni merogoh tasnya, mencari charger, dan mengeluarkannya. Matanya menatap ke sekeliling kamar, barangkali ada stop kontak di dalam kamar itu, ternyata tidak ada. Ia meletakkan kembali ponsel dan chargernya, kemudian beranjak keluar kamar. Ia ingin ke kamar mandi. Ia membawa handuk dan perlengkapan mandi serta baju ganti sekalian.

“Bu Murni sudah bangun ?” sapa bu Trisni yang sedang menata belanjaan di meja dapur.

“Iya, maaf, ketiduran.”

“Kenapa minta maaf Bu, saya senang bu Murni bisa tidur di atas tikar yang keras.”

“Ah, biasa saja. Itu bukan masalah. Mana Trimo?”

“Saya tadi lupa beli minyak, Trimo saya suru kembali ke warung.”

“Oh, tadi bu Trisni belanja?”

“Iya, buat jualan besok Bu.”

“Banyak belanjaannya.”

“Sekarang sudah semakin banyak, nanti sebelum subuh harus sudah bangun. Menggoreng pisang, bakwan jagung, ubi, ini semua Bu, tapi tadi saya lupa membeli minyak.”

“Besok saya bantu ya Bu.”

“Ya ampun, pasti Bu Murni lelah, nggak usah saja. Lebih baik beristirahat.”

“Tidak apa-apa Bu, saya biasa memasak kalau di rumah majikan, sekarang saya mau mandi dulu ya Bu,” katanya sambil beranjak ke kamar mandi.

“Iya Bu, silakan, setelah mandi akan saya siapkan teh hangat untuk bu Murni.”

“Jangan Bu, nanti saya buat sendiri saja.”

“Tidak apa-apa. Sudah, bu Murni mandi dulu saja.”

Bu Trisni tersenyum. Dia sedang menyiapkan apa saja yang akan dijual besok. Ia membuat kulit sosis, menyiapkan tepung dan bumbu. Semua dijalaninya dengan penuh semangat. Karena dengan dagangan itu, hidupnya bersama Trimo bisa lebih tertata, dan Trimo juga bisa punya harapan untuk sekolah, hal yang selalu didambakannya.

Murni sudah keluar dari kamar mandi, ia masuk kembali ke kamar untuk menyisir rambutnya agar terlihat rapi, dan ketika keluar, bu Trisni sudah menyiapkan teh hangat dan goreng pisang.

“Silakan diminum dulu Bu,” kata bu Trisni sambil menemani duduk.

“Ini kok sudah ada pisang goreng, harusnya besok pagi kan nggorengnya?”

“Cuma nggoreng sedikit, untuk cemilan. Silakan bu Murni. Mari saya temani.”

Murni menghirup teh panas yang dihidangkan, dan merasa segar.

“Saya merepotkan sekali ya Bu.”

“Sama sekali tidak Bu, sungguh saya senang bisa melakukannya untuk Bu Murni. Apa yang dilakukan Ibu untuk saya dan Trimo, tak akan terbalas hanya dengan secangkir teh dan sedikit makanan. Jadi Ibu jangan sungkan, anggap saja seperti di rumah sendiri.”

“Terima kasih Bu.”

“Pisangnya Bu, masih hangat, baru saja saya menggoreng beberapa butir.”

Murni meraih sepotong pisang goreng, dan mengunyahnya dengan nikmat.”

“Enak sekali Bu, ini pisang raja bukan?”

“Iya, pisang raja, dan harus tua. Pisang raja yang muda, kalau digoreng kurang enak, agak sepat, begitu.”

“Iya betul Bu.”

“Bu Murni sudah bangun,” tiba-tiba Trimo masuk sambil membawa belanjaan.”

“Iya Mo, ayo sini, temani aku makan pisang goreng enak nih,” kata Murni.

“Iya Bu, sebentar. Ini Bu, belanjaannya,” katanya kemudian kepada ibunya.

Bu Trisni berdiri, beranjak ke belakang mengikuti Trimo. Tak lama kemudian Trimo keluar, menemani Murni duduk.

“Belanja di mana?”

“Di pasar Bu, kalau di warung, harganya sudah agak mahal. Keuntungannya jadi berkurang.”

Murni tersenyum. Namanya pedagang, selisih sedikit saja diperhitungkan.

“Bagus, kamu pinter sekali.”
“Biasa saja. Ibu suka gudeg?”

“Suka.”

“Saya tadi beli gudeg sambal goreng, untuk makan malam kita.”

“Ya ampun Trimo, kenapa kamu nggak bilang. Aku juga punya sedikit uang untuk makan kita.”

“Tidak Bu. Bu Murni kan tamu. Biar kami yang menjamu.”

Murni terkekeh.

“Kamu itu masih kecil, tapi pinter ngomong ya. Aku ini bukan tamu, anggap saja keluarga jauh. Mulai besok, aku mau membantu ibu memasak gorengan.”

“Nanti Bu Murni kecapekan.”

“Ya tidak dong Mo, sebelum ini aku juga bekerja. Jadi kalau hanya goreng menggoreng saja, buat aku sudah biasa. Oh iya Mo, aku mau ngecas ponsel, dimana ya stop kontaknya?”

“Oh, itu Bu, di balik pintu.”

“Baiklah, aku ambil ponselku dulu, dari tadi mati karena tidak di cas.”


Hari sudah malam. Yu Sarni dan Restu masih terjaga. YU Sarni sudah menulis pesan panjang lebar di ponselnya, yang dikirimkan ke Murni. Tapi tampaknya ponsel itu tidak aktif. Restu yang melihat ponsel yu Sarni, mengatakan bahwa tadi Murni sempat membuka ponselnya, saat hari masih sore, tapi kemudian mati sampai malam.

“Dia tahu kalau yu Sarni menelpon, tadi sore dia mengaktifkan ponselnya. Tapi sekarang mati,” kata Restu sambil meletakkan kembali ponselnya di meja.

“Berarti dia tidak peduli sama saya.”

“Belum pasti juga Yu, bisa jadi ponselnya mati karena tidak di cas.”

“Kira-kira dia di mana ya Pak, saya khawatir sekali.”

“Murni bukan anak kecil Yu, dia pasti bisa menjaga dirinya.”

“Bagaimana Pak Restu bisa begitu yakin? Bagaimana kalau dia putus asa, lalu_”

“Tidak, jangan berpikir buruk. Aku yakin Murni tidak akan melakaukannya.”

“Pak Restu selalu meyakini hal yang tidak jelas,” kesal yu Sarni.

“Murni menyayangi bayi yang di kandungnya, jadi dia akan selalu melindunginya. Dan kalau melindungi bayi itu kan berarti dia juga melindungi dirinya sendiri? Aku tahu, karena Murni rajin memeriksakan kandungannya. Jadi dia sangat menjaga dirinya dan bayi yang dikandungnya.”

Yu Sarni akhirnya bisa menerima penjelasan Restu, dan lebih merasa tenang.

“Hari sudah malam, sebaiknya pak Restu beristirahat. Kamarnya sudah saya tata dan bersihkan. Ada kasurnya, tapi sangat tipis dan sudah keras. Maklum, kasur sudah berpuluh tahun, sejak Murni belum lahir.”

“Iya Yu, gampang. Yu Sarni saja yang tidur lebih dulu, aku belum ngantuk, karena sudah biasa tidur malam.”

“Pak Restu, sebelum saya tidur, saya ingin meyakinkan terlebih dulu. Benarkah pak Restu akan menikahi Murni?”

“Saya sudah mengatakannya, dan saya akan menepatinya. Begitu Murni pulang, saya akan segera menikahinya. Sejak kemarin-kemarin saya sudah ingin melakukannya, tapi Murni selalu menolaknya. Nanti kalau yu Sarni yang membujuk dia, semoga saja dia tidak menolak.”

“Tentu saja saya akan memaksanya, mana mungkin dia melahirkan anak tanpa ada bapaknya.”

“Terima kasih Yu. Sekarang tidurlah.”


Menepati janjinya, Murni bangun pagi sekali, saat mendengar suara kelutak kelutik dari arah dapur. Setelah membersihkan diri, Murni segera menuju dapur. Bu Trisni sudah mulai menyalakan kompor dan siap menggoreng dagangannya.

Trimo masih terlelap. Ibunya membiarkannya. Sebenarnya Trimo masih terlalu kecil untuk membantu orang tua mencari uang. Tapi Trimo anak baik karena memang dididik dengan baik. Dia ikut membanting tulang membantu ibunya, dengan mengantarkan dagangan setiap pagi ke warung-warung, lalu mengambil uangnya sebelum sore, karena ibunya akan mempergunakannya untuk belanja untuk dagangan berikutnya.

Berkutat di dapur membantu bu Trisni, Murni sangat menikmatinya. Ia juga ikut menata di wadah-wadah yang disediakan, yang akan diantarkan Trimo ke warung-warung.

“Bu, Bu Murni lupa mengentas ponselnya, semalaman di sana,” tiba-tiba Trimo yang sudah bangun berteriak.

“Oh iya, tolong lepaskan dan bawa sini Mo.”


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 45

Tags: No tags

One Response

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *