Karya Tien Kumalasari
Murni termenung di dalam kamarnya. la mencoba meredakan gejolak kemarahan yang selalu muncul, setiap kali ia teringat malam menyeramkan itu. Ketika dia membayangkan wajah tampak Restu, tiba-tiba muncul taring di mulutnya, dan wajahnya berubah menjadi serigala, yang meringis kejam dan siap mencabik-cabik tubuhnya. Murni menutup wajahnya dengan kedua tangan, lalu menggoyang-goyangkan kepalanya untuk menghilaangkan bayangan itu.
“Bu Murni, bukankah saatnya kita makan?” tanya Trimo yang muncul di depan pintu.
Murni membuka tangannya, menatap
Trimo yang memandanginya dengan iba. la tahu Murni sedang tidak nyaman, walaupun dia tidak tahu apa yang terjadi
sebenarnya.
“Masakan bu Murni baunya sedap,” kata Trimo sambil terus berdiri di tengah pintu.
Murni bangkit dan mencoba tersenyum.
“Sudah kamu tata Mo?”
“Sudah daru tadi Bu, ibu juga sudah menunggu tuh.”
“Oh, maaf,” kata Murni sambil bangkit dan berjalan keluar kamar.
“Ayo bu Murni, Aduh, ini bu Murni masak enak. Nggak capek Bu?” tanya bu Trisni yang sudah duduk menunggu.
Murni duduk di depannya, berdampingan dengan Trimo.
“Wah, nasinya bisa Trimo habiskan nih,” seru Trimo sambil menunggu ibunya dan Murni menyendok nasi ke dalam piring
mereka.
Bu Trisni tersenyum.
“Habiskan saja Mo, nasi masak nasi lagi, aku tadi membeli beras lagi,” kata Murni.
“Dasar Trimo, memang dia makannya banyak kok Bu,” tukas ibunya.
Trimo nyengir sambil mengambil nasi, lalu mencomot sepotong ikan goreng.
“Tidak apa-apa ya Mo, biar sehat. Kan Trimo juga turut bekerja keras membantu ibu,” kata Murni lagi.
Makan siang berjalan lancar. Bu Trisni maupun Murni sama sekali tidak menyinggung apa yang mereka perbincangkan sebelumnya, mengingat Trimo yang masih kecil, dan belum bisa mengerti apa yang terjadi pada Murni.
Tapi ketika sore harinya, saat Trimo pergi untuk mengambil uang jualan gorengan
yang dititipkannya, bu Trisni kembali memberi semangat kepada Murni agar memikirkan orang tuanya yang sedang menunggu.
“Bukannya saya tidak suka kalau bu Murni berada di rumah saya, tapi saya juga ikut memikirkan, bagaimana sedihnya seorang ibu ketika tidak bisa menghubungi anaknya, apalagi tidak jelas anaknya ada di mana.”
Murni menundukkan kepalanya. Terbayang olehnya ibunya berada di kampung, bersama lelaki yang dibencinya.
“Bu Murni jangan memikirkan diri sendiri, pikirkan orang tua bu Murni, dan bayi yang ibu kandung itu. Maaf ya Bu, saya lancang, sementara saya ini kan bukan siapa-siapa. Hanya saja karena bu Murni adalah seorang wanita yang telah berbaik hati untuk kehidupan saya dan Trimo, maka saya memberanikan diri bicara, demi
kebaikan bu Murni juga.”
“Baiklah, saya akan mengabari simbok saya, dan mengatakan bahwa saya baik-baik saja,” kata Murni sambil meraih ponselnya.”
Bu Trisni mengangguk, membiarkan Murni menulis pesan pada ponselnya.
Dalam hati bu Trini merasa iba, mengingat Murni mengalami hal yang mirip seperti dirinya, hanya bedanya, bu Trisni melakukan hal terlarang dengan penuh kesadaran, tapi Murni diperkosa. Hasilnya sama saja, mengandung tanpa seorang ayah bagi bayinya. Tapi tidak, masih ada harapan bagi Murni untuk memiliki suami, demi bayi yang dikandungnya. Beruntung laki-laki itu mau bertanggung jawab. Hanya menunggu Murni hilang rasa traumanya atas kejadian itu.
Murni meletakkan ponselnya, setelah mematikannya.
“Bu Murni mematikan ponsel itu?”
“Supaya simbok tidak menelpon saya.”
“Mengapa?”
“Saya belum bisa menjawab, apa saya bersedia pulang atau tidak.”
Bu Trisni menghela napas.
“Mengapa … maaf … Bu Murni keras kepala? Pengalaman yang saya dapatkan harusnya menjadi pelajaran bagi Bu Murni agar bisa menentukan langkah terbaik. Selalu ingatlah bayi di dalam kandungan Ibu, jangan hanya memikirkan diri sendiri. Demi anak, ibu manapun akan rela berkorban.”
Murni terkesiap. Ibu manapun akan rela berkorban demi anak. Sedangkan dia? Benar, dia hanya memikirkan dirinya sendiri. Lalu tiba-tiba Murni mengaktifkan kembali ponselnya.
Di atas balai-balai di depan rumah, yu Sarni dan Restu sedang duduk berdua. Yu Sarni sudah membaca pesan dari Murni mengenai keberadaannya di sebuah kampung, dalam keadaan baik-baik saja. Tapi Murni tidak mengatakan kapan akan pulang. Yu Sarni sedah langsung menelponnya, tapi ponsel Murni mati.
“Dia tidak mau bicara sama simboknya,” keluh yu Sarni.
“Sabar Yu, paling tidak dia sudah mengatakan bahwa dia baik-baik saja.”
“Saya akan mencobanya kembali,” kata yu Sarni sambil meraih ponselnya.
Restu berdebar ketika melihat mata yu Sarni berbinar.
“Diangkat, pekiknya ke girangan.
“Simbok…” kata Mumi dari seberang.
“Nduk, Murni, kamu di mana?”
“Kan aku sudah bilang sama simbok, aku baik-baik saja?”
“Tapi kamu ada di mana?”
“Di rumah seorang teman.”
“Pulanglah Mur, apa yang membuatmu lari dari simbok? Simbok kan sudah bilang, bahwa simbok tak akan marah?”
“Maafkan Murni ya Mbok,” terdengar isak Murni.
“Jangan menangis, pulanglah, simbok menunggu kamu di kampung.”
“Tapi….
“Apa yang kamu takutkan? Pak Restu bersedia bertanggung jawab, kamu tidak usah khawatir. Apa kamu tidak kasihan pada anakmu?”
Murni terdiam. Menghilangkan bayangan
serigala bertaring yang melintasi benaknya.
“Kamu harus pulang, simbok menunggu,” kata yu Sarni kemudian mematikan ponselnya.
“Bagaimana Yu?” tanya Restu.
“Semoga dia mau mendengarkan kata-kata saya. Tampaknya dia memikirkannya.
“Saya bisa mengerti, pasti dia takut ketemu saya.”
“Pelan-pelan, kalau melihat ketulusan hati Pak Restu, dia pasti akan bisa
enggan.”
“Semoga ya Yu.”
“Ya sudah, ini sudah menjelang sore, pak Restu belum makan. Sekarang makan ya Mas, saya bawa saja kemari nasinya?”
“Tidak Yu, ayo masuk saja ke dalam, tidak
enak makan di luar, dilihat orang lewat.”
Yu Sarni dan Restu masuk ke dalam rumah, makan siang yang kesorean dengan lahap, karena ada secercah harapan setelah berhasil berbicara dengan Murni.
Pagi hari itu Murni masih membantu bu Trisni menggoreng dagangan, dan menatanya seperti hari kemarin. Walau baru dua hari, rasanya Murni sudah seperti menjadi keluarga bu Trisni. Bu Trisni sangat baik, dan banyak memberi nasehat baik bagi dirinya. Rasanya sangat berat, ketika kemudian Murni memutuskan akan meninggalkan keluarga itu.
“Bu, biarpun hanya bersama-sama serumah dalam dua hari, tapi Bu Murni seperti sudah menjadi keluarga saya. Jadi kalau bu Murni jauhpun, saya akan selalu
ingat, dan tentu saja berdoa untuk kebahagiaan bu Murni.”
Murni mengusap air matanya, sambil melanjutkan menata dagangan yang akan dibawa Trimo. Setelah itu Trimo berangkat mengantarkan ke beberapa warung terdekat yang biasa dititipi dagangan, lalu pulang sambil membawa tiga bungkus nasi untuk sarapan bertiga.
Murni sudah menata kembali baju-baju yang akan dibawanya ke dalam koper. Setelah berpamitan dengan saling menumpahkan rasa haru, Murni meninggalkan rumah bu Trisni dengan diantarkan Trimo sambil membawa dagangan berikutnya.
Bu Trisni terharu, Murni meninggalkan sejumlah uang, yang katanya untuk tambahan biaya kalau Trimo mau masuk sekolah.
“Tidak seberapa Bu, semoga ada manfaatnya.”
Sebelum berpisah, Murni memberi Trimo uang lagi.
“Belilah ponsel, yang murah saja dengan uang ini, agar kalau aku kangen bisa menghubungi kamu. Catat nomorku,” kata Murni sambil memberikan secarik kertas yang sudah disiapkannya, bertuliskan nomor kontaknya.
Murni meninggalkan Trimo yang melambaikan tangannya sambil menitikkan air mata, ketika melihat Murni menaiki angkutan yang akan membawanya pulang.
Murni melangkah perlahan. Rumah tinggal yang lama ditinggalkan sudah tampak tak jauh didepan. Ia mengelap peluhnya karena udara panas membuatnya gerah.
Pintu rumahnya terbuka. Ia tidak memberi tahu simboknya kalau mau pulang hari itu. Tiba-tiba seseorang muncul. Laki-laki tampan yang juga terkejut melihatnya datang. Murni berdebar. Laki-laki itu tak bertaring seperti yang selalu ada dalam bayangannya.
Besok lagi ya.
Bersambung ke Jilid 48
[…] Bersambung ke Jilid 47 […]