Karya Tien Kumalasari
Rio menatap seorang wanita cantik yang duduk sambil menghadapi laptop.
“Selamat pagi,” sapanya pelan.
Wanita itu mengangkat wajahnya, dan menatap laki-laki tinggi besar berwajah ganteng tapi berpakaian sederhana itu lekat-lekat. Sejenak ia terpesona, sehingga untuk sesaat tak bisa mengucapkan apapun.
“Selamat pagi,” Rio mengucapkannya lagi.
“Oh, eh … pagi … Ada yang bisa saya bantu?”
“Saya ingin bertemu pak Broto.”
“Sudah ada janji?”
“Mm … sudah,” jawab Rio sekenanya. Janji yang pasti sih tidak ada, tapi bukankah pak Broto sendiri mengatakan bahwa apabila ia menerima tawarannya bekerja maka ia bisa menemuinya? Ia melihat gadis cantik yang tampaknya sekretaris pak Broto itu memencet intercom den berbicara dengan atasannya.
“Ada yang ingin bertemu Bapak,” katanya melalui intercom.
“Siapa?”
“Maaf Mas, anda siapa ya?”
“Saya Rio.”
“Bapak, namanya Rio, katanya sudah ada janji sama Bapak.”
“Suruh dia masuk,” titah sang pimpinan.
“Silakan masuk Mas, pak Broto sudah menunggu.”
Rio mengangguk, mengetuk pintu perlahan, lalu membukanya setelah dipersilakan.
“Selamat pagi Pak,” Rio membungkuk hormat.
“Kamu? Yang dulu mengamen di sebuah warung?”
“Ya.”
“Ternyata kamu ganteng sekali. Dengan pakaian sederhana saja kamu tampak ganteng,” puji pak Broto sambil terus menatap Rio.
Rio mengangguk tersipu.
“Duduklah.”
Rio duduk setelah menarik kursi di hadapan pak Broto.
“Akhirnya kamu datang kemari. Kamu menerima tawaran aku?”
“Ya Pak.”
Rio menyerahkan map berisi lamaran. Pak Broto hanya membacanya sekilas.
“Kamu lulus SMA sudah enam tahun lebih ya.”
“Ya pak,” jawab Rio.
“KTP kamu tertulis ‘mahasiswa’ … kamu masih kuliah?”
Rio terkejut. Foto copy KTP nya sudah kadaluwarsa, tadi dia mengambilnya sekenanya. Dan beruntung pak Broto tak begitu memperhatikan tahun berlakunya.
“Itu … pernah … tapi … tidak punya biaya,” satu lagi sebuah kalimat bohong.
“Kamu punya SIM ?”
“Punya pak,” tapi tiba-tiba Rio merasa khawatir, kalau pak Broto ingin melihat SIM nya, pasti akan ketahuan identitas dia yang sebenarnya.
“Tapi … saya tidak membawanya … karena …”
“Ya sudah, yang penting kamu punya kan?”
“Ya Pak,” Rio mengangguk dengan napas lega.
“Lamaran ini terlalu formal. Kamu tidak saya pekerjakan sebagai sopir perusahaan, tapi sopir pribadi.”
Rio bersorak. Ini sesuai harapannya. Ia bisa bertemu Wulan setiap hari.
“Setelah bekerja, kamu tidak perlu mengamen untuk memenuhi kebutuhan ibu kamu,” kata pak Broto sambil tersenyum.
“Ya Pak .”
“Tapi sesekali aku mau mendengarkan kamu menyanyi.”
Rio tertawa lebar.
“Kamu boleh mulai bekerja hari ini juga, tapi aku ingin melihat cara kamu menyetir mobil. Jadi tunggu sebentar, setelah selesai memeriksa dokumen ini, aku mau pulang. Kamu antarkan aku ya, aku tidak perlu menyuruh sopir perusahaan.”
“Baik.”
“Aku akan melihat cara kerja kamu, kalau aku suka, kamu boleh terus bekerja, kalau tidak … aku minta maaf. Aku tidak suka sopir yang suka ngebut, dan tidak berhati-hati, karena dia membawa nyawa manusia.”
“Baik.”
“Tunggulah sebentar. Aku selesaikan pekerjaan aku dulu, setelah itu antarkan aku pulang. Oh ya, apa kamu membawa kendaraan?”
“Ti … tidak, saya naik … ojol.”
“Bagus, jadi kamu nanti tidak perlu kembali kemari untuk mengambil kendaraan. Oh ya, di kulkas ada minuman dingin, ambil saja kalau barangkali kamu haus.”
“Terima kasih Pak,” jawab Rio, tapi dia bergeming di kursinya.
Ia duduk menunggu, lalu tangannya merogoh ponselnya. Kemudian ia menuliskan pesan kepada seseorang.
“Met, suruh sopir mengambil mobilku, taruh di kantor saja. Aku akan mengirimkan alamatnya.”
Demikin bunyi pesan singkat itu, kemudian dia memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku bajunya.
Ia memandangi ruangan kantor pak Broto, yang tertata rapi dengar perabotan mewah dan modern. Ia hanya sendirian di ruangan itu, sedangkan sekretarinya ada di luar, di sebuah ruangan sendiri. Ditatapnya wajah pak Broto, laki-laki setengah tua yang masih tampak gagah, dengan wajah ramah dan senyuman yang selalu tersungging di bibirnya. Sekilas Rio bisa membaca, bahwa pak Broto adalah seorang yang baik. Sangat berbeda dengan anak laki-lakinya yang kasar dan tidak bisa menghargai orang lain. Ia bisa membayangkan, seperti apa kehidupan Wulan sebagai istri laki-laki tampan tapi kasar tu. Mengapa Wulan tak mau menjawab ketika dia menanyakan ‘apakah kamu bahagia’. Dia yakin Wulan menyembunyikan sesuatu. Wulan, gadis yang masih sangat dicintainya. Ia tak ingin gadis itu menderita.
“Aku ikhlas melepasmu kalau kamu menemukan kebahagiaan Wulan, tapi aku tidak rela kalau ternyata kamu disakiti,” bisik batinnya.
Rio harus menunggu kira-kira setengah jam lamanya, sebelum kemudian pak Broto menutup berkas yang tadi diperiksanya.
Ia memencet intercom, lalu sekretaris cantik itu masuk.
“Periksa kembali surat untuk PT Cipta Daya,” katanya sambil berdiri, lalu menatap Rio.
“Ayo kita pulang.”
Rio mengangguk, lalu berdiri, dan mengikuti pak Broto keluar dari ruangan.
“Cara kamu menyetir mobil sangat bagus. Kamu punya mobil?” tanya pak Broto yang duduk di samping kemudi.
Rio menoleh ke arah pak Broto, lalu pak Broto menyadari kesalahan ucapannya. Masa sih seorang pengamen memiliki mobil?
“Mm … maksudku … kamu pernah menjadi sopir sebelumnya?”
“Yy … ya, pernah.”
“Mengapa berhenti dan memilih mengamen?”
“Perusahaan tempat saya bekerja sudah tutup,” jawab Rio sekenanya.
“Oh … perusahaan apa itu?”
“Itu … hanya sebuah toko bahan bangunan,” lagi-lagi itu jawaban sekenanya. Rio berharap pak Broto menghentikan pertanyaannya, agar deretan dosanya tak terlalu panjang.
“O, padahal pembangunan sedang ramai di mana-mana.”
Rio tak menjawab.
“Mengapa kamu belum menikah?”
“Aduuh, kan gadis yang aku cintai diambil olehnya,” gumam Rio dalam hati.
“Tak mungkin tak ada yang suka sama kamu. Kamu kan ganteng? Atau … kamu terlalu memilih?”
Rio tersenyum.
“Kalau kamu ingin menikah, menikahlah. Jangan menunggu kaya, karena rejeki itu sudah diatur dari Sana,” lanjut pak Broto sambil jari telunjuknya menunjuk ke arah atas.
Rio hanya tersenyum, dan mengangguk.
Beberapa saat lamanya Rio terdiam.
“Nanti aku bantu mencarikan kamu isteri yang cantik.”
“Rio tersenyum lebar.
“Pembantu di rumah aku, namanya yu Sarni.”
Lalu Rio menatap pak Broto heran. Dia akan dijodohkan dengan pembantu itu? Rio kan sudah melihatnya dua kali. Dia tidak lagi muda, umurnya kira-kira 50 tahun an. Yang benar saja, masa sih pak Broto akan menjodohkannya dengan yu Sarni?
“Dia punya anak perempuan yang belum menikah,” lanjut pak Broto.
Rio menghempaskan napasnya. Ternyata anaknya yu Sarni.
“Dia masih ada di kampung, sudah lulus SMA. Cantik kok, Dia juga rajin, pernah membantu di rumah saat ibunya sakit. Dia juga sangat santun, tidak genit seperti gadis-gadis sekarang.” pak Broto seperti sedang menawarkan dagangan. Seperti apa sih, anaknya yu Sarni?
Rio hanya tersenyum, tak menjawab apapun.
“Jangan senyum-senyum begitu, kamu belum melihat orangnya kok. Kalau kamu sudah melihatnya, kamu pasti klepek-klepek,” pak Broto berbicara begitu lancar, seperti air sungai mengalir. Rio heran, bagaimana orang yang belum pernah kenal sebelumnya bisa bicara se akrab itu dengan dirinya. Tapi Rio tersenyum lebar ketika mendengar istilah ‘klepek-klepek’ yang diucapkan oleh majikan barunya.
“Bu … suruh Sarni membuatkan minum untuk sopir baru kita,” kata pak Broto begitu sampai di rumah.
“Sopir baru?” tanya bu Broto heran.
“Iya. Ibu ingat waktu kita makan di luar lalu ada pengamen menyanyi, yang aku suka, suaranya bagus, lagunya juga bukan lagu sembarangan?”
“O, itu. Yang Bapak tawarin pekerjaan? Jadi dia benar-benar datang menemui Bapak?”
“Iya. Ia menyetir sangat bagus.”
“Tapi Bapak harus hati-hati. Jaman sekarang tidak boleh mempercayai orang begitu saja.”
“Iya, aku tahu. Ada lamarannya, ada KTP nya, alamat dia di kampung. Semuanya jelas. Dia juga sangat santun. Coba ibu lihat. Semoga saja aku tidak salah.”
“Yu Sarni,” bu Broto berteriak memanggil pembantunya.
Yu Sarni sedang menata meja untuk makan siang, bersama Wulan. Ia segera mendekat begitu bu Broto memanggilnya.
“Ya Bu.”
“Di depan ada sopir bapak yang baru, buatkan dia minum. Dan kalau sudah ada, siapkan juga makan buat dia. Taruh saja di teras,” kata bu Broto.
“Oh, ada sopir baru? Baiklah Bu,” kata yu Sarni yang segera beranjak ke belakang untuk memenuhi perintah majikannya.
“Ada tamu Yu?” tanya Wulan yang sedang meletakkan makanan ke atas meja.
“Bukan tamu. Bapak punya sopir baru. Ini saya di suruh membuatkan minuman dan memberi makan.
“Sopir baru?” tanya Wulan heran.
“Ya. Dia ada di depan,” yu Sarni sibuk membuatkan minum, lalu menyiapkan makan untuk sang sopir baru. Sepiring nasi, sepiring lauk, dan semangkuk sayur.
“Ini sudah lengkap ya Bu?”
“Beri ayam gorengnya Yu, kan sudah matang juga.”
“O, iya. Baiklah.”
Lalu yu Sarni membawa senampan minuman dan makanan ke depan.
Wulan sudah selesai menata meja, lalu dia mencuci tangannya, siap mengundang kedua mertuanya untuk makan.
“Ya ampun Bu, sopir baru itu ganteng bangeeet,” seru yu Sarni sambil meletakkan nampan di meja dapur.
“Kamu itu lho yu, aku sampai terkejut.
Yu Sarni tentu saja tidak sadar bahwa sesungguhnya sudah pernah dua kali bertemu ‘sang sopir’, saat dia mengamen di rumah itu. Soalnya waktu mengamen dia memakai topi lebar, sehingga wajahnya tidak begitu jelas. Ia pernah sekilas menatapnya, dan mengatakan bahwa si pengamen itu ganteng, tapi nggak begitu jelas juga sih. Kan hanya sekilas.
“Bener lho Bu, ganteng sekali. Siapa tahu, dia mau menjadi menantu yu Sarni,” kata yu Sarni terkekeh.
“Iya Yu, semoga saja. Anak yu Sarni sudah lulus SMA kok ya.”
“Sudah setahun lalu Bu, kan pernah juga membantu di sini.”
“Iya, aku tahu, si Murni kan?”
“Iya.”
Wulan melangkah ke depan, untuk memberi tahu kedua mertuanya bahwa makan siang sudah siap, ketika ia melihat sebuah bayangan naik ke atas teras.
“Dia?”
Wulan berusaha menutup mulutnya rapat-rapat, agar keterkejutannya tidak sampai menimbulkan suara.
Besok lagi ya.
Bersambung ke Jilid 07
Leave A Comment