SELAMAT PAGI BIDADARI (45)

Karya Tien Kumalasari

Murni menerima ponsel yang diberikan Trimo, tapi ia meletakkannya begitu saja di bangku di dekatnya, karena ia masih sibuk membantu bu Trisni menata dagangan yang akan di bawa Trimo.

“Sudah, bu Murni istirahat dulu, ini sudah selesai, tinggal ditata,” kata bu Trisni.

“Iya Bu, ini yang mau dibawa Trimo, bisakah membawanya Mo, atau aku bantu, mau dikirim kemana sih?”

“Di warung dekat dulu Bu, tidak usah, Trimo biasanya membawa sendiri. Lebih baik Bu Murni mandi, lalu kita sarapan dulu,” kata bu Trisni lagi.

“Baiklah kalau begitu,” kata Murni sambil berdiri, tak lupa mengambil ponselnya, lalu dibawanya masuk ke kamar.

“Mo, nanti pulangnya belikan nasi pecel, buat sarapan, di rumah sudah ada goreng tempe untuk lauknya,” perintah bu Trisni ketika Trimo mengangkat dagangannya.

“Iya Bu, sama beli karak juga ya.”

“Ya Mo, hati-hati di jalan.”

Bu Trisni mengawasi langkah anak semata wayangnya dengan rasa terharu. Anak kecil sebayanya yang masih suka bermain, tapi Trimo sibuk membantu ibunya mencari uang.

“Kasihan kamu Nak,” bisik bu Trisni sambil menatap haru.

Ia segera menata dagangan yang akan dibawa lagi oleh anaknya setelah kembali, karena warung berikutnya yang akan dititipi dagangan baru akan buka setelah jam tujuh pagi.

Sementara itu Murni segera bersiap mandi, dan belum berniat membuka ponselnya. Ada keinginan untuk menghubungi simboknya, tapi rasa ragu dan takut masih membayanginya.

Ia juga masih belum menyentuh ponselnya, saat mendengar suara Trimo memasuki rumah.

“Ini bu, nasi pecel, sama karak,” kata Trimo sambil meletakkan belanjaannya di meja.

“Baiklah, ayo kita sarapan dulu, mejanya sudah ibu bersihkan, tolong ambil piring dan sendok, juga tempe yang sudah ibu siapkan,” perintah bu Trisni.

“Baik,” jawab Trimo sambil melakukan perintah ibunya.

“Trimo sudah kembali?” tanya Murni yang baru keluar dari kamar, sambil menjinjing baju kotor yang ditaruhnya dalam sebuah tas kresek.

“Iya. Lhoh, bu Murni mau ngapain?”

“Di mana saya bisa mencuci baju saya ini Bu?”

“Jangan Bu, nanti biar saya yang mencuci. Taruh saja di situ, sekarang kita sarapan dulu,” kata bu Trisni.”

“Biar saya sendiri yang mencuci Bu, saya biasa mencuci sendiri.”

“Adduuuh, bu Murni, jangan begitu. Ayo sarapan dulu, kasihan dedek yang masih di dalam kandungan itu, pasti dia juga lapar,” kata Bu Trisni sambil mengambil tas kresek di tangan Murni, lalu membawanya ke belakang.

“Bu Trisni ….”

“Ayo sarapan dulu, mencucinya di sumur belakang, kasihan kalau bu Murni harus memompa airnya juga.”

“Iya Bu, mari sarapan dulu. Saya juga harus sarapan sebelum mengantar dagangan ke warung dekat pasar.

“Ayo Bu Murni,” bu Trisni menarik tangan Murni, diajaknya duduk di kursi makan.

“Saya benar-benar sungkan.”

“Mengapa bu Murni bilang begitu. Anggaplah ini seperti rumah sendiri.”

“Harusnya kalau mau beli makanan, Trimo bilang sama aku.”

“Saya sudah membawa uang Bu, jangan khawatir,” kata Trimo sambil menyuapkan nasi pecelnya.

Murni menatap Trimo sambil tersenyum. Nasi pecel dengan sayuran hijau dan kecambah, disiram sambal kacang, menebarkan aroma sedap yang menggugah selera. Tak urung Murni ikut menikmati makan pagi bersama keluarga kecil yang bersikap hangat itu.

“Ini sayuran, bagus untuk ibu hamil,” kata Bu Trisni.

“Saya tidak hamil, tapi ini juga menyehatkan saya kan bu?” canda Trimo.

Bu Trisni dan Murni tertawa mendengar candaan Trimo.

“Sayuran itu menyehatkan semua orang Mo, bukan hanya untuk orang hamil saja,” sambung Murni.

“Iya Bu, Trimo hanya bercanda. Sekarang Trimo sudah selesai, mau nganter dagangan lagi ya.”

“Duduk dulu sebentar Mo, minum, biar makanannya turun, nanti perutmu sakit lho.”

“Iya, Trimo mau minum dulu sebentar, baru berangkat lagi.”
Setelah Trimo berangkat, bu Trisni langsung ke sumur yang letaknya di belakang rumah, untuk mencuci, bukan hanya pakaian Murni, tapi juga pakaiannya sendiri. Murni tak mampu mencegahnya.

“Bu Murni istirahat saja, ini sumur pompa, berat bu, takutnya mengganggu kandungan bu Murni juga. Biar saya mencucinya, saya kan sudah buasa.”

“Terima kasih banyak Bu, sekarang saya mau jalan-jalan ke pasar ya.”

“Mau beli apa Bu?”

“Pengin beli sayur, nanti masak sayur bening ya Bu.”

“Ya ampun, sebentar, saya ambilkan uangnya Bu, kalau mau belanja,” kata bu Trisni sambil bergegas masuk rumah.

“Tidak Bu, ini sudah ada.”

“Waduh, bagaimana ini, kok jadi bu Murni yang belanja.”

“Tidak apa-apa, hanya sayur saja.”

“Padahal sebentar lagi saya juga mau belanja.”

“Saya kan sambil jalan-jalan Bu, supaya tidak hanya bengong di rumah.”

“Baiklah Bu, hati-hati.”

Murni tersenyum, lalu masuk ke kamar untuk mengambil dompetnya. Ia lupa untuk membuka ponselnya, karena ingin berbelanja dan memasak untuk keluarga bu Trisni yang baik ini.


Setelah menyiapkan sarapan pagi. Yu Sarni mengajak Restu untuk sarapan seadanya. Saat itu Restu sedang mengutak atik ponselnya.

“Pak Restu, sarapan dulu seadanya ya,” kata yu Sarni.

“Yu Sarni masak?”

“Tidak, beli nasi dan lauk di warung.”

Restu berdiri dan mengikuti yu Sarni ke ruang makan. Dua nasi bungkus sudah di siapkan. Mau tak mau Restu menikmati makan paginya, walau hatinya tidak merasa tenang.

“Murni belum membaca pesan saya,” kata yu Sarni.

“Iya Yu, mungkin belum.”

“Atau enggan.”

“Tidak, kita tidak tahu ada apa, tapi kemungkinannya dia lupa ngecas. Saya juga sama gelisahnya sama yu Sarni, tapi kita harus bersabar. Baru saja saya menelpon pak Rio, mereka juga belum mendapat kabar apa-apa tentang Murni.”

“Semoga dia baik-baik saja.”

“Aamiin. Yu, ini uang, bawa saja, kalau yu Sarni mau membeli makanan.”

Yu Sarni tersipu. Dia memang tak membawa uang, karena tadinya juga tidak berniat pulang. Dia membeli makanan karena ada saudara yang membelikannya.

“Maaf Pak Restu, baiklah, nanti saja kalau mau beli, saya minta.”

“Bawa saja sekalian yu, supaya gampang. Saya tahu yu Sarni tidak sempat membawa uang.”

Yu Sarni mengangguk. Tapi sebentar-sebentar dia melihat ke arah ponsel, dan dengan kecewa dia melihat bahwa pesan yang dikirimnya belum juga dibuka oleh anaknya.


Murni berjalan-jalan di pasar, membeli sayur dan ikan, serta beberapa bumbu. Ia juga membeli beberapa tandan pisang ketika melihat pisang bagus di gelar oleh pedagangnya.

Lalu Murni merasa cukup, karena belanjaan itu terlalu berat. Tiba-tiba Murni teringat bahwa dia harus memeriksakan kandungannya, setelah beberapa hari tidak beristirahat dengan baik. Murni mencari kotak ATM untuk mengambil uang, barangkali diperlukan saat di periksa.

Tapi ketika melihat saldonya, Murni terkejut karena uang yang ada sudah bertambah.

“Apakah perusahaan tetap menggaji saya walau saya pergi tanpa pamit?”

Merasa tak enak, dia harus menanyakannya kepada Restu. Tapi Murni lupa tidak membawa ponselnya.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 46

Tags: No tags
0

One Response

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *