Karya Tien Kumalasari
Pak Broto kesal mendengar penolakan Restu. Ia meletakkan ponselnya dengan kasar.
“Kenapa Pak?”
“Restu itu sangat sombong. Kesal aku,” gerutu pak Broto dengan wajah muram.
“Sombong bagaimana sih Pak?”
“Dia menolak pemberian mobil dari aku. Dan bilang mau beli sendiri mobil bekas dengan uang pribadi. Sombong kan?”
“Bapak jangan begitu. Restu itu bukannya sombong. Dia menolak, karena tak ingin menjadi beban orang tua.”
“Siapa bilang beban. Aku memberinya dengan ikhlas, aku ini kan bapaknya, orang tuanya. Apa tidak pantas orang tua memberi sesuatu kepada anaknya?”
“Iya, sebentar pak, sabar dulu, jangan marah dulu. Ini, minumnya dihabiskan dulu, supaya lebih tenang,” kata bu Broto sambil mengangsurkan gelas minum yang masih separuhnya. Tapi pak Broto menolaknya.
“Sabar … sabar … Siapa yang tidak kesal kalau pemberiannya ditolak mentah-mentah?”
“Makanya ibu bilang sabar, supaya Bapak mau mendengar ibu bicara. Kok jadi ibu ikut dimarahin sih Pak.”
Pak Broto menyandarkan tubuhnya dengan wajah muram.
“Bapak kan tahu, Restu itu dulu pernah membuat Bapak marah, karena telah menghambur-hamburkan uang perusahaan. Ya kan Pak? Nah, sekarang ini Restu sudah sadar akan semua kesalahannya, dan selalu berusaha memperbaikinya. Bapak tahu apa yang dipikirkannya? Restu ingin melakukan sesuatu tanpa bantuan orang tua. Seburuk apapun yang ingin dia miliki, entah baju jelek atau mobil bekas, itu adalah kebanggaannya. Coba bapak mengerti. Biarkan dia merasa bangga dengan apa yang dimilikinya.”
Pak Broto mengangkat tubuhnya dari sandaran, lalu meraih gelas yang tadi disodorkan istrinya, meneguknya sampai habis. Bu Broto tersenyum. Rupanya sang suami mulai bisa mencerna apa yang dikatakannya.
“Punya mobil bekas, dan itu membuat dia bangga?” celetuk pak Broto setelah meletakkan gelasnya.
“Bukan mobil bekasnya itu yang membuat dia bangga, tapi uang yang dipergunakan untuk membeli, adalah hasil jerih payahnya. Itu yang membuat dia bangga.”
Pak Broto mengangguk-angguk, ia mulai mengerti, dan kemarahannya sudah sirna.
“Kita harus membiarkan dia punya kebanggaan. Dia sudah mengerti, bahwa kemewahan yang dimiliki bukanlah sesuatu yang bisa membuatnya bangga, karena semua itu milik orang tuanya. Sekarang dia mencoba membanggun kebanggaannya atas jerih payahnya sendiri, ayo kita dukung dia, jangan malah memarahinya.”
“Baiklah, ibu benar,” kata pak Broto dengan nada rendah, dan dengan anggukan kepala yang mantap.
“Nanti kita akan minta agar dia mengajak kita jalan-jalan, setelah dia berhasil membeli mobil yang diinginkannya,” lanjutnya dengan wajah sumringah.
“Dia pasti senang,” sahut bu Broto, tak kalah sumringahnya.
Hari masih agak siang, Restu sudah sampai di rumah. Murni terkejut, karena belum sempat membuatkan minum atau menyiapkan cemilan.
Ia menyambut suaminya dengan membawakan tas yang dibawanya, diletakkannya di meja, kemudian bergegas ke belakang. Tak disangka Restu mengikutinya.
“Mau apa?”
“Buatkan minum, tadi belum sempat,” katanya sambil terus berlalu, dan Restu juga terus mengikutinya.
Murni mengambil cangkir dan menyeduh kopi. Terkejut ketika tiba-tiba Restu memeluknya dari belakang. Ia mencoba melepaskan diri, tapi Restu memeluknya semakin erat.
“Jangan terlalu capek.”
“Tidak, biasa saja,” katanya. Lalu ia mengambil baki, setelah Restu melepaskan pelukannya, kemudian meletakkan cangkir kopi di atasnya, dan membawanya ke ruang tengah.
Restu mengikutinya.
“Mengapa tidak mau dipeluk suami? Oh ya, aku masih bau asem ya? Maaf,” katanya sambil tertawa. Tapi dia kemudian duduk di atas sofa, meraih cangkir kopi, menghirupnya sedikit.
“Masih panas.”
