SELAMAT PAGI BIDADARI (10)

Karya Tien Kumalasari

“Apa ada masalah di kantor? Maksudku, tentang keuangan?” tanya bu Broto.

“Aku belum tahu Bu, kan baru mau diperiksa. Agak merasa aneh sih, kok pengeluaran selama enam bulan ini sepertinya membengkak.”

“Bagian keuangan kan orang-orang yang bisa dipercaya sih Pak?”

“Benar, itu sebabnya aku mau mencari, salahnya di mana.”

“Semoga baik-baik saja. Dan ibu minta, Bapak juga jangan sampai kecapekan. Akhir-akhir ini terlalu banyak yang Bapak urusi.”

“Benar, itu karena ada kerjasama dengan pihak lain, yang Restu belum bisa menanganinya.”

“Suruh Restu belajar, kan memang dia ditugaskan untuk mengurus semuanya?”

“Benar, Restu memang harus belajar. Nanti aku ngomong lagi sama dia, bahwa dia harus ikut di setiap meeting dengan klient.”

“Wulan, kok diam saja,” tegur bu Broto.

Wulan tersenyum.

“Wulan kan tidak paham dengan semua yang dibicarakan,” jawab Wulan sambil memasukkan suapan terakhirnya.

“Lain kali kamu juga harus belajar, supaya kalau bapak benar-benar pensiun, kamu bisa mendampingi suami kamu mengurus perusahaan,” kata pak Broto.

“Benar apa yang dikatakan bapakmu itu Wulan, ada baiknya kamu belajar. Sesekali ikutlah suami kamu ke kantor, supaya tahu bagaimana usaha mertua kamu ini,” sambung bu Broto.

Wulan lagi-lagi hanya tersenyum, sambil meletakkan sendok garpunya di piring.

“Wulan mana bisa Bu?”

“Kalau kamu belajar sudah pasti bisa. Kamu kan lulusan perguruan tinggi, pasti punya keahlian dalam mengelola sebuah usaha. Hanya karena belum berpengalaman, jadi merasa tidak bisa.”

“Eh, itu kan Murni?” seru Wulan ketika melihat Murni sudah ada di dapur.

“Nanti bicaralah sama Murni, dia yang akan menemani dan membantu kamu di rumah baru,” kata bu Broto.

“Iya Bu,” kata Wulan dengan wajah berseri. Dia agak merasa terhibur dan tidak sendirian nantinya.

“Bapak kok makannya sudah?”

“Sudah kenyang Bu, ini tadi sudah nambah dua kali, nanti perut bapak bisa meletus kalau harus nambah lagi,” canda pak Broto.

“Meletus? Balon … ‘kali.”

Wulan segera berdiri, menumpuk piring-piring bekas, sementara pak Broto berdiri meninggalkan ruang makan, diikuti istrinya.

“Murni, apa kabar?” sapa Wulan sambil menepuk bahu Murni.

Murni anak yu Sarni, adalah gadis yang sudah remaja. Dia baru saja lulus sekolah SMA. Gadis itu manis, dan pintar. Dia sudah sering membantu ibunya di rumah itu setiap liburan.

“Kabar baik, bu Wulan.”

“Senang rasanya, bakal ditemani kamu nantinya.”

“Iya, saya juga senang.”

“Kamu tidak akan aku anggap sebagai pembantu. Kamu keluarga aku juga,” kata Wulan sambil duduk di kursi dapur, sementara yu Sarni membersihkan meja makan.

“Terima kasih, bu Wulan. Saya senang, soalnya daripada bengong di rumah setelah lulus.”

“Nanti kamu tidak akan bengong, karena menemani aku ngobrol,” kata Wulan sambil tersenyum.

Murni menatap calon majikannya, yang kalau tersenyum tampak sangat menawan. Dia juga baik, dan ramah kepada siapapun. Belum dijalani, dia sudah merasa kerasan akan berada di rumah Wulan.

“Nanti kalau sudah tidak capek, bantu aku bebenah barang-barang ya, mungkin minggu depan kami akan pindah ke rumah baru.

“Baik, bu Wulan. Saya tidak capek kok. Kalau di suruh sekarang, saya siap.”

“Jangan Murni, Kamu kan baru datang. Nanti atau besok juga nggak apa-apa.”

“Benar Wulan, besok saja bebenah sama Murni, aku akan belanja sama Sarni,” kata bu Broto yang tiba-tiba masuk ke dapur.

“Oh iya, Ibu kan mau belanja. Tidak apa-apa kalau Wulan harus menemani dulu.”

“Tidak, aku sama Sarni saja. Selesaikan kamu mengurus barang-barang. Kan tidak usah bawa almari, karena di sana semuanya sudah siap.”

“Baiklah kalau begitu Bu, jawab Wulan, yang kemudian berdiri dan beranjak ke depan.

Dilihatnya ayah mertuanya sedang berbincang dengan Rio di teras.

“Aku senang kalau kamu kerasan bekerja di sini,” terdengar suara ayah mertuanya.

“Tentu saja Pak, karena Bapak sangat baik kepada saya,” kata Rio.

Lalu terdengar ayah mertuanya tertawa.

Wulan duduk di ruang tamu, pura-pura membaca koran yang terletak di meja, tapi telinganya menguping pembicaraan Rio dan ayah mertuanya.

“Rio, maukah kamu besok membawa gitar kamu?”

“Gitar, Pak? Untuk apa?”

“Aku mau mendengar kamu menyanyi lagi.”

Rio tertawa. Wulan tersenyum mendengarnya.

“Syukurin, salah sendiri pakai pura-pura jadi pengamen segala,” kata batin Wulan.

“Suara saya jelek, pak,” kata Rio masih sambil tertawa.

“Siapa bilang? Suara kamu bagus, aku terkesan sama kamu, karena mendengar suara kamu, dan lagu-lagu yang kamu nyanyikan. Itu semua mengingatkan aku saat muda dulu, saat mengejar cinta ibunya Restu,” kata pak Broto tanpa malu-malu.

“Bapak suka menyanyi?”

“Dulu saya suka menyanyi. Tapi sekarang suka mendengarkan saja, karena suaraku sudah buruk, sember, seperti panci ditabuh.”

Lalu keduanya terbahak. Wulan yang ada di dalam ikut tersenyum mendengarnya.

“Ada apa Wulan, kok senyum-senyum sendiri?” tiba-tiba ibu mertuanya datang dan duduk di depannya.

“Itu Bu, mendengar pembicaraan bapak sama Rio.”

“Bicara apa mereka?”

“Bapak ingin agar Rio besok membawa gitar.”

“Oh ya? Kangen suara Rio barangkali.”

“Kata bapak, dulu sering menyanyi buat ibu, saat mengejar cinta Ibu,” goda Wulan.

Bu Broto terkekeh.

“Bapakmu itu tidak tahu malu. Masa sih, seperti itu diceritakan sama Rio.”

“Ya tidak apa-apa dong Bu, mengenang masa-masa manis dulu.”

“Hiiih, memalukan,” kata bu Suryo tersipu.

Wulan tersenyum, senang membayangkan betapa mesra dulu ayah dan ibu mertuanya saat masih pacaran. Tapi tiba-tiba hatinya merasa miris sendiri. Mengapa kebahagiaan itu tidak bisa menyentuhnya dan tidak membiarkan dia bersama laki-laki yang dicintainya?

Di teras sana, pak Broto dan Rio terus terkekeh, karena pak Broto menceritakan kisah cintanya dulu dengan bu Broto.

Karena kesal, bu Broto kemudian keluar, menghentikan celoteh suaminya tentang masa lalunya.

“Bapak iih, mengapa cerita-cerita seperti itu. Nggak malu sama Rio, apa?”

Pak Broto menoleh kepada isterinya yang tiba-tiba muncul di depan pintu.

“Sini, duduk sini Bu,” pak Broto malah menyuruh istrinya duduk.

“Nggak mau. Bapak aneh. Jangan dengarkan Rio, bapak itu suka ngarang.”

“Eeh, siapa ngarang? Itu benar Rio. Dulu ibunya Restu itu menolak aku, tapi malu-malu mau pada akhirnya.”
Bu Broto mencubit lengan suaminya.

“Bapak nggak lucu deh. Oh ya Rio, besok antarkan aku belanja ya?” kata bu Broto mengalihkan pembicaraan.

“Baik Bu.”

“Aku sama yu Sarni, soalnya Wulan mau bebenah barang-barang yang mau dibawanya ke rumah baru.”

“Baik.”

“Tapi kalau kamu sudah di sana, sesekali harus datang kemari. Gitarmu harus selalu dibawa, karena kalau sewaktu-waktu aku ingin kamu menyanyi, kamu harus siap,” kata pak Broto.

“Baik Pak, besok akan saya bawa.”

“Bagus Rio, sekarang beristirahatlah. Di dekat garasi ada kamar korong, itu memang untuk sopir. Biasanya sopir kantor kalau aku membutuhkannya, sebelum aku siap aku suruh dia istirahat dulu di kamar itu.”

“Baik Pak, saya istirahat di mobil saja.”

“Terserah kamu saja Rio, aku juga mau istirahat dulu,” kata pak Broto sambil masuk ke dalam rumah, diikuti istrinya.

Rio memilih istirahat di dalam mobil, karena dia punya pekerjaan lain. Dia harus memantau usahanya walau tidak selalu berada di kantor. Ada laptop yang diletakkan di dalam bagasi, yang sewaktu-waktu dipergunakannya.


Pagi itu seperti biasa Restu makan dengan tergesa-gesa. Ia hanya mengambil sedikit nasi, supaya bisa segera pergi.

“Restu kenapa sih, tidak pernah sarapan dengan benar, selalu seperti tergesa-gesa,” tegur ibunya.

“Iya Bu, soalnya Restu selalu bangun kesiangan, jadi takut terlambat. Restu kan harus memberi contoh yang baik untuk karyawan, jadi Restu harus datang sebelum mereka datang, untuk mendisiplinkan mereka supaya bisa datang lebih pagi, agar tidak kedahuluan pimpinannya,” kata Restu sambil meletakkan sendoknya.

Pak Broto melirik sekilas, dan mengangguk senang.

“Hei, mengapa tidak pamit sama istri kamu?” teriak pak Broto jarena Restu langsung keluar dengan tergesa, hanya mencium tangan ayah dan ibunya sekilas.

“Aku berangkat Wulan,” teriaknya dari arah yang agak jauh, karena dia tidak mau berhenti.

Bu Broto menghela napas kesal. Ia maklum kalau Wulan juga tidak mau berdiri untuk mengantarkan suaminya, soalnya sikap Restu juga seenaknya.

Restu langsung menghampiri mobilnya, lalu dia berteriak kesal karena ketika dia mau keluar, tiba-tiba sebuah motor yang dikendarai Rio memasuki halaman.

Restu membuka kaca mobilnya dan menatapnya marah.

“Bodoh!” hardiknya sambil berlalu.

Rip menoleh dan bergumam pelan:

”Dia memaki aku? Bilang! Supaya aku bisa menghajarnya,” ujarnya geram sambil menghentikan motor bututnya, lalu memasukkannya ke garasi. Ia sengaja membawa motor butut yang dipinjam dari salah seorang karyawannya, yang kemudian menukarnya dengan motor baru.

Pak Broto yang baru keluar dari rumah, tersenyum melihat Rio datang sambil membawa gitar yang digantungkan di pundaknya.

“Bagus Rio, ayo menyanyi dulu, sini,” sambut pak Broto dengan gembira.

“Rio menghampiri pak Broto, lalu duduk di tangga teras.

“Eeh, sini Rio, kamu benar-benar mau mengamen apa? Ayo duduk di kursi, aku ingin mendengar suara kamu lagi,” suara cerah pak Broto.

Rio berdiri, kemudian duduk di kursi pendek, di hadapan pak Broto.

“Mau lagu apa Pak?” tanya Rio.

“Terserah kamu saja. Aku yakin pasti kamu akan menyanyikan lagu yang bagus untuk aku. Oh iya, itu saja, I can’t stop loving you, aku suka lagu itu.”

Rio tersenyum, lalu mengalunlah suara merdunya dengan diiringi oleh gitarnya sendiri.

“I can’t stop loving you, I’ve made up of my mind, to live in memories, of the lonesome times,

I can’t stop wanting you, it’s usseles to say, So I’ll just live my life, of dream of yesterday,

Those happy hours, that we once knews, ….

Dan Rio menyanyikannya dengan penuh perasaan, membuat pak Broto hanyut dalam alunan lagu itu, bahkan pada syair yang diingatnya, dia ikut menyanyi bersama Rio.

Pagi itu terdengar semarak.

“Ya ampuuun, Bapak,” pekik bu Broto dari arah pintu.

Pak Broto memberi isyarat dengan jarinya, agar bu Broto tak mengganggu Rio yang sedang menyanyi.

Bu Broto tersenyum. Ia membalikkan tubuhnya, kembali masuk.

“Kita ke pasar sekarang, Rio?” kata bu Broto sebelum masuk.

Rio tersenyum, tapi pak Broto memintanya agar Rio menyelesaikan dulu lagunya.

Pak Broto berteouk tangan ketika Rio sudah selesai menyanyikannya, lalu ia merogoh sakunya, dan mengulurkan uang duaratus ribu ke arah Rio.

“Bapak, ini … apa?”

“Ini untuk kamu.” Katanya sambil memasukkan uangnya ke dalam saku baju Rio.

“Bapak gimana, saya kan tidak sedang mengamen.”

“Itu sebagai rasa senang saya pagi ini, karena kamu telah menyanyikan lagunya dengan apik.”

“Terima kasih, Pak,” kata Rio sambil berdiri.

“Taruh saja gitarmu disini, jangan kamu bawa pulang,” perintah pak Broto. Rio menurut, lalu meletakkan gitarnya di sudut teras.

“Ya sudah, siapkan mobilnya, ibu mau belanja tuh.”

“Baiklah, Pak.”


Ternyata Restu tidak langsung ke kantor. Setelah menjemput Lisa, Lisa mengeluh perutnya lapar. Dan karena itu Restu mengajaknya dulu makan pagi di sebuah restoran.

“Kapan kamu pindah rumah Mas?”

“Minggu depan. Rumah itu sudah siap.”

“Apakah ada kamar khusus seandainya aku menginap di sana?” tanya Lisa tak tahu malu.

“Tentu saja ada. Kamu tidak usah khawatir. Kita bisa bersenang-senang sesuka hati kita,” kata Restu yang sudah lupa daratan karena rayuan Lisa yang selalu membuatnya tergoda.

“Asyiik, tapi hari ini aku ingin belanja, sayang.”

“Apa uangmu habis?”

“Iya,” katanya sambil menggelendot manja.

“Baiklah, nanti aku transfer ke rekening kamu, lalu kamu bisa belanja sepuasnya.”

“Terima kasih, sayang. Nanti aku hanya akan absen di kantor, lalu minta ijin untuk keluar. Aku harus belanja semua kebutuhan aku.”

“Baiklah, sesuka kamu saja. Jadi nanti aku tidak nyamperin kamu untuk makan siang?”

“Telpon dulu saja Yang, kalau aku sudah kembali ke kantor, kamu boleh nyamperin aku.”

“Baiklah, segera selesaikan sarapan kamu, nanti kamu terlambat. Kalau aku sih tidak apa-apa, siapa sih yang berani memarahi aku?” kata Restu dengan sombongnya.

Lisa tertawa sambil menyandarkan kepalanya dibahu kekasihnya. Tapi kemudian mereka segera menyelesaikan sarapan mereka karena ini sudah lewat saatnya masuk kerja.


Restu melenggang dengan riang saat masuk ke ruang kerjanya, tapi betapa terkejutnya ketika melihat ayahnya sedang duduk di belakang meja kerjanya.

“Bapak? Kok ada disini?”

“Kamu tadi bilang harus datang lebih pagi untuk memberi contoh baik kepada karyawan kamu. Mengapa sekarang baru datang?” kata pak Broto dengan nada tinggi.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 11

Tags: No tags

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *