Karya Tien Kumalasari
Pengamen kecil itu kemudian duduk di tangga teras.
“Bolehkah saya istirahat sebentar di sini?”
“Tentu saja boleh. Kamu sudah makan?”
“Belum, baru jalan dari kampung, dan ini yang pertama saya diberi uang.”
“Kamu dari kampung mana?”
“Jauh. Setiap hari berjalan kaki, untuk membantu ibu yang sedang sakit. Dari tadi belum dapat uang, kata mereka pagi-pagi sudah mengemis. Ya sudah, uang dari ibu ini tidak akan saya belikan makan untuk saya, tapi untuk ibu saya.”
Murni merasa trenyuh, seorang anak yang kira-kira baru berumur enam tahun, harus mencari sesuap nasi, sementara ibunya sedang sakit.
Murni masuk ke dalam rumah. Diambilkannya nasi dan lauk pauk, lalu diberikannya kepada si pengamen cilik. Ia juga membawa segelas teh hangat untuknya.
“Ini nak, makanlah. Ini minum dulu, masih hangat.”
Si pengamen cilik menerimanya dengan wajah bersinar. Tapi dia hanya minum teh nya saja.
“Bolehkah saya minta plastik atau apa?”
“Boleh saja, untuk apa? Tapi makanlah dulu nasinya.”
“Plastiknya untuk membungkus nasi ini, akan saya bawa pulang. Ibu saya pasti senang.”
Murni hampir menitikkan air mata karena haru yang menyesak dadanya.
“Dengar, kamu makan dulu nasi ini, nanti aku akan bungkuskan nasi lagi untuk ibu kamu.”
Wajah si pengamen tampak berbinar.
“Benarkah?”
“Tentu saja benar. Makanlah.”
Dan si pengamen makan dengan lahap. Air mata Murni sudah menitik. Ia mengusapnya dengan telapak tangan.
“Namamu siapa?”
“Trimo,” jawabnya sambil menyendok nasinya, lahap.
“Trimo, ayahmu ke mana?”
“Kata ibu, saya tidak punya ayah. Itu sebabnya ibu tidak menyekolahkan saya.”
Murni tertegun. Tidak punya ayah? Murni mengelus perutnya lembut, apakah bayi yang dikandungnya punya ayah?
“Sebelum sakit, ibu saya bekerja apa saja. Mencuci baju milik tetangga, menyetrika. Tapi ketika sakit, ibu tidak bisa bekerja. Lalu saya mengemis. Eh … tidak mengemis, mengamen, asal bunyi, pokoknya dapat uang,” Trimo bercerita sambil mengunyah makanannya.
Murni beranjak ke belakang sambil mengusap lagi air matanya. Anak kecil yang begitu sengsara, bisa menghadapi kehidupan yang sangat keras, dalam mencari sesuap nasi. Mana lebih sengsara, dirinya yang terluka karena diperkosa, atau si anak kecil yang katanya tak punya ayah dan harus menempuh perjalanan jauh dibawah terik matahari, ataupun guyuran hujan?
Murni mengambil rantang plastik dari dalam almari. Setelah dibersihkan, dia menaruh nasi sampai penuh di rantang pertama, lalu sayuran di rantang ke dua , juga lauk di rantang terakhir. Ia juga membuat lagi teh manis yang dimasukkan dalam plastik. Lalu menaruh rantang dan minuman itu ke dalam plastik yang lebih besar.
Ketika Murni beranjak ke depan, Trimo sudah menghabiskan makanannya, lalu menenggak habis isi gelasnya.
“Saya cuci piringnya ya Bu,” katanya sopan.
“Tidak usah, biar aku saja mencucinya. Ini, ada nasi dan lauk pauk, juga minuman. Bawa pulang untuk ibumu. Tidak usah mengamen, jaga ibumu di rumah ya. Ini untuk beli makan selama beberapa hari, dan barangkali obat, kalau ibumu memerlukannya.”
Gemetar tangan Trimo ketika menerima pemberian itu. Apalagi ketika Murni memberi uang duaratus ribu yang langsung dimasukkan ke dalam saku bajunya yang kumal.
Trimo mengusap air matanya.
“Bisakah kamu tidak mengamen setelah ini?”
“Bagaimana cara mencari uang?”
“Kalau ibumu sudah sembuh, bisa membuat makanan, atau gorengan, lalu kamu bisa menjualnya ke pasar. Ini uang untuk membeli bahan yang barangkali bisa dijual,” kata Murni sambil menambahkan lagi uang tigaratus ribu ke saku Trimo.”
“Terima kasih Bu, kalau saya bisa jualan, saya kumpulkan keuntungannya untuk masuk sekolah.”
“Bagus Trimo. Ibu aku juga seorang pembantu rumah tangga, tapi aku bisa sekolah sampai lulus SMA. Berjuanglah. Kamu bisa mengerti apa yang aku katakan?”
Trimo mengangguk.
“Sekarang pulanglah. Semoga Tuhan melindungi kamu, dan mengabulkan apa yang menjadi cita-cita kamu.”
Trimo kembali mengangguk, tak kuasa mengucapkan kata-kata karena haru yang menyesak dadanya. Sambil menjinjing pemberian Murni, dia berjalan keluar dari halaman.
Murni termenung di teras, lupa mengunci pintu lalu sembunyi di dalam rumah, seperti yang biasa dia lakukan.
Trimo tidak punya ayah, tidak tahu siapa ayahnya. Apakah ibunya juga seorang korban kebiadaban laki-laki seperti dirinya, ataukah pacaran yang kelewat batas lalu ketika hamil, sang pacar tidak mau bertanggung jawab? Apapun yang menimpa Trimo, kenyataan bahwa dia tak punya ayah. Ibunya bersusah payah mencari sesuap nasi dan tidak mampu menyekolahkan anaknya.
Murni mengelus perutnya. Ia sudah membulatka tekatnya untuk tidak akan memberikan bayinya kepada Wulan, walaupun Wulan bersikeras akan mengambilnya. Tidak, hari demi hari yang dilalui, gerakan lembut di perutnya, telah menciptakan sebuah ikatan yang entah dari mana datangnya, membuatnya sangat mencintainya, dan enggan berpisah dengannya.
Tapi apa yang akan dikatakannya nanti, ketika anaknya bertanya, siapa ayahnya? Apakah jawabnya akan sama dengan ibunya Trimo, bahwa anaknya tak punya ayah? Ketika masih kecil, Trimo belum bisa mendesak ibunya agar mengatakan di mana ayahnya. Nanti kalau sudah dewasa ….?
Lalu bagaimana dengan simboknya?
“Rasanya berat sekali kalau harus terus menyimpan semua ini dari simbok, hanya takut kalau simbok menjadi sedih. Bagaimana ini, apa yang harus aku lakukan?”
Murni hanya beberapa hari berada rumah Wulan. Rasa takut kalau simboknya mengetahuinya masih menghantuinya. Karenanya begitu merasa kuat dia memaksa kembali ke mes dan mulai bekerja lagi. Ia butuh uang untuk persalinan, karena kalau ia tak mengijinkan anaknya diambil Wulan, maka ia merasa harus membiayai sendiri persalinan itu. Lalu seterusnya bagaimana? Murni belum bisa memutuskannya.
Hari itu Rio dan Wulan berada di rumah, karena bu Broto dan yu Sarni datang dengan membawa masakan.
“Ibu, mengapa selalu repot memasak untuk Wulan?”
“Tidak apa-apa, ibu senang melakukannya. Lagian di hari Minggu seperti ini, kamu harus beristirahat, tidak perlu masak apapun, karena Sarni sudah masak banyak untuk kalian, lalu setelah ini ibu akan ke bengkel, membawakan makanan juga untuk Restu.
“Oh, bagus sekali, pasti mas Restu senang.”
“Ya sudah, segera makan saja kalian, ibu mau langsung ke tempat Restu,” kata bu Broto sambil bersiap pergi.
“Bu, mengapa ibu naik taksi, biar Rio antar saja ke tempat mas Restu,” kata Rio ketika melihat ada taksi menunggu.
“Jangan, bapakmu sudah bersiap mau ke sini.”
“Lhoh, kenapa tidak bareng Ibu sekalian?”
“Tadi ibu buru-buru, takut kalian sama Restu sudah keburu makan, lalu masakan Sarni tidak laku dong. Bapakmu juga belum mandi, jadi nanti pasti kemari. Kamu tahu kenapa? Bapakmu sudah kangen sama Rio. Kangen nyanyi-nyanyi nya itu lho,” kata bu Broto sambil menggamit Sarni karena taksi masih menunggu.
Tapi ketika mereka sampai di depan, datanglah seorang anak kecil.
“Permisi,” kata anak kecil itu.
“Ya, mau apa nak?” tanya yu Sarni karena dia lebih dulu sampai di depan.
“Mau mengembalikan rantang ini Bu.”
“Rantang apa?”
Semua heran ketika anak kecil itu mengulurkan rantang susun tiga, yang ketika dibuka berisi gorengan.
“Ini apa?” tanya yu Sarni heran.
“Beberapa hari yang lalu saya diberi makan, wadahnya rantang ini.”
“Siapa yang memberi?” kali ini yang bertanya Wulan, karena dia mengenali rantang itu seperti miliknya.
“Seorang ibu, yang lagi hamil,” katanya.
Besok lagi ya.
Bersambung ke Jilid 39