Karya Tien Kumalasari
“Ingat, jangan menelpon aku kalau aku tidak menelpon kamu,” kata pak Thomas tandas.
Beberapa saat lamanya dia menelpon, kemudian dia meletakkannya setelah mendengar suara istrinya berteriak dari dalam kamar.
“Mas, kamar mandinya sudah.”
“Ya, baiklah,” jawab pak Thomas yang kemudian berdiri memasuki kamarnya.
Bu Thomas masih mengenakan kimono ketika keluar dari dalam kamar, kemudian menghampiri ponsel suaminya, melihat-lihat, kemudian mencatat sesuatu, lalu meletakkan ponsel itu kembali.
“Laki-laki itu memang tidak bisa dipercaya. Sudah di kerem dirumah, diawasi segala tingkah lakunya, masih saja main belakang. Siapa yang tadi ditelponnya? Aku harus tahu. Jangan-jangan orang yang disuruhnya menemui perempuan itu. Aku harus mengawasinya, dan tahu apa yang akan dilakukannya.
Bu Thomas masuk ke dalam kamar, lalu berdandan.
Ketika suaminya keluar dari kamar mandi, aroma minyak wangi menguar ke seluruh ruangan. Dilihatnya sang istri sedang duduk di depan cermin, mulai mengoleskan alas bedak sebelum memolesnya dengan perlengkapan dandan yang lain.
“Kamu mau kemana?” katanya sambil memeluk sang istri dari belakang.
“Ke butik, ayo ikut.”
“Bagaimana kalau aku di rumah saja?””Sudah dua hari kita tidak ke butik.
“Bukankah sekarang kamu sendiri yang mengurusi butik itu? Aku nggak ikutan.”
“Tapi aku ingin kita kelihatan selalu kompak. Bukankah aku sudah dipermalukan oleh perselingkuhan kamu bersama pelakor itu?”
“Aduh, kok masih diungkit-ungkit juga sih masalah itu. Kan sudah lewat? Dan aku sudah tidak ada lagi hubungan dengan dia.”
“Ya, kalau ada aku memang kelihatannya begitu. Tapi siapa tahu, diam-diam kamu masih menghubungi dia.”
“Tuh, mengada-ada kan? Bukankah kamu bilang sendiri bahwa dia sudah ditahan?”
“Aku hanya harus berhati-hati,” jawab bu Thomas sambil membetulkan bentuk alisnya.”
“Kamu tuh sudah cantik, tidak usah dandan terlalu tebal begitu kenapa sih?”
“Selamanya aku sudah berdandan begini, mengapa baru sekarang mencela? Aku dandan saja kamu masih berselingkuh, apalagi kalau aku kelihatan lugu seperti nenek-nenek,” katanya sambil berdiri, setelah merasa dandanannya sempurna.
Ia lepaskan kimononya dan menggantinya dengan baju yang sudah disiapkannya. Pak Thomas menatapnya kagum. Sebenarnya istrinya sudah cantik, hanya tubuhnya sedikit gendut karena tidak bisa mengatur pola makan. Tapi selebihnya tampak tidak kekurangan. Hanya saja dia kurang suka karena menurutnya dia terlalu dingin dalam melayaninya di atas ranjang. Jauh sekali bedanya dengan Lisa, yang begitu agresip dan membuatnya melayang. Itu yang membuatnya sulit untuk melupakan.
“Mengapa menatap aku seperti itu? Jangan bilang kalau kamu sedang membandingkan tubuh aku dengan pelakor itu.”
“Apaan sih. Aku sedang mengagumi kamu. Kamu itu cantik. Itu sebabnya aku dulu sangat mengejar kamu,” rayunya.
“Hm, sore-sore ngegombal.”
“Itu benar kan?”
“Kalau benar, kenapa kamu selingkuh?”
“Yaah, diulangi lagi?”
Salah satu hal yang tidak disukai Thomas adalah istrinya yang banyak bicara, selalu mengungkit hal yang telah lewat, dan yang terakhir dianggapnya terlalu mengatur dirinya.
Kadang-kadang terbit niatnya untuk menceraikan istrinya, tapi Thomas mengaku, bahwa dirinya tak punya apa-apa. Perusahaan yang ada dibeberapa temoat adalah milik istrinya, warisan dari orang tuanya, jadi sebenarnya Thomas hanyalah pembantu dalam usaha itu.
“Kalau aku belum melupakan masalah itu, aku masih akan terus mengungkitnya.”
“Kamu tidak akan pernah bisa melupakan, karena kamu selalu mengingatnya.”
“Wanita mana yang bisa melupakan penghianatan suaminya?”
Thomas menghela napas, lalu meraih baju ganti yang juga sudah disiapkan istrinya. Kembali ia memutuskan lebih baik diam, karena kalau di jawab, sepatah kata jawaban, maka balasannya akan lebih panjang dari semua jalanan di kota itu kalau disambung menjadi satu.
Bayangan Lisa kembali melintas. Rasa kasian membayangkan Lisa meringkuk di ruangan sempit dan pasti sambil menangis terisak, seperti kalau dia meminta sesuatu padanya. Makan di restoran, baju mahal, sepatu yang cantik seperti yang dipakai para bintang. Tapi itu bukan masalah. Lisa selalu bisa menyenangkannya. Ia adalah api yang menyala, saat mengamuk di atas ranjang. Tiba-tiba rasa rindunya pada Lisa tak tertahankan. Tapi yang ada hanyalah sang nyonya, yang sedang asyik mematut diri. Thomas meraihnya dan mengangkatnya ke atas ranjang.
“Heiii, apa maksudmuuu?” teriak sang istri yang akhirnya terpaksa mengalah. Apa boleh buat. Air bah sudah menerjang, tak ada ranting tempat berpegang.
“Kamu siapa?” tanya Lisa ketika seorang perempuan datang menjenguknya di tempat dia ditahan.
“Saya Munah, membawakan makanan untuk non Lisa.”
“Mengapa kamu mengirimi aku makanan?” tanya Lisa sambil membuka rantang berisi makanan yang menyeruakkan bau sedap ketika dibuka.
“Hm, ini rawon kesukaan aku. Tapi aku tidak percaya sama kamu. Ini berisi racunkah? Coba kamu cicipin.”
“Sebelum saya bertemu Non, petugas sudah memeriksanya. Makanan ini tidak beracun.”
“Mengapa dan siapa kamu, sehingga mengirimi makanan yang semua ini adalah kesukaan aku?”
“Saya suruhan tuan Thomas.”
Mata Lisa terbelalak. Laki-laki setengah tua yang sangat royal terhadapnya itu rupanya masih mengingatnya.
“Dari mana dia tahu bahwa aku ada di sini?”
“Entahlah, saya hanya mendapat perintah untuk mengirimi Non Lisa makanan, setiap hari.”
“Setiap hari?”
“Ya. Pak Thomas juga berpesan, bahwa dia tidak akan melupakan Non Lisa.”
Lisa tersenyum. Dia tahu, Thomas sangat tergila-gila padanya. Tapi sayang pada suatu ketika istrinya mengetahui hubungan meraka, dan dia melabraknya. Sejak saat itu Thomas tak berani lagi menemuinya.
“Aku akan menelponnya.”
“Jangan. Pak Thomas berpesan agar dia jangan dihubungi, kecuali dia yang menghubunginya. Rupanya istrinya selalu mengawasinya.”
“Nenek Kunti itu memang sangat jahat. Kalau sudah marah sangat mengerikan. Semua perhiasan aku dilucuti. Salah satunya adalah bukan pemberian suaminya, tapi dia nekat merebutnya. Dia tak percaya ketika aku mengatakan bahwa itu bukan dari suaminya. Begitu mulutku terbuka, tangannya yang berkuku tajam seperti nenek sihir itu diangkatnya, siap dicakarkan ke wajah aku,” kata Lisa sambil mencomot sepotong daging yang ada di dalam rantang.
Perempuan bernama Munah itu diam, tersenyum mendengar Lisa mencaci maki bu Thomas. Muna adalah bekas pembantu keluarga Thomas, yang kemudian berhenti ketika dia harus merawat ibunya yang sedang sakit di kampung. Tapi dia sering datang, karena memang pak Thomas yang memintanya, sekedar untuk diberinya uang karena Munah sudah lama sekali mengabdi, sejak pak Thomas masih pengantin baru.
Kemarin pak Thomas menelpon, dan pagi tadi dia datang, pura-pura diberi uang jatah yang memang selalu diberikannya. Tanpa sepengetahuan istrinya dia memberinya uang lebih, untuk dibelikannya makanan agar Lisa yang selalu menyukai makanan enak tidak begitu sengsara di tempat tahanan,
“Tiba-tiba aku lapar, aku akan makan di sini.”
“Silakan Non, tapi itu bisa untuk makan Non nanti juga, nasi dan lauknya sangat banyak.”
“Iya, aku tahu,” katanya sambil membuka lagi rantangnya, dibantu Munah.
Munah sedang keluar dari kantor polisi, ketika tiba-tiba sebuah mobil berhenti persis di sampingnya.
Besok lagi ya…
Bersambung ke Jilid 59