Karya Tien Kumalasari
Murni bergegas pulang ke rumah bu Trisni, ingin segera membuka ponsel dan mengirim pesan kepada majikannya.
Begitu masuk ke rumah, Bu Trisni sudah selesai mencuci, dan bersiap berangkat ke pasar. la terkejut melihat Murni membawa banyak belanjaan, dan pisang beberapa tandan yang sudah masak.
“Ya ampun Bu Murni, belanja banyak banget. Dan pisang ini kan berat, sementara pasarnya tidak begitu dekat,” kata bu Trisni sambil menerima belanjaan Murni.
“Ini untuk di jual besok kan Bu, kebetulan melihat pisang raja yang bagus-bagus.”
“Saya baru mau belanja ke pasar nih Bu.”
“Tidak apa-apa, Ibu belanja saja yang lainnya, pisangnya sudah ada. Saya juga mau memasak sayur dan ikan,” kata Murni sambil tersenyum.
“Ini malah jadi merepotkan Bu Murni, kan?”
“Tidak, sudah, jangan dipikirkan. Segera ke pasar Bu, biar saya masak untuk makan siang dan malam kita.”
“Baiklah Bu, saya berangkat dulu. Oh ya, cuciannya sudah saya jemur, tolong beritahu Trimo kalau pulang, supaya mengangkatnya kalau sudah kering.”
Murni mengangguk, kemudian bergegas masuk ke kamar untuk mengambil ponsel.
la sangat terkejut melihat
panggilan-panggilan tak terjawab, dari Wulan, juga dari simboknya. Tapi
simboknya mengirim pesan yang membuatnya kemudian menangis.
“Murni, kamu ke mana saja? Simbok dan semua orang bingung mencari kamu. Simbok sangat sedih mendengar kejadian yang menimpamu, tapi simbok tak akan marah. Ini sudah suratan takdir untuk kamu. Simbok tahu, kamu pasti sangat sedih, apalagi simbok. Tapi semua itu adalah cobaan dalam hidup kita. Yang terpenting adalah mencari jalan terbaik untuk mengentaskan kamu dari penderitaan. Kamu harus ingat Mur, anak yang kamu kandung itu tidak berdosa. Simbok khawatir kamu menyalahkannya dan menyesalinya. Jangan ya Mur, anak adalah anugerah, bagaimanapun cara kehadirannya.
Saat ini simbok ada di kampung, ditemani pak Restu yang sangat berharap bisa bertemu kamu. Dia sudah mengakui kesalahannya, dan berkali-kali meminta
maaf. Janganlah kamu lari lagi Mur, pak Restu akan bertanggung jawab. Dia bersedia menikahimu, dan menjadikanmu istrinya. Simbok menerimanya, bukan karena dia anak juragan, tapi ini adalah cara terbaik untuk menjadikan anakmu memiliki ayah. Bayangkan kalau tidak, apa jawab kamu ketika dia sudah bisa bertanya?”
Pak Restu sudah minta maaf. Pulanglah, simbok dan Pak Restu menunggu kamu di kampung. Jangan membuat simbok bertambah sedih Mur.”
Dari simbokmu yang menyayangimu.
Murni menggenggam ponselnya dan diletakkannya di dadanya. Air mata sudah meleleh membasahi pipinya, sejak kalimat yu Sarni yang pertama, terbaca olehnya.
la bersyukur simboknya tidak marah atau menyesalinya. Sang simbok justru
bersedih karena dia tidak pulang.
“Bu Murni kenapa?” suara itu mengejutkannya. Rupanya Trimo sudah pulang.
Murni mengusap air matanya.
“Kamu baru pulang Mo?” Murni malah balas bertanya.
“Iya, tadi sekalian membantu tukang warung melayani pembeli, hari ini laris sekali.”
“Kamu baik sekali Mo, mau membantu orang yang sedang kerepotan.”
“Dia juga selalu baik pada Trimo Bu, ini saya diberi uang sebagai upah. Saya sudah menolaknya, tapi dia nekat memasukkannya ke dalam saku. Nih uangnya,” kata Trimo sambil tersenyum.
“Ya sudah, itu namanya rejeki, jangan menolaknya, asalkan cara datangnya
bukan dengan cara yang tidak baik.”
“Iya Bu, saya mengerti. Mengapa Ibu menangis? Ada berita buruk?”
“Tidak Mo, baru saja membaca pesan dari simbok-ku, ternyata sudah dari kemarin, saya baru saja membukanya sepulang dari pasar.”
“Pasti dia sedih karena Bu Murni tidak pulang.”
“Aku bingung harus melakukan apa.”
“Bu Murni harus pulang, Bukan karena Trimo tidak suka kalau Bu Murni ada di sini, tapi seorang ibu pasti sedih kalau kehilangan anaknya. Saya tahu, karena pernah terlambat pulang karena ikut melihat sebuah keramaian, ibu mencari sambil menangis, karena hari mulai gelap. Setelah itu saya tidak berani lagi melakukannya.”
Murni tersenyum. Trimo masih
kanak-kanak, tapi karena seperti kehilangan masa kanak-kanaknya demi membantu ibunya, maka dia sering kali bicara bak orang dewasa.
Perlahan dia mengelus kepala Trimo, lalu beranjak ke dapur.
“Lhoh, siapa ini yang belanja? Apa Bu Murni?”
“Iya Mo, aku ingin masak hari ini.”
“Wah, masak apa Bu?’
“Pokoknya masak, dan semoga enak.”
“Ayuk Trimo bantuin.”
Murni kemudian mulai kegiatan memasaknya, sampai lupa akan menanyakan perihal transferan uang itu pada Rio, soalnya baru setengah bulan bekerja, itupun dia kemudian pergi tanpa pamit, tapi perusahaan sudah mengirimkan gajinya penuh sebulan.
“Pasti karena pak Rio,” gumam Murni tanpa terasa.
“Apa Bu? Siapa pak Rio?”
Murni terkejut, rupanya Trimo
mendengarnya.
“Rio itu majikan aku. Tadi aku melihat ke ATM, kok uangku bertambah, padahal belum bekerja penuh sebulan.”
“Berarti yang namanya Pak Rio itu orang baik. Dia tahu kalau bu Murni membutuhkan uang.”
Murni lagi-lagi tersenyum. Sekali lagi Trimo bicara seperti orang dewasa.
Selesai memasak dan membersihkan semua perabot kotor, Murni kembali ke kamarnya, setelah berpesan pada Trimo, agar menata masakan berikut nasinya di meja, agar kalau ibunya datang mereka segera bisa makan bersama-sama.
Murni mencari nomor Rio, kemudian
mengirimkan pesan, tentang transfer-an uang itu.
Tiba-tiba Murni terkejut, ketika mendengar dering panggilan di ponselnya. Rupanya Rio yang menelponnya, bukan hanya membalas pesannya.
“Ya Pak Rio.”
“Kamu di mana?”
“Saya di suatu tempat.”
“Pulanglah, kasihan yu Sarni. Dia pontang panting mencari kamu.”
Murni menghela napas.
“Iya, simbok sudah mengirimkan pesan untuk saya.”
“Lalu apa maksudmu pergi? Simbokmu tidak marah. Kasihan. Kamu membuatnya semakin sedih.”
“Iya, Pak.”
“Aku mengirimkan gaji kamu penuh sebulan, supaya bisa kamu pergunakan untuk ongkos pulang.”
“Terima kasih banyak Pak.”
“Kamu di mana? Biar aku jemput.”
“Tidak Pak, aku akan pulang sendiri.”
“Benarkah? Awas ya, jangan bohong. Dan kamu harus berpikir lebih matang, bahwa kamu tidak bisa menyelesaikan masalah kamu seorang diri. Anak yang kamu kandung itu butuh seorang ayah. Restu sudah mengakui kesalahannya, mengapa kamu menghindarinya? Aku tahu kamu trauma dengan kejadian itu, tapi itu sudah lewat. Yang bersalah sudah bertobat, terimalah dia. Itu bukan hanya demi kamu, tapi juga demi bayi yang kamu kandung itu.”
Murni terisak. Terbayang lagi wajah tampan laki-laki bernama Restu, tapi yang kemudian wajahnya berubah menjadi
serigala dengan taring-taring runcingnya. Murni menutup pembicaraan itu tiba-tiba. Dadanya berdegup kencang sekali.
Peristiwa mengerikan itu kembali menghantuinya.
la merebahkan tubuhnya, dan menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya.
“Bu Murni ada apa?” suara bu Trisni memasuki kamarnya.
Murni masih menangis, lalu bu Trisni duduk di tepi pembaringan.
“Ada apa?”
“Tolong katakan, apakah saya harus pulang Bu?”
Bu Trisni tahu, pasti Murni baru saja mendapat telpon, entah dari siapa, yang kemudian membuatnya menangis.
“Apa yang sebenarnya membuat Bu Murni takut untuk pulang?”
“Laki-laki itu.”
“Bukankah laki-laki itu sudah bertobat dan ingin menjadikan Bu Murni sebagai istri? Dia akan bertanggung jawab bukan?”
“Benar.”
“Lalu kenapa? Bukankah itu jalan terbaik?”
“Kalau mengingat kejadian itu… saya….”
“Bu Murni harus melupakannya. Perlahan-lahan, pasti lama kelamaan akan berhasil. Ingat bayi yang ada di dalam kandungan Ibu ini,” kata bu Trisni sambil mengelus perut Murni yang membuncit.”
“Saya selalu ketakutan setiap mengingatnya.”
“Jangan mengingat perbuatan jahatnya. Ingatlah akan rasa tobat dan
pengesalannya Bu. Kalau Allah saja Maha Pemurah, Maha Pemaaf, mengapa kita tidak bisa memaafkannya?”
Besok lagi ya.
Bersambung ke Jilid 47
Leave A Comment