Karya Tien Kumalasari
Bu Broto meggedor pintu sangat keras, kekhawatirannya memuncak. Ia mendorong sekuatnya, tapi tak berhasil. Karena bingung dia menelpon Rio.
Saat itu Rio baru saja duduk di kursi kerjanya, terkejut ketika melihat bu Broto menelponnya.
“Ya Bu?”
“Rio, cepat pulang, aku ada di rumah kamu.”
“Memangnya ada apa?”
“Pintu rumah terkunci, aku mendengar rintihan istri kamu dari dalam, aku tak bisa membuka pintunya.”
“Baik, baik … saya pulang sekarang,” jawab Rio sambil melangkah bergegas keluar dari ruang kerjanya, langsung mengambil mobil dan melarikan mobilnya, pulang.
Begitu sampaidi halaman, dilihatnya bu Broto masih berdiri di depan pintu sambil menggedor-gedornya.
Rio melompat turun, langsung membuka pintu rumahnya, karena masing-masing dari penghuni rumah itu membawa kunci.
“Cepat Rio, ibu takut sekali,” kata bu Broto sambil mengikuti Rio masuk.
Rio sangat terkejut, melihat istrinya merintih di ranjang, dan tampak kasur basah oleh pecahnya ketuban.
“Aduh Wulan, mengapa tidak mengabari aku, kita harus segera ke rumah sakit.”
Rio mebgfgendong Wulan dan bergegas keluar. Memasukkan istrinya ke mobil. Bu broto mengunci kembali pintunya dan ikut masuk ke dalam mobil.
“Itu ketuban sudah pecah, jangan sampai terlambat Rio,” kata bu Broto cemas.
Rio menelpon rumah sakit, dan mohon disiapkan brankar saat dia sampai di sana. Beruntung jalanan tidak begitu macet. Dan begitu mobil Rio berhenti, brankar sudah tersedia. Wulan dilarikannya ke kamar bersalin.
Setelah memarkir mobilnya, Rio duduk di samping bu Broto, di kursi tunggu. Wajah mereka tampak gelisah.
Ketika perawat keluar, Rio menghambur mendekati.
“Ibu Wulan harus dioperasi, ketuban sudah pecah, untung segera dibawa kemari.”
“Baik, lakukan yang terbaik untuk istri saya,” kata Rio yang mengikuti perawat untuk menanda tangani persetujuan operasi.
Bu Broto tampak pucat pasi karena khawatir. Rio menepuk tangannya, berharap bu Broto bisa lebih tenang.
“Apa ibu dan bayinya tak apa-apa?”
“Mohon doa Bu, dokter sedang berupaya menyelamatkan keduanya.”
“Harusnya dia sudah merasa, bahwa itu pertanda akan melahirkan.”
“Benar Bu, ketika saya mau berangkat, dia masih bilang bahwa dia tak apa-apa. Sebetulnya saya sudah berjanji akan segera pulang dan membawanya ke rumah sakit. Malah saya baru saja datang, ibu sudah menelpon. Heran, dia tidak merasa kesakitan, hanya terasa kenceng-kenceng, begitu.”
“Semoga mereka baik-baik saja.”
“Aamiin.”
Bu Broto segera menelpon suaminya, mengabarkan bahwa dia sedang ada di rumah sakit.
“Wulan melahirkan?”
“Sedang di operasi. Ketuban pecah di rumah tadi, untung aku segera datang, lalu aku menelpon Rio.”
“Baiklah, aku selesaikan dulu pekerjaanku, aku segera menyusul. Kabari kalau ada apa-apa.”
“Baik. Aku sama Rio sedang menunggu.”
Murni terkejut ketika suaminya menelpon, mengabari tentang Wulan yang sedang ada di rumah sakit.
“Sudah melahirkan?”
“Baru saja mas Rio menelpon, katanya masih dioperasi.”
“Dioperasi? Memangnya kenapa?”
“Ketuban pecah saat masih di rumah. Mas Rio minta tolong agar kamu membawakan baju ganti, punya kamu tidak apa-apa, karena tadi tidak sempat membawa apapun. Aku akan pulang mengambilnya, lalu membawanya ke rumah sakit.”
“Baiklah, untung ada baju-baju aku yang belum pernah aku pakai, akan aku siapkan,” kata Murni yang segera menyiapkan apa yang dibutuhkan.
“Semoga lancar semuanya, dan baik-baik saja,” gumam Murni.
Gilang sedang bermain, lalu mendekati ibunya yang sedangmemasukkan baju-baju ke dalam sebuah tas.
“Gilang, apa kamu mengira kalau kita mau jalan-jalan?” kata Murni sambil meraih Gilang lalu dipangkunya. Rupanya Gilang mengira ibunya mau mengajaknya jalan-jalan.
“Ini baju-baju untuk tante Wulan. Gilang mau punya adik dari tante Wulan, dan ini, yang ada di dalam perut ibu ini, juga adik Gilang. Tapi belum saatnya lahir. Kamu sabar ya,” kata Murni, seakarn mengerti kalau ada yang ingin ditanyakan Gilang.
Tak lama kemudian Restu datang. Murni segera membawa tas nya ke depan, supaya tidak kelamaan.
“Sudah siap semuanya?”
Melihat ayahnya datang, Gilang melonjak-lonjak, minta digendong.
Restu meraihnya dan menggendongnya.
“Maaf Gilang, bapak harus segera mengantarkan baju-baju untuk tante Wulan. Gilang di rumah dulu sama ibu, ya.”
“Sebenarnya aku ingin ikut,” kata Murni.
“Jangan. Tidak baik ke rumah sakit membawa anak kecil. Aku akan segera mengabari kalau sudah lahir. Sekarang aku berangkat dulu ya,” kata Restu sambil mengulurkan Gilang kepada ibunya.
“Hati-hati, tidak usah ngebut.”
Gilang merengek, tapi Murni segera memeluk dan menghiburnya. Ia melambaikan tangan ketika Restu berlalu dengan mobilnya.
“Sabar ya, bapak baru mengantarkan baju tante Wulan. Ayuk, kita tungguin beritanya, sambil makan ya sayang,” bujuk Murni sambil masuk ke dalam rumah.
Murni masih menyuapi Gilang di pagi hari itu, ketika tiba-tiba terdengar suara bel tamu. Murni melongok keluar, dan betapa terkejutnya ketika melihat Lisa ada diluar. Murni tak segera membukakan pintu. Ada perasaan was-was menghantuinya, sementara dia hanya berdua dengan Gilang.
“Mau apa dia datang kemari? Aku kira dia benar-benar sudah sadar. Tapi kenapa datang lagi kemari? Apa dia berniat buruk?”
Murni ingin menelpon suaminya tapi diurungkannya.
“Tapi kan dia harus segera sampai di rumah sakit. Pasti saat ini masih dijalan.”
Sementara bel tamu terus berdering. Murni bingung harus melakukan apa. Dia masih merasa takut, ketika ingat bahwa Lisa bisa melakukan apa saja di setiap keinginannya. Beberapa hari yang lalu sudah bilang bahwa dia bertobat, tapi apa dia harus percaya begitu saja? Bagaimana kalau …
Tiba-tiba ponsel Murni berdering.
“Ya Tuhan, dari Lisa, kok dia masih menyimpan nomor kontakku sih,” gelisah Murni sambil menggenggam ponselnya.
“Gimana enaknya, diangkat nggak ya.”
Tapi sebelum Murni mengangkatnya, Lisa mengirim pesan singkat.
“Murni, apa kamu takut melihat aku yang datang? Bukankah aku sudah bilang bahwa aku sudah bertobat? Aku datang bukan dengan maksud buruk. Aku membawa banyak balon untuk Gilang. Aku suka anak itu, ganteng dan lucu. Aku berharap, kelak anakku juga ganteng seperti Gilang. Ijinkan aku menemui Gilang.”
Murni menghela napas panjang. Kemudian digendongnya Gilang ke arah depan, sambil membawa mangkuk kecil berisi makanan Gilang.
Ia membuka pintunya perlahan, lalu melihat di bawah teras, beberapa balon terikat menjadi satu, dengan warna-warna indah.
Gilang segera berteriak, dan merosot turun.
“Maaf, aku sedang menyuapi Gilang di belakang,” kata Murni yang tadi benar-benar mencurigai kedatangan Lisa.
“Aku mengerti kalau kamu takut. Aku hanya datang untuk Gilang,” katanya sambil mencium Gilang dengan gemas.
“Maaf.”
Murni menatap Lisa, walau masih cantik, tapi dengan penampilan berbeda. Baju sederhana, tanpa polesan make up seperti biasanya. Tampaknya dia benar-benar bertobat.
“Tidak apa-apa. Ya, Gilang. Gilang sebenarnya mengenal aku, karena aku pernah menjadi pengasuhnya, walau dengan penampilan berbeda.”
“Iya, benar. Terima kasih telah membawakan balon-balon untuk Gilang.”
Murni masuk ke dalam rumah untuk mengambil uang yang akan diberikan untuk Lisa, tapi kemudian ponselnya berdering. Murni bingung, karena sebenarnya masih ada rasa was-was meninggalkan Gilang di luar bersama Lisa.
Besok lagi ya.
Bersambung ke Jilid 85
Leave A Comment