Murni melangkah ke belakang, mengambil sepiring pisang goreng yang masih hangat, lalu diletakkan di depan suaminya.
“Hei, mau ke mana? Duduk di sini saja, temani aku minum seperti biasanya,” tegur Restu, yang merasa bahwa seharian ini sikap Murni tampak aneh. Banyak diam dan tak sedikitpun menyunggingkan senyum ramah.
“Murni,” panggil Restu karena Murni bergeming.
Murni yang mau beranjak ke belakang berhenti melangkah, menoleh ke arah sang suami.
“Duduklah di sini. Apa karena aku bau asem? Apa aku harus mandi dulu?”
Murni terpaksa kembali, lalu duduk, dimana Restu menepuk-nepuk tempat duduk di sebelahnya.
“Aku ingin bercanda dengan anakku, apa dia nggak mau karena ayahnya masih bau asem?”
“Masih ada yang harus saya kerjakan di belakang,” kata Murni, yang tak urung kemudian duduk di sebelah suaminya.
Restu mengelus perut Murni lembut, dan Murni terlonjak kaget karena bayinya tiba-tiba menendang perutnya.
“Tuh, kan. Dia senang ayahnya datang.”
Murni tersenyum tipis. Ia selalu teringat wanita cantik yang pagi tadi menyakitinya dengan kata-kata kasar, dan dia mempercayainya. Dan karena itu dia kemudian merasa, bahwa Restu bukan menyayangi dirinya, tapi bayi yang dikandungnya.
“Mana minuman kamu?”
“Saya sudah minum.”
“Kalau begitu ayo kita minum ini berdua,” kata Restu yang kemudian menyodorkan cangkir kopinya ke arah bibir Murni. Murni mengundurkan kepalanya.
“Ayo, secangkir berdua.”
“Tidak, saya tidak minum kopi,” sergahnya.
“Kalau begitu biar aku yang mengambilkan teh untuk kamu,” kata Restu yang kemudian beranjak berdiri.
Murni terkejut. Ia juga langsung berdiri.
“Tidak, biar saya ambil sendiri,” katanya sambil beranjak ke belakang.
Restu tersenyum. Tapi dia sungguh heran melihat sikap istrinya.
“Murni, cepatlah, kalau tidak aku sendiri yang akan membuatnya untuk kamu,” teriak Restu.
Murni datang membawa secangkir teh untuk dirinya sendiri.
“Hari ini kamu aneh.”
Murni menatap suaminya.
“Saya biasa saja.”
“Tidak, kamu tidak biasa. Kamu marah sama aku? Ada yang salah?”
Murni ingin mengatakan sesuatu tentang wanita itu, tapi kemudian diurungkannya. Laki-laki selingkuh, mana mau mengaku? Paling juga akan mengelak. Dan Murni kan tahu diri. Siapa Restu, siapa dirinya. Murni selalu sadar bahwa pernikahan itu terjadi karena kehamilannya.
“Katakan sesuatu. Aku tidak percaya kalau tidak terjadi apa-apa.”
“Tidak ada. Saya hanya merasa … kurang enak badan.”
“Kalau begitu kita ke dokter sekarang.”
“Tidak, tidak ….”
“Kamu jangan bandel. Kesehatanmu berpengaruh bagi bayi yang kamu kandung. Kalau kamu sakit, dia juga akan sakit.”
Tuh kan, kembali lagi karena bayi. Itu yang dipikirkan Murni setelah ditemui wanita cantik bermulut tajam pagi tadi.
“Saya mau beristirahat saja. Kalau pak Restu ingin makan, bangunkan saya,” kata Murni sambil berdiri, setelah meneguk minumannya.
Pagi hari itu Restu berangkat seperti biasa, setelah sarapan pagi yang disiapkan Murni seperti biasa.
“Kalau kamu masih merasa tidak enak badan, tidak usah memasak. Nanti aku akan membelikan makan dari luar untuk kita makan siang. Anak-anak bengkel biar jajan seperti sebelumnya,” pesan Restu.
Murni hanya mengangguk mengiyakan. Tapi ia tetap bertekat untuk memasak seperti biasa. Ia berjalan ke arah pasar, dengan harapan tak akan bertemu wanita itu lagi. Tapi harapan tinggallah harapan. Baru saja dia memasuki pasar, wanita itu seperti muncul dari dalam bumi, berdiri begitu saja di hadapannya.
Murni terkejut. Tapi kemudian timbullah keberaniannya. Cacingpun kalau diinjak pasti menggeliat. Murni ingin melawannya.
Itu sebabnya, ketika wanita itu tersenyum sinis menatapnya, Murni membalasnya dengan mata berapi.
Besok lagi ya.
Bersambung ke Jilid 53
Leave A Comment