Karya Tien Kumalasari
Restu masih terpaku oleh pemandangan yang dilihatnya. Salahkah penglihatannya? Bukankah itu tadi Murni? Mengapa perutnya seperti besar, begitu? Apakah dia mengandung? Dia sudah menikah? Atau …
Lalu Restu teringat apa yang dilakukannya beberapa bulan yang lalu. Perilaku brutal yang dilakukan saat dia mabuk. Dia mengingatnya. Dalam keadaan badan terhuyung-huyung, dia berjalan dan menabrak pintu depan rumahnya. Tak cukup hanya menabrak, dia juga menggedor-gedornya, padahal dia membawa kunci rumah sehingga setiap pulang tidak usah membangunkan siapapun.
Saat itu dengan wajah mengantuk Murni melongok dari kaca pintu, karena dia tidak mau membukakan sembarang pintu untuk orang yang tidak dikenalnya. Begitu melihat sosok Restu, maka dia membukakannya dengan wajah setengah mengantuk. Namun begitu masuk, Restu langsung menubruknya, menyeret ke sofa dan melucuti pakaiannya dengan paksa. Dia juga membungkan mulut Murni agar tidak berteriak, lalu mengancamnya dengan mata menatap bengis. Murni tak berdaya. Lunglai dalam sakit dan derita.
Restu terhenyak mengingatnya. Apakah kehamilan Murni adalah karena kelakuannya? Tiba-tiba dunia terasa gelap bagi Restu. Ia berpegang pada dinding pintu masuk toko dimana dia mau belanja.
Hari-hari penuh tobat yang dilaluinya, membuat hatinya resah oleh dosa yang satu itu. Menodai pembantunya. Benarkah Murni hamil karena dirinya? Murni sama sekali tidak mau berhenti, apalagi berbicara. Bagaimana dia akan menanyakannya.
Restu mencoba menenangkan batinnya. Ia ingin bertanya pada Wulan, tapi ia tak pernah tahu nomor kontaknya, bahkan sejak Wulan menjadi istrinya. Satu-satunya jalan ialah menemui Wulan dan bertanya.
“Aku harus melakukannya, karena hal ini sangat menggangguku,” gumamnya sambil melangkah pulang, mengurungkan niatnya untuk belanja.
Ketika Ia sampai di bengkel, dilihatnya Supri sedang menunggunya, sambil mengamati para pekerja.
“Dari mana kamu? Mengapa wajahmu kusut begitu?” tanya Supri menyambut.
Bukannya menjawab, Restu menarik tangan sahabatnya untuk diajaknya ke lantai atas, langsung masuk ke dalam kamarnya.
“Ada apa sih, serius amat?”
“Aku tadi ketemu Murni,” kata Restu ketika keduanya sudah duduk di kursi dalam ruangan itu.
“Murni siapa? Lupa-lupa ingat aku nama itu. Ooh, iya, aku ingat. Itu nama pembantu kamu yang kamu telah_”
“Sudah, jangan diteruskan, aku telah memperkosanya, aku ingat,” kata Restu memotong kalimat yang diucapkan Supri.
“Lalu kenapa? Dia memarahi kamu? Mencaci maki kamu? Mengutuk, begitu?”
“Justru tidak. Dia kabur begitu melihat aku, sepertinya aku ini hantu.”
“Kenapa kamu tampak seperti gelisah begitu?”
“Aku melihat … perutnya membesar … seperti hamil.”
“Hamil? Karena perbuatan kamu itu?”
“Itu yang aku tidak tahu. Apa yang aku lihat tadi seperti sesuatu yang membuat aku miris. Seolah sebuah beban berat menimpa tubuhku, sehingga aku tak berdaya.”
“Harusnya kamu kejar dia … “
“Aku langsung lemas ketika peristiwa itu terbayang. Aku tak tahu harus bagaimana.”
“Tapi kan semua itu belum tentu karena kamu. Bisa jadi dia sudah menikah, lalu mengandung anak suaminya.”
“Aku ingin semuanya jelas. Tapi aku tidak tahu harus bagaimana.”
“Temui dia langsung, pasti kamu akan menemukan jawabannya. Kecuali itu kamu juga harus meminta maaf bukan?”
“Aku sudah pernah meminta maaf saat bertemu dia ketika sedang makan bersama Wulan. Dia sangat membenci aku.”
“Itu bisa dimaklumi. Tapi kalau kamu ingin hidup kamu tenang, maka kamu harus menemui dia dan mendapatkan kejelasan atas semuanya.”
“Bagaimana kalau yang dikandung itu anak aku?”
“Nikahi dia.”
“Dia sangat benci sama aku.”
“Apapun jawabannya, baik atau buruk, menyenangkan atau menyakitkan, kamu harus menghadapinya.”
Restu menghela napas, tapi kemudian dia mengangguk.
“Sekarang aku mau bilang sama kamu, bahwa besok pak Bram akan menikah.”
“Oh ya? Apakah kita diundang?”
“Dia mengundang beberapa yayasan anak yatim dan kaum duafa. Jumlahnya ribuan.”
“Benarkah?”
“Kita tentu saja boleh menghadirinya. Hanya untuk makan sepuasnya. Pak Bram juga akan membagikan banyak hadiah untuk semua yang hadir, terutama anak-anak yatim piatu dan kaum tak punya.”
“Kapan itu?”
“Besok.”
“Pagi?”
“Malam, jadi setelah bengkel kita tutup, kita bisa datang ke sana. Kamu mau kan?”
“Mau, tentu saja aku mau. Kalau boleh mendekat, aku hanya ingin mengucapkan terima kasih atas semua kebaikannya.”
“Bagus. Kamu memang harus berterima kasih, karena dia-lah maka kamu bisa menjalani hidup dengan lebih baik.”
Hari masih pagi ketika Restu dengan mengendarai sepeda motor yang disediakan untuk keperluan bengkel, menuju ke rumah Wulan. Rumah yang dulu ditinggalinya bersama Wulan tanpa adanya rasa sebagai suami istri, rumah dimana dia melakukan perbuatan tak pantas atas pembantunya sendiri.
Restu memberhentikan sepeda motornya di luar pagar, karena gerbang rumah itu tertutup rapat. Ketika ia melongok ke dalam, ia baru melihat ternyata gerbang itu digembok dari luar.
“Pergi kemana Wulan sepagi ini?” gumamnya sambil melongok-longok, barangkali ia melihat seseorang, atau bahkan Murni ada di dalam.
Tapi ia tak melihat siapapun. Harusnya dia tahu, bahwa kalau pintu pagar digembok dari luar, berarti penghuninya tak ada di tempat.
Restu menghela napas berat.
“Barangkali Wulan belanja ke pasar bersama Murni? Tapi kalau hanya ke pasar, mengapa harus menggembok pintu pagar?”
Restu kembali menaiki sepeda motornya, dan meluncur pergi dengan perasaan kecewa.
“Sebenarnya aku ingin semua itu segera terjawab, tapi rupanya aku masih harus bersabar,” katanya sambil berjalan.
Tanpa terasa, Restu melewati rumah orang tuanya. Ia memperlambat jalan sepeda motornya, dan dengan heran dia juga melihat bahwa pintu pagar itu juga digembok dari luar.
“Jadi bapak sama ibu dan Wulan pergi bersama-sama. Piknik barangkali, dengan menyajak yu Sarni dan Murni juga,” gumamnya sambil terus melajukan kendaraannya.
Karena hari masih pagi, Restu kemudian pergi ke rumah Supri. Ia membawa oleh-oleh nasi tumpang untuk dimakan bersama Supri dan keluarganya.
“Dari mana kamu sepagi ini dengan membawa sarapan untuk kami?” tanya Supri yang sudah duduk di meja makan bersama istrinya.
“Maksudku ke rumah Wulan, untuk bertanya tentang pembicaraan kita kemarin, tapi tampaknya dia pergi, bersama orang tuaku juga. Soalnya pintu pagar mereka digembok dari luar.
“Kalau begitu kamu harus bersabar. Yakinlah bahwa kalau niat kamu baik, maka semuanya juga akan baik-baik saja.”
Restu mengangguk, sambil mengunyah makanannya. Saat ini hanya Supri tempatnya mengadu, karena Supri-lah yang menuntunnya sehingga dia menemukan jalan terang untuk hidupnya.
“Enak sekali nasi tumpangnya. Beli di mana?” tanya istri Supri.
“Nggak tahu aku, tadi pas lewat, ada orang jualan, terus beli, begitu saja.”
“Tahu bacemnya juga mantap,” sambung Supri.
“Nanti aku mau masak tumpang dan tahu serta tempe bacem. Kalau Mas Restu mau, boleh ke sini untuk makan bersama-sama,” kata istri Supri pula.
“Ya Mbak, kalau bengkel lagi sepi, kalau rame, biasanya kami makan nasi bungkus seadanya, seperti kalau di bengkelnya Supri dulu,” jawab Restu.
“Iya, tapi enak makan bersama-sama dengan nasi bungkus. Apapun lauknya, rasanya nikmat,” sambung Supri.
Restu tidak lama berada di rumah Supri, karena sebentar lagi bengkel harus buka.
“Jangan lupa nanti malam aku samperin ya,” kata Supri sambil mengantarkan Restu sampai ke depan rumah.
“Iya, tentu saja. Mana mungkin aku lupa.”
Murni sedag termenung di kamarnya, dipagi itu. Hatinya sangat resah, sejak bertemu Restu kemarin. Rasa bencinya mendadak meluap, kembali memenuhi dadanya.
“Kenapa kemarin aku bertemu iblis itu. Bencinya aku, benciiii!” pekiknya lirih berkali-kali.
Lalu dia mengelus perutnya lembut, kendati begitu, bayi didalam kandungannya berhasil menenangkan jiwanya. Sangat terasa, saat kaki kecilnya menendang-nendang perutnya.
Dengan susah payah Murni mengibaskan bayangan Restu dari benaknya. Lalu tiba-tiba Murni menjadi sedih. Hari ini majikan cantiknya yang baik hati akan menikah, tapi dia tak bisa menghadirinya. Perutnya yang membuncit akan menumbulkan tanda tanya bagi yu Sarni, simboknya. Lalu Murni kembali teringat Restu yang telah membuat hidupnya susah dan sengsara karena harus jauh dari orang-orang yang disayanginya.
Tiba-tiba ponsel Murni berdering, membuyarkan lamunannya tentang orang yang sangat dibencinya. Senyumnya mengembang, melihat siapa yang menelpon.
“Bu Wulan?”
“Murni sedang apa kamu?” sapa Wulan dari seberang.
“Sedang sedih Bu.”
“Kenapa Murni?”
“Habis, ibu menikah, saya tidak bisa menyaksikan.”
“Murni, kamu tidak usah sedih ya, kamu harus ikut berbahagia walau jauh dari kami.”
“Iya Bu, saya bahagia karena Ibu juga bahagia.”
“Terima kasih Murni.”
“Ibu kan mau menikah, kok sempat-sempatnya menelpon Murni.”
“Karena sebenarnya aku juga sedih tidak ada kamu di dekatku Murni.”
“Ibu jangan membuat aku menangis dong.”
“Jangan menangis Murni, kita akan menikmati kebahagiaan bersama-sama. Tidak lama lagi kita akan bersatu seperti dulu.”
“Iya Bu. Ini Ibu ada di mana? Apakah ada simbok di situ?”
“Kami sudah ada di hotel. Karena bapak tidak suka ada kesibukan di rumah. Jadi nanti dirias juga di hotel. Bahkan bapak dan ibu serta yu Sarni juga ada di hotel sejak tadi malam.”
“Berarti rumah kosong dong Bu.”
“Kosong Mur. Entah mengapa, bapak tidak suka ada keramaian di rumah. Mungkin karena dulu sudah pernah menikahkan aku sama Restu di rumah.”
“Iya Bu, saya bisa mengerti.”
“Nanti aku suruh yu Sarni menelpon kamu, karena tampaknya dia juga kecewa kamu tidak bisa hadir di pernikahan itu.”
“Iya Bu, mau bagaimana lagi. Keadaan yang mengharuskan menjadi seperti ini.”
“Sabar ya Mur. Nanti pasti akan datang saat bahagia untuk kamu.”
“Iya Bu, oh iya Bu, saya mau ngomong sedikit. Kemarin pas saya belanja, saya ketemu mas Restu.”
“Kamu? Ketemu mas Restu?”
“Iya.”
“Kamu bicara apa?”
“Saya muak melihatnya, saya cepat-cepat menjauhi dia, dan segera pulang.”
“Jadi tidak sempat bicara?”
“Saya ogah melihatnya, apalagi bicara.”
“Ya sudah, tidak usah dipikirkan lagi. Besok kalau acara sudah selesai, aku pasti akan menemui kamu. Oh ya, kamu sudah periksa kandungan?”
“Masih minggu depan Bu, tapi bu Wulan tidak usah repot, apalagi sudah punya suami. Saya bisa ke dokter sendiri kok.”
“Iya, nanti gampang Mur, kalau sempat aku pasti akan mengantarkan kamu. Kan yang kamu kandung itu anakku?”
“Iya, Ibu benar. Kalau Ibu sempat saja.”
Hari itu bengkel agak rame. Ternyata banyak orang tahu bahwa akan ada pesta di gelar di halaman sebuah hotel, yang dihadiri ribuan anak yatim piatu dan kaum tak punya, atas pernikahan seorang pengusaha kaya yang sangat dermawan.
Restu tersenyum bangga, bahwa dia hidup dibawah atap seorang dermawan yang dipuji banyak orang. Ia semakin bersemangat untuk hadir malam nanti. Ia harus tahu bagaimana hebohnya peristiwa langka yang menggemparkan seluruh kota. Bahkan ada beberapa yang datang dari luar kota.
Masih sore ketika Supri mengingatkan, khawatir Restu lupa.
“Ya enggak, masa aku lupa. Pokoknya begitu kamu datang, aku pasti sudah siap.”
“Bagus Restu. Nanti sehabis maghrib aku berangkat dari rumah.”
“Kamu bersama istri kamu?”
“Tidak, dia memilih di rumah saja. Cuma pesan suruh bawain oleh-oleh, katanya,” kata Suori sambil tertawa.
“Mudah-mudahan ada makanan yang bisa dibawa pulang.”
“Nggak usah didengarkan, dia kan hanya bercanda. Okey, aku hanya mengingatkan kamu. Siap-siap ya.”
“Siaap, komandan,” canda Restu.
Malam itu pesta memang berlangsung sangat meriah. Banyak meja di sekitar halaman ditata makanan bermacam-macam, dan siapapun bebas mengambilnya. Di panggung, sepasang mempelai berdiri dengan gagah dan anggun, memakai pakaian jawa yang memukau banyak orang. Rio dan Wulan tersenyum bahagia, ketika satu persatu yang hadir menyalaminya.
Beberapa petugas bersiap dengan segunung hadiah berisi sembako, yang dibagiman kepada setiap yang hadir.
Restu dan Supri agak terlambat datang. Begitu masuk halaman, berjubel orang mengambil makanan dan kemudian mengambil masing-masing sebuah tas berisi sembako. Tidak ada kecurangan karena setiap keluarga harus mengambil kartu pengambilan sembako di ujung halaman.
“Kita agak terlambat.”
“Tidak apa-apa, ayo kita masuk dan mendekati panggung pelaminan.”
Supri melangkah ke arah depan, menyibakkan beberapa orang yang berjubel.
Tiba-tiba terdengar seorang pembawa acara memecah suasana hiruk pikuk malam itu.
“Saudara-Saudari semua, juga Bapak dan Ibu yang hadir di pesta malam ini, kedua mempelai, yaitu bapak Rio Bramantyo beserta ibu Wulandari, mengucapkan banyak terima kasih atas kehadirannya. Semoga ….. bla … bla … bla … Restu tidak mendengarnya lagi. Nama mempelai yang diucapkan membuatnya terpana. Rio Bramantyo … Wulandari …. Mata Restu tertuju ke arah pelaminan. Lalu kakinya terpaku ditampatnya berpijak.
Besok lagi ya….
Bersambung ke Jilid 29