Karya Tien Kumalasari
Pak Warso melupakan wanita cantik yang tiba-tiba seperti menggodanya, kemudian setengah berlari menuju ke arah praktek dokter.
Ia langsung masuk ke ruang praktek, karena Murni sudah berada di dalam, entah siapa yang mengangkatnya.
“Kenapa dia dok?” tanyanya khawatir, sambil menatap ke arah Murni yang terbaring lemah, dengan mata terpejam.
“Ini istri pak Warso?”
“Dia kenapa?” lanjutnya.
“Ini bukan sakit berbahaya, tapi sakit yang membuat bahagia.” Kata sang dokter sambil tersenyum.
Pak Warso menatap Murni, tidak mengerti.
“Istri Pak Warso hamil sudah lima minggu.”
Bukan hanya pak Warso yang terkejut. Murni demikian juga. Ia yang masih lemah, langsung membuka matanya. Mulutnya ingin mengucapkan sesuatu, tapi bingung apa yang harus diucapkannya.
Tapi pak Warso segera bisa menenangkan hatinya. Baiklah, dia hamil, soalnya dia juga baru akan menanyakan padanya tentang status dan kehidupannya, sebelum kemudian dia melamarnya.
Pak Warso tersenyum.
“Keadaannya bagaimana?”
“Tidak apa-apa. Biasa, wanita hamil muda seringnya begitu. Pusing, mual, muntah. Tapi saya kan bukan ahlinya. Sebaiknya pak Warso membawa istri Bapak ke dokter kandungan untuk memastikannya, dan supaya ada penanganan lebih lanjut. Misalnya harus bagaimana, harus minum apa, begitu,” kata sang dokter.
“Oh, begitu ya. Baiklah, sekarang juga saya akan membawanya ke rumah sakit.”
“Baiklah. Bu Murni bisa bangun?”
Murni mengangguk. Walau badannya lemah, dia masih mampu bangun. Pak Warso memapahnya keluar, karena takut Murni terjatuh. Dalam melangkah ke arah mobil, pak Warso menyerahkan botol minyak kayu putih yang tadi dibelinya, setelah membuka segelnya.
Tanpa menjawab, Murni menerimanya, dan segera menciumi botol minyak itu sepuasnya.
Hati-hati pak Warso membantu Murni duduk.
“Kita akan langsung ke rumah sakit,” kata pak Warso.
“Maafkan … saya,” kata Murni terbata.
“Tenangkan dulu hati kamu, setelahnya, kamu baru boleh cerita. Yang penting kamu harus segera mendapat penanganan.”
“Tapi saya harus segera pulang. Gilang _”
“Bukankah masih ada stok ASI di kulkas? Jadi kamu tidak usah memikirkannya dulu.”
Murni diam. Dia merasa sangat lemas. Tak ada yang bisa dikatakan untuk membantahnya, walaupun dia merasa tak enak, karena ternyata dirinya hamil, dan dia belum pernah mengatakan apapun tentang statusnya kepada pak Warso, kecuali mengatakan bahwa dia seorang janda.
Bu Trisni sangat khawatir, karena Murni perginya sudah terlalu lama. Tapi ada yang membuatnya terhibur, bahwa Murni pergi bersama pak Warso, yang akan membawanya ke dokter langganan. Pasti rumah dokter itu berada diluar dusun ini.
Bu Trisni sedang menggendong Gilang di depan rumah, ketika tiba-tiba sebuah mobil berhenti. Bukan mobil yang kemarin, jadi bu Trisni tak mengira, bahwa itu adalah Restu.
Tapi bu Trisni terkejut, ketika yang muncul benar-benar Restu. Ia bergegas mendekatinya, dan langsung meminta Gilang dari gendongannya.
Bu Trisni sangat merasa tidak enak.
“Maaf Pak Restu, sungguh saya minta maaf. Saya berbohong, atas permintaan bu Murni. Bukan kemauan saya sendiri,” katanya takut-takut.
Restu asyik menciumi Gilang, yang barangkali karena ada ikatan darah, masih mengenali ayahnya yang hampir sebulan tidak bertemu. Ia tertawa-tawa dan menepuk-nepuk pipi ayahnya. Bu Trisni terharu melihatnya.
“Sesungguhnya saya difitnah. Murni pasti bercerita bahwa saya berselingkuh, tapi itu salah. Saya dijebak oleh wanita yang menyamar menjadi wanita cacat, pura-pura melamar menjadi pembantu di rumah saya.”
Lalu Restu mencetakan semuanya. Bahwa kemudian Murni melihatnya berada di dalam kamar, karena Lisa menguncinya dari dalam, kemudian berteriak mengatakan bahwa dirinya diperkosa.
Bu Trisni membelalakkan matanya setelah tahu kejadiannya.
“Di mana Murni?”
“Dia bekerja disebuah toko sembako. Tapi dia sakit, semalam muntah-muntah, lalu pak Warso, majikannya, pemilik toko itu, mengantarkannya ke dokter. Mungkin dibawa keluar dari dusun ini, dia kan punya langganan dokter sendiri.”
Setelah mendapat keterangan dari bu Trisni, dia menitipkan Gilang pada bu Trisni, lalu mendatangi toko pak Warso, dan menanyakan di mana alamat dokter langganan pak Warso. Ia bersyukur Rio mengantarkan mobilnya, sehingga dia bisa dengan mudah pergi kemanapun.
Pak Warso membawanya ke rumah sakit, dan Murni langsung diperiksa. Perkiraan dokter itu benar, Murni hamil. Tapi karena kondisinya lemas, maka Murni harus dirawat dulu selama satu atau dua hari.
“Tidak mau, saya pulang saja. Saya punya anak bayi,” tolak Murni ketika dokter memintanya dirawat.
“Tapi Ibu masih lemas. Baiklah, barangkali sehari saja, sampai nanti sore baru boleh pulang. Ibu harus diinfus, dan diberikan obat.”
“Murni, sebaiknya kamu menurut saja apa kata dokter. Itu yang terbaik untuk kandungan kamu, juga untuk kesehatan kamu.”
“Tapi bagaimana dengan anak saya?”
“Aku akan menelponnya, adakah nomor yang bisa dihubungi? “
Murni memberikan nomor kontak bu Trisni. Itu penting, supaya bu Trisni tidak merasa khawatir. Tapi aku juga mau menemui ibu Trisni dan mengatakan keadaan kamu dengan lebih jelas.”
Murni tak bisa menolaknya. Badannya memang terasa lemas, dan dia benar-benar tak berdaya. Dia tak mau kalau pak Warso kembali memapahnya saat dia memaksa pulang. Tidak enak dan tidak pantas, karena pak Warso bukan apa-apanya.
Pak Warso memesan kamar terbaik untuk Murni, yang walau Murni menolaknya, tapi pak Warso memaksanya.
Ketika pak Warso pulang, ia berpapasan dengan wanita yang tadi ditemuinya. Pak Warso heran, bagaimana wanita itu bisa berada di rumah sakit juga? Apakah dia mengikutinya?
“Rupanya Murni itu istri Bapak? Beruntung sekali dia. Lepas dari satu laki-laki, diterima oleh laki-laki lain,” kata wanita itu mengejek.
Pak Warso yang masih berada dalam keadaan bingung, tak memperhatikan wanita yang ternyata mengenal Murni. Ia langsung memasuki mobilnya dan memacunya pulang.
Wanita cantik itu tak terduga memasuki kamar rawat Murni, membuat Murni terkejut. Yang diingatnya adalah, wanita itu adalah yang pernah mengata-ngatainya saat dia belanja, dan yang pernah sengaja menabraknya sehingga harus berurusan dengan yang berwajib. Wanita itu memang Lisa. Tentu saja Murni tak mengenalinya sebagai Marsih, karena Lisa tak menggunakan cadar seperti ketika menjadi pembantu di rumahnya.
“Selamat bertemu kembali Murni,” sapa Lisa.
Murni terkejut, Lisa bisa berada di rumah sakit tempat dia dirawat.
“Ya ampun Murni, kamu itu pembantu yang sangat beruntung ya, diambil istri oleh majikan, setelah diselingkuhi, kamu mendapat duda tua yang kaya di tempat ini. Enaknyaaa,” ejeknya tanpa malu.
“Bukankah kamu dipenjara?”
“Oh iya, tentu saja. Aku dipenjara, Tapi mana aku kerasan di sana berlama-lama? Tidak dong, aku sudah bebas, dan dikota kecil ini aku sedang menyendiri, merenungi keberuntunganku. Kamu tahu, siapa yang ada di dalam rumah tangga kamu dan menjadi pembantu kamu? Aku, Murni. Aku menyamar menjadi wanita cacat dengan topeng di wajahku.”
Murni terbelalak. Jadi Marsih itu Lisa? Pantesan Restu mau sama dia, ternyata bekas kekasihnya. Begitulah Murni berpikir, dan rasa benci kepada Restu semakin mendalam.
“Dan saat ini, Restu bekas suami kamu juga ada di kota kecil ini. Bersamaku. Dia menyusulku sampai kemari. Ya ampuun, kok bisa kamu juga di sini sih? Baiklah, tak apa-apa, toh kamu sudah punya suami dan sudah hamil pula. Yaaah, cepet banget hamilnya. Baru berapa bulan kamu pisah sama Restu? Masa idah belum habis pula. Bisa kena masalah pula kamu nanti.”
Murni tak menjawab sepatah katapun.
Lisa masih petentang petenteng di dalam ruangan itu, ketika tiba-tiba Restu muncul di ruangan itu.
“Heii … apa yang kamu lakukan di sini?”
Besok lagi ya.
Bersambung ke Jilid 77
Leave A Comment