Karya Tien Kumalasari
“Rio memperlambat laju mobilnya.
“Haruskah saya berhenti?” tanyanya.
“Tidak, terus saja jalan. Nanti akan saya urus dia, siapa perempuan yang bersamanya,” jawab pak Broto dengan wajah kesal.
“Teman se kantornya, barangkali,” sahut Rio sekenanya.
“Tidak, aku tidak pernah melihat perempuan itu. Aku kurang suka penampilannya. Sepertinya dia bukan perempuan baik-baik.”
Rio diam saja. Ia merasa diantara mereka ada hubungan yang erat. Mungkin persahabatan, atau mungkin juga lebih dari itu. Tapi ia tak berhak mengomentarinya.
“Kamu tahu, dari mana aku tahu bahwa dia perempuan yang tidak baik?” tanya pak Broto lagi.
Rio tak menjawab. Ia tak ingin berpendapat apapun, apalagi kan dia anaknya pak Broto. Bagaimana kalau dia tersinggung?
“Kamu melihat cara dia berpakaian? Hanya sekilas saja aku tahu, itu pakaian yang tak pantas. Sebagian bahunya kelihatan, belahan dada juga terlihat, rok bawahnya jauh di atas lutut. Aduh, bagaimana Restu bisa bergaul dengan perempuan seperti itu,” kesal pak Broto.
“Mungkin hanya kenalan, atau kebetulan bertemu di tempat makan,” kata Rio, hanya sekedar meredakan kekesalan pak Broto.
“Aku tidak yakin. Tapi semoga dugaanku salah.”
“Kita langsung pulang Pak?” tanya Rio mengalihkan pembicaraan.
“Ya, kita langsung pulang, dan makan di rumah saja. Kamu tahu, menantuku pintar sekali memasak. Masakannya enak sekali. Itu yang membuatku jarang makan di luar.”
Rio tersenyum. Itu kan gadis yang dia cintai.
“Tapi aku heran pada Restu. Dia tak pernah makan siang di rumah. Memilih makan di restoran mahal. Huh, menghamburkan uang saja,” pak Broto masih menggerutu tentang anaknya.
“Rio, benarkah kamu belum punya pacar?” tanya pak Broto.
Rio terkejut. Bukankah kemarin sudah ditanyakannya?
“Aku tidak percaya kalau kamu belum punya pacar. Kamu kan ganteng, baik.”
Rio tertawa lirih.
“Memang belum ada yang mau Pak.”
“Perempuan bodoh mana yang tidak mau menjadi isteri laki-laki ganteng seperti kamu?”
“Bukankah perempuan selalu suka laki-laki berduit?”
“Oh, benarkah? Tapi menantuku tidak tuh. Dia wanita sederhana, yang aku ambil dari keluarga sederhana. Ayah dia itu sahabatku saat aku sekolah. Begitu melihat gadis itu, aku langsung suka. Dia lembut, baik, santun, pintar. Benar-benar tak ada duanya,” pak Broto terus memuji-muji menantunya.
Rio tak tahu harus berkomentar apa.
“Aku berharap Restu bisa merubah kelakuannya. Dia suka sekali menghambur-hamburkan uang. Entah untuk apa.”
Pak Broto diam sejenak.
“Ah ya, aku lupa belum sempat memeriksa keuangan, karena disibukkan dengan mengurus rekan-rekan kerja yang mau bergabung. Aku kan butuh kerja sama, untuk memperbesar usahaku. Pastinya ya kerja sama yang menguntungkan. Dan untuk urusan ini, harus aku sendiri yang menanganinya. Restu belum menguasai betul hal seperti ini. Harus banyak belajar.”
Rio mendengarkan semuanya dengan tanpa menyahut sepatahpun. Ia masih terbayang saat Restu menggandeng lengan gadis berpakaian seronok tadi. Ia ingin marah. Kelakuan itu tak pantas dilakukan oleh lelaki yang sudah beristri. Apa Wulan tahu kelakuan suaminya di luaran? Apakah itu satu-satunya teman Restu yang dekat dengannya, atau ada perempuan lain? Kata yu Sarni, Restu selalu kasar di rumah, demikian juga kepada istrinya. Ia sudah geram mendengar itu, apalagi melihat kelakuannya tadi.
“Rio, tadi semua pesanan sudah kita suruh mengirim ke alamat rumah baru itu kan?”
“Ya Pak, sepertinya sudah.”
“Nanti kalau kamu pulang, bawalah mobil Wulan. Besok sebelum ke rumah, kamu cek rumah itu, apa barang-barangnya sudah masuk dan ditata. Aku sudah minta tolong penunggu rumah itu untuk mengatur sesuai perintahku.”
“Baik Pak.”
“Nanti kalau semuanya sudah oke, kamu antar Wulan untuk melihat rumahnya. Biar dia yang menilai, apakah ada yang kurang, atau tidak.”
“Baik.
Wulan sedang menata meja bersama yu Sarni ketika pak Broto datang bersama Rio. Bu Broto yang menyambutnya segera mengatakan bahwa makan siang akan segera siap.
“Kita makan sekarang, Pak?”
“Ya, ajak Rio sekalian makan bersama kita,” kata pak Broto yang baru turun dari mobil.
“Tidak Pak, saya makan di luar saja.”
“Mengapa? Kamu jangan sungkan,” kata pak Broto setengah memaksa.
“Ya sudah, dia kan masih baru Pak, mungkin dia masih sungkan. Biar Sarni mengatur makannya di teras seperti biasanya saja.”
“Ya sudah. Aku ganti baju dulu dan cuci kaki tangan. Masak apa Wulan hari ini?” katanya sambil beranjak ke kamar.
“Bapak lihat saja sendiri, pasti Bapak suka,” kata bu Broto sambil mengikuti suaminya ke dalam kamar.
“Sudah siap Yu, aku mau bilang ibu dulu, dan sepertinya bapak juga sudah pulang.”
Tapi Wulan berhenti melangkah ketika ibu mertuanya masuk ke ruang makan diiringi suaminya.
“Sarni, siapkan makan dan minum untuk Rio ya,” titah bu Broto kepada Sarni.
“Baik Bu, sudah saya siapkan, tinggal membawa ke depan saja,” jawab Sarni sambil beranjak ke dapur, mengambilkan makan dan minum untuk Rio.
Pak Broto dan bu Broto sudah duduk di kursi mereka masing-masing, disusul Wulan yang kemudian melayani mereka.
“Wulan, rumah kamu sudah hampir siap. Tadi aku sudah menyuruh mengirimkan perabot yang diperlukan,” kata pak Broto.
Wulan hanya tersenyum tipis.
“Besok, kamu akan diantar Rio untuk melihat rumah kamu itu. Bilang saja kalau kamu nggak cocok, atau barangkali ada yang kurang.”
Wulan hanya mengangguk. Baguslah, besok bisa berduaan sama Rio. Dia harus bertanya, apa maksudnya melakukan semua itu.
“Kamu sepertinya berat ya meninggalkan rumah ini?” tanya bu Broto ketika melihat wajah Wulan yang tidak cerah mendengar penuturan ayah mertuanya.
“Iya, berat sekali Bu.”
“Kamu tidak usah khawatir. Setiap saat ibu dan bapak akan datang ke rumah kamu. Dan, oh ya, Sarni … “ tiba-tiba bu Broto teringat sesuatu. Sarni mendekat.
“Ya Bu.”
“Kamu sudah mengabari Murni? Mau kan dia diajak kemari?”
“Sudah Bu, dia mau. Kelihatannya senang.”
“Syukurlah. Besok suruh Rio menjemputnya. Pastinya sama kamu.” Kata bu Broto lagi.
“Tidak besok Bu, besok Rio aku suruh mengantarkan Wulan untuk melihat rumah itu dulu,” sela pak Broto.
“Oh, ya sudah, besoknya lagi, kalau begitu.”
“Baik Bu,” kata Sarni yang kemudian beranjak lagi ke dapur.
“Nah, kamu harus sudah mulai membenahi barang-barang kamu, Wulan, nanti biar Rio yang mengantarnya ke sana. Kalau Murni sudah datang kan bisa membantu mengaturnya.”
“Ya.”
“Kalau perabot, sudah lengkap. Tapi kamu lihat saja sendiri besok. Dan besok Rio akan datang agak siang, karena aku suruh melihat ke rumah baru itu, apa barang pesanan aku sudah dikirim semuanya.”
Hari itu Wulan sedah bersama Rio. Dia sudah memasak dan siap melihat rumah barunya. Tapi bukan rumah baru itu yang membuatnya bersemangat. Ia harus bicara dengan Rio. Dia seorang pengusaha muda, rela mengamen, rela menjadi sopir, apa maunya sih?
“Kok diam, bidadari cantik?” kata Rio sambil menoleh ke arah kiri, dimana Wulan masih duduk mematung.
“Rio …”
“Siap, tuan puteri,” jawabnya bercanda sambil terus mengulas senyum riangnya.
“Katakan Rio, apa maksud semua ini? Aku bingung Rio.”
“Oh .. ahaaa … bidadari cantik sedang bingung ya?”
“Jangan bercanda,” tegur Wulan kesal.
“Bukankah kamu tahu, bahwa aku senang berdekatan dengan kamu?”
“Aku sudah punya suami, kamu kan tahu itu?”
“Aku tahu.”
“Lalu …?”
“Kamu tidak menjawab pertanyaanku dulu itu.”
“Pertanyaan apa?”
“Apa kamu berbahagia?”
“Itu … untuk apa menanyakannya? Bahagia atau tidak, aku sudah menjalaninya.”
“Tidak bisa begitu Wulan, aku senang kalau kamu bahagia, Aku rela melepas kamu, asalkan kamu bahagia. Tapi aku sakit kalau kamu disakiti.”
“Siapa bilang aku disakiti?”
“Jadi kamu bahagia?” tandas kata Rio.
Wulan tak menjawab.
“Aku sudah tahu jawabannya.”
“Rio …”
“Aku sudah tahu seperti apa suami kamu.”
“Apa maksudmu?”
“Bagaimana seorang lelaki kasar bisa membuat bahagia suaminya? Bersenang senang dengan perempuan lain diluaran.”
“Apa?”
“Aku melihat dia bersama perempuan di sebuah rumah makan. Maaf kalau aku berterus terang mengatakannya. Maaf kalau kamu sakit karenanya, tapi aku tak tahan untuk tidak mengatakannya,” kata Rio dengan wajah berubah serius.
Wulan terdiam. Sesungguhnya dia tidak peduli Restu melakukan apa.
“Maaf membuat kamu marah dan cemburu, pastinya.”
“Aku tidak marah, apalagi cemburu,” katanya tandas, dan itu membuat Rio menoleh ke arahnya.
“Bagaimana mungkin mendengar kelakuan buruk suaminya dan kamu tidak marah dan cemburu?”
Wulan tak bisa menjawabnya, dan itu cukup buat Rio. Ia yakin pernikahan itu tidak wajar. Tak ada cinta, tak ada perhatian.
“Itu sebabnya aku ingin selalu dekat sama kamu, menjagamu.”
“Dan melakukan hal konyol seperti itu? Menjadi pengamen, menjadi sopir …”
“Apapun akan aku lakukan.”
“Rio, kamu berlebihan.”
“Tidak. Aku melakukannya dengan seluruh kesadaran yang ada padaku, hanya untuk menjagamu, dan tidak akan merusak apapun. Aku juga tidak akan menyentuhmu, karena itu haram untuk aku melakukannya. Jadi kamu jangan menghawatirkan apapun.”
“Bagaimana dengan pekerjaan kamu?”
“Aku bukan pekerja biasa. Aku bisa mengendalikannya dimanapun,” katanya sambil melirik kearah laptop yang diletakkannya di dekat jok kemudi.
Wulan menatap Rio, yang berbicara dengan sungguh-sungguh. Ia tahu, Rio seorang yang keras dalam bersikap, tapi lembut dalam bertutur. Rio yang manis dan tampan, Rio yang pernah dicintainya dengan segenap jiwanya.
“Tapi semuanya telah berlalu,” bisiknya pelan.
“Aku tak ingin kamu disakiti. Sekali saja aku melihat dia menyakiti kamu, dia harus menjaga nyawanya baik-baik setiap bertemu aku,” katanya tandas, membuat Wulan miris.
“Rio …”
“Aku serius.”
Rio memarkir mobilnya dihalaman rumah mungil itu. Seorang penjaga membukakan pintu.
“Ayo kita lihat rumah kamu,” kata Rio sambil mendahului masuk.
Wulan melangkah dengan enggan. Ketika memasuki rumah itu, ia merasa takjub. Mertuanya sangat bersemangat menciptakan hunian baru bagi anak dan menantunya. Rumah itu sudah penuh dengan perabot. Teras, ruang tamu, ruang santai, ruang makan, dapur dan tiga buah kamar di sebelah depan, satu lagi di dekat dapur. Kamar itu sudah tertata rapi. Satu diantaranya lebih besar.
“Ini kamar kamu dan suamimu,” kata Rio.
Wulan merinding mendengarnya. Tak mungkin ia akan sekamar dengan suaminya, dan itu disyukurinya. Yang dia tidak suka adalah setiap kata yang meluncur dari mulutnya, yang selalu terdengar merendahkan dan menghinanya. Bagaimana menghindarinya? Ia seperti terkurung dalam kasih sayang kedua mertuanya yang tak mengetahui betapa menderitanya dirinya.
“Kamar yang nyaman,” gumam Rio sambil melangkah keluar, tanpa sadar Wulan mengusap air matanya.
“Aku akan menjadi sopir pribadimu. Hal yang sangat melegakan buat aku,” katanya sambil menoleh ke arah Wulan. Tapi kemudian ia terkejut melihat Wulan berlinang air mata.
“Wulan?”
Wulan mengusapnya, lalu duduk di teras, menatap sekeiiling halaman yang penuh ditumbuhi bunga-bunga cantik.
“Rumah yang apik, dengan halaman penuh bunga cantik, kamu tidak suka? Mengapa kamu menangis? Mertua kamu sangat menyayangi kamu.”
Wulan menghela napas panjang, lalu air mata itu benar-benar terurai. Ia benar-benar bisa menumpahkan semua kesedihannya tanpa adanya kedua mertuanya di dekatnya.
“Kamu marah sama aku?” tanya Rio yang kemudian duduk di depannya.
Wulan menggeleng.
“Kalau begitu biarkan aku menjagamu dengan caraku. Kalau kamu masih saja disakiti, maka aku akan merebutmu dari tangannya,” kata Rio tandas.
Wulan menatapnya dengan mata yang membulat. Ia tahu, Rio selalu serius dalam berkata-kata.
Besok lagi ya.
Bersambung ke Jilid 09