SELAMAT PAGI BIDADARI (83)

Karya Tien Kumalasari

“Benarkah yang kita saksikan?” gumam Restu ketika dalam perjalanan pulang.

“Itu benar, dia jualan balon. Mengapa ya memilih jualan balon? Mengapa tidak melamar pekerjaan yang penghasilannya pasti.”

“Karena suaminya tukang jualan balon. Ini sulit dimengerti. Lisa yang terbiasa hidup bergelimang kesenangan, tiba-tiba menjadi istri penjual balon.”

“Iya juga sih, tapi kan penjual balon itu yang menyelamatkan nyawanya ketika dia berniat bunuh diri.”

“Sampai sebegitunya.”

“Dia merasa gagal dalam mencapai keinginannya. Salah langkah sih.”

“Benar, salah langkah. Dia merasa bahwa kecantikannya bisa dipergunakan untuk meruntuhkan hati siapapun, untuk kemudian diperas hartanya, lalu dibuang ketika mangsanya tak lagi punya harta,” kata Restu sambil membayangkan bahwa dirinya pernah menjadi korbannya.

“Tapi sama Mas, cintanya cinta mati.”

“Kok bisa?”

“Buktinya, Mas yang tidak begitu kaya, masih dikejarnya. Jadi dia tidak semata mengejar harta, tapi juga cinta.”

“Ada-ada saja.”

“Itu kan bukti nyata. Hanya saja dia tidak berhasil, lalu entah bagaimana, dia bisa berada di kota kecil dimana aku melarikan diri. Bisa jadi dia juga berusaha merayu pak Warso, tapi tak berhasil. Pak Warto bukan pengejar perempuan, walau hartanya banyak.”

“Siapa pak Warso? O, yang akan mencadi calon suami kamu itu?” ledek Restu.

“Aku tidak bersungguh-sungguh. Hanya ingin agar Mas pergi menjauhi aku.”

“Begitu besarnya rasa benci kamu sama aku?”

“Benci dan sakit, membayangkan apa yang Mas lakukan.”

“Melakukan apa? Kamu kan bisa melihat, ketika pintu itu terbuka, aku masih berpakaian lengkap. Lalu apa yang kamu pikirkan, kemudian kamu anggap bahwa semua itu benar.”

“Iya, siapa orangnya yang tidak panas melihat seperti itu.”

“O, panas ya? Itu berarti kamu benar-benar cinta sama aku.”

“Memangnya Mas kira aku main-main? Mas barangkali yang main-main dengan perasaan.”

Restu tertawa, diraihnya sebelah tangan Murni dan digenggamnya erat.”

“Aku sungguh-sungguh mencintai kamu, Murni.”

“Benarkah?”

“Tentu saja benar, kalau tidak, mengapa aku harus mencari kamu, menyusul kamu, merayu kamu, bahkan pernah kamu buat panas hati aku karena kamu bilang bahwa kamu sudah punya calon suami.”

Sekarang Murni tertawa.

“Pak Warso itu orang baik. Dia sangat perhatian sama aku.”

“Tuh, kan … kamu ingin membuat aku cemburu?”

“Memang dia baik. Kata bu Trisni, dia menyuruh Trimo membantu di tokonya sepulang sekolah. Jadi Trimo bisa membantu menambah penghasilan ibunya.”

“Benarkah? Trimo kan masih kecil?”

“Trimo itu pintar, katanya cuma bungkus-bungkus gula, beras, menakar minyak, gitu. Tapi dia bisa, katanya … pak Warso sangat menyayangi dia.”

“Aku kurang memperhatikan kamu, sehingga aku tidak banyak tahu tentang Trimo. Padahal ibunya selalu menjadi tumpuan keluh kesahmu.”

“Entahlah, pertama kali aku menemui orang lain yang sangat perhatian sama aku, ya Trimo dan ibunya itu.”

Akhirnya mereka sampai di rumah, dan Gilang tertidur pulas sambil memeluk balon yang diberikan Lisa. Restu menidurkannya perlahan, lalu meletakkan balon-balon itu di sampingnya.


Murni mulai bersih-bersih rumah yang lama ditinggalkannya. Tidak begitu kotor sih, karena setiap dua haru sekali Restu pulang untuk bersih-bersih. Tapi Murni perlu menata kembali apa yang kurang sempurna, karena seorang lelaki kurang mengerti tentang tata letak, apa lagi peralatan dapur.

“Murni, kamu jangan terus memforsir tenaga kamu. Biarkan saja dulu, besok aku bantu bersih-bersih. Ingat, kamu baru saja merasa sehat.

“Iya, cuma menata letak peralatan dapur ini. Besok aku akan mulai memasak.”

“Bagaimana kalau untuk sementara kita langganan rantangan saja? Hanya aku sama kamu yang makan, tidak harus masak, apa lagi kamu harus menjaga Gilang yang sudah banyak geraknya setelah bisa tertatih berjalan.”

“Iya, terserah Mas saja. Sebetulnya sih kangen masak-masak. Tapi benar, harus ingat Gilang juga.”

“Itulah, mulai besok hubungi catering terbaik, agar bisa mengirimkan makanan apa yang kamu perlukan. Sambil pelan-pelan cari pembantu, atau lebih baik perawat saja, yang pastinya lebih mengerti cara merawat anak, asal bukan yang pakai topeng,” kata Restu sambil tertawa.

“Baiklah, mana yang terbaik, aku menurut saja.”

“Nah, gitu dong, istri yang baik harus menurut apa kata suami. Ya kan?”

Murni mengangguk senang. Dalam hati ia berharap agar kebahagiaan mereka akan selalu terjaga.


Pagi itu Wulan sedang merasa malas sekali. Dia menelpon pak Broto, minta ijin untuk tidak ke kantor karena badannya merasa tidak enak.

“Kamu sakit, Wulan?” tanya pak Broto.

“Sebenarnya nggak sakit, cuma kok rasanya malas, gitu ya Pak. Ini Rio baru mau berangkat, sedianya saya mau bareng, kok rasanya berat.”

“Ya sudah, istirahat saja dulu, biar nanti bapak yang mengurus semuanya.”

“Terima kasih Pak.”

“Bagaimana Bapak?”

“Nggak apa-apa, bapak bisa mengatasi semua. Aku kok tiba-tiba merasa berat banget. Jadi aku ingin istirahat dulu ya Rio?”

“Aku ke kantos sebentar, nanti aku segera pulang lalu mengantarkan kamu ke dokter.”

“Nggak usah Rio, aku nggak apa-apa. Hanya terasa berat sama keringatan terus, habis hawanya panas begini.”

“Kata dokter, kamu sudah saatnya melahirkan, jangan-jangan kamu mau melahirkan.”

“Nggak ah, belum, katanya kalau mau melahirkan itu sakit sekali. Ini nggak sakit. Biasa kalau terasa kenceng-kenceng begini. Sudah kamu berangkat saja, ini sudah siang lhoh.”

“Ya sudah, kalau bisa aku segera pulang, tapi kalau ada apa-apa, atau kamu merasa yang nggak biasa, segera kabari aku. Jangan menyepelekan suasana badan yang menurutmu nggak enak. Pasti ada apa-apa.”

“Jangan dibesar-besarin lah, sudah, berangkat sana.”

Rio bergegas menuju ke arah mobilnya, karema memang sudah saatnya berangkat, tapi sebelum mobil itu berlalu, Rio masih melongok dari jendela mobilnya, berpesan sekali lagi agar kalau ada apa-apa segera mengabari.

Wulan hanya melambaikan tangan dengan menebarkan senyuman.

Begitu suaminya pergi, Wulan segera masuk ke dalam rumah, dan ingin berbaring sebentar di ranjang. Tiba-tiba perutnya terasa mengeras dan kencang-kencang. Wulan mengelusnya pelan, sampai kemudian rasa kencang itu reda.

Wulan masih merasa tak apa—apa, sampai kemudian rasa kencang itu terasa lagi.


“Wulan tadi menelpon Bapak?” tanya bu Broto ketika suaminya mau berangkat ke kantor.

“Iya, katanya agak nggak enak badan.”

“Nggak enak bagaimana? Flu atau bagaimana?”

“Dia bilang tidak, hanya badannya terasa berat, gitu.”

“Jangan-jangan dia mau melahirkan.”

“Masa sih? Memangnya sudah waktunya?”

“Ya sudah Pak, sudah sembilan bulan lebih.”

“Waduh, kalau begitu ada baiknya Ibu ke sana. Dia kan tidak tahu bagaimana rasanya kalau mau melahirkan?”

“Baiklah, ibu ke sana sekarang.”

“Ibu segera ganti baju saja, bareng aku, nanti aku turunkan di rumahnya.”

“Oh, iya. Baiklah, Bapak tunggu sebentar,” kata bu Broto sambil bergegas ke dalam. Ketika keluar dari kamar, ia segera menuju ke arah depan sambil berteriak memanggil yu Sarni.

“Ni, tutup pintunya, aku pergi bareng sama bapak.”


Bu Broto turun dari mobil suaminya di halaman rumah Wulan. Pak Broto langsung memacu mobilnya ke kantor.

Ketika menaiki teras, bu Broto tak bisa membuka pintu karena terkunci dari dalam. Bu Broto segera memencet bel tamu. Tapi tak ada jawaban. Bu Broto melongok ke arah dalam, melalui korden yang sedikit tersingkap. Lampu di ruang tengah menyala, dan ada suara televisi.

Bu Broto mengetuk pintu keras, tapi tak ada jawaban.

“Wulan! Wulan! Apa kamu di dalam?”

Tiba-tiba terdengar rintihan, sayup, hampir tak terdengar.

Bu Broto terkesiap.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 84

Tags: No tags

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *