Karya Tien Kumalasari
“Kamu hamil?”
“Ya, ini adalah anak suami kamu. Jadi kamu tidak bisa menghalangi kami untuk bersatu,” kata Lisa penuh kemenangan.
Tapi bu Thomas bergeming. Ia kemudian tak menunjukkan reaksi apapun. Bahkan reaksi bakal kehilangan suami. Ia sudah tahu bahwa suaminya tak akan bisa dihalangi, dan sudah sejak kemarin-kemarin dia bermaksud menggugat cerai suaminya.
“Oh, itu bukan masalah untuk aku. Dengan kamu hamil ataupun tidak, laki-laki bernama Thomas itu sudah tidak berguna lagi untuk aku. Jadi silakan saja kalau kalian mau bersatu atau apapun yang ingin kalian lakukan. Aku datang kemari hanya untuk memberi tahu bahwa gelang yang dulu diberikannya kepada kamu, sudah aku berikan kepada pemilik aslinya,” kata bu Thomas sambil tersenyum sinis, lalu membalikkan tubuhnya meninggalkan Lisa yang berteriak-teriak marah.
“Itu milikku! Sudah menjadi milikku. Mengapa kamu kembalikan sama dia? Gelang itu sudah diberikannya sama akuuuu!” teriaknya.
Tapi dengan santai, bu Thomas membalikkan tubuhnya.
“Kamu harus tahu, bahwa gelang itu dicuri oleh pak Restu dari istrinya. Jadi kamu ingin merasa memiliki barang curian itu? Silakan saja kamu urus gelang itu, kalau kamu ingin urusan kamu dengan yang berwajib bertambah rumit.”
Lisa masih berteriak histeris, sementara bu Thomas sudah meghilang di balik pintu,
Petugas kemudian membawanya lagi masuk ke dalam ruang tahanan.
“Aku menggugat cerai kamu, dan terserah apa yang ingin kamu lakukan. Kamu bebas.”
“Mengapa begitu Bu, aku sudah minta maaf, dan berjanji untuk_……..”
“Tidak ada janji yang akan aku dengar. Segera kemasi barang-barang kamu.”
“Kamu benar-benar ingin bercerai dari aku?”
“Lalu apa lagi? Kamu kan tidak bisa melupakan dia? Lagi pula dia sudah mengandung anak kamu.”
“Apa?”
“Dia hamil. Raih kebahagiaan kamu,” kata bu Thomas sinis, lalu berjalan meninggalkan suaminya yang masih bengong di ruang tengah.
Pak Thomas segera berdiri, mengambil kunci mobil. Dia harus bertanya kepada Lisa perihal kehamilan itu.
“Apa benar kamu hamil?”
“Apa kamu membawakan makanan untuk aku? Hanya sekali kamu mengirimi aku makanan, setelah itu tidak lagi.”
“Ya, maafkan aku. Munah bertemu istriku dan dia melarang Munah melakukannya.”
“Tapi sekarang aku lapar, dan ingin makan sesuatu yang enak disantap manusia. Bukan sampah.”
“Tenanglah Lisa, nanti aku pesankan makanan untuk kamu. Sekarang ini aku hanya ingin tahu, benarkah kamu hamil?”
“Iya, aku memang hamil, dan aku ngidam makanan enak.”
“Baiklah, aku akan segera bercerai dengan istri aku, lalu aku akan menikahi kamu.”
“Bagus. Tapi terlebih dulu kamu harus membebaskan aku.”
“Kalau yang itu aku tidak bisa menjanjikannya. Kasus kamu sudah dilimpahkan ke kejaksaan dan yang melaporkan adalah istriku atas nama wanita yang kamu tabrak itu. Kamu tetap harus menjalani proses hukum.”
“Bukankah kamu punya uang?”
“Itu tidak akan berarti apa-apa. Jadi jalani hukuman kamu terlebih dulu, tidak akan lama, aku akan menyewa pengacara untuk meringankan hukuman kamum sementara aku akan menikahi kamu. Setelah ini.”
“Cepat lakukan, belikan aku rumah, dan juga mobil.”
“Jangan dulu memikirkan itu, yang penting bayi yang kamu kandung harus ada bapaknya.”
“Tapi bayi ini tak mau bapaknya miskin. Ia harus punya segalanya.”
“Lisa, kamu harus tahu, aku tak bisa melakukan seperti dulu aku melakukannya. Perusahaan yang aku kuasai, sebenarnya milik istriku.”
“Apa? Jadi kamu sebenarnya miskin? Tidak punya apa-apa.”
“Lisa, bukankah kita saling mencintai? Apapun yang terjadi, kaya atau miskin, kalau kita bisa selalu berdua, maka kita akan bahagia.”
“Mana mungkin? Aku tidak mau lelaki miskin,” sergahnya tanpa perasaan.
“Bukankah kita saling mencintai?”
“Cinta tidak akan pernah ada selama kita hidup kekurangan. Sebaiknya tinggalkan aku dan beri aku makanan enak terlebih dulu.”
Pak Thomas meninggalkan Lisa dengan perasaan kesal Gadis yang digilainya ternyata hanya suka pada hartanya. Sementara ia sebenarnya sudah tak punya apa-apa.
Lisa kembali ke ruang tahanan dengan rasa tak kalah kesalnya. Tadinya ia bermaksud mengikat pak Thomas, agar tetap bisa bersenang-senang bersamanya, Tapi ternyata pak Thomas bakalan menjadi miskin karena harta terbesar yang dimiliki keluarga Thomas adalah milik sang istri. Lisa mulai berpikir langkah apa yang harus dilakukan. Kurungan di tempat tahanan, yang pastinya juga akan menggiringnya ke penjara, tak membuatnya jera. Ambisi akan harta sangat menarik baginya. Hidup susah bukanlah impiannya. Maka iapun siap melakukan segala cara. Barangkali nanti, setelah keluar dari penjara.
Wulan yang sudah mendapatkan karunia kehamilan, merasa bahwa bayinya tidak terlalu rewel. Ia hanya sering kali merasa ingin makan sesuatu yang tak bisa ditahannya, tidak pernah merasa mual apa lagi muntah.
Seperti malam itu, tiba-tiba Wulan merengek minta dibelikan rujak. Padahal saat itu tengah malam, dan Rio sudah terlelap sejak beberapa waktu yang lalu.
“Rio … bangun dong Rio …”
Rio menggeliat, lalu beralih posisi menjadi menghadap ke arah istrinya, dari yang semula tidur tertelentang.
“Hm…?”
“Mau rujak dong,” rengeknya.
Rio terbelalak. Ia langsung duduk sambil mengucek-ucek matanya.
“Kamu bilang apa?”
“Pengin rujak, yang pedas, yang asam.”
“Wulan, besok pagi aku akan beli sebanyak-banyaknya untuk kamu, sekarang tidurlah.”
“Mau sekarang,” rengeknya lagi.
“Apa? Ini tengah malam. Mana ada penjual rujak?”
“Aku pengin sekali, kalau tidak makan rujak sekarang, bayiku akan merengek-rengek terus.
“Bayi … selalu saja alasan bayi setiap kali minta sesuatu. Bukannya Rio keberatan menenuhinya. Berapa sih harga sepiring rujak? Tapi ini tengah malam. Mana ada warung rujak ditengah malam begini?
“Wulan, bidadari cantikku ….”
Rio berusaha membujuk dengan segala cara, tapi yang diucapkan Wulan hanya rujak.
“Mau rujak.”
Bukankah rujak sangat segar dimakan di tengah hari, yang panas, dimana tubuh terasa gerah, lalu dimakan sambil duduk dibawah pohon, dan_”
“Sekarang.”
“Wulan?”
“Mau rujak.”
Rio bangkit dari tidurnya, turun dari tempat tidur. Lalu mengambil ponselnya, mencari di mana ada penjual rujak di tengah malam begini. Nihil. Rio menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Rio ….” Wulan merengek, tak peduli wajah suaminya sudah kucel karena bingung.
“Ya, ya … baiklah.”
Rio keluar dari kamar, setelah mengenakan celana panjang dan kaos singlet sekenanya. Diambilnya kunci mobil, lalu membawa keluar mobil itu dari halaman.
“Mengapa tidak minta segenggam emas saja agar aku dengan mudah memberikannya?” gerutunya sambil terus mengendarai mobilnya, entah kemana.
Pertokoan sudah lama tutup. Dimana-mana sepi, ada beberapa warung makan yang masih buka, tapi tak satupun menyediakan rujak. Ia sering mendengar penjual tertawa setiap kali dia bertanya ‘adakah rujak? Yang pedas, yang asam?’
Rio masuk ke dalam mobilnya yang masih diparkir di pinggir jalan, diantara beberapa warung makan yang masih terbuka.
Tiba-tiba ia melihat seorang perempuan, penjual buah, terkantuk-kantuk diantara bermacam buah dagangannya. Rio turun, mendekati perempuan yang setengah memejamkan matanya sambil bersandar pada salah satu keranjang dagangannya.
“Bu, punya rujak?” tanyanya hati-hati.
Besok lagi ya…
Bersambung ke Jilid 64
Leave A Comment