SELAMAT PAGI BIDADARI (62)

Karya Tien Kumalasari

“Murni, kenapa bengong? Aku mau melihat anakku, sudah pulang kan? Pasti dia ganteng. Mana dia?”

Tiba-tiba Murni teringat ketika Wulan ingin mengadopsi anaknya. Apakah bu Wulan masih menginginkan anak itu? Pikir Murni. Sementara itu Wulan sangat tak sabar melihat reaksi Murni yang tampak bingung.

“Mas Restu, Gilang sehat kan?” akhirnya Rio yang bertanya pada Restu.

“Sehat kok, dia ada di kamarnya. Masuklah. Murni, kenapa kamu bengong?”

Wulan dan Rio bergegas masuk ke kamar yang ditunjukkan Restu mengagumi bayi montok dan ganteng yang sedang terlelap di dalam box nya.

Restu mendekati Murni.

“Murni, kamu kenapa?”

“Mas Restu, jangan ijinkan kalau bu Wulan mau mengambil anak kita,” bisiknya lirih.

Restu menatapnya heran.

“Mengapa kamu berpikir demikian?”

“Dulu bu Wulan menginginkan anak itu, dia selalu bilang ‘anakku’ … ‘anakku’ …”

“Ya ampun Murni, itu ucapan Wulan jaman kapan? Barangkali saat sebelum kamu menjadi istriku. Ya nggak?”

“Iya sih, tapi ucapan itu selalu teringat oleh saya, Bagaimana kalau ….”

“Tidak Murni, Gilang ada bapaknya, mana mungkin Wulan masih menginginkannya? Kamu jangan seperti anak kecil dong Murni, tak mungkin Wulan masih menginginkannya.”

“Benarkah?”

“Tentu saja benar. Ayo kita lihat, mereka sangat mengagumi anak kita.”

Dan tiba-tiba Murni melihat Wulan keluar dari kamar sambil menggendong Gilang yang masih terlelap.

“Murni, tak tahan aku untuk tidak segera meggendongnya. Tidurnya nyenyak sekali, lihat, aku gendong juga dia masih saja terlelap,” kata Wulan sambil mendekap Gilang.

Murni menatapnya lekat-lekat.

“Wulan sudah sangat ingin menggendong Gilang,” kata Rio yang berdiri di samping istrinya.

“Apakah … bu Wulan … masih menginginkan Gilang?”

“Ya ampun Murni, anakmu begitu montok dan menggemaskan, pasti ASI nya sangat bagus. Tentu saja aku menginginkannya.”

“Apa? Tapi Gilang milik saya, maaf_”

“Murni, apa maksudmu? Aku tidak akan mengambil Gilang dari kamu. Aku akan mendapatkan Gilang yang lain,” kata Wulan sambil mengelus perutnya.

“Bu Wulan hamil?”

“Aku mengharapkannya. Tapi sekarang belum diijinkan.”

Murni menghempaskan napas berat. Ya Tuhan, dia merasa malu karena salah sangka.

“Bu Wulan, maafkan saya, saya masih ingat ketika bu Wulan bermaksud mengambil anak saya, waktu itu,” kata Murni lirih.

Wulan tertawa keras, sehingga bayi yang digendongnya terjaga. Wulan segera mengayunkannya dan menepuk punggungnya lembut.

“Wulan, kamu tertawanya terlalu keras, lihat Gilang sampai kaget tuh,” tegur Rio. Restu hanya tertawa.

Murni ikut tertawa, untuk menutupi rasa malunya karena berprasangka buruk pada Wulan.

“Wulan, aku mengatakannya dulu ketika melihat kamu kebingungan. Aku berusaha meringankan beban kamu dengan niat mengambil bayimu, agar kamu tidak selalu mengatakan bahwa kamu membencinya, Tapi setelah ada mas Restu, mana mungkin aku mau mengambilnya?”

“Iya. Kami sedang giat nih,” canda Rio diikuti tawa Restu.

“Ih, Rio, nggak tahu malu deh,” ejak Wulan.

“Mengapa harus malu? Mas Restu dan Murni bukan anak kecil. Ya kan? Kalian nanti juga pasti akan segera membuatkan Gilang adik baru kan?” kata Rio.

“Pasti lah, kalau Murni sudah siap,” kata Restu, sama tak tahu malunya, membuat Murni tersipu, kemudian menarik tangan Wulan, diajaknya menjauh dari kedua laki-laki mesum itu.


“Bapak nggak ke kantor hari ini?” tanya bu Broto pada suatu pagi.

“Ibu gimana sih, ini kan hari Minggu?”

“Oh ya ampun, ini Minggu ya, kok ibu sampai lupa sih.”

“Memangnya kenapa? Mau ngajak jalan-jalan?”

“Nggak, aku mau ke rumah Restu. Kangen melihat Gilang lagi.”

“Ibu tuh, kan baru dua hari yang lalu kita kesana?”

“Iya sih, tapi sekarang pengin lagi. Tadi ibu sudah menyuruh Sarni untuk masak-masak, nanti sekalian kita bawakan untuk Wulan.”

“Terserah Ibu saja, aku juga suka melihat si gembul Gilang. Heran juga ya, lahirnya prematur, tapi kemudian sekarang tumbuh sangat sehat.”

“Karena Murni memiliki ASI yang sehat dan berlimpah. Itu penting untuk pertumbuhan bayi. Sarni pasti juga suka menatap cucunya lama-lama.”

“Kalau kita bertiga kesana, pasti berebut menggendongnya.”

“Habis, Gilang sangat menggemaskan.”

Tiba-tiba ponsel bu Broto berdering.

“Ini dari Restu,” kata bu Broto sambil mengangkat ponselnya.

“Ya Restu, ibu sama bapak mau ke rumah kamu, sama Sarni juga pastinya.”

“Oh ya, baiklah. Tadi mas Rio sama Wulan juga dari sini.”

“Sekarang masih ada kan? Jangan boleh pulang dulu, biar kita ketemuan di situ, rame-rame. Sarni masak enak untuk kalian.”

“Tapi mas Rio buru-buru ke rumah sakit.”

“Lhoh, kenapa? Siapa yang sakit?”

“Tiba-tiba Wulan merasa pusing, dan hampir pingsan. Mas Restu melarikannya ke rumah sakit. Restu mau menyusul ke sana.

“Aduh, kenapa anak itu? Ya sudah, ibu segera kesana, setelah itu akan menyusul ke rumah sakit. Jangan pergi dulu, tungguin kami ya.”

Bu Broto meletakkan ponselnya dengan panik.

“Ada apa? Siapa yang sakit?” tanya pak Broto.

“Tadi Rio sama Wulan ada di sana. Tiba-tiba Wulan pusing atau lemas, entahlah, Rio melarikannya ke rumah sakit.”

“Sakit apa?”

“Belum jelas, Restu baru mau menyusul ke sana.

“Ya sudah, ayo kita berangkat sekarang.”


Bu Broto panik, keinginan untuk menimang Gilang dikesampingkannya. Mereka meninggalkan yu Sarni di rumah, bersama Murni, yang lain segera menyusul ke rumah sakit.

Ketika mereka sampai di rumah sakit, mereka melihat Rio duduk termenung di ruang UGD, tampak gelisah.

Pak Broto dan Restu mendahului menghampirinya.

“Kenapa istri kamu?”

“Entahlah Pak, tadi hampir pingsan tiba-tiba.”

“Belum makan dari pagi, barangkali?”

“Sebenarnya sudah, tapi tadi Wulan makan hanya sedikit, katanya ingin segera melihat Gilang.”

“Nah, itu sebabnya,” kata bu Broto.

Tapi Rio merasa, bahwa pasti sakitnya Wulan bukan karena sebab sesederhana itu. Ia tetap saja gelisah.

Begitu dokter keluar dari sana, Rio memburunya.

“Bagaimana istri saya dok? Gawatkah sakitnya?”

“Sangat gawat,” dokter itu menampakkan wajah serius.

“Kenapa dia? Sakit apa? Tolong sembuhkan istri saya, dengan cara apapun, dengan biaya berapapun,” pinta Rio memelas.

Tapi tiba-tiba dokter itu tersenyum lebar.

“Pak Rio, istri bapak sedang mengandung,” kata dokter sambil mengulurkan tangannya.

“Selamat ya.”

Rio terpana, tapi bagai anak kecil kemudian dia melonjak kegirangan.

“Bapak, ibu .. Rio akan menjadi bapak,” pekiknya tak terkendali.

Dan kecemasan yang semula melanda, berubah menjadi senyuman sumringah.


Siang hari itu bu Thomas kembali menemui Lisa di rumah tahanan. Lisa yang berkali-kali mengira Munah datang mengirim makanan, merasa kecewa. Sudah berhari-hari Munah tidak datang. Tentu saja, karena bu Thomas melarangnya.

“Kenapa kamu datang lagi kemari? Sudah cukup semuanya, jangan lagi mengejek aku.”

“Aku hanya ingin mengatakan, bahwa gelang itu sudah aku kembalikan kepada pemiliknya, karena dulu pak Restu mencuri dari istrinya.

“Apa? Gelang itu sudah diberikannya sama aku, jadi dia milik aku.”

“Tidak, kamu memilikinya dengan cara yang tidak semestinya. Sekarang aku tidak akan datang lagi kemari. Nikmati hari-hari kamu dipenjara, karena tak lama lagi kasus kamu akan segera disidangkan.

“Suruh pak Thomas datang kemari,” tiba-tiba kata Lisa.

“Memangnya aku pesuruh kamu?”

“Kamu harus tahu, aku sedang mengandung anaknya.”

Bu Thomas terperangah.


Besok lagi ya…

Bersambung ke Jilid 63

Tags: No tags

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *