Karya Tien Kumalasari
Seorang wanita berdiri di depan teras rumahnya, bersama dengan seorang laki-laki berumur enam tahunan. Restu belum pernah melihat mereka.
“Selamat siang,” wanita itu menyapa.
“Selamat siang. Mm, ibu mencari siapa ya?” tanya Restu heran.
“Bu Murni ada?”
“Oh, istri saya?”
“Saya mau ketemu bu Murni. Apa beliau ada?”
“Oh, ada. Ibu ini siapa ya? Saya suaminya.”
“Saya bu Trisni, dan ini anak saya, Trimo.”
“Oh, saya pernah mendengar tentang bu Trisni dan Trimo. Silakan masuk. Murni pasti senang. Dia baru beberapa hari pulang dari rumah sakit.”
“Bu Murni sakit apa?”
“Bukan sakit, tapi melahirkan.”
“Lhoh, memangnya sudah waktunya?”
“Belum sih, tapi karena jatuh, lalu bayinya harus dikeluarkan dengan operasi. Silakan duduk dulu Bu, saya akan panggilkan Murni,” kata Restu sambil beranjak ke dalam rumah.
“Rupanya itu suaminya?” bisik bu Trisni.
“Ganteng ya Bu.”
“Iya. Syukurlah, ibu senang.”
“Ya ampun, bu Trisni? Kok bisa sampai ke sini?” sapa Murni ramah, sambil merangkul bu Trisni.
“Trimo, kamu masih ingat rumah aku ya,” kata Murni
“Tentu saja masih. Ibu yang ingin kemari, lalu Trimo antarkan,” kata Trimo.
“Naik apa tadi?”
“Naik angkot.”
“Oh, syukurlah, tidak jalan kaki seperti Trimo ya. Trimo itu sukanya jalan kaki sih.”
“Iya Bu, sudah biasa begitu. Mana adik bayi? Pengin lihat, katanya sudah lahir?” tanya bu Trisni.
“Rupanya pak Restu sudah cerita ya? Itu suami saya.”
“Iya, tadi sudah cerita, kalau bu Murni melahirkan paksa karena jatuh.”
“Iya bu, benar. Sedang mendapat halangan.”
“Mana dia? Pengin melihatnya, pasti lucu deh.”
“Dia belum boleh dibawa pulang Bu, masih di dalam inkubator.”
“Waduh, sayang sekali.”
“Kalau ibu mau melihatnya, saya mau ke rumah sakit, mengirim ASI.”
“Oh, bagus sekali, biarpun di rumah sakit, tetap bisa minum Asi ya.
“Iya, sebentar, saya buatkan minum,” kata Murni sambil beranjak ke dalam.
“Mau ke rumah sakit?” tanya Restu yang rupanya mendengar pembicaraan mereka.
“Iya. Bu Trisni ingin melihat Gilang.”
“Biar aku antar saja.”
“Baiklah, saya buatkan dulu minum untuk mereka, kasihan, udara panas sekali.”
Trimo senang sekali melihat adik Gilang, walau hanya boleh melihat dari balik kaca. Bayi mungil itu tampak lucu dan menggemaskan.
“Ya Allah, putra ibu sangat ganteng. Dia tampak kuat. Saya yakin sebentar lagi dia pasti sudah boleh dibawa pulang,” kata bu Trisni dengan wajah berseri.
“Aamiin. Semoga ya Bu, semua orang sudah ingin menggendongnya.”
“Tentu saja. Adik Gilang sangat menggemaskan, aku juga ingin menggendongnya,” kata Trimo.
“Nanti, kalau kamu ke sini lagi, adik Gilang sudah pasti siap berada di rumah. Dan kamu boleh menggendongnya,” kata Murni.
“Ee, belum boleh ‘kali. Trimo badannya kecil begitu, mana kuat menggendong adik bayi?” kata ibunya.
“Ya kuat lah Bu, adik kan jauh lebih kecil dari Trimo. Pokoknya Trimo mau, kalau lain kali datang kemari, harus bisa menggendongnya.”
“Iya, baiklah Mo, jangan khawatir,” kata Murni menenangkan Trimo.
“Apakah Trimo boleh minta adik bayi sama ibu?” tiba-tiba kata Trimo yang mengejutkan semua orang.
“Trimo, ibu tidak bisa lagi mengandung adik bayi,” kata bu Trisni sambil mengelus kepala Trimo.
“Trimo, adik Gilang ini juga adiknya Trimo. Jadi untuk apa mau adik lagi?” sambung Murni sambil tersenyum.
“Baiklah kalau begitu.”
Ketika Murni dan bu Trisni duduk di sebuah bangku tunggu, Trimo masih tak bosan-bosannya menatap bayi kecil bernama Gilang itu.
“Saya bersyukur, suami bu Murni tampaknya sangat baik,” kata bu Trisni ketika mereka duduk berdua.
“Iya Bu. Akhirnya saya tahu, bahwa dia sebenarnya baik. Dia juga sangat melindungi dan menyayangi saya.”
“Kelihatan kalau dia sangat menyayangi bu Murni.”
“Saya berterima kasih pada bu Trisni, yang selalu memberi semangat saya, sehingga saya bisa menemukan jalan terbaik untuk hidup saya.”
“Sebagai sesama perempuan, saya wajib memberi dorongan, agar bu Murni bisa melakukan yang terbaik, tidak terombang ambing oleh keraguan.
“Iya benar. Saya bahagia menemukan saudara tak terduga, yang sangat perhatian pada saya. Saya harap kita akan terus begini, seperti saudara, saling menyayangi dan memperhatikan.”
“Tentu saja Bu. Saya bahagia punya saudara seperti ibu,”
Lisa terkejut, ketika siang itu, petugas mengatakan bahwa dia dijenguk oleh seorang perempuan yang semula dikiranya Munah, yang membawa makanan enak untuknya, seperti saat pertama kali dia datang. Tapi ternyata bukan. Lisa terlanjur keluar, ketika menyadari bahwa yang datang adalah bu Thomas.
“Untuk apa dia datang kemari,” gumam Lisa sambil melangkah mendekat, kemudian duduk di hadapan bu Thomas.
“Bagus sekali. Beberapa hari di sini, wajah kamu tampak kusam. Hilang kecantikan kamu yang selalu kamu pergunakan untuk merayu suami-suami orang,” kata bu Thomas dengan senyuman sinis.
“Apa ibu datang kemari hanya untuk menghina saya?”
“Tentu saja, karena kamu memang wanita yang sehina-hinanya wanita.”
“Hentikan semua itu. Ibu sendiri juga bukan wanita terhormat,” kata Lisa balik menyerang bu Thomas.
Bu Thomas membulatkan matanya. Sangat marah ketika Lisa mengatakan bahwa dirinya bukan wanita terhormat.
“Apa maksudmu?”
“Ibu lupa ya, ibu telah merampas semua perhiasan yang saya pakai. Apakah menurut ibu, itu adalah perbuatan terhormat?”
“Kamu itu ngomong apa? Bukankah aku minta barang-barang yang dibeli suami aku untuk diberikannya kepada kamu? Jangan ingkar, bukankah semua ini kamu terima dari suamiku? Dan kamu tahu, yang dipergunakan untuk membeli semua ini adalah uangku.”
“Bohong.”
“Itu benar, sayang. Dia mengambil uang perusahaan, sementara perusahaan itu milik aku. Jadi aku minta kembali perhiasan-perhiasan itu, apa aku salah?”
“Bagaimana dengan gelang yang sekarang Ibu pakai itu?”
“Ini juga dibeli dengan uangku bukan?”
“Tidak mungkin. Sejak kemarin-kemarin aku sudah bilang bahwa itu bukan dari pak Thomas, tapi dari pacarku yang lain.”
“Oh ya?” bu Thomas terkekeh geli.
“Itu benar. Gelang itu pembelian dari Restu, kekasih lamaku. Bukan dari suami Ibu.”
Bu Thomas terbelalak.
“Haruskah aku percaya pada ucapan seorang pelakor sepertimu?”
“Tanyakan saja sama dia, kalau Ibu tidak percaya.”
Bu Trisni dan Murni masih asyik bercerita, dan Trimo masih tetap berdiri di luar kaca jendela kamar bayi, dimana Gilang terlelap di dalamnya.
Restu yang menunggu di kejauhan, tiba-tiba terkejut ketika seseorang mendekatinya.
“Bu Thomas?”
“Apa kabar pak Restu, apa istri Anda baik-baik saja?”
“Alhamdulillah Bu, itu … sedang duduk di sana, menemani seorang kerabat. Ibu mau menengok bayi saya? Dia masih harus ada di dalam inkubator.”
“Oh ya, tentu saja, karena dia lahir prematur. Semoga segera pulih sehat dan bisa dibawa pulang ke rumah.”
“Aamiin. Terima kasih perhatiannya. Apa Ibu mau melihat bayi saya?”
“Saya sudah pernah membezoeknya beberapa hari setelah dilahirkan. Kali ini saya mau bicara sesuatu.”
“Ada apa ya Bu?”
“Tentang gelang ini.”
Pada saat itu Murni dan bu Trisni sedang mendekat ke arah Restu, karena bu Trisni mau pamit pulang. Murni heran ketika melihat bu Thomas mengacungkan sebelah tangannya ke arah Restu.
Besok lagi ya…
Bersambung ke Jilid 61
Leave A Comment