Karya Tien Kumalasari
Murni terdiam, agak ragu menerima tawaran pak Warso. Tapi dia tidak menawarkan, dia seperti memaksa. Ada perasaan tak enak dihati Murni. Mengapa tampaknya pak Warso memperlakukan lebih terhadap dirinya? Padahal dia karyawan baru, belum genap sebulan bekerja di tokonya.
“Kenapa Bu?”
“Pak Warso mau mengantarkan saya ke dokter.”
“Ya sudah, itu lebih bagus. Pak Warso orang berada, pasti punya langganan dokter yang bagus dan siap setiap saat, tidak usah ngantri seperti kalau periksa di puskesmas.
“Iya sih.”
“Tidak apa-apa Bu, biar Gilang sama saya. Pekerjaan saya kan sudah selesai.”
Ketika kemudian pak Warso datang, Murni terkejut. Pak Warso bukan membawa pick up seperti yang dipakainya belanja kemarin, tapi membawa mobil bagus.
Murni baru beranjak mengambil tasnya, pak Warso sudah turun duluan, mendekati Gilang yang sedang digendong bu Trisni.
“Ini Gilang ya?”
“Iya Pak,” jawab bu Trisni yang sedang menggendong Gilang di depan rumah.
“Ngganteng banget sih, dan tampak sehat.”
“Iya. Ayo Gilang, beri salam untuk pak Warso,” kata bu Trisni sambil mengacungkan tangan Gilang ke arah pak Warso. Pak Warso menerimanya dengan senyum ramah.
“Murni sudah siap?”
“Sudah Pak, maaf, Bapak jadi repot,” kata Murni yang keluar dari dalam rumah.
“Tidak repot. Kalau kamu sakit dan tidak bisa bekerja, aku yang repot kan?”
“Barangkali hanya masuk angin.”
“Ya sudah, apapun sakitnya, kamu harus segera diperiksa dokter,” kata pak Warso sambil membukakan pintu mobil untuk Murni.
Murni melambaikan tangannya, ketika mobil pak Warso bergerak menjauh.
Gilang menatap ke arah mobil itu pergi, seakan bertanya, siapa yang bersama ibuku.
Bu Trisni segera beranjak ke dalam. Ia merasa, sikap pak Warso sangat berlebihan. Ada rasa khawatir, kalau-kalau pak Warso punya maksud yang lain, seperti perkiraannya yang pernah diutarakannya pada Murni.
“Waduh, apa yang terjadi nanti ya, apakah bu Murni mau sama pak Warso yang sudah setengah tua? Tapi kan dia kaya. Kalau masalah kebutuhan hidup, bu Murni tak akan kekurangan, kalau mau sama pak Warso. Tapi bu Murni kan masih punya suami. Ya ampun, katanya dia mau minta cerai, apa gara-gara bu Murni mulai suka sama duda setengah tua itu?”
“Rio, kamu menelpon siapa?” tanya Wulan ketika mereka selesai makan pagi.
“Aku menyuruh orang untuk mengantarkan mobil mas Restu ke penginapan.”
“Nekat banget mas Restu, kenapa tidak langsung saja mendatangi rumah Trimo, kalau memang dia mencurigai bahwa Murni ada di sana?”
“Sungkan katanya, soalnya bu Trisni sudah terlanjur bilang bahwa Murni tidak ada di rumahnya.”
“Apa sih sebenarnya maksud Murni? Dari dulu suka kabur-kaburan,” gerutu Wulan kesal.
“Jangan terlalu menyalahkan Murni. Yang dia lihat adalah nyata. Perkara itu dibuat dengan hasil memuaskan oleh Lisa, memang itulah maksud Lisa. Barangkali sulit bagi Murni untuk mempercayai alasan apapun, karena ketahuan mas Restu ada di dalam kamar Lisa dan kamar itu terkunci dan Lisa telah membuat sedemikian rupa sehingga semua seperti nyata. Baju yang terkoyak, misalnya, itu bukti yang tidak bisa dipungkiri.
“Iya sih, tapi seharusnya Murni bisa mendengar apa yang dikatakan mas Restu.”
“Tampaknya susah, kecuali ada penengah, atau ada bukti bahwa Marsih adalah Lisa. Kemana sekarang dia? Apa kita harus menangkapnya supaya dia mau menerangkan semuanya pada Murni?”
Wulan menghela napas panjang. Banyak liku-liku kehidupan yang dijalani Murni.
“Semoga Murni dan mas Restu bisa melewati ujian ini.”
Rio mengangkat ponselnya ketika terdengar dering panggilan telpon.
“Ya … benar, itu kunci mobilnya, alamatnya sudah aku kirimkan sama kamu kan? Ya sudah, segera lakukan perintah aku. Baiklah.”
“Kunci mobilnya sudah didapat?” tanya Wulan ketika Rio selesai menelpon.
“Sudah. Karyawan bengkel tahu, kunci itu selalu ada di meja kamar mas Restu. Semoga dengan mobil itu mas Restu bisa bergerak lebih nyaman.”
“Ya sudah, kita berangkat ke kantor sekarang? Aku harus selalu ada di kantor, karena sejak Murni menghilang, bapak seperti kurang bersemangat, apalagi mengingat kondisi mas Restu yang semakin kurus, bagai tak terurus.”
“Baiklah, aku bisa mengerti. Apalagi ibu, juga yu Sarni.”
“Menurut aku, Murni memang agak kebangetan. Harusnya mengabari ibu atau yu Sarni bahwa dia dan anaknya baik-baik saja.”
“Ya sudah, bagaimanapun Murni juga sedang kacau, seperti merasa gagal dalam meraih kebahagiaannya. Nanti kalau keberadaan Murni sudah jelas, aku atau kamu harus menyusulnya. Murni tidak akan percaya pada apa yang dikatakan mas Restu. Susah untuk percaya, apalagi kalau mengingat masa lalu mas Restu yang begitu buruk.”
“Semoga semuanya baik-baik saja.”
Pak Warso dan Murni sudah ada di kamar tunggu dokternya. Ada satu pasien sebelumnya, jadi keduanya masih harus menunggu, sementara Murni kembali dilanda rasa lemas dan pusing. Ia mengesal tak membawa minyak kayu putih yang ada di kamarnya.
“Kenapa?”
“Pusing sekali. Apa Bapak membawa minyak kayu putih?”
“Minyak kayu putih? Waduh, di toko sebenarnya ada. Tapi aku tidak membawanya.”
“Saya sangat pusing, dan sekarang kembali mual.”
“Biar aku beli dulu, barangkali di warung dekat-dekat sini ada,” kata pak Warso sambil berdiri.
“Tidak usah Pak, nanti saja.”
“Jangan, biar aku beli dulu, tampaknya kamu sangat membutuhkan,” kata pak Warso sambil melangkah pergi, keluar dari ruang tunggu.
“Aduh, aku sangat merepotkan, padahal pastinya juga hanya karena masuk angin. Tapi sudah aku bawa tidur semalaman, kok ya masih juga rasa tidak enak ini,” keluh Murni.
“Ibu pusing ya?” tiba-tiba salah seorang pasien yang duduk di depannya bertanya.
“Iya Bu, sangat pusing, badan saya lemas, dan mual sekali perut saya.”
“Jangan-jangan ibu hamil,” kata si ibu tadi.
“Apa? Hamil?”
“Tanda-tandanya seperti orang hamil. Tapi nggak tahu juga, benar hamil atau hanya perkiraan saya.”
Murni mulai menghitung-hitung, kapan terakhir dia menstruasi.
“Ah ya, selama berada di rumah bu Trisni aku belum pernah mengalami. Tapi hamil? Masa sih?” katanya dalam hati.
Tiba-tiba, ingatan tentang kehamilan itu membuat perutnya seperti diaduk. Murni berlari ke arah kamar mandi dan seperti semalam, dia muntahkan semua isi perutnya.
Ternyata warung yang dimaksud, tempatnya agak jauh dari tempat praktek dokternya. Tapi pak Warso lega, bisa membawa minyak kayu putih yang dibutuhkan Murni. Ia segera bergegas kembali, karena merasa perginya terlalu lama.
“Murni pasti sudah tidak sabar. Kasihan juga dia. Aku jadi menyesal telah mengajaknya belanja seharian. Pasti lah dia sangat capek, apalagi kalau tidak biasa naik mobil. Mobilnya jelek pula. Habis, kan itu memang mobil untuk belanja,” gumam pak Warso disepanjang langkahnya.
“Pak … pak, dompetnya jatuh,” tiba-tiba sebuah teriakan terdengar dari belakangnya.
Pak Warso menoleh, dan memang dompetnya terjatuh. Rupanya karena tergesa-gesa, dia tidak memasukkan dompetnya ke dalam saku dengan sempurna.
“Terima kasih,” kata pak Warso kepada wanita yang menyapanya.
Wanita itu ternyata sangat cantik dan menawan. Pak Warso terpana ketika senyumannya seperti memaku dirinya sehingga tak mampu melangkah lagi.
Tiba-tiba sebuah teriakan lain terdengar, dari arah di mana dokter langganannya berpraktek.
“Paaak, Paaak, istri Bapak pingsan.”
Besok lagi ya.
Bersambung ke Jilid 76
Leave A Comment