Karya Tien Kumalasari
Pak Broto dan bu Broto diiringi yu Sarni, datang hampir bersamaan dengan datangnya Rio dan Wulan. Mereka mencari Restu, dan menemukannya di luar ruang operasi.
“Pak Restu, bagaimana Murni?” yu Sarni yang pertama kali berteriak begitu melihat Restu.
Restu berdiri, membiarkan yu Sarni merangkulnya.
“Dokter sedang mengoperasinya Yu, bayinya harus segera dilahirkan.”
“Apakah sudah saatnya lahir?”
“Baru tujuh bulan, tapi karena jatuh tadi pagi, maka harus segera dikeluargan. Kalau tidak, akan berbahaya bagi keduanya. Yu Sarni tenang ya.”
“Bagaimana bisa jatuh?” tanya pak Broto.
Tiba-tiba Restu melihat ke sekeliling tempat itu, karena tadi bu Thomas masih mengikutinya. Ternyata sudah tidak ada lagi.
“Kamu mencari siapa?”
“Seorang ibu, yang menolong Murni dan membawanya kemari. Tampaknya dia sudah pergi.”
“Bagaimana dia bisa terjatuh di jalan?” ulang pak Broto karena belum juga mendapat jawaban.
Lalu Restu menceritakan, bahwa ada orang yang sengaja menabraknya, dan itu adalah Lisa.
“Lisa?” tanya bu Broto.
“Ya bu.”
“Perempuan jahat itu, mengapa melakukannya pada Murni?” geramnya.
“Dia selalu menteror Murni, bahkan mengatakan bahwa Murni merebut Restu dari dia.
“Lalu kamu membiarkannya pelaku kejahatan itu?” kata pak Broto dengan nada tinggi.
“Wanita itu, bernama bu Thomas. Dia sudah melaporkannya dan barangkali sekarang dia sudah ditangkap.”
“Apa maksud dia melakukannya? Bukankan dia sudah mendapatkan laki-laki lain yang lebih kaya?” tanya Wulan.
“Laki-laki kaya itu adalah pak Thomas. Suami wanita yang menolong Murni tadi. Bu Thomas adalah pemilik butik dimana Lisa bekerja. Kebetulan ketika Lisa menabrak dengan sengaja, bu Thomas melihatnya, dan mengenal si penabrak itu, sehingga dia menolongnya, lalu menyuruh sopirnya melaporkannya pada polisi.
“Kalau dia mengganggu Murni, berarti dia tidak lagi berhubungan dengan pak Thomas,” sambung Rio.
“Tidak. Bu Thomas mengetahuinya, lalu melabraknya.”
“Rasain !!”
“Beberapa hari sebelum Restu menikah, dia menemui Restu di bengkel.”
“Hm, seneng dong kamu!” kata bu Broto kesal.
“Kamu temui di lantai atas, di kamar kamu?” sergah pak Broto.
“Tidak Pak, saya tinggalkan dia, kemudian dia pergi. Dia memang ingin merayu Restu, tapi Restu menolaknya.”
“Benar?” tanya pak Broto tidak percaya.
“Benar Pak. Kalau Bapak tidak percaya, boleh bertanya pada anak-anak bengkel. Mereka semua tahu ketika saya meninggalkan dia di ruangan saya, sementara saya naik ke atas. Saya bilang bahwa saya sudah mau menikah.”
“O, itu sebabnya dia sangat membenci Murni,” sambung Wulan.
“Kok dia bisa mengerti siapa Murni, dan di mana dia tinggal ya,” tanya bu Broto.
“Orang seperti dia itu bisa melakukan apa saja Bu, barangkali dia terus mengawasi Restu dan istrinya,” sambung Rio.
“Kasihan Murni, jadi korban kejahatan perempuan itu,” omel bu Broto.
Tiba-tiba seorang wanita datang, disambut Restu dengan berdiri.
“Saya kira ibu sudah pulang.” Kata Restu menyambut wanita itu, yang adalah bu Thomas.
“Saya baru keluar untuk membeli makanan, pasti pak Restu belum makan karena sejak pagi ada di sini,” kata bu Thomas sambil mengulurkan sebuah bungkusan, tapi kemudian dia melihat orang-orang di sekitar Restu.
“Ternyata banyak orang. Ini keluarga pak Restu? Saya hanya membeli tiga atau empat bungkus makanan.”
“Tidak apa-apa Bu. Ini ayah saya, dan ibu saya.”
Bu Thomas mengulurkan tangannya.
“Saya Bu Thomas,” kata bu Thomas.
“Saya pak Broto, dan ini istri saya,” kata pak Broto yang bergantian dengan bu Broto menyalami bu Thomas, disusul Rio dan Wulan.
“Ini Wulan adiknya Restu, ini Rio suaminya,” kata pak Broto lagi.
“Wah … wah, sudah lengkap rupanya.
“Ini ibunya Murni,” kata pak Broto lagi.
“Oh iya, selamat bertemu Bu,” kata bu Thomas ketika menyalami yu Sarni yang wajahnya tampak tegang karena memikirkan anaknya.
“Silakan duduk Bu, dan terima kasih telah membawa menantu saya ke rumah sakit secepatnya,” kata pak Broto.
“Iya Pak, karena kebetulan saya melihatnya tadi. Tapi sekarang perempuan itu sudah ditangkap, karena saya juga melaporkan di mana rumahnya.”
Tapi diam-diam bu Broto melirik gelang yang dipakai bu Thomas. Tentu saja dia sangat mengenalnya.
“Gelangnya bagus,” tiba-tiba tanpa ditahan bu Broto nyeletuk.
Bu Thomas tampak tersipu. Restu berdebar, karena tampaknya ibunya akan berterus terang tentang gelang itu. Restu ingin memberi isyarat dengan matanya, tapi bu Broto dama sekali tidak menoleh ke arahnya.
“Oh, iya Bu, ini sebenarnya kan gelang rampasan,” katanya sambil tertawa kecil.
“Gelang rampasan bagaimana sih jeng?”
“Ketika saya memergoki suami saya berselingkuh dengan penjahat itu, oh ya, pak Restu pasti sudah menceritakan perihal perempuan bernama Lisa dan hubungan gelapnya dengan suami saya kan?” kata bu Thomas kemudian sambil menatap Restu. Tampaknya bu Thomas adalah wanita yang suka bergosip. Bahkan tidak segan-segan menggosipkan suaminya kepada siapa saja.
Restu hanya mengangguk, dan tetap berharap ibunya memandang ke arahnya, agar tidak usah bercerita tentang gelang itu. Tapi dasar wanita, pastilah bu Broto ingin mengorek tentang gelang yang dikatakannya gelang rampasan itu. Ia sudah tahu, Lisa selingkuhan pak Thomas, dari Restu barusan.
“Begini Bu, begitu saya memergoki suami saya berselingkuh, saya datangi rumah perempuan itu. Dia sebenarnya pegawai di butik milik saya. Saya memaki-makinya dengan amarah yang meluap, lalu saya juga mengambil semua perhiasan yang dipakainya, termasuk gelang ini. Pastilah suami saya membelikannya dengan memakai uang saya. Karena usaha itu sebenarnya kan milik saya.”
“Oh, tapi ….”
“Gelang ini sangat bagus, bayangkan bu, berapa juta uang perusahaan dipergunakan oleh suami saya untuk membelikan gelang ini untuk pelakor itu.”
“Kalau tidak salah ini ….”
“Ini mirip gelang milik Ibu kan?” sambung Wulan yang khawatir ibunya akan bercerita bahwa sebenarnya itu adalah gelangnya. Wulan berpikiran seperti apa yang dipikirkan Restu. Kalau bu Broto mengatakannya, maka ceritanya akan panjang, dan wanita cantik yang suka bergosip itu akan menyebarkannya ke mana-mana.
“Oh ya, ibu tadi membawa makanan bukan? Mas Restu, silakan dimakan dulu, kami semua sudah makan kok,” kata Wulan sambil membuka bungkusan, yang salah satunya kemudian diberikannya kepada Restu.
“Terima kasih Wulan,” kata Restu, bukan tentang makanan yang diberikannya, tapi tentang cerita tentang gelang yang berhasil dihentikannya.
“Ibu mau makan?”
“Tidak, biar Restu saja. Ibu sama Bapak sudah makan juga, tadi. Sarni, kamu makanlah.”
“Saya juga sudah makan Bu.”
“Baiklah, karena sudah ada keluarganya yang lengkap, saya permisi dulu ya Bu, Pak,” kata bu Thomas tiba-tiba, membuat Restu dan Wulan merasa lega.
“Baiklah Bu, terima kasih banyak telah menolong menantu saya,” kata pak Thomas.
Bu Thomas berlalu, dan Restu kemudian dengan lahap memakan nasi bungkus yang dibawakannya.
“Gelang itu kan …” rupanya bu Broto masih akan bicara tentang gelang itu, tapi kemudian Wulan menariknya menjauh, dan berbisik mengatakan bahwa soal gelang itu tidak usah diperpanjang.
Tiba-tiba terdengar lengking bayi menangis.
Restu menghentukan suapannya, dan berdiri. Mereka berhambur ke arah pintu ruang operasi.
Besok lagi ya…
Bersambung ke Jilid 57
Leave A Comment