Karya Tien Kumalasari
Murni melongok ke depan, Gilang tak kelihatan, hati Murni tinggal seiris, Ia setengah berlari ke arah depan. Lalu dia melihat Gilang sedang mengejak balon-balon yang berlarian karena tertiup angin. Terengah Murni karena hati yang khawatir berbaur dengan langkahnya yang setengah berlari. Lalu dia merasa lega setelah melihat Gilang baik-baik saja. Sekarang dia bergegas menghampiri ponsel yang sejak tadi berdering. Tapi malang baginya, kakinya tersandung mainan Gilang yang terserak di lantai, sehingga diapun terjatuh, sebelum sem[at meraih ponselnuya.
“Adduuh,” rintihnya.
Lisa yang mendengar suara keras seperti benda jatuh segera berlari masuk. Ia sangat terkejut melihat Murni terjatuh dan merintih kesakitan.
“Murni, kamu kenapa?”
“Aku … tersandung … itu . Adduh…”
“Ya ampun, kamu berdarah. Bagaimana ini? Aku panggil taksi saja, langsung ke rumah sakit ya?” kata Lisa tanpa menunggu persetujuan Murni yang masih kesakitan, langsung memesan taksi.
“Bagaimana Gilang?”
“Biar aku gendong, ayo, kamu bisa bangun? Aku sudah memanggil taksi. Ayo, pelan-pelan.”
Murni bangkit sambil memegangi perutnya. Lisa memapahnya sambil menggendong Gilang. Ia segera menaikkan Murni ke atas mobil, lalu ia lari menutup pintu, dan segera neik ke atas taksi. Ia lupa membawa ponsel Murni, yang sebenarnya waktu Murni jatuh masih berdering-dering.
“Tolong … hubungi mas Restu …” pesan Murni pelan.
“Baik, aduh … tapi ponsel kamu ketinggalan. Sudah, diam dulu, yang penting kamu mendapat pertolongan.”
“Kamu … tidak punya … nomornya?”
“Sayang sekali aku sudah menghapus semuanya. Sudah, nanti kalau kamu sudah ditangani, aku cari suami kamu, yang penting ke rumah sakit dulu.”
“Murni diam, merintih pelan. Lisa sangat khawatir ketika melihat darah mengalir di kaki Murni. Ia segera turun dan meminta petugas segera membawa Murni ke ruang UGD.
Gilang merengek melihat ibunya dibawa ke dalam, tapi Lisa dengan lembut bisa menenangkannya. Sangat mengherankan, Lisa memang sangat berubah. Ia bisa menjadi ibu yang lembut, dan bisa menenangkan bocah yang sedang rewel.
Sekarang Lisa bingung, bagaimana ceranya menghubungi Restu, karena dia tak lagi punya nomor kontaknya.
Restu sudah menyerahkan baju-baju yang dibawanya, lalu merasa panik ketika menelpon Murni tak segera dijawab. Berkali-kali ditelpon, ada nada panggil, tapi tak ada yang mengangkatnya. Karena khawatir, Restu pamit pulang.
“Bu, Restu pulang dulu sebentar. Restu telpon Murni kok nggak diangkat,” kata Restu kepada ibunya.
“Mungkin lagi di depan, menyuapi anaknya atau apa,” kata bu Broto.
“Ya, mudah-mudahan tak apa-apa,” kata Restu sambil berlalu.
Dan ia memang benar-benar panik, ketika masuk ke rumah yang tidak dikunci, lalu melihat ponselnya tergeletak di meja. Restu bertambah panik ketika melihat bercah darah di dekat meja itu.
“Apa yang terjadi? Murni, dimana kamu? Gilang bagaimana?”
Restu menggaruk-garuk kepalanya, bingung karena tak tahu harus melakukan apa.”
“Murniiii ! Gilaaaaang!” Apa yang terjadi?”
Karena bingung, Restu menelpon yu Sarni, yang malah bertambah bingung karena Murni sama sekali tidak datang ke rumah.
“Apa yang terjadi? Kemana Murni?”
“Memangnya mas Restu bertengkar lagi sama dia?”
“Tidak, aku ke rumah sakit karena Wulan mau melahirkan, aku menelpon Murni tapi tidak diangkat, begitu sampai di rumah, mereka tak ada. Ada bercak darah di sana.”
“Di mana?” yu Sarni bertambah panik.
“Didekat meja. Ya sudah, yu Sarni tenang saja. Apa Murni sakit terus ke rumah sakit ya? Tapi rumah sakit mana?”
“Kalau memang karena dia sakit, pasti ke rumah sakit terdekat.”
“Baiklah, aku ke sana,” kata Restu sambil menutup ponselnya.
Restu bergegas ke rumah sakit, seperti saran yu Sarni. Begitu memasuki rumah sakit, ia melihat Lisa, bersama Gilang. Kemarahannya memuncak.
“Apa yang kamu lakukan?” hardiknya sambil merebut Gilang dari dekapan Lisa.
“Kenapa kamu marah-marah? Aku justru menolong istri kamu!”
“Mengapa kamu ada di sana, dan apa yang terjadi?”
“Istri kamu terjatuh, aku sedang ada di sana. Lalu aku melihat Murni mengeluarkan darah, sehingga karena panik aku membawanya kemari. Masih mau marah, mau menyalahkan aku?” sergah Lisa yang merasa kesal.
“Di mana sekarang?”
“Tanya pada petugas, aku mau pergi,” kata Lisa sambil beranjak pergi.
Restu menatap punggung Lisa yang beranjak pergi, hanya sekilas, kemudian dia menghampiri petugas.
“Bagaimana istri saya? Ada apa?”
“Istri Bapak sudah ditangani. Untung segera dibawa ke rumah sakit, terlambat sedikit saja, Bapak akan kehilangan bayi Bapak.”
Restu pucat pasi.
“Bolehkah saya menemuinya?”
Sebentar, sedang ditangani, Tapi barangkali istri Bapak harus istirahat total dalam jangka waktu yang agak lama, sekarang sudah diberikan penguat kandungan,” kata petugas yang ternyata adalah dokter kandungan.
“Baiklah, lakukan yang terbaik untuk istri saya.”
Restu menemui istrinya ketika petugas sedang menyiapkan kamar inap untuk Murni.
“Murni, kamu kenapa?”
“Aku kurang hati-hati, terjatuh. Untunglah ada Lisa yang menolong aku segera membawa kemari.”
“Ya Tuhan, aku tadi memarahinya. Mengira dia membuat masalah lagi.”
“Tidak. Dia datang membawakan bola-bola untuk Gilang, lalu aku masuk ke dalam ketika mendengar ponselku berdering, aku kurang hati-hati dan terjatuh.”
Restu menghela napas penuh sesal, karena telah mencurigai Lisa dan membentak-bentaknya.
“Nanti carilah dia, dan minta maaf. Dia sudah menyelamatkan janin yang ada di perutku ini. Dia menyelamatkan anak kamu, Mas.”
“Iya, nanti aku akan mencarinya. Sekarang aku baru ingat, di halaman banyak balon bertebaran, aku hanya berpikir bahwa kamu membelikan Gilang banyak balon untuk Gilang.”
Perawat telah menyiapkan brankar untuk Murni, Restu mengikutinya sampai ke kamarnya. Ia belum sempat masuk ketika ponselnya berdering. Dari ibunya.
“Restu, Sarni menelpon ibu dengan sangat panik. Katanya Murni menghilang, dan kamu melihat darah di lantai? Apa yang terjadi?”
“Nanti saya akan mengabari yu Sarni. Murni baik-baik saja. Tadi terjatuh dan sempat perdarahan, untunglah segera dilarikan ke rumah sakit. Sekarang dia harus dirawat, dan istirahat total untuk beberapa waktu, sampai janinnya kuat.”
“Ya Tuhan, ada-ada saja. Ini aku juga sedang menunggu. Semoga Wulan baik-baik saja.”
“Ya Bu, saya kabari yu Sarni dulu supaya tidak panik.”
“Ya, kabari dia. Kasihan di rumah sendirian, ketakutan.”
Rio yang mondar mandir di depan ruang operasi, akhirnya mendengar suara tangisan melengking dari dalam sana. Berdebar dia mendekatkan telinganya ke arah pintu, dan hampir terjatuh ketika perawat membukanya dari dalam.
“Uups, maaf Pak.”
“Aah, saya yang minta maaf.”
“Bagaimana keadaan istri dan anak saya?”
“Alhamdulillah, mereka baik-baik saja.”
Rio melonjak kegirangan.
Ia mengusap wajahnya, matanya berbinar, mulutnya berkomat-kamit mengucapkan syukur. Pak Broto yang sudah sampai di rumah sakit, mendekati bersama istrinya.
“Bagaimana?”
“Rio punya dua bidadari di rumah Pak,” katanya dengan suara bergetar bahagia.
Besok lagi ya.
Bersambung ke Jilid 86
Leave A Comment