Karya Tien Kumalasari
Begitu Restu masuk, Lisa kemudian melompat ke arah pintu, lalu menguncinya dari dalam, lalu melemparkan kuncinya entah kemana. Restu sangat terkejut.
“Restu …” Lisa menyebut namanya lembut, sambil mendekat dan berusaha merangkul.
“Lisa? Jadi kamu yang selama ini menyamar menjadi pembantu di rumah ini?”
“Restu, kamu harus tahu. Ini adalah pengorbanan aku, demi rasa cintaku sama kamu yang tak pernah putus.”
“Perempuan murahan !! Enyah sekarang juga kamu dari rumah ini!”
“Restu, kamu jangan begitu. Apa kamu melupakan saat-saat indah ketika kita bersama? Aku tak bisa melupakannya Restu, aku cinta mati sama kamu.”
“Enyah kamu! Perempuan murahan. Aku tidak sudi lagi melihat tampangmu. Segera enyah sebelum istriku bangun.”
“Memangnya kenapa kalau istri kamu bangun? Dia harus tahu diri. Bukankah dia hanya pembantu?”
Kemarahan Restu tak tertahankan lagi mendengar istrinya dihina. Sebuah ayunan tangan mengenai pipinya dengan keras.
Plaaaakkk!
“Augh! Restu, apa yang kamu lakukan? Lihatlah tubuhku, kamu melupakannya?”
Restu berusaha membuka pintu dan kabur, tapi Lisa mendekapnya dari belakang, lalu terdengar suara baju terkoyak. Lisa mengoyak baju bagian depannya.
“Apa yang kamu lakukan? Buka pintunya. Aku tidak sudi menatap wajahmu. Kamu menjijikkan!”
“Restu, kamu bilang apa? Menjijikkan? Kamu melupakan saat-saat itu.”
“Kamu benar-benar menjijikkan. Aku bukan Restu yang dulu. Aku hanya mencintai istriku.”
“Restu, aku rela menjadi kekasih gelapmu, percayalah bahwa istri kamu tak akan pernah tahu tentang hubungan kita.”
Sekali lagi Restu menampar wajah Lisa, dan kali ini Lisa menjerit.
“Toloooong !! Toloooong saya …!”
Restu terkejut mendengar teriakan itu. Begitu keras, dan pasti Murni mendengarnya.
Dan Murni benar-benar terbangun mendengar teriakan itu. Ia meraba ke samping, tak melihat suaminya di sisinya. Ia sangat terkejut, jangan-jangan sang suami mendapat celaka.
“Siapa berteriak itu?” Murni berjingkat keluar kamar, takut Gilang terbangun.
“Toloooomng, dia memaksa akuuu. Tolooonglah buu..”
Restu sangat terkejut. Rupanya karena ditolak, Lisa justru ingin menuduhnya melakukan hal tak senonoh dengannya.
“Jangan lakukaaan, tolooong.” Tangis Lisa terdengar memilukan.
Restu dengan segera mendobrak pintu, lalu melompat keluar.
Murni tentu saja sangat terkejut.
“Mas Restu, apa yang kamu lakukan?”
“Perempuan murahan ini …,”
“Tolong Bu, pak Restu mau memperkosa saya … lihat saya …”
Murni melihat baju Lisa terkoyak.
“Jangan percaya dia. Dia perempuan murahan! Lihat, dia bukan Marsih!” Restu berusaya menarik topeng Lisa yang sudah dikenakan, tapi Murni justru menghalanginya.
“Tolong saya Bu, saya sedang tidur … tiba-tiba dia_”
“Pembohong! Perempuan rendahan!! Dia bukan Marsih! Dia Lisa yang ingin merusak rumah tangga kita Murni.”
Murni bungkam. Apa yang dilihatnya, dirasa tak membutuhkan keterangan apapun lagi. Suaminya telah merobek baju Marsih, membuat Marsih berteriak. Hati Murni hancur berkeping-keping. Kepercayaan yang sudah ditanamkan dalam-dalam ke dasar hatinya, berderai tinggal puing-puing tajam yang menusuk-nusuk sanubarinya. Restu belum berubah. Restu membohongi dia. Bahkan sama perempuan cacat, dia tega melakukannya.
Murni membalikkan tubuhnya, masuk ke dalam kamar.
Restu memburunya, setelah menoleh sejenak ke arah Lisa.
“Minggat kamu dari rumah ini sekarang juga, atau aku bunuh kamu!” ancamnya bengis.
Lisa tertawa penuh kemenangan.
“Itu akibatnya karena kamu menolak aku. Kalau aku tidak bisa mendapatkan kamu lagi, maka tak akan ada perempuan lain bisa memiliki kamu.”
Restu tak peduli pada Lisa yang kemudian berkemas. Ada senyum puas karena yakin bahwa rumah tangga Restu pasti akan berantakan.
Restu masuk ke dalam kamar, dan melihat Murni mengemasi baju-bajunya, dimasukkannya ke dalam kopor, sambil menangis sesenggukan.
“Murni, jangan percaya. Dia itu perempuan jahat. Dia memfitnah aku.”
Murni tak menjawab. Baginya, apa yang dilihatnya sudah cukup memberikan jawaban Ia terus memasukkan baju-bajunya, kemudian beralih ke baju-baju Gilang.
“Ya Tuhan, Murni … jangan pergi. Percayalah bahwa aku tak melakukan apa-apa. Percayalah Murni. Aku masuk ke kamarnya karena mendengar dia berteriak, ternyata dia menjebakku. Dia sebenarnya Lisa, dia bukan perempuan cacat Murni, dia ingin merusak rumah tangga kita. Percayalah Murni, jangan pergi.”
Murni diam membisu. Perilaku buruk Restu sudah diketahuinya. Bahwa kemudian dia percaya, adalah karena sikap dan perhatian yang ditunjukkan kepadanya, terlebih kepada anaknya, sangat meluluhkan hatinya. Tapi ternyata Restu adalah Restu, yang tak bisa melihat perempuan, bahkan perempuan cacat sekalipun. Hati Murni sangatlah sakit. Tekatnya sudah bulat. Ia harus pergi, dan tak akan pernah kembali lagi.
Murni sudah selesai memasukkan baju-bajunya sendiri dan baju anaknya, Kemudian diambilnya baju hangat Gilang, dikenakannya. Gilang merengek karena tidurnya terganggu, tapi Murni segera mengayunnya dalam gendongan, lalu Gilang kembali terlelap.
“Murni, jangan pegi, aku tak bisa berpisah dengan anakku, dan juga dengan dirimu,” Restu memohon, bahkan dengan suara bergetar menahan tangis.
Murni meraih ponselnya, memanggil taksi, kemudian sambil menggendong Gilang dengan selendang, sebelah tangannya menyeret kopor berisi pakaian mereka.
Restu memegangi kakinya.
“Tolong percayalah. Aku tidak melakukan apa-apa.”
Murni bergeming. Hatinya sudah menjadi sekeras batu. Rasa iba yang sekilas mengusiknya, segera dikibaskannya. Ia juga menahan air matanya kembali turun. Restu terus memegangi kakinya.
“Tolong lepaskan,” suara Murni bergetar.
“Jangan pergi Murni, aku tak bersalah. Aku tak melakukan apa-apa Murni. Percayalah.”
“Tolong lepaskan. Tak usah berpura-pura lagi.”
“Murni, aku mencintai kamu. Jangan pergi Murni, tolong dengarkan aku.“
Klakson taksi dari arah depan terdengar. Murni menghentakkan kakinya.
“Lepaskan!” kali ini suara Murni sangat keras, terdengar seperti bentakan. Restu terkejut, dan melepaskan pegangannya. Murni melangkah keluar dengan setengah berlari. Terdengar tangis Gilang karena terkejut mendengar suara keras ibunya. Tapi Murni terus membawanya keluar. Gilang masih menangis saat Murni masuk ke dalam taksi.
Restu berlari ke arah garasi, bermaksud mengejarnya. Tapi begitu keluar, dia bingung. Ia tahu taksi itu bergerak ke arah kiri, tapi sekian puluh meter dari pagar rumahnya adalah perempatan.
“Kemana dia? Mungkinkah pulang ke rumah ibu?” bisik Restu putus asa. Ia melarikan mobilnya ke arah rumah orang tuanya, tapi sesampai disana ia melihat pagar rumah masih ddigembok dari dalam. Berarti tak ada yang masuk. Restu ingin masuk dan sesambat kepada orang tuanya, tapi tak sampai hati. Ini sudah lewat tengah malam.
Akhirnya Restu kembali ke rumah dengan perasaan hancur.
Betapa terkejutnya hati Restu, begitu memasuki rumah, dia melihat Lisa masih disana.
“Perempuan murahan! Mengapa belum juga minggat dari sini?”
“Restu, kamu harus tahu bahwa aku masih sangat mencintai kamu. Aku rela menjadi kekasih gelapmu.”
“Minggaaaat! Atau aku bunuh kamu!!”
“Kamu tega Restu? Kamu melupakan masa-masa indah kita?”
Tak tahan, Restu menyeret tubuh Lisa, kemudian melemparkannya keluar, berikut tas yang sudah sejak tadi ada di dekatnya, karena Restu memang melihat tadi Lisa sudah berkemas.
“Restu, kamu benar-benar tega?”
“Kalau kamu tidak segera minggat, aku akan berteriak maling, agar kamu digebugin orang sekampung.”
Restu menutup pintu rumahnya, masuk ke dalam kamar, lalu duduk bersimpuh bersandar pada pintu, dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Dari sela-sela jari tangannya, butiran-butiran air mata menerobos dan mengaliri punggung tangannya.
Besok lagi ya…
Bersambung ke Jilid 68
Leave A Comment