Karya Tien Kumalasari
Wanita itu melenggang pergi, dengan langkah yang dibuat-buat. Tiga orang karyawan bengkel melihatnya sambil tersenyum-senyum.
“Cantik, tapi nggak menarik.”
“Terlalu genit.”
“Kemayu, padahal bukan gadis lagi.”
“Darimana kamu tahu kalau dia bukan gadis?”
“Kelihatan lah, dari cara dia berjalan.”
“Wah, jangan-jangan istri pak Restu.”
“Hush! Mana mungkin, pak Restu tidak punya istri, tampaknya masih bujang. Mungkin duren sawit.”
“Apa tuh, duren sawit?”
“Duda keren sarang duwit.”
Lalu mereka tertawa keras, sambil bersiap menutup pintu bengkelnya.
“Mengapa tadi tidak bertanya siapa namanya?”
“Iya, kalau pak Restu bertanya, bagaimana kita menjawabnya?”
“Iya juga, terburu-buru pergi sih.”
“Katakan saja dicari kerabatnya, begitu.”
“Ya sudah, yuk pulang, hampir maghrib.”
Mereka pulang setelah mengunci bengkel, karena senja telah mulai membuat hari semakin remang.
Pak Broto sudah menerima telpon dari Wulan, dan sedang berbincang-bincang dengan istrinya tentang kepulangan Murni.
“Apa berarti kita harus bersiap menikahkan mereka?” tanya bu Broto.
“Kita belum tahu apa jawaban Murni, jangan-jangan dia menolak,” keluh pak Broto.
“Bodoh kalau menolak, apa dia tak ingin anaknya punya bapak?”
“Sebaiknya ibu menelpon Yu Sarni saja. Bagaimana keputusannya. Walau bagaimanapun menikah itu kan harus ada kesiapannya, baik dari kita, maupun dari pihak Yu Sarni. Dan maunya bagaimana, kita kan harus bicara.”
“Ibu menelpon Yu Sarni, atau Restu ya enaknya.”
“Terserah Ibu saja. Mana yang lebih baik.”
Bu Broto mengambil ponselnya, lalu menghubungi Restu.
“Ya Bu,” jawab Restu dari seberang.
“Bagaimana tentang Murni? Kamu sudah bicara?”
“Yu Sarni baru mau bicara malam nanti Bu, siang tadi baru datang, tampaknya dia lelah dan sekarang masih beristirahat.”
“Jadi mereka belum bicara? Lalu kamu juga sudah ketemu dia?”
“Sudah.”
“Bagaimana sikapnya? Apa dia masih trauma, menjerit-jerit atau lari menjauhi kamu?”
“Tidak Bu, dia diam saja.”
“Tidak mau bicara?”
“Mau, sepotong-sepotong.”
“Artinya tidak ada penolakan dari dia untuk melaksanakan niat kamu selanjutnya?”
“Sejauh ini dia masih bersikap baik. Artinya tidak lari menjauh.”
“Baiklah, kabari ibu kalau sudah ada keputusannya yang pasti.”
“Kalau sudah ada pembicaraan, Restu mau langsung pulang, untuk mempersiapkan semuanya.”
“Baiklah, ibu mengerti.”
Bu Broto menutup ponselnya lalu mengangkat pundaknya tanda belum mengerti.
“Apa kata anakmu?” tanya pak Broto.
“Malam ini Sarni baru akan bicara sama Murni. Jadi tentang niat menikahi Murni itu masih menggantung. Tapi Murni sudah mau bicara sama Restu, walaupun sepotong-sepotong, katanya.”
“Berarti ini berita mau.”
“Artinya ada kemajuan. Dan yang jelas Murni pasti tidak akan kabur-kaburan lagi.”
“Semoga semuanya baik-baik saja. Kita juga tertekan dengan adanya peristiwa ini, yang selalu menggantung tak jelas kapan sampai di ujung.”
“Kita juga merasa bersalah dengan kehamilan Murni. Jalan terbaik adalah menikahkannya dengan Restu.
“Benar. Semoga Murni bisa mengerti.
Di kamarnya, yu Sarni perlahan berbicara dengan Murni. Tentang banyak hal, tentang apa yang sebaiknya dilakukan. Dan tampaknya Murni bisa mengerti, hanya saja Murni masih tampak ragu-ragu dengan niat baik Restu tersebut. Menurutnya Restu masih seperti dulu. Berangasan dan semaunya. Padahal sejak siang bersamanya, ia merasakan sikap Restu yang sangat lembut.
“Mengapa kamu diam? Apa yang kamu pikirkan?” tanya yu Sarni.
Murni menghela napas.
“Apakah pak Restu bersungguh-sungguh?” tanyanya pelan.
“Apa masih kurang jelas bagi kamu, apa yang dilakukannya selama ini? Dia sudah berubah. Dia tidak mau membantu di perusahaan ayahnya karena ingin berusaha sendiri dan dia berhasil, walau tampaknya dibantu oleh pak Rio. Nyatanya berkali-kali dia menyatakan penyesalannya, dan bersedia menikahi kamu saat tahu bahwa kamu hamil.”
“Rasanya agak aneh.”
“Apa maksudmu?”
“Majikan menikahi pembantu. Murni takut dia akan menyakiti Murni.”
“Mur, ini jalan terbaik untuk hidupmu. Terlalu panjang kamu memikirkannya, tidak akan baik untuk kandungan kamu yang akan semakin menjadi besar. Kamu harus percaya, pak Restu sudah berubah.”
Lama Murni terdiam.
“Jawabanmu ditunggu. Nanti setelah kamu menjawab, pak Restu akan pulang dan mempersiapkan semuanya.”
“Baiklah, Murni setuju.”
“Waduh, simbok seneng banget Mur, memang ini adalah jalan terbaik.”
“Tapi Mbok …”
“Tapi apa lagi?”
“Murni tidak mau menikah di sini, Murni malu Mbok,” katanya sendu.
“Lagi pula aku juga tidak mau ada pesta atau perayaan. Yang penting menikah,” lanjutnya
“Baiklah, nanti saya akan bicara sama Pak Broto dan bu Broto. Itu masalah gampang bagi mereka. Yang penting kamu bersedia.”
Murni mengangguk.
“Sekarang tidurlah. Besok pak Restu mau kembali ke kota.”
“Mengapa kita tidak sekalian saja kembali ke kota? Aku tidak mau lama-lama tinggal di sini. Aku malu mbok.”
“Nanti aku bicara sama Pak Restu, sekarang kamu istirahat saja dulu, ini sudah malam.”
Murni mengangguk, kemudian menarik selimut sampai ke dadanya, dan mencoba tidur sambil memeluk guling.
Yu Sarni keluar dari kamar, dengan heran ia melihat bahwa Restu masih terjaga.
“Pak Restu belum tidur?”
“Belum ngantuk Yu.”
Lalu yu Sarni memberi isyarat agar Restu mengikutinya keluar, dan duduk di balai-balai yang terletak di depan rumah.
Restu mengerti, maksudnya agar Murni tidak terganggu dengan pembicaraan mereka, mengingat hari sudah malam.
“Bagaimana Yu.”
“Saya sudah bicara sama Murni.”
“Apa jawabnya?”
“Dia setuju menikah dengan pak Restu.”
“Syukurlah, senang saya mendengarnya. Kalau begitu besok saya mau pulang dulu.”
“Tunggu dulu, pak Restu. Murni bilang dia tidak mau menikah di kampung. Katanya dia malu.”
“Oh, begitu, baiklah. Bilang sama Murni bahwa dia tidak perlu khawatir, semua akan saya urus dengan sebaik-baiknya.”
“Murni juga tidak mau ada keramaian dalam pernikahan itu.”
“Baiklah. Besok aku akan pulang dan menyampaikan semuanya pada bapak.”
“Ada lagi Pak, besok kalau pak Restu pulang, saya sama Murni mau bareng sekalian.”
“Oh, begitu? Bagus kalau begitu. Saya akan mencari taksi pagi-pagi sekali.”
“Maaf ya Pak Restu, jadi merepotkan.”
“Tidak Yu, mengapa bilang begitu? Aku senang sudah mendapatkan jalan terbaik, dan ini membuat saya tidak lagi terbebani oleh semua kesalahan saya.”
“Sekarang Pak Restu tidur dulu, yu Sarni juga sudah ngantuk.”
Hari itu bu Broto senang, Yu Sarni sudah datang bersama Murni. Ia minta agar untuk sementara Murni tinggal di sana dulu, sambil menunggu Restu mengurus semuanya.
Sementara itu Restu segera kembali ke bengkel. Ia sampai di bengkel, ketika bengkel baru saja buka.
“Apa kabar semuanya?” tanya Restu kepada para pegawainya.
“Baik Pak Restu,” jawab mereka serentak.
“Ada kendala?”
“Semuanya baik-baik saja.”
“Tapi kemarin ada yang mencari pak Restu,” kata salah seorang pegawai yang lain.
“Siapa?”
“Mohon maaf, kami lupa menanyakan namanya. Tapi dia seorang wanita cantik berpakaian seksi, mengaku sebagai kerabat pak Restu.”
“Siapa? Kenapa tidak ditanyakan namanya?”
“Waktu itu sudah sore, kami hampir menutup bengkel, dan dia tergesa-gesa pergi.”
Restu termenung. Seorang wanita cantik, berpakaian seksi, mengaku sebagai kerabatnya?
“Dia bilang hari ini akan datang lagi.”
“Ya Tuhan, apakah dia? Mau apa datang kemari?”
Tapi belum sempat Restu menaiki tangga untuk masu ke ruangannya, terdengar teriakan dengan suara nyaring. Suara yang dikenalnya.
“Restuuu!!”
Besok lagi ya.
Bersambung ke Jilid 50
[…] Bersambung ke Jilid 49 […]