Karya Tien Kumalasari
“Aku boleh numpang dong, masa sih nggak boleh, jangan pelit dong, pak tua ganteng,” kata Lisa tanpa malu.
Tapi kemudian pak Warso turun dari mobilnya, lalu memasuki garasi dan mengendarai mobil yang lain, sementara Lisa terkunci di dalam mobil. Lisa berteriak-teriak, tapi pak Warso tak peduli. Ia sudah langsung keluar dari halaman toko.
Lisa turun dari mobil setelah pak Warso pergi jauh dari rumah. Rasa kesal membuatnya kemudian membanting pintu mobil dengan sangat keras, membuat para karyawan toko yang sudah pada datang, kemudian menatapnya heran.
“Apa lihat-lihat?” hardiknya sambil pergi begitu saja.
“Siapa dia tuh?” tanya salah seorang karyawan.
“Nggak tahu, tiba-tiba masuk ke dalam mobil bapak, lalu bapak pergi dengan mobil yang lain.”
“Tampaknya bukan wanita baik-baik.”
“Barangkali simpanan bapak.”
“Hush! Mana mungkin? Kalau simpanan pasti langsung dibawa pergi, bukan ditinggalkan begitu saja.”
“Ya sudah, ayo … kerja … kerja, sudah ada pembeli tuh.”
Karyawan yang tiba-tiba mendapatkan bahan ngrumpi kemudian bubar, dan mengerjakan pekerjaan mereka masing-masing.
“Sebenarnya bapak pergi ke mana? Nggak ada uang kembalian di kasir nih, uangnya besar semua,” celetuk kasir saat membuka laci.
“Rupanya bapak lupa, karena terburu-buru.”
“Kemana sih, bapak?”
“Nggak tahu, mungkin ke rumah Murni.”
“Waduh, bisa lama kalau ke sana. Aku tukar uang kecil dulu di bank ya.”
“Ya sudah, buruan, repot kalau pembeli mulai ramai.”
Pak Warso mengetuk pintu rumah bu Trisni, bu Trisni yang sedang bebenah di dapur segera keluar. Murni ada di kamarnya.
“Permisi Bu.”
“Oh, Pak Warso, silakan masuk.”
“Bagaimana keadaan Murni?”
“Belum begitu baik. Baru saja dia muntah-muntah lagi.”
“Apa obatnya tidak diminum?”
“Diminum sih, tapi yang namanya hati sedang sedih, diberi obat juga tambah parah keadaannya.”
“Ada apa sebenarnya. Saya dulu menerima Murni begitu saja, dan keterangan yang saya terima bahwa dia adalah janda. Tidak tahunya kemarin ketemu yang namanya suami, dan membuat saya bingung.”
“Ceritanya agak rumit Pak,” kata bu Trisni ragu-ragu. Tapi kemudian bu Trisni bermaksud menceritakan semuanya, agar tak terjadi salah terima pada pak Warso yang menjadi majikan Murni.
“Rumitnya bagaimana? Kemarin di depan suaminya, dia bilang bahwa saya calon suaminya, saya benar-benar tidak mengerti.”
“Sebenarnya ada seorang perempuan jahat yang bermaksud merusak hubungan bu Murni dan suaminya yang namanya pak Restu.”
“Merusak bagaimana maksudnya?”
Lalu bu Trisni mengatakan kepada pak Warso, seperti yang dikatakan Restu kepadanya.
Pak Warso teringat wanita genit yang bernama Lisa. Dia kah pengganggu itu?
“Namanya Lisa?”
“Iya Pak, katanya bernama Lisa. Dia memang suka sama pak Restu, dan terus mengejarnya. Ketika sudah menikah dengan bu Murni, Lisa kemudian berusaha merusaknya dengan menyamar itu tadi.”
“Rupanya dia, wanita itu.”
“Pak Warso mengenal wanita jahat itu? Bahkan bu Murni tidak percaya ketika saya mengatakan apa yang dikatakan pak Restu. Dia cerita banyak saat bu Murni ada di rumah sakit. Itu sebabnya saya memberikan Gilang untuk dibawanya pulang.”
“Jadi Gilang dibawa oleh bapaknya?”
“Itulah yang membuat bu Murni semakin sedih.”
Pak Warso menghela napas berat. Ada rasa kecewa dihatinya, ketika mengetahui bahwa sebenarnya Murni pergi dari rumah karena salah sangka.
“Saya baru mengerti ceritanya,” keluh pak Warso.
“Iya Pak, kasihan bu Murni. Tapi sayangnya dia belum bisa mempercayai suaminya, karena melihat suaminya itu ada di dalam kamar Lisa yang menyamar sebagai pembantu, kemudian berteriak-teriak, pura-pura mau diperkosa.”
“Bu Trisni tahu, sebenarnya saya ingin mengambil Murni sebagai istri saya.”
“Oh, jadi benar?”
“Apanya yang benar?”
“Melihat perhatian pak Warso kepada bu Murni, saya mengira pak Warso punya maksud tertentu. Dan dugaan saya ternyata benar.”
“Iya Bu, tapi saya bukan laki-laki jahat. Saya bermaksud begitu, karena saya mengira Murni benar-benar janda.”
“Lalu sudah tahu tabiat kamu sebelumnya,” kata pak Broto yang setengah menyalahkan Restu.
“Restu kan sudah bertobat, Pak,” protes Restu.
“Benar, tapi tidak mudah melupakannya, apalagi kemudian ada yang mengacau dengan sandiwara yang sangat apik.”
“Ya sudah, aku suruh Sarni bersiap dulu, soalnya Rio akan berangkat pagi-pagi,” kata bu Broto.
Murni sebenarnya tidak tidur. Ia dengan jelas bisa mendengar pembicaraan bu Trisni dan pak Warso, karena rumah bu Trisni kan kecil, dan jarak dari kamar dan ruang tamu tidak begitu jauh. Murni terkejut mendengar pengakuan pak Warso yang sebenarnya ingin mengambilnya sebagai istri. Ia kemudian sadar, bahwa benar seperti dugaan bu Trisni, bahwa kebaikan pak Warso karena ada maksudnya.
Tapi kemudian Murni merasa lega, karena pak Warso bisa mengerti keadaannya.
Rasa mual yang dirasakannya sudah agak mereda. Murni berusaha bangkit, ketika bu Trisni menawarkannya makan pagi.
“Makanlah dulu Bu, bukankah perut ibu sekarang kosong?”
“Saya makan nasi saja, jangan diberi lauk Bu.”
“Bagaimana sih Bu, makan nasi tanpa lauk?”
“Saya mual kalau mencium aroma gurih, jadi lebih baik nasi saja,” kata Murni yang kemudian berusaha berdiri.
Tapi baru saja Murni melangkah keluar dari kamarnya, ia mendengar mobil berhenti di depan rumah. Murni membalikkan tubuhnya dan kembali berbaring.
“Pasti mas Restu datang lagi. Aku tidak akan mau pulang,” gumamnya sambil memejamkan mata, lalu berbaring membelakangi pintu.
“Murni.”
Murni terkejut, karena suara yang di dengarnya adalah suara perempuan.
Besok lagi ya.
Bersambung ke Jilid 80
Leave A Comment