SELAMAT PAGI BIDADARI (80)

Karya Tien Kumalasari

Murni segera menghambur ke pelukan yu Sarni, sang simbok yang lama ditinggalkannya. Ia tersedu di pundaknya. Yu Sarni mengelus punggungnya pelan.

“Maafkan Murni Mbok …” isaknya.

“Kenapa kamu kabur-kaburan sih nduk. Nggak bagus seorang istri kabur-kaburan begitu,” tegur yu Sarni.

“Maafkan Murni …”

Bu Trisni yang keluar dari dapur segera mempersilakan tamu-tamunya duduk di kursinya yang sederhana. Mereka adalah Rio, Wulan dan yu Sarni.

Yu Sarni segera menggandeng anaknya, untuk duduk di sebelahnya.

“Saya menyusahkan banyak orang. Pak Rio, bu Wulan, maafkan saya.”

“Apa sebenarnya yang terjadi Murni?” tanya Wulan lembut.

“Mengapa bu Wulan bertanya? Pasti mas Restu sudah mengakui semuanya.”

“Kamu dijebak oleh perasaan cemburu kamu, karena tingkah seorang wanita jahat seperti Lisa. Dia bisa melakukan apa saja.”

“Mengapa semua orang membela mas Restu?”

“Orang yang pernah menempuh jalan salah, pada suatu saat akan kembali menyusuri jalan yang benar. Tidak selama hidup dia dituduh sebagai penjahat,” kata Rio menimpali.

Yang harus kamu ingat adalah bahwa Lisa itu wanita yang tidak punya moral, yang tidak tahu malu, dan yang jelas bahwa dia bisa melakukan apa saja demi mewujudkan keinginannya. Dia merayu mas Restu, tidak berhasil, maka dia berusaha merusak rumah tangga kalian. Dan dia berhasil,” lanjut Wulan.

Murni terdiam. Dia berfikir, mengapa semua orang membela Restu. Dan uraian kata-kata yang didengar dari mulut Rio dan Wulan, mulai meresap di hatinya.

“Mengapa mas Restu tidak ikut kemari dan menjelaskan semuanya sendiri?”

“Menurutmu kamu akan bisa menerimanya setelah apa yang dikatakannya kamu tepiskan dengan marah? Kamu juga mengatakan sudah punya calon suami baru. Apa itu pantas?” omel yu Sarni.

Murni menundukkan wajahnya.

“Banyak orang memberi tahu, dan kamu hanya mempercayai perasaan kamu sendiri. Perasaan yang panas karena terbakar api, sehingga menghilangkan akal sehatmu,” lanjut yu Sarni.

Murni terisak, menyandarkan kepalanya di bahu simbok. Lalu tiba-tiba Murni lari ke kamar mandi di arah belakang rumah. Yu Sarni mengikuti.

Saat itu bu Trisni keluar dengan membawa beberapa gelas teh hangat.

“Bu Murni masih sering muntah-muntah,” katanya sambil meletakkan gelas-gelas di meja.

“Syukurlah. Gilang akan punya adik,” celetuk Wulan.

“Silakan diminum. Mohon maaf ya Pak, Bu, hanya seperti ini rumahnya, dan suguhannya juga.”

“Tidak apa-apa Bu, rumahnya sederhana, tapi bersih dan rapi. Pantas Murni betah berada di sini,” kata Wulan sambil meraih minumannya.

“Mohon maaf, silakan di minum,” kata bu Trisni sambil beranjak ke belakang.

“Iya Bu, terima kasih banyak,” kata Rio yang kemudian juga meraih minuman yang dihidangkan.

Murni sudah kembali dengan dituntun yu Sarni.

“Murni, secara singkat saja, sekarang aku ingin membawa kamu pulang. Mas Restu dan Gilang sudah menunggu. Apa kamu masih akan berpegang pada keyakinan kamu bahwa mas Restu melakukan hal buruk itu bersama Lisa yang menyamar menjadi pembantu kamu?” tanya Wulan.

“Saya harus bagaimana?” kata Murni yang masih merasa lemas.

“Kamu harus pulang,” tegas kata yu Sarni.

“Di sini kamu menyusahkan orang lain. Jangan bandel dan jangan menurutkan kata hati kamu yang tersesat. Apalagi kamu sedang mengandung,” lanjut yu Sarni.

“Bu Murni tidak merepotkan atau menyusahkan kami, Trimo senang punya adik baru, dan saya juga senang mendapatkan saudara baru yang baik, dan justru banyak membantu keluarga kami. Namun begitu, saya menyarankan bu Murni untuk pulang, karena seorang istri punya kewajiban melayani suami dan merawat anak. Kalau ada perselisihan dan salah paham, harus diselesaikan dengan kepala dingin,” kata bu Trisni yang sudah ikut duduk bersama tamu-tamunya.

“Tuh, bu Trisni benar. Apa yang ingin kamu katakan lagi?”

“Baiklah, saya mau pulang,” kata Murni pada akhirnya, yang disambut gembira oleh semuanya.


Sementara itu pak Warso melamun di tokonya. Bagaimanapun dia sudah terlanjur jatuh cinta pada Murni. Tapi kenyataan yang ada, bahwa Murni ternyata masih punya suami, membuat semua angannya jatuh berderai. Pupus semua harapan untuk bisa bersanding dengan wanita cantik dan pintar bernama Murni.

“Pak, uang kecil di kasir habis,” kata salah seorang pegawainya.

Pak Warso bergeming. Ingatan akan gagalnya sebuah impian, membuatnya selalu melamun.

“Pak, di kasir, uang kecil habis,” ulang sang karyawan. Barulah pak Warso terkejut.

“Oh, apa … uang kecil ya? Sebentar, lihat di meja, aku sudah menyiapkan, tapi lupa memberikannya sama kamu.”

“Baik, akan saya ambil Pak,” kata karyawan itu, kemudian berlalu.

Pak Warso masih termangu, ia bahkan belum makan sejak pagi. Ketika salah seorang pembantu rumah tangganya menyusul ke toko, pak Warso baru ingat bahwa dia belum menyentuh sarapan yang disiapkan oleh mereka.

“Bapak kok belum makan sejak pagi, saya kira Bapak pergi.”

“Aduh, sampai lupa. Ini jam berapa?”

“Sudah jam satu siang. Bahkan lebih.”

“Baiklah, aku pulang.”

Tapi sebelum beranjak, salah seorang pegawai memberi tahu, bahwa ada yang mencarinya. Pak Warso berhenti melangkah, menoleh ke arah depan toko. Seorang anak dengan masih memakai seragam sekolah, berdiri menunggu.

“Trimo ya?” teriak pak Warso.

Anak itu memang Trimo. Ketika pulang sekolah, ibunya memberi tahu, bahwa pak Warso menunggunya, karenanya belum sempat berganti pakaian, Trimo segera menuju ke tokonya.

Trimo mengangguk sopan, membuat pak Warso senang. Masih bocah, tapi mengerti sopan santun.

“Sini Mo, masuk sini,” panggil pak Warso.

Trimo melangkah masuk, melalui jalan yang ditunjukkan pak Warso.

“Kamu baru pulang sekolah?”

“Iya Pak, kata ibu, saya dipanggil Bapak.”

“Iya benar, nanti kita bicara. Tapi aku lapar. Kamu sudah makan?”

Trimo tunduk tersipu.

“Pasti belum kan? Ayo ikut aku, kita makan bersama.”

“Tidak Pak, terima kasih. Silakan Bapak makan, saya menunggu di sini,” kata Trimo sungkan.

“Tidak. Mengapa menunggu. Sama-sama lapar kan?”

“Saya nanti makan di rumah saja.”

“Tidak boleh, aku ingin bicara sama kamu, sambil makan. Ayo,” kata pak Warso yang kali ini menarik tangan Trimo, sehingga Trimo tak bisa menolak.


“Jadi kamu mau kan, sepulang sekolah membantu aku di toko?” kata pak Warso sambil memaksa Trimo agar mau makan semeja dengannya.

“Tapi saya harus mengambil sisa dagangan dan uang di beberapa warung.”

“Tidak apa-apa. Ambil dulu uang-uang itu, setelahnya kamu baru datang kemari.”

“Saya harus mengerjakan apa?”

“Banyak Mo, menakar gula di setiap plastik, menakar minyak-minyak, semuanya untuk diecerkan, supaya gampang menjualnya, dan masih banyak lagi. Apa itu berat untuk kamu? Nanti kamu akan dapat uang jajan.”

Trimo tunduk tersipu.

“Saya membantu, bukan karena uang. Dan kalau saya diberi, akan saya berikan ibu untuk kebutuhan di rumah dan bayar sekolah,” katanya sambil menundukkan muka.

“Anak baik, aku senang mendengarnya. Bagus, terserah untuk apa, tapi aku ingin tahu, apa kamu merasa berat dengan pekerjaan itu?”

“Saya akan melakukannya. Dan kalau belum bisa, saya akan belajar.”

“Bagus, berarti kamu sanggup. Kamu bisa mulai besok, dan atur oleh kamu sendiri, bagaimana kamu bisa mengambil uang kamu di warung-warung, lalu baru mulai bekerja membantu aku.”

Trimo mengangguk.

Tapi belum lama mereka berbincang, salah seorang pegawai menyusul ke rumah.

“Maaf Pak, ada seorang wanita mencari Bapak.”


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 81

Tags: No tags

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *