SELAMAT PAGI BIDADARI (09)

Karya Tien Kumalasari

Wulan terbelalak menatap Rio, yang mengucapkannya dengan bersungguh-sungguh.

“Aku serius,” katanya tandas.

“Jangan begitu Rio.”

“Apa yang jangan begitu?” tanya Rio sambil menatapnya tajam.

“Ini jalanku, suka atau tidak, harus aku jalani.”

“Wulan, aku mencintai kamu. Tanpa memiliki kamu, aku rela, dengan satu catatan, kamu harus bahagia. Kalau tidak, aku sungguh-sungguh akan merebutmu.”

Wulan merasa miris, tatapan yang terpancar dari matanya adalah tatapan membunuh. Dia tidak main-main dengan ucapannya.

Air mata Wulan menitik.

“Setitik air matamu harus dibayarnya mahal,” tandasnya.

“Aku … “

“Jangan bilang kamu bahagia Wulan. Aku sudah tahu kelakuan suami kamu. Baik di dalam rumah, ataupun di luaran. Aku bukan memanas-manasi kamu agar kamu kemudian memilih aku, tidak. Aku melihat dengan kepalaku sendiri bagaimana dia bersikap kepada seorang perempuan di jalanan, dan aku sakit Wulan. Sakit karena dia menyakiti kamu.”

“Rio … “ Wulan mengusap air matanya.

“Nanti kamu akan tinggal disini, dan entah siapa yang mengaturnya, aku harus menjadi sopir pribadi kamu. Disitu aku akan terus menjaga kamu dari dekat.”

“Bukankah kamu pimpinan sebuah perusahaan? Bagaimana kamu bisa melakukan ini semua Rio?”

“Demi kamu, aku bisa melakukannya.”

“Rio …”

“Jangan menangis lagi Wulan, ada aku di dekat kamu.”

“Sampai kapan kamu akan melakukannya?”

“Sampai aku yakin bahwa kamu benar-benar menemukan kebahagiaan.”

Wulan masih saja terisak. Ditatapnya hamparan rumput di kiri kanan halaman rumah baru itu, dengan pohon-pohon bunga diantaranya. Rupanya ayah mertuanya tahu bahwa Wulan menyukai bunga.

“Ya Tuhan, justru ayah mertua aku yang memperhatikan aku, sedangkan suamiku tidak sama sekali,” kata bisik batin Wulan.

“Apa kamu mencintainya?” tiba-tiba tanya Rio.

“Apa maksudmu? Kami dipertemukan karena kehendak orang tua, yang kami sebelumnya belum pernah saling kenal, lalu dari awal pernikahan sampai sekarang dia selalu menghina dan merendahkan aku. Bagaimana sebuah cinta bisa tumbuh di padang gersang?”

“Kalau begitu tinggalkan dia.”

Wulan menatap Rio lekat-lekat. Mana mungkin dia bisa melakukannya? Kedua mertuanya sangat menyayangi dia. Hanya karena mereka Wulan bisa bertahan.

“Aku tidak bisa Rio.”

“Mengapa? Bukankah kamu tidak mencintainya?”

“Kedua mertuaku sangat menyayangi aku. Mereka seperti menjadi pengganti kedua orang tuaku yang telah tiada,” jawab Wulan sendu.

Tiba-tiba ponsel Wulan berdering.

“Dari ibu mertuaku,” bisik Wulan. Ia mengusap air matanya, lalu menata napasnya agar lebih teratur sebelum menjawabnya. Ia tak ingin mertuanya tahu bahwa dia menangis.

“Hallo, Ibu,” sapa Wulan setelah mengendapkan perasaannya.

“Wulan, kamu masih di rumah baru kamu?”

“Iya Ibu.”

“Bagaimana, kamu suka?”

“Iya Ibu.”

“Bapak bilang, kalau ada yang kurang, kamu segera bilang, agar bisa segera dilengkapi, supaya kamu kerasan tinggal di rumah baru kamu.”

“Tidak ada yang kurang, Ibu.”

“Baiklah. Apa kamu masih lama pulangnya?”

“Saya … ingin mampir belanja,” kata Wulan yang sebenarnya mencari waktu lebih lama untuk menghilangkan bekas tangisnya, agar mertuanya tidak curiga.

“Oh, baiklah kalau begitu.”

“Apa Ibu mau nitip sesuatu ?”

“Tidak Nak, mungkin besok saja sekalian mencatat kebutuhan Sarni. Oh ya, aku mau bilang, sampai lupa.”

“Apa itu Bu?”

“Murni sudah datang, baru saja. Dia senang ketika mendengar bahwa dia akan menemani kamu di rumah baru.”

“Oh, iya Bu, Wulan juga senang mendengarnya.”

“Ya sudah Wulan, hati-hati di jalan. Ini bapak juga sedang pergi ke kantor, ada yang harus diurusnya.”

“Baiklah, Ibu.”

Wulan menutup ponselnya dan menghela napas.

“Perhatian kedua mertuaku sangat membuatku tenang. Itu sebabnya aku masih bertahan.”

“Baiklah, terserah kamu saja. Aku berharap kamu segera menemukan kebahagiaan. Hanya itu keinginanku.”

“Terima kasih Rio, kamu selalu baik untuk aku.”

“Bukankah aku sangat mencintai kamu?” kata Rio sambil menatap Wulan dalam-dalam.

“Iya, aku tahu,” dan selalu saja air matanya berlinang setiap kali Rio mengatakannya.

“Baiklah, sekarang kita mau kemana?”

“Belanja sebentar ya? Supaya bekas tangisku ini tidak lagi tampak. Aku tak mau mertuaku melihatnya.”

“Baiklah. Mau makan siang?”

“Mampir minum-minum saja. Kita makan di rumah, karena aku sudah memasak. Nanti mereka kecewa kalau aku tidak makan.”

“Baiklah, tuan puteri, bidadari cantikku,” kata Rio yang kemudian turun dan membukakan pintu mobil untuk Wulan, sebelum dia sendiri duduk di belakang kemudi.

Wulan tersenyum lebar. Dia sangat menyukai ucapan itu, sejak awal mereka saling jatuh cinta. Dan Rio tak pernah melupakannya.


Wulan hanya belanja beberapa sayur yang ingin dimasak keesokan harinya, dan tidak tersedia di kulkas penyimpanan, kemudian mereka minum es krim kesukaan mereka.

Keduanya lebih banyak diam, hanya saling tatap dengan perasaan tak menentu, sambil menyesali dalam hati, ketika nasib memisahkan mereka.

Tak bisa dipungkiri, masih ada cinta yang tersisa di hati Wulan, setelah hari-hari yang dilaluinya diurai perlahan. Tapi Wulan adalah wanita santun yang memegang teguh norma susila. Ia harus menjaga pernikahannya dengan perilaku yang bersih dan suci dari noda, apalagi noda perselingkuhan. Betapapun besar rasa cintanya, seperti juga Rio, mereka tetap saling menjaga dan menghormati.

“Kita pulang?”

“Baiklah, saatnya makan di rumah, nanti ibu mertuaku menunggu.”

“Senang menikmati masakan kamu lagi, walau kita tidak bisa makan bersama-sama.”

Wulan tersenyum, lalu bangkit berdiri, dan keluar dari rumah makan dimana mereka hanya menikmati semangkuk es krim.

Wulan dan Rio sudah ada di dalam mobil, ketika tiba-tiba mata mereka terpaku kepada sebuah mobil lain yang mereka kenali. Mobil Restu. Rio sengaja belum menstarter mobilnya, mengamati mobil Restu yang berhenti di seberang jalan, agak jauh di depan mereka. Dilihatnya Restu turun, kemudian membuka pintu samping, lalu seorang perempuan dengan pakaian yang sangat minim kain, keluar dari sana, kemudian bergayut mesra di lengan Restu.

Rio menatapnya muak. Ia melirik sekilas ke arah Wulan, tapi Wulan bergeming. Tak ada ekspresi marah atau terluka melihat pemandangan itu. Ia tetap tampak tenang di tempat duduknya.

“Ayo Rio, kenapa diam?”

“Melihat itu,” kata Rio sambil menunjuk ke arah Restu dan perempuan itu, sampai memasuki sebuah rumah makan di dekatnya.

“Biarkan saja, mengapa kamu peduli?”
“Tidak. Hanya muak, itu perempuan yang kemarin,” katanya sambil menstarter mobilnya.


Pak Broto sedang berada di kantornya. Ia memeriksa berkas-berkas yang menumpuk di mejanya. Hari sudah siang, ia ingin pulang dan makan di rumah, tapi tiba-tiba ia teringat sesuatu. Ia memencet tombol interkom di ruangan Restu. Tapi yang mengangkat sekretarisnya.

“Pak Restu mana?”

“Pak Restu keluar makan siang, belum kembali, Bapak,” jawab sang sekretaris.

“Jam berapa ini, mengapa belum kembali?”

“Biasanya setelah jam satu baru kembali Bapak.”

“Ini kan sudah setengah dua? Baiklah, begitu dia datang suruh ke ruanganku,” kata pak Broto kesal.

“Baik, Bapak.”

Pak Broto menghela napas berat. Ia menyandarkan tubuhnya di sandaran. Usianya yang beranjak senja, membuatnya sangat gampang lelah. Ia ingin segera pulang, tapi ia harus bertemu dengan Restu. Ada yang ingin ditanyakannya, dan kemarin ketika di rumah dia lupa.

Pak Broto berpindah duduk di sofa, supaya bisa bersandar lebih nyaman.

Kira-kita seperempat jam kemudian, Restu muncul dihadapannya.

“Bapak memanggil saya?” tanyanya begitu masuk.

Pak Broto menegakkan tubuhnya.

“Duduk,” titahnya.

Restu duduk di hadapan ayahnya. Ia agak heran karena akhir-akhir ini ayahnya sering datang ke kantor. Sebenarnya bisa dimaklumi, karena ada beberapa kerja sama yang harus ditanganinya sendiri. Tapi Restu merasa ada yang berbeda atas sikap ayahnya.

“Bapak kemarin melihat kamu keluar dari sebuah rumah makan. Aduh, lupa nama rumah makannya, yang di dekat gedung bioskop itu.”

Restu tercekat. Kalau ayahnya tahu saat dia keluar, pasti ayahnya juga tahu ketika dia menggandeng Lisa dengan mesra. Itukah yang ingin ditanyakan ayahnya?

“Ya Pak. Bapak mau makan juga, waktu itu?” Restu pura-pura tidak tahu arah pertanyaan ayahnya.

“Tidak. Kamu kan tahu bahwa bapak lebih suka makan masakan isteri kamu di rumah?”

“Oh, iya Pak.”

“Bapak ingin bertanya, siapa perempuan yang kamu gandeng saat keluar dari rumah makan itu?”

Tuh kan? Restu tetap terkejut, meskipun sudah menduganya.

“Perempuan?” Restu pura-pura linglung.

“Perempuan, pakaiannya sangat tidak pantas, bapak muak melihatnya.”

“Dia_”

“Dia bergayut di lengan kamu,” kesal pak Broto.

“Oh, itu Pak … ya ampun … Restu tidak mengingatnya, soalnya ketemu hanya sekilas. Ya saat makan itu.”

“Apa maksudmu ?”

“Dia kan .. itu pak, bekas teman kuliah dulu … kebetulan ketemu.”

“Hm, teman kuliah? Kamu kok tidak risih dia bergayut di lengan kamu dengan cara seperti itu?”

“Ya, namanya lama tidak ketemu.”

“Kamu harus hati-hati dalam bergaul. Ingat, kamu sudah punya istri.”

“Iya Bapak, Restu ingat.”

“Satu lagi, rumah baru kamu sudah siap. Tadi Wulan bapak suruh melihatnya, dan mengatakan barangkali ada yang kurang. Minggu depan kalian boleh pindah.”

“Baiklah Pak,” jawab Restu dengan wajah berseri, membayangkan dirinya akan lebih bebas terlepas seperti burung lolos dari sangkarnya.

Pak Broto berdiri, setelah memanggil sopirnya dan menyuruhnya menyiapkan mobil.

“Bapak belum selesai, besok masih ada yang ingin bapak periksa.”

Restu ikut berdiri, mengikuti ayahnya keluar dari ruangan. Kemudian masuk ke ruangannya sendiri.

“Celaka. Hampir saja. Syukurlah aku segera bisa menemukan jawaban yang tepat. Mulai besok aku akan mengajak Lisa makan di tempat lain, yang tidak berada di tengah kota,” gumamnya perlahan sambil duduk di depan meja kerjanya.


Bu Broto sudah duduk di ruang makan, ditemani Wulan. Mereka tampak menunggu, karena pak Broto baru saja mengabari kalau sudah di jalan dan ingin makan di rumah.

“Wulan, bapak tidak pernah melewatkan makan siang di rumah, karena apa, karena bapak sangat menyukai masakan kamu,” kata bu Broto sambil tersenyum.

Wulan tertunduk, tersipu. Bukan hanya sekali kedua mertuanya memuji masakannya.

“Saya belajar dari yu Sarni Bu.”

Tiba-tiba Wulan teringat, kata ibu mertuanya, tadi Murni sudah datang.

“Mana Murni? Katanya sudah di sini?”

“Baru keluar sebentar, Sarni menyuruhnya beli apa tadi. O iya, sabun cuci piring habis, tadi ibu lupa bilang sama kamu.”

“Oh, iya Bu, yu Sarni sudah bilang sebenarnya, tapi Wulan lupa.”

“Nggak apa-apa, besok sekalian belanja semua barang yang habis. Ibu sudah menyuruh Sarni mencatatnya.

Sementara itu Rio sudah duduk di teras, menghadapi makan yang sudah disediakan Sarni untuknya. Ia makan dengan lahap, dan selalu merasakan, memang benar masakan Wulan sungguh nikmat.

“Sayang dia bukan isteriku,” gumamnya pilu.

Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di halaman. Rupanya pak Broto sudah pulang. Laki-laki setengah tua yang sangat baik hati itu melangkah, dan berhenti di teras, ketika melihat Rio sedang makan.

“Rio, bagaimana makannya? Enak?” sapa pak Broto.

“Sangat enak Pak.”

“Kamu tahu? Itu masakan menantuku,” kata pak Broto dengan bangga.

“Iya Pak.”

“Habiskan, kalau kurang, bilang sama Sarni, biar diambilkan lagi.”

“Sudah cukup Pak, ini juga yu Dsarni mengambilkannya sangat banyak.”

“Ya sudah, selesaikan makannya, aku juga sudah lapar,” kata pak Broto sambil melangkah ke dalam rumah.

Bu Broto tersenyum sumringah melihat suaminya sudah pulang.

“Sudah ditunggu nih Pak,” sambut bu Broto.

“Oh ya Wulan, kamu sudah melihat rumahnya?” tanya pak Broto kepada Wulan.

“Sudah Pak.”

“Bagaimana? Ada yang kurang?”

“Tidak ada Pak, semuanya sudah lebih dari cukup,” jawab Wulan.

“Bagus, bapak berharap kamu akan kerasan di rumah baru kamu,” kata pak Broto sambil duduk.

“Bapak kok sudah pulang, katanya akan selesai sampai sore?”

“Tidak, aku lapar dan ingin segera makan di rumah. Besok aku ke kantor lagi, untuk memeriksa keuangan. Aku kok merasa ada yang janggal.”


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 10

Tags: No tags

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